• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Sekolah - Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Sekolah - Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Anak Usia Sekolah

Anak Usia Sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6 – 12 tahun. Menurut Hurlock (1994), masa ini sebagai akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari

usia enam tahun sampai tibanya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi

perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki, namun secara umum anak usia sekolah adalah anak

yang masuk sekolah dasar (SD). Anak SD dibagi atas dua bagian, yaitu kelas rendah yang

berumur 6 - 9 tahun dan kelas tinggi yang berumur 10–12 tahun.

Kebutuhan energi AUS lebih besar karena mereka banyak melakukan aktivitas fisik,

misalnya olah raga, bermain atau membantu orang tua. Kecukupan energi pada usia ini

adalah 80-90 kkal/kg BB/hari dan kecukupan proteinnya adalah 1 gram/kg BB/hari

(Judarwanto, 2004). Kebutuhan energi borongan umur 10 - 12 tahun lebih besar dari pada

golongan umur 7-9 tahunan, hal ini dikarenakan pertumbuhan mereka lebih cepat, terutama

penambahan berat badan. Mulai umur 10 - 12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda

dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga

memerlukan energi yang lebih banyak dari anak perempuan (As’ad, 2002). Menurut

Damanik (2010), karakteristik AUS meliputi pertumbuhan gigi tidak secepat bayi, gigi

merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal), lebih aktif memilih makanan yang

disukai, kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat, pertumbuhan lambat, dan

(2)

AUS biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga

sering melupakan waktu makan. Nafsu makan AUS umumnya lebih baik daripada

golongan anak kecil. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan supaya anak mudah

menerima pelajaaran (As’ad, 2002). Menurut Judarwanto (2004), saat sarapan pagi anak

harus terpenuhi sebanyak seperempat kebutuhan kalorinya sehari, yaitu sekitar 300 kkal.

Selama tahap anak sekolah dan remaja, pada umumnya kebiasaan makan anak telah terbina.

Kebutuhan zat gizi melonjak pada masa pubertas. Pada anak wanita, pubertas mungkin

terjadi pada akhir bersekolah SD atau pada awal Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada

tahap ini mereka mendapat kesempatan yang lebih banyak lagi untuk berpetualang dengan

makanan (Samsudin, 1993).

2.1.1 Masalah Gizi Anak Usia Sekolah

Masalah gizi merupakan gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan

atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi yang

bersumber dari makanan. Masalah ini berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah

pangan menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang

dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait

dengan tabu makanan. Masalah gizi tidak hanya terbatas pada masalah kekurangan gizi,

tetapi juga masalah kelebihan gizi.

Kelompok anak usia sekolah pada umumnya memiliki kondisi gizi yang lebih baik

daripada kelompok balita, karena kelompok umur anak sekolah mudah dijangkau oleh

berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Keadaan ini

(3)

Kondisi gizi anak sekolah masih belum memuaskan dimana, masalah gizi yang sering

ditemui pada kelompok ini adalah berat badan yang kurang, anemia defisiensi Fe, defisiensi

vitamin C dan di daerah-daerah tertentu juga terdapat defisiensi Iodium (Sediaoetama,

1996).

Kurang gizi pada anak usia sekolah dapat juga disebabkan oleh perilaku atau

kebiasaan jajan anak yang tidak teratur. Dimana pada masa ini anak-anak sudah dapat

memilih sendiri makanan yang disenangi, dan pada usia ini anak-anak gemar sekali

membeli makanan yang berwarna menarik dan makanan yang memakai pemanis buatan.

Jika jajanan yang dipilih kurang nilai gizinya seperti es dan gula-gula maka dapat

mempengaruhi keadaan gizi anak (Moehji, 2003).

2.1.2 Kebutuhan Makanan Anak Usia Sekolah

Lingkungan baru anak sekolah sangat mempengaruhi kebiasaan makan anak tersebut.

Pengalaman-pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di sekolah

menyebabkan anak-anak ini sering menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah

diberikan kepada mereka (Moehji, 2003). Aktivitas yang padat seperti kegiatan belajar di

sekolah, kursus, mengerjakan tugas, dan mempersiapkan pekerjaan untuk esok harinya

membuat stamina anak cepat menurun. Hal ini dapat dihindari dengan konsumsi makanan

yang sehat dan bergizi lengkap. Kandungan zat gizi makanan sebaiknya cukup dari segi

energi, protein, karbohidrat, lemak, serta zat gizi mikro lainnya. Adapun jumlah energi dan

protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak usia

(4)

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari)

Sumber: Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII Jakarta 17-19 Mei 2004

2.2 Pola Konsumsi

Menurut Kardjati (1985), pola adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari oleh satu orang

yang memberikan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pangan merupakan

salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu

sebagai sumber energi dan zat-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang

lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi

bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim dan aktifitas fisik

(Atmatsier, 2002).

Makanan yang dikonsumsi anak haruslah merupakan sumber zat gizi yang baik.

