UPAYA KAUM MIGRAN DARI INDIA DI YOGYAKARTA
DALAM MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIS
MELALUI TRADISI PERNIKAHAN
Disusun oleh :
Fitta Amellia Lestari
D0308034
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
MOTTO
PERSEMBAHAN
Untuk Kamu, Dia, dan Mereka
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tak
henti-hentinya memberikan limpahan kasih sayang, kemudahan, petunjuk dan kekuatan
bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Upaya Kaum
Migran dari India di Yogyakarta Dalam Mempertahankan Identitas Etnis
melalui Tradisi Pernikahan.
Berawal dari keinginan untuk mengkaji mengenai etnis India yang masih
menjadi kaum minoritas terutama di Indonesia khususnya di Yogyakarta, maka
penulis tertarik untuk mengkaji etnis India yang ada di Yogyakarta. Dalam
penulisan laporan ini, penulis seringkali menemui rintangan dan hambatan, namun
dengan adanya dukungan dan semangat dari berbagai pihak penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Proses penulisan skripsi ini tak
lepas dari bantuan berbagai pihak yang turut mendukung kelancaran penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena bantuan, dukungan, arahan dan
bimbingan yang telah diberikan maka penulis hendak menyampaikan ungkapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Pawito, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Bagus Haryono, M.Si, selaku Pembimbing Skripsi dan Ketua Jurusan
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Terima kasih atas dukungan, masukan, kepercayaan, ketelitian,
dan kesabaran yang penuh dalam membimbing dan mengarahkan penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Eva Agustinawati, S.Sos., M.Si., selaku Pembimbing Akademik, terima kasih
untuk dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis.
4. Seluruh Dosen dan Staff karyawan Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Seluruh kawan-kawan Kunci Cultural Studies Yogyakarta, terima kasih untuk
pengalaman yang tak terlupakan dan berharga.
7. Semua informan yang dengan tulus dan ikhlas memberikan informasi kepada
penulis.
8. Keluarga besar Lab. UCYD, khususnya Bapak Dr. Drajat Tri Kartono, M,Si.,
terima kasih untuk proses pembelajaran dan pengalaman yang selama ini
penulis dapatkan.
9. Teman sekamarku yang selalu setia seperti namanya, Tri Setiarini. Terima
kasih untuk kebersamaan selama ini. Juga untuk Anggraeni Kusuma Dewi,
terima kasih untuk motivasi yang diberikan.
10. Sahabat setia berdiskusi, Fatwa Nurul Hakim. We are the best team!
11. Sahabat selamanya, Annita Mutiara Sari, Irene Fitrianti, Sonia Noveliani,
Putri Agnesia Wardhani, Yessy Meirliane. Kalian sahabat terbaikku. You’re
best i ever had.
12. Sahabat Wisma Lubna, Reni, Aida, Mba Ayu, Arimbi, Hilya, Mba Mira, Mba
Hanif, Mba Pipit, Asna, Ayu, Ifah, Mba Rini.
13. My seventeen sisterhood, Diah Nurul Irhamna. You’re rawrk!
14. Sepupu ganteng Dady Hidayat Doa, terima kasih untuk waktunya berdiskusi
bersama dan saling menyemangati satu sama lain.
15. Duo sister, Rieneke dan Rischa. Terima kasih untuk doa dan dukungannya
serta kesempatannya bermalam di rumah kalian.
16. Teman-teman Solo Mengajar. Terima kasih untuk doa dan dukungan yang
diberikan. Berawal dari hati untuk mampu menempuh seluruh prestasi.