Menurut Judarwanto (2004), berat badan yang kurang karena kurangnya asupan gizi

biasanya disertai dengan kekurangan vitamin, mineral dan zat gizi lainnya sehingga

mengakibatkan kecerdasan dan daya tahan tubuh berkurang. Makanan yang dikonsumsi

sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka

butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak

(5)

diberi makanan selingan atau memberi makan dengan frekuensi yang lebih sering

(Nasution dan Riyadi, 1994). Nilai kecukupan gizi pada anak laki–laki usia 11–12 tahun berbeda dengan anak perempuan dengan usia yang sama. Angka kecukupan gizi tersebut

dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Angka kecukupan gizi ratarata yang dianjurkan (per orang per hari) pria dan wanita Usia 1012 Tahun

ditimbulkan akibat dari pola konsumsi yang dilakukan, yaitu dengan menilai status gizi

seseorang. Pola konsumsi seseorang tidak lepas dari kebiasaan makan yang dilakukannya.

Kebiasaan makan seringkali merupakan suatu pola yang berulang atau bagian dari

rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola

konsumsi pangan. Pola konsumsi pangan adalah jenis frekuensi beragam pangan yang biasa

(6)

ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo, 1989). Konsumsi

pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh

seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah, 2004). Survei konsumsi

pangan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu (a) metode recall

(mengingat), (b) metode inventaris, (c) metode pendaftaran dan (d) metode penimbangan

(Riyadi, 2001). Menurut Supariasa dkk (2001), metode pengukuran konsumsi pangan untuk

individu, meliputi metode food recall 24 jam, metode frekuensi makan (food frequency),

metode penimbangan (food weighing) dan metode riwayat makan (diet history).

2.2.1 MetodeFood Recall24 Jam

Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan

makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Melalui metode ini responden

menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin).

Metode ini sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Menurut

Sanjur (1997) yang dikutip oleh Supariasa, dkk (2001), langkah-langkah pelaksanaanrecall

24 jam adalah sebagai berikut:

1. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan atau

minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun

waktu 24 jam yang lalu, kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam

ukuran berat (gram).

2. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi

(7)

3. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka

Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.

Menurut Supariasa, dkk (2001), metode food recall 24 jam ini memiliki beberapa

kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari metode ini adalah sebagai berikut:

1. Mudah melaksanakannya serta tidak membebani responden. Biaya relatif murah karena

tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas.

2. Prosesnya cepat sehingga dapat mencakup banyak responden.

3. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf.

4. Dapat memberikan gambaran nyata dan benar-benar dikonsumsi individu sehingga

dapat dihitung asupan zat gizi sehari.

Metode food recall 24 jam ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu sebagai

berikut:

1. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan recall

satu hari.

2. Ketepatan sangat tergantung pada daya ingat responden.

3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk

melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk

cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).

4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih atau terampil dalam menggunakan alat

bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

5. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.

(8)

serta kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat meningkatkan mutu datarecall24

jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut).

Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh

kurang representatif menggambarkan kebiasaan makanan individu.

2.2.2 Metode Frekuensi Makan (Food Frequency)

Menurut Supariasa, dkk (2001), secara umum survei konsumsi makanan

dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan tingkat kecukupan bahan makanan

dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Metode frekuensi makanan adalah untuk

memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi

selama waktu periode tertentu setiap hari, minggu, bulan, atau tahun.

Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan

dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode waktu tertentu. Bahan makanan

yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang

cukup sering oleh responden. Kelebihan dari metode ini adalah relatif mudah dan

sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus,

dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.

Metode frekuensi makanan ini juga memiliki beberapa kekurangan antara lain tidak dapat

digunakan untuk menghitunga asupan zat gizi sehari-hari, sulit mengembangkan kuesioner

pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan

pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk ke dalam daftar

(9)

2.3 Status Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara

normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan

pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan

dan fungsi normal organ-organ, serta menghasilkan energi. Status gizi merupakan keadaan

kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi,

penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Menurut Supariasa,

dkk (2001), status gizi adalah suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variabel tertentu atau perwujudan darinutrituredalam bentuk variabel tertentu. Contohnya,

gizi kurang merupakan keadaan tidak seimbangnya konsumsi makanan dalam tubuh

seseorang.

Status gizi seseorang atau kelompok orang dapat digunakan untuk mengetahui apakah

seseorang atau sekelompok orang tersebut keadaan gizinya baik atau sebaliknya (Nasoetion

dan Riyadi, 1994). Status gizi pada anak dipengaruhi oleh tiga determinan, yaitu

determinan langsung, determinan tidak langsung dan determinan dasar. Determinan

langsung merupakan faktor yang terdapat pada tingkat individu. Hal yang menjadi

determinan langsung pada status gizi anak adalah konsumsi makanan dan status kesehatan

atau infeksi (Riyadi, 2001). Selanjutnya menurut Riyadi (2001), determinan tidak langsung

adalah determinan yang terdapat pada tingkat rumah tangga yaitu ketahanan rumah tangga,

perawatan anak, lingkungan kesehatan, termasuk akses terhadap semua determinan tidak

(10)

suatu negara wilayah dan masyarakat. Sumberdaya ini dibatasi oleh lingkungan alam, akses

terhadap teknologi dan juga mutu sumberdaya manusia.

Berbagai cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya adalah

antropometri. Pengukuran antropometri maksudnya adalah pengukuran yang dilakukan

terhadap berat badan, lingkaran bagian-bagian tubuh, serta lapisan kulit. Penilaian gizi

dilakukan sebagai interpretasi informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi

pangan, biokimia, antropometri dan klinis pada seseorang atau sekelompok orang.

Informasi yang diperoleh tersebut digunakan untuk menentukan status kesehatan seseorang

atau sekelompok penduduk tertentu (Wikipedia, 2013).

Antropometri dapat dilakukan dengan beberapa cara pengukuran, yaitu pengukuran

terhadap berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagainya. Dari pengukuran

tersebut, berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas sesuai dengan usia adalah yang

paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 1999). Di dalam ilmu gizi tidak

hanya diketahui dengan mengukur berat badan atau tinggi badan secara sendiri - sendiri,

tetapi juga dalam bentuk indikator-indikator yang dapat merupakan kombinasi ketiganya.

Masing-masing indikator memiliki makna tersendiri. Misalnya kombinasi antara berat

badan dengan umur membentuk indikator berat badan menurut umur (BB/U), kombinasi

antara tinggi badan dengan umur membentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan

kombinasi antara berat badan dengan tinggi badan membentuk indikator berat badan

(11)

2.3.1 Penilaian Status Gizi secara Antropometri

Menurut Supariasa, dkk (2002) penilaian status gizi dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung

dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu : antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka

antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.

Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporasi jaringan tubuh

seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

Pemeriksaan klinis merupakan metode yang sangat penting untuk menilai status gizi

masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang

dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti

kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan

tubuh seperti kelenjar tiroid. Metode ini umumnya untuk survei klinis secara tepat (rapid

clinical surveys). Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis

umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk

mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda

(sign) dan gejala (symptom)atau riwayat penyakit (Fauzarrahman, 2013).

Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan specimen yang diuji secara

laboratories yang dilakukan berbagai macam tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara

(12)

digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang

lebih parah lagi. Penilaian secara biofisik merupakan metode penentuan status gizi dengan

melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan). Umumnya dapat digunakan dalam situasi

tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi

gelap (Supariasa, 2002)

Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu: survey konsumsi

makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Survei konsumsi makanan merupakan metode

penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang

konsumsi berbagai zat gizi dalam masyarakat, keluarga, dan individu. Survei ini dapat

mengidentifikasikan kelebihan atau kekurangan zat gizi. Selain itu, mengukur status gizi

dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti

angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu

dan data lainnya dengan gizi. Penggunaanya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator

tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

Faktor Ekologi digunakan untuk mengungkap bahwa malnutrisi merupakan masalah

ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya.

Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaaan ekologis seperti iklim,

tanah, irigasi, dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk

mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar melakukan program

(13)

2.3.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar penilaian status gizi dan kombinasi antara

beberapa parameter disebut indeks antropometri. Penilaian antropometri dilakukan melalui

pengukuran dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh. Penilaian dilakukan terhadap berat

badan (BB), tinggi Badan atau Panjang badan/Tinggi badan (PB/TB), Lingkar kepala,

Lingkar lengan atas (LLA atau LILA) dan tebal lemak Kulit (Almatsier, 2009).

Menilai status gizi menggunakan beberapa indeks penilaian yaitu Berat Badan

menurut Umur (BB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan atau Panjang Badan (BB/TB

atau BB/PB), Tinggi Badan atau Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U), dan

Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) (WHO, 2005). Dalam semua indeks tersebut,

dianjurkan menggunakan perhitungan dengan menggunakan perhitungan dengan Z-score

(Menggunakan nilai median sebagai nilai normalnya). Indeks antropometri yang biasa

digunakan untuk kelompok remaja atau anak usia sekolah adalah IMT/U. Interpretasi

berbagai indikator pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Baku Antropomentri Menurut Standar WHO 2005

(14)

Kurus

Karakteristik berat badan merupakan indikator yang sensitif, maka indeks BB/U

lebih mengggambarkan status seseorang gizi saat ini. Menurut Supriasa (2002), berat badan

adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh, dimana massa tubuh

sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak misalnya karena terserang

penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang

dikonsumsi.

Berat badan memiliki hubungan linier dengan tinggi badan, dalam keadaan normal,

perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan

kecepatan tertentu. Jellife (1996) telah memperkenalkan indeks untuk mengidentifikasi

status gizi yaitu BB/TB atau BB/PB. Saat ini indeks BB/TB atau BB/PB merupakan indeks

yang independen terhadap umur.

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang bersifat kronis sebagai akibat

dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya : kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola

asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak dilahirkan yang mengakibatkan anak

(15)

mempertimbangkan umur anak, karena akan menentukan posisi pengukuran anak

terlentang atau berdiri.

2.4 Vegetarian

Istilah vegetarian diciptakan sejak tahun 1847 dan pertama kali digunakan secara

formal pada tanggal 30 September 1847 oleh Joseph Brotherton dan kawan-kawan, di

Nothwood Villa, Inggris pada saat pertemuan pengukuhan Vegetarian Society Inggris

(Wikipedia, tahun 2003). Pada tahun 1985, hampir 7% atau sekitar 12 juta penduduk

Amerika menganggap diri mereka vegetarian dan sekitar 4% menganggap diri mereka

vegan. Di Amerika, masyarakat yang menjalankan diet vegetarian lebih banyak wanita

daripada pria, dan cenderung berusia lebih tua dari 60 tahun. Masyarakat ini biasanya

adalah masyarakat berpengetahuan baik, dan biasanya hidup di perkotaan (Krummel & Kris

1996). Pengikut vegetarian di Amerika kebanyakan berpendidikan setingkat SLTA,

berstatus menikah, dan berusia diatas 40 tahun (Sabate, 2001).