17. Teman-teman Sosiologi FISIP UNS angkatan 2008 (Okta, Paidi, Riswanda,
Wida, Yulian, Dian Asri, Lingga, Riza, Agus, Alfian, Andri, Tokay, Aryo,
Astrid, Ayu, Bangkit, Benny, Binti, Denny, Mami, Elin, Galih, Hurriah,
Leoni, Tio, Louis, Ridwan, Maya, Melati, Pecok, Tika, Putri, Retno, Rio,
Shubuha, Tery, Arini, Dhian, Jalu, Yarofa, Susi, Ifah, Dian Permata, Dea,
Tian, Herman, Himawan, Lilis, Cici, Reza, Rino, Suryo, Tatas, Taufik, Titits,
Novi, Isac). Untuk Akhmad Muhajir S. terima kasih untuk dukungan dan
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari kesempurnaan memang masih jauh dalam penyusunan
skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri dan bagi
pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Surakarta, Juli 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN MOTTO ……….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. v
KATA PENGANTAR ………. vii
DAFTAR ISI ……… x
DAFTAR GAMBAR ………... xiii
DAFTAR MATRIKS ……….. xiv
ABSTRAK ……… xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1
B. Rumusan Masalah ………. 7
C. Tujuan ……….. 7
D. Manfaat ………. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep yang digunakan ……… 8
1. Identitas Etnis ………. 8
2. Kelas Sosial ……… 17
3. Pernikahan ……….. 19
4. Tradisi ……… 21
B. Landasan Teori ……….. 22
1. Paradigma ……….. 22
2. Teori yang Digunakan ……….... 24
C. Penelitian Terdahulu ………. 28
D. Kerangka Pemikiran ……….. 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi ……… 35
B. Alasan Pemilihan Lokasi ……….. 35
C. Jenis Penelitian ……….. 35
D. Sumber Data ……….. 36
E. Populasi ………. 36
F. Sampel ………... 36
G. Teknik Pengambilan Sampel ……….... 36
H. Teknik Pengumpulan Data ……… 38
I. Teknik Analisis Data ………. 39
J. Validitas Data ……… 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 43 A. Proses Menjadi Migran India di Yogyakarta 45 B. Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses Pernikahan Pada Kaum Pemilik Modal ……… 47
1. Sebelum Pernikahan .……….... 47
2. Saat Pernikahan …..……….. 62
3. Setelah Pernikahan ...………. 75
C. Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses Pernikahan Pada Kaum Pegawai swasta ………... 80
1. Sebelum Pernikahan ………... 80
2. Saat Pernikahan ………... 96
3. Setelah Pernikahan ……… 102
D. Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses Pernikahan Pada Kaum Buruh ……….. 108
1. Sebelum Pernikahan ………... 108
2. Saat Pernikahan ………. 124
3. Setelah Pernikahan ……….... 130
E. Pembahasan ………. 137
2. Proses Saat Pernikahan pada Etnis India ……… 139
3. Proses Setelah Pernikahan pada Etnis India ……….. 140
F. Analisa Teori ……… 144
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……… 148
B. Implikasi ……….. 149
C. Saran ……… 150
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pengantin Memakai Bindi ……….. 52
Gambar 2 Proses Nicayam atau Ikat Janji ……….... .. 55
Gambar 3 Proses Parisam atau pemberian hadiah ……….. 57
Gambar 4 Hadiah atau Parisam ………... 58
Gambar 5 Proses Mayian ………. 61
Gambar 6 Proses Mehendi ………... 63
Gambar 7 Proses Jago ………. 64
Gambar 8 Proses Minji ……… 67
Gambar 9 Pengantin Pria memakai Tallapa (penutup kepala) ……… 68
Gambar 10 Proses Paal ………. 69
Gambar 11 Pendada Membacakan Doa ………. 70
Gambar 12 Proses Poree ………... 72
Gambar 13 Pengantin Mengelilingi Api Suci ……… 73
DAFTAR MATRIKS
Matriks 1 Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses
Pernikahan Pada Kaum Pemilik Modal ……….. 78
Matriks 2 Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses
Pernikahan Pada Kaum Pegawai Swasta …..……... 106
Matriks 3 Upaya Mempertahankan Identitas Etnis India Melalui Proses
ABSTRAK
Fitta Amellia Lestari, 2012, D0308034, UPAYA KAUM MIGRAN DARI INDIA DI YOGYAKARTA DALAM MEMPERTAHANKAN
IDENTITAS ETNIS MELALUI TRADISI PERNIKAHAN, Skripsi, Jurusan
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada tahun 1947 terjadi proses partisi antara India dengan Pakistan. Banyak warga India yang menjadi warga Pakistan pindah ke Negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Indonesia. Banyak warga keturunan India yang tinggal di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan mereka menjadi warga minoritas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan kaum migran India di Yogyakarta dalam mempertahankan identitas etnisnya melalui tradisi pernikahan. Untuk melihat upaya yang dilakukan oleh kaum migran ini, digunakan teori kelas sosial Karl Marx.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang akan mendeskripsikan bagaimana migran India yang tinggal di Yogyakarta mempertahankan identitas etnisnya melalui tradisi pernikahan. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis dan arsip, dan data visual. Teknik pengumpulan data digunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposive, dalam hal ini informan dipilih berdasarkan klasifikasi jenis pekerjaan, yaitu kelas pemilik modal, kelas pegawai swasta, dan kelas buruh. Dari masing-masing kelas akan diambil 2 (dua) orang sebagai sampel dengan proporsi 1 (satu) wanita dan 1 (satu) pria. Sehingga informan berjumlah 6 (enam) orang. Data dianalisis dengan analisis model interaktif yang menggunakan tiga komponen utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. Validitas data digunakan teknik triangulasisumber.
Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa tradisi pernikahan di etnis India menjadi salah satu upaya dalam mempertahankan identitas etnis. Ada beberapa aspek dalam tradisi pernikahan India, yaitu mitos, simbol, pola hubungan serta modal, baik modal sosial dan modal ekonomi. Sebagai upaya dalam mempertahankan identitas etnis, tradisi pernikahan India juga memiliki perbedaan di setiap kelas sosial yang ada, khususnya perbedaan dalam aspek mitos, simbol, pola hubungan dan modal. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara kelas pemilik modal, kelas pegawai swasta, dan kelas buruh dalam hal mitos dan simbol. Mereka memiliki kepercayaan yang sama terhadap mitos dan simbol. Tetapi terdapat perbedaan pada aspek pola hubungan dan modal. Meskipun begitu, penelitian ini membuktikan bahwa tradisi pernikahan India merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan identitas etnis kaum migran India yang tinggal di Yogyakarta.
ABSTRACT
Fitta Amellia Lestari, 2012, D0308034, EFFORTS THE MIGRANTS FROM INDIAN IN YOGYAKARTA TO PRESERVE ETHNIC IDENTITY
BY MARRIAGE TRADITIONS, BachelorThesis, Sociology Major, Social and
Political Science Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.
In 1947, there was the partition between India and Pakistan. Many Indian’s people who become citizens of Pakistan move to another countries in Asia, like Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore, and Indonesia. Many citizens of Indian descent who lived in Indonesia, especially in Yogyakarta and they became citizens of the minority. This study aims to determine how the efforts of migrants India in Yogyakarta to preserve their ethnic identity by marriage traditions. To see the efforts made by these migrants, was used the theory of Karl Marx's about social class.
This research was a descriptive qualitative that will describe how the migrants from Indian who lives in Yogyakarta to preserve their ethnic identity by marriage traditions. The sources of the data were information which was directly taken from the informant, literary study, written document, archives and visual data. The techniques of collecting data were interview, observation and documentation. The informants were chosen purposively. In this research the informants were chosen based on the classification types of works, namely the class of capital owners, private employee class and working class. Of each class will take 2 (two) as a proportion of samples with 1 (one) female and 1 (one) male. So there were 6 (six) informants. The data were analyzed by using model analysis interactive which used three major components, data reduction, data presentation and conclusion along with verification. Triangulation sources technique was used to check the validity of the data.
Based on the research, it was found that Indian’s marriage traditions to be an effort to preserve their ethnic identity. There are many aspects in Indian’s wedding traditions, the myths, symbols, relationship patterns and capital, both social capital and economic capital. This study found that there was no difference between the class of capital owners, private employee class and the working class in terms of myth and symbol. They have the same confidence to the myths and symbols. But there are differences in patterns of relationships and aspects of the capital. Nevertheless, this study proves that the tradition of Indian weddings is an effort to preserve the ethnic identity of migrants who living in Yogyakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri atas berbagai etnis, ras,
dan budaya yang tersebar di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Keberagaman
etnis dan budaya tersebut membuat bangsa Indonesia menjadi semakin kaya akan
kebudayaan, dan dengan latar belakang keberagaman budaya tersebut menjadikan
Indonesia cenderung sebagai bangsa yang terbuka terhadap pendatang dan
perubahan.
Keberagaman bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia.