Belum ada istilah yang baku untuk vegetarian. Istilah vegetarian mempunyai cakupan

yang luas dalam dunia nutrisi dan makanan. Pada umumnya istilah vegetarian mengacu

pada seseorang yang tidak mengkonsumsi daging, terutama daging merah seperti daging

sapi, namun akhir-akhir ini dilaporkan bahwa 20% vegetarian masih mengkonsumsi daging

minimal sekali dalam sebulan. Secara khusus dapat dikatakan bahwa istilah vegetarian

dapat digunakan untuk mereka yang sebagian makanannya terdiri dari tumbuhan dan

menghindari konsumsi produk hewani seperti daging, baik daging merah maupun daging

(16)

Banyak literatur ilmiah menyatakan bahwa seseorang masih dikatakan vegetarian

apabila ia mengkonsumsi produk hewani (kombinasi daging sapi, ikan, ayam) kurang dari

satu kali per minggu (Sabate, 2001). Karena itu, para ahli biasanya memutuskan apakah

seorang vegetarian atau bukan dari pola makan orang tersebut, sehingga penilaian tidak

terjadi secara subjektif. Sayangnya tidak ada definisi yang pasti dan konsisten untuk istilah

vegetarian dalam berbagai penelitian ilmiah (Shils, 2006). Masyarakat memilih menjadi

vegetarian karena berbagai alasan. Hal ini mencakup alasan kesehatan, keagamaan atau

kepercayaan etik, alasan metafisika, lingkungan dan bahkan alasan politik.

Ada berbagai jenis vegetarian yang dianut oleh masyarakat, beberapa diantaranya

adalah vegan yaitu hanya mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian (atau

padi-padian), kacang-kacangan, sayur-sayuran termasuk rumput laut dan buah-buahan. Jenis

lakto yaitu mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan juga mengkonsumsi susu dan olahannya.

Jenis ovo yaitu selain mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan juga mengkonsumsi telur dan

olahannya. Jenis lakto-ovo yaitu selain mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan juga masih

mengkonsumsi telur, susu dan olahannya. Jenis pesco vegetarian yaitu masih

mengkonsumsi ikan. Jenis pollovegetarian yang masih mengkonsumsi ayam. Jenis

fruitarianyaitu mengkonsumsi buah-buahan, serta jenismacrobiotic.

Asupan protein secara umum mencukupi pada diet vegetarian tetapi tidak bagi

vegans. Kebutuhan protein terpenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis sayuran secara

teratur dan memenuhi kebutuhan energi. Pada vegetarian, variasi tanaman sebagai sumber

protein nabati diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein. Sumber protein nabati yang

(17)

secara bersamaan. Kebutuhan protein pada vegetarian kira-kira 30% lebih tinggi dari

nonvegetarian. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kandungan asam amino esensial dan

rendahnya daya cerna protein nabati kecuali kacang kedelai.

Menurut Fajriyah (2008), bagi vegetarian lacto-ovo yaitu mereka yang masih

mengkonsumsi telur dan minum susu, masukan protein yang memadai dapat dijamin

dengan dengan banyak mengkonsumsi kedua jenis makanan ini, termasuk yogurt dan keju.

Tetapi pada vegan, yaitu vegetarian kuat yang tidak mengkonsumsi telur dan susu, harus

mengkonsumsi kombinasi protein sayuran untuk memenuhi lima porsi/bagian proteinnya

antara lain kacang-kacangan, biji-bijian, dan biji gandum. Beberapa bahan pengganti

daging merupakan sumber protein yang cukup baik, namun beberapa bahan lainnya rendah

protein dan tinggi lemak serta tinggi kalori.

Kecukupan kalsium bukan masalah bagi vegetarian yang mengkonsumsi telur dan

susu, tetapi tidak demikian hanya bagi vegan yang memerlukan strategi khusus. Banyak

produk kedelai yang kaya kalsium, tetapi harus hati-hati akan susu kedelai yang diberi

banyak gula (gula, sirup, jagung, atau madu). Lebih aman bila mengkonsumsi produk susu

kedelai murni. Produk tahu dapat dianggap kaya kalsium bila pada proses

penggumpalannya diberikan kalsium (Fajriyah, 2008). Bila tidak diberikan, maka tahu

tersebut tidak mengandung atau hanya sedikit mengandung kalsium.

Jumlah orang yang menjalankan pola makan vegetarian semakin bertambah. Di

Kanada diperkirakan ada 4% populasi orang dewasa memilih pola makan vegetarian.

Berdasarkan kerja gabungan Pakar Diet Kanada dan Asosiasi Diet Amerika yang

(18)

sangatlah sehat dan dapat memberikan gizi yang memadai untuk segala usia. Pola makan

vegetarian juga memberikan manfaat kesehatan untuk mencegah serta mengobati penyakit

tertentu (Miewald.C, 2004).

Di Amerika Serikat (AS) pernah muncul anjuran agar konsumsi telur dibatasi hanya

maksimal empat butir seminggu. Selain itu, daging merah (sapi) frekuensi konsumsinya

sebaiknya dikurangi atau diganti dengan daging putih (unggas) yang telah dihilangkan

kulitnya. Pola pangan nabati atau lebih dikenal dengan pola makan vegetarian dipraktikkan

oleh orang karena beberapa alasan, antara lain mengikuti anjuran agama, adanya rasa

sayang pada hewan, atau karena alasan kesehatan.

Menurut Khomsan (2012), pola pangan nabati sebenarnya tidak jauh berbeda dengan

pola pangan tinggi serat. Konsumsi serat rata-rata orang Indonesia berdasarkan data

1998/1999 adalah 10,5 g per kapita per hari. Angka ini masih jauh dari anjuran gizi yang

20-30 g per kapita per hari. Apabila kita mau lebih meningkatkan konsumsi serat

(bersumber dari pangan nabati, seperti sayuran dan buah), maka kita akan terhindar dari

penyakit kanker, jantung koroner, dan kecenderungan obesitas (kegemukan).

2.5 Prestasi Belajar

Belajar merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relatif

permanen sebagai akibat dari upaya-upaya yang dilakukan seseorang. Belajar merupakan

hal sangat mendasar bagi manusia dan merupakan proses yang berkesinambungan yang

mengubah seseorang dalam berbagai cara (Suparno, 2001). Masalah belajar di masa

anak-anak merupakan hal yang sering dihadapi orang tua dan guru. Keluhan-keluhan yang sering

(19)

dapat konsentrasi, tidak mengerti huruf, kesukaran dalam membaca, menulis dan berhitung,

tidak ada gairah belajar dan sebagainya (Prasetyo, 1993).

Prestasi belajar menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1993) adalah

merupakan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan dalam mata

pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar

siswa meliputi prestasi kognitif (kemampuan berpikir dan analisis), prestasi afektif (sikap)

dan prestasi psikomotor (tingkah laku). Namun dari tiga aspek tersebut aspek kognitiflah

yang menjadi tujuan utama dalam suatu sistem pendidikan tanda mengesampingan aspek

yang lain (Syah, 2001).

Menurut Atmodiwirjo (1993), intelegensi berperan sebagai kapasitas global dari

individu untuk bertindak sesuai dengan tujuan, berfikir secara rasional dan menghadapi

lingkungan secara efektif. Dalam hal ini kapasitas global dimaksudkan bahwa intelegensi

terdiri dari berbagai elemen atau kemampuan yang tidak seluruhnya berdiri sendiri tetapi

secara kualitatif dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kompetensi

intelektual yang optimal diperlukan potensi intelektual yang cukup, lingkungan yang positif

yang mampu merangsang dan menunjang direalisasikannya potensi yang telah ada serta

anak sendiri yang aktif berperan dalam interaksi dengan lingkungan tersebut. Faktor yang

dapat mempengaruhi intelegensi seorang anak antara lain faktor keturunan, faktor parental

yaitu berhubungan dengan faktor gizi dan penyakit yang diderita ibu hamil, kesulitan dalam

proses kelahiran yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan seorang anak serta

keadaan sosial ekonomi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh penyakit atau cedera otak,

(20)

lingkungan sehingga pemprosesan informasi tidak dapat berjalan dengan baik

(Atmodiwirjo, 1993).

Gizi kurang pada anak dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan

anak. Kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi

metabolisme otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal ini

mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru terutama pada usia di bawah

tiga tahun sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan

anak (Judarwanto, 2004).

Menurut Judarwanto (2004), kurang gizi pada fase cepat tumbuh otak (di bawah usia

18 bulan) akan bersifat irreversible (tidak dapat pulih) dan kecerdasan anak tersebut tidak

bisa lagi berkembang secara optimal. Kurang energi dan protein pada masa anak-anak akan

menurunkan IQ yang menyebabkan kemampuan geometrik rendah dan anak tidak bias

berkonsentrasi secara maksimal. Menurut penelitian Arneliaet al. (1995), rata-rata nilai IQ

anak yang pernah menderita gizi buruk sewaktu balita lebih rendah 13,7 point

dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita KEP. Namun IQ yang tinggi tidak

selalu menjadi jaminan untuk meraih prestasi belajar di sekolah, tapi harus dibarengi

dengan upaya mengasah keterampilan, kerajinan, ketekunan dan kemampuan berfikir.

Portosuwido, dkk (1976) telah melakukan penelitian dibidang kognitif pada anak

sekolah dasar dengan mengukur skor prestasi belajar melalui mata pelajaran Bahasa

Indonesia, Matematika, IPA, IPS. Keempat mata pelajaran ini sudah cukup

(21)

hasil yang dicapai oleh murid pada mata pelajaran tertentu yang dinyatakan dalam wujud

angka (Soematri, 1978).

2.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar dapat

dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri terdiri dari faktor

biologis dan faktor psikologis sebagai contoh faktor kesehatan jasmani dan rohani,

kecerdasan (intelegensia), daya ingat, kemauan, bakat (Dimyati, 1989).

2.5.1.1 Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar meliputi faktor biologis dan

psikologis, mulai dari kandungan, sampai lahir dan sesudah lahir sudah tentu merupakan

hal yang sangat menentukan keberhasilan seseorang. Hal ini merupakan salah satu faktor

biologis yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor biologis yang lain yaitu kondisi

kesehatan fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang.