Namun, berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS: 2010), diperkirakan
ada 1128 suku bangsa bangsa di Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki golongan
etnis (suku bangsa) yang secara umum terbagi dalam dua golongan besar, yaitu
etnis pribumi seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dan golongan etnis pendatang
seperti etnis Cina, Arab, Eropa (yang diwakili Portugis dan Belanda) serta Etnis
India.
Bidang agama, terdapat enam agama yang diakui secara resmi oleh
pemerintah yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, serta
Konghucu. Bangsa indoonesia memiliki pancasila sebagai dasar negara sekaligus
sebagai pemersatu bangsa, namun pda kenyatannya ada usaha dan ancaman
disintegrasi yang bersumber dari keragaman suku, etnis, dan agama. Konflik
sampit dan sambas misalnya, banyak dipicu oleh kenyataan bahwa etnis Madura
pada taraf tertentu menjelma menjadi kelompok yang berhasil menguasai berbagai
sumber daya ekonomi, sementara disisi lain perilaku social mereka cenderung
semakin menegaskan komunitas etnisnya. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan
social, meskipun itu kecil, dengan etnis dayak dan melayu sebagai etnis asli cukup
untuk menyulut konflik sosial yang masif dan berkepanjangan.
Indonesia adalah negara yang yang terletak di Asia Tenggara dan terdiri
dari beragam etnis yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan
Menurut Badan Pusat Statistik, negara Indonesia diperkirakan dihuni tidak kurang
dari 200 suku bangsa yang mengembangkan kebudayaan dan tradisi
masing-masing secara mandiri. Kemajemukan budaya atau multibudaya biasa dikenal
dengan istilah multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah konsep mengenai banyaknya atau berbagai
budaya dalam suatu ruang lingkup yang sama dan membentuk suatu keajegan
dalam pola kehidupan masyarakat. Multikulturalisme juga erat kaitannya dengan
kemajemukan masyarakat yang beragam, karena dengan adanya kemajemukan
dari masyarakat yang beraneka ragam tersebut akan menimbulkan suatu gejala
pada seseorang/suatu masyarakat yang menjalankan aktifitas kehidupannya
ditandai dengan penggunaan lebih dari satu kebudayaan yang dijadikan suatu
kebiasaan di dalamnya. Dengan adanya multikulturalisme tersebut maka akan
menambah banyak kekayaan budaya sebagai bentuk identitas nasional (Furnivall
dalam Hefner, 2007: 16).
Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua ciri yang agak unik.
Dari satu sisi bersifat horizontal yang ditandai dengan adanya kesatuan – kesatuan
sosial yang berlandaskan kepada perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat
derta perbedaan kedaerahan. Tetapi, di sisi vertikal menunjukkan dimana struktur
masyarakat Indonesia yang ditandai dengan adanya perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama,
adat dan kedaerahan senantiasa disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk (Sitepu, 2006: 71).
Identitas etnis secara sederhana dipahami sebagai sense atau rasa tentang
self atau diri individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis
tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut.
Artinya identitas etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan
perilaku terkait etnisnya. Dengan demikian, identitas etnis dibangun atas
kesadaran diri terhadap budaya yang dimiliki. Budaya mempengaruhi identitas
etnis kita. Bahkan melalui budaya juga identitas etnis dipelajari dari generasi ke
generasi. (http://setabasri01.blogspot.com/2010/01/pengantar.html diakses pada tanggal
Masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh penjuru dan pelosok
Indonesia terdiri atas masyarakat asli yang telah menghuni ribuan tahun sampai
datangnya masyarakat imigran yang disebut dengan masyarakat timur asing yaitu
keturunan Arab dan keturunan Cina. Namun pada kenyataannya, selain keturunan
Arab dan Cina sebagai bangsa pendatang, ada juga keturunan India yang juga
menjadi keturunan pendatang yang tinggal di Indonesia.
Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukan hal yang
mudah dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang
membuat ada istilah mereka dan kita. Masalahnya, perkembangan zaman
membuat budaya juga berubah, nilai-nilai budaya dulu mungkin sekarang sedikit
demi sedikit, lambat laun makin memudar. Di mana akibat perubahan zaman dan
pengaruh budaya massa, memahami identitas etnis sendiri bisa jadi lebih susah
daripada memahami identitas etnis lain. Namun yang menjadi masalah tentu
bukan sekadar pengaruh media massa dalam membantu membangun persepsi
khalayak baik secara sengaja atau tidak dalam menggambarkan etnis tertentu
dalam tayangannya, tapi control dan pilihan tentu ada di tangan audiens,
bagaimana si audiensnya dalam menanggapi realitas yang dibangun lingkungan
dan pandangannya sendiri dalam persepsinya.