Namun demikian didalam menjaga kesehatan fisik ada beberapa hal yang sangat perlu

diantaranya makan dan minum harus teratur serta memenuhi persyaratan kesehatan,

olahraga dan istirahat yang cukup (Dimyati, 1989).

Selain faktor biologis terdapat faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar.

Faktor psikologis tersebut antara lain intelejensi, kemauan, bakat, dan daya ingat.

Intelegensi atau tingkat kecerdasan dasar memang berpengaruh besar terhadap keberhasilan

belajar seseorang. Seseorang yang mempunyai intelegensi jauh dibawah normal akan sulit

(22)

dipahami bahwa intelegensi itu bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan

seseorang. Intelegensi itu hanya merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor.

Sebaliknya, seseorang yang intelegensinya tidak seberapa tinggi atau sedang, mungkin saja

mencapai prestasi belajar tinggi jika proses belajarnya ditunjang dengan berbagai faktor

lain yang memungkinkan untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal (Slameto, 2003).

Kemauan dapat dikatakan sebagai faktor utama penentu keberhasilan belajar

seseorang. Lebih dari itu, dapat dikatakan kemauan merupakan motor penggerak utama

yang menentukan keberhasilan seseorang dalam setiap segi kehidupannya. Bagaimanapun

baiknya proses belajar yang dilakukan seseorang hasilnya akan kurang memuaskan jika

orang-orang tersebut tidak mempunyai kemauan yang keras. Bakat memang merupakan

salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan belajar seseorang dalam suatu bidang

tertentu. Kegagalan dalam belajar yang sering terjadi sehubungan dengan bakat justru

disebabakan seseorang terlalu cepat merasa dirinya tidak berbakat dalam suatu bidang

(Hakim, 2000).

Daya ingat sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Daya ingat dapat

didefinisikan sebagai daya jiwa untuk memasukan, menyimpan dan mengeluarkan kembali

suatu kesan. Sesuai dengan tahap-tahapnya, daya ingat mempunyai sifat-sifat yaitu sifat

lambat atau cepat yaitu menunjukkan lamanya waktu untuk memasukan kesan kedalam

pikiran. Sifat setia yaitu kesan-kesan yang masuk dapat disimpan sama persis dengan objek

yang sebenarnya. Sifat tahan lama dimiliki oleh daya menyimpan yang berarti kesan-kesan

yang masuk dapat disimpan dalam waktu lama atau tidak mudah lupa. Sifat luas dimiliki

(23)

Sifat siap dimiliki oleh daya reproduksi, yang berarti dapat mengeluarkan kembali

kesan-kesan yang telah tersimpan di dalam pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, kemampuan

mengingat ini dipengaruhi pula oleh daya jiwa yang lain diantaranya adalah kemauan dan

daya konsentrasi. Daya konsentrasi: merupakan suatu kemampuan untuk memfokuskan

pikiran, perasaan, kemauan dan segenap pancaindera ke satu objek di dalam suatu aktivitas

(Gie, 1995)

2.5.1.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah merupakan faktor yang bersumber dari luar individu itu

sendiri. Faktor meliputi faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah, faktor

lingkungan masyarakat dan faktor waktu. Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini

merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menentukan perkembangan pendidikan

seseorang. Kondisi lingkungan keluarga sangat menentukan keberhasilan belajar seseorang

diantaranya ialah adanya hubungan yang harmonis diantara sesama anggota keluarga,

tersedianya tempat dan peralatan belajar yang cukup memadai, keadaan ekonomi keluarga

yang cukup, suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya perhatian yang besar

dari orang tua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan anak-anaknya. Faktor

keluarga juga menentukan pola konsumsi yang akan dianut oleh anak, jika orangtua

menginginkan anaknya dapat berprestasi di sekolah mereka pastinya akan memberikan

makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan seimbang. Hal ini tentu saja akan

meningkatkan status gizi anak tersebut sehingga prestasi pun dapat diraih (Wardyaningrum,

(24)

Faktor lingkungan sekolah merupakan hal mutlak yang harus ada di sekolah untuk

menunjang keberhasilan belajar adalah tata tertib dan disiplin yang ditegakkan secara

konsekuen dan konsisten. Kondisi lingkungan sekolah yang juga mempengaruhi kondisi

belajar antara lain adanya guru yang baik dalam jumlah yang cukup dan memadai sesuai

dengan jumlah bidang studi yang ditentukan, peralatan belajar yang cukup lengkap, gedung

sekolah yang memenuhi persyaratan bagi berlangsungnya proses belajar yang baik, adanya

teman yang baik, adanya keharmonisan hubungan diantara semua personil sekolah

(Slameto).

Di dalam masyarakat ada lingkungan atau tempat tertentu yang dapat menunjang

keberhasilan belajar, ada pula lingkungan atau tempat tertentu yang menghambat

keberhasilan belajar. Lingkungan atau tempat tertentu yang dapat menunjang keberhasilan

belajar diantaranya adalah lembaga-lembaga pendidikan non formal yang melaksanakan

kursus-kursus tertentu seperti kursus bahasa inggris dll. Lingkungan atau tempat tertentu

yang dapat menghambat keberhasilan belajar antara lain adalah tempat hiburan tertentu

yang banyak dikunjungi yang mengutamakan kesenangan atau hura-hura seperti diskotik,

bioskop dan tempat lain.

Adanya keseimbangan antara kegiatan belajar dan kegiatan yang bersifat hiburan atau

rekreasi merupakan faktor waktu yang menunjang prestasi belajar. Tujuannya agar selain

dapat meraih prestasi belajar yang maksimal, siswa dan mahasiswa tidak dihinggapi

(25)

2.6 Kaitan Pola Makan Vegetarian dan Status Gizi dengan Prestasi Belajar

Banyak peneliti terdorong untuk menemukan hubungan antara kecenderungan

mengonsumsi makanan nondaging dengan kecerdasan atau prestasi belajar. Hal ini

dilatarbelakangi oleh adanya beberapa penemu dan filsuf yang cukup terkenal cerdas

merupakan penganut vegetarian seperti Albert Enstein, Plato, Aristoteles, Socrates, Isaac

Newton, dan Thomas A. Edison. British Medical Journal menerbitkan hasil penelitian

tersebut dimana peneliti mengukur IQ sejumlah responden pada usia 10 tahun, kemudian

mengikuti perkembangan mereka hingga umur 30 tahun. Data menunjukkan bahwa mereka

yang menjadi vegetarian saat anak-anak memiliki IQ sekitar 5 poin lebih tinggi daripada

rata-rata orang dewasa yang bukan vegetarian (Harmandini, 2011).

Mereka yang vegetarian juga lebih cenderung memiliki pekerjaan dan gelar yang

lebih tinggi. Menurut para peneliti, ini disebabkan karena pola makan mereka yang kaya

sayuran dan buah-buahan telah mampu meningkatkan kemampuan otak di antara manfaat

kesehatan lain untuk meningkatkan kecerdasan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak

vegetarian tumbuh lebih tinggi dan memiliki IQ lebih tinggi daripada teman-teman

sekolahnya. Risiko untuk penyakit jantung, obesitas, diabetes dan penyakit lain juga

menurun untuk jangka panjang. Meskipun tidak terlalu populer di Indonesia, ada juga

sebagian masyarakat di tanah air yang menerapkan pola hidup vegetarian atau tidak

memakan daging. Mereka percaya, pola hidup itu bermanfaat bagi kesehatan serta mampu

mencerdaskan anak. Sebagian besar masyarakat cenderung menganggap pola hidup

vegetarian pada anak penyebab kekurangan gizi atau gizi buruk. Menurut Ayu (2012), hal

(26)

memilih lauk sekalipun menerapkan pola vegetarian. "Pola hidup vegetarian tidak akan

membuat anak kekurangan gizi”. Oleh karena itu, orang tua tidak perlu khawatir tetapi harus diperhatikan pemilihan jenis makanannya misalnya nabati yang mengandung asam

lemak esensial sebagai asupan makanan.

Beberapa jenis asam lemak esensial seperti asam lemak omega 3, asam lemak omega

6 dan asam lemak omega 9 terkait langsung dengan pembentukan jaringan otak. Ketika

bayi, kebutuhan tiga komponen terdapat dalam air susu ibu, sementara saat berusia 6 bulan

hingga 2 tahun, bayi mendapat tambahan ketiga asam omega dari makanan-makanan yang

sehat seperti sayur mayur, kacang-kacangan dan biji-bijian. Maka dari itu, pola hidup

vegetarian yang tidak mengkonsumsi daging terjamin kebutuhan asam lemak omega

dengan mengkonsumsi sayur mayur, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Terkadang,

masyarakat masih terbatas pengetahuannya terkait sayur-mayur. Sebagai contoh, untuk

memenuhi kebutuhan asam omega 3, anak bisa diberikan konsumsi seperti biji-bijian

macam wijen, kedelai dan jagung atau memanfaatkan hasil olahannya semisal minyak

wijen, minyak jagung dan minyak kedelai. Sementara khusus sayur mayur bisa diberikan

sayuran yang berwarna hijau (Ayu, 2012)

Kebutuhan asam lemak omega 6, dapat dipenuhi dengan mengasup makanan berupa

kacang-kacangan, jagung, wijen dan biji matahari atau bisa juga memanfaatkan olehannya

seperti minyak wijen, minyak jagung, kacang tanah dan minyak bunga matahari. Menurut

Ayu (2012), asam lemak omega 6 memiliki posisi strategis, sebab merupakan bahan

pembentuk AA (Arachidonic acid) dan DHA (Docosahexaenoic) yang nantinya akan

(27)

omega 9, orang tua bisa juga memberikan asupan makanan berupa minyak zaitun dan

kacang-kacangan lain, semisal, kacang polong, kacang hijau dan kacang tanah. Zat lainnya

yang diperlukan guna menunjang pembentukan kecerdasan pada anak vegetarian adalah zat

besi dan zinc (seng) yang juga terdapat pada sayur-mayur. Khusus Zinc, jelasnya,

merupakan zat yang kini diteliti para ilmuwan karena diyakini mampu mendukung

pembentukan sel otak.

Salah satu penelitian yang menggambarkan status gizi balita vegetarian dan

nonvegetarian terjadi pada tahun 2008 lalu. Penelitian Susianto (2008) menyebutkan bahwa

tidak ada bayi vegetarian yang menderita gizi kurang apalagi gizi buruk sebaliknya pada

bayi vegetarian terdapat kelebihan berat badan. Kesimpulan tersebut tergambar dari hasil

penelitian yang mencatat prevalensi obesitas bayi vegetarian sebesar 5.3% dan bayi

nonvegetarian 12.3%, 13.3 % bayi vegetarian dan 8.2% nonvegetarian yang gemuk, 56 %

balita vegetarian dan 57.5% nonvegetarian yang berstatus gizi normal, namun terdapat

25.3% bayi vegetarian dan 21.9% nonvegetarian yang beresiko kegemukan. Penelitian

mengambil sampel 148 balita dengan rincian 75 vegetarian dan 73 non vegetarian yang

terpilih secarapurpose sampling.

Keadaan gizi juga akan mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran

di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Penelitian kaitan indeks prestasi

dengan status gizi anak dalam studi kasus anak di Kabupaten Nabire oleh Wilma (2006)

menemukan bahwa semakin rendah status gizi siswa semakin rendah pula nilai prestasi

mereka. Penelitian Huwae (2005) menyatakan dari 43 sampel anak sekolah yang diteliti di

(28)

Penelitian ini menyatakan terdapat hubungan yang erat antara status gizi dengan prestasi

belajar siswa sekolah dasar yaitu semakin tinggi status gizi siswa maka akan semakin tinggi

pula prestasi belajar mereka.

Pola konsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu disusun

berdasarkan data jenis pangan, frekuensi penggunaan serta banyaknya yang dimakan.

Makanan yang dikonsumsi sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi.

Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur dan aktivitas

tubuhnya (Nasution & Riyadi, 1994). Kandungan zat gizi makanan sebaiknya cukup dari

segi energi, protein, karbohidrat, lemak, serta zat gizi mikro lainnya. Pola konsumsi ini

digunakan untuk menilai status gizi seorang anak termasuk anak vegetarian.

Pola konsumsi dan status gizi ini merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat

kecerdasan seorang anak dimana menurut Muhilal et al (1998), kemampuan anak untuk

belajar dipengaruhi oleh asupan gizi dan status gizi mereka. Apabila merasa lapar mereka

akan mengalami kesulitan belajar, menurunnya kemampuan anak dalam merespon

lingkungan, kesulitan konsentrasi dalam menangkap informasi. Menurut Khomsan (2004),

mencetak generasi yang sehat dan cerdas harus dimulai sejak anak dalam janin sampai

remaja. Berbagai intervensi harus diberikan kepada anak-anak khususnya dalam hal gizi,

kesehatan dan pendidikan. Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya

karena kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Oleh karena itu pola konsumsi dan status

gizi dapat mempengaruhi prestasi belajar anak SD, termasuk anak penganut vegetarian,

(29)

2.7 Kerangka Konsep

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan sampel anak usia sekolah yang

vegetarian dan non vegetarian, dan kelompok ini dijadikan sebagai variabel independen.

Sedangkan yang menjadi variabel dependen adalah pola konsumsi, status gizi dan prestasi

belajar. Pola konsumsi melihat jenis makanan, frekuensi makan, tingkat konsumsi energi

dan tingkat konsumsi protein. Variabel status gizi diukur dari indeks BB/U dan IMT/U,

sedangkan prestasi belajar melihat rapor bulanan selama siswa belajar di kelas lima.

Penelitian ini melihat perbedaan proporsi pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar

pada anak kelompok vegetarian dan non vegetarian. Kerangka konsep penelitian dapat

digambarkan seperti berikut ini:

Gambar. 2.1. Kerangka konsep pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar anak vegetarian dan non vegetarian kelas V sekolah dasar Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan.

Vegetarian

Non Vegetarian

Pola Konsumsi - Tingkat konsumsi energi

- Tingkat konsumsi

protein Status Gizi

Gambar

Tabel 2.2  Angka kecukupan gizi rata – rata yang dianjurkan (per orangper hari)   pria dan wanita Usia 10 – 12 Tahun
Tabel 2.3Baku Antropomentri Menurut Standar WHO 2005
Gambar. 2.1. Kerangka konsep pola konsumsi, status gizi dan prestasi belajar anakvegetarian dan non vegetarian kelas V sekolah dasar Yayasan PerguruanBodhicitta Medan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini, Jumat tanggal 30 Januari 20L5, saya yang dengan Keputusan Rektor Universitas Negeri Malang Nomor 29.1.13/UN32/KPl2OL5 tanggal 29 Januari 20L5, dosen

Menjadi Sekretaris Profesional..

Hasil analisa statistik krim sari tomat dengan blanko memiliki perbedaan yang signifikan (p ≤ 0,05), dimana krim sari tomat mampu memberikan efek sebagai anti-aging dengan

RPJMD Kabupaten Indramayu Tahun 2011 – 2015 merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan

Bank Syariah Bukopin Cabang Surakarta antara lain lebih meningkatkan pelatihan seharusnya sering diselenggarakan karena untuk meningkatkan kualitas kerja karyawan yang

Panitia Pengadaan Barang/ Jasa di Lingkungan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung akan melaksanakan Pengadaan Jasa Konstruksi dengan metode Pemilihan Langsung

Di dalam penulisan ilmiah ini, penulis membahas mengenai tanaman hias dan hal-hal yang berkaitan dengan tanaman hias yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus

Kombinasi cacing dan pakan buatan yang diberikan ke larva menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan larva yang hanya diberi pakan cacing, yaitu mempunyai panjang akhir