Memasuki dunia baru dimana seseorang dituntut untuk beradaptasi
bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, individu dituntut
belajar serta memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin
sulit jika lingkungan yang baru adalah lingkungan yang berbeda jauh budayanya
dengan lingkungan sebelumnya. Sebuah lingkungan baru, dimana realitas etnisnya
amat berbeda dengan lingkungan yang sebelumnya. Menghadapi budaya yang
berbeda bukan perkara mudah, begitupun dengan Etnis India yang ada di
Yogyakarta, adaptasi harus dimulai perlahan. Memasuki dunia baru yang
benar-benar berbeda, karena pada dasarnya manusia mempunyai mental, kemauan, dan
kemampuan untuk berkomunikasi sehingga dapat mengenal dan mengevaluasi
siapa yang berkomunikasi dengan dia.
Kaum migran India tersebar di berbagai wilayah teritorial Negara seperti
Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan mereka untuk melakukan
eksodus secara besar-besaran dari negaranya ke negara lain, seperti Malaysia,
Thailand, Singapura, Indonesia, bahkan di daerah Sumatera mereka juga
menciptakan kampung India. Akan tetapi, sebagian besar para imigran India itu,
ternyata merasa dimakmurkan oleh Negara-negara yang menjadi tujuan mereka
(Appleyard, 1988 : 110). Melihat hal itu, maka persoalan mengenai identitas patut
untuk dipertanyakan ketika akhirnya mereka memilih untuk melepaskan status
kewarganegaraan India dan beralih menjadi warga Negara lain.
Berbeda dengan masyarakat India yang ada di Indonesia, Kaum migran
India banyak tersebar diwilayah Malaysia, Indonesia, Thailand dan beberapa
Negara lainnya. Ini setelah terjadinya proses partisi antara India dengan Pakistan
(Appleyard, 1998: 110). Secara teritori terdapat kesamaan antara dua Negara ini
yang berada dalam satu wilayah kultural yang hampir sama dengan latar belakang
sejarah yang hampir sama, yaitu sama-sama pernah dijajah oleh bangsa inggris.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi perbedaan dalam praktek
kehidupannya dimana masyarakat India yang mayoritas dipengaruhi oleh ajaran
hindu memiliki pola perilaku yang berbeda dengan masyarakat Indonesia yang
mayoritasnya dipengaruhi oleh ajaran agama islam.
Kekuatan akar tradisi yang ada pada etnis tersebut yang telah
berkembang dan menjadi landasan sebagai sebuah kebijakan kultural juga
mempengaruhi kemampuan para migran untuk melakukan apa yang dipilihnya
terhadap dirinya atas banyaknya pengaruh yang masuk kedalam dirinya. Spradley
(1997: 15) mengungkapkan bahwa masyarakat yang kompleks dan semakin
modern membuat seorang individu memiliki kecenderungnan untuk hidup dalam
berbagai aturan kebuadayaan yang berbeda. Memang, kemudahan yang
ditawarkan oleh teknologi dan media yang menjadi serangkaian produk
kebudayaan ini juga menjadi alsan mengapa seorang individu dapat lebih mudah
menerima konsep yang berbeda.
Ketertarikan untuk melihat Etnis India di Yogyakarta ini berasal dari
kekuatan kebudayaan nenek moyang, latar belakang kehadiran migran di daerah
perilaku masyarakatnya. Kebijakan yang ada pada Negara ini memang berdampak
begitu besar, sehingga akhirnya mereka meyakini sebagai sebuah kebijakan yang
tepat untuk terus dikembangkan bahkan dinegara migrasinya.
Hal ini menjadi menarik, karena Etnis India di Yogyakarta ini
merupakan kaum minoritas. Tidak seperti etnis Cina dan Arab yang memiliki
permukiman yang dihuni oleh etnis yang sama, orang-orang India yang tinggal di
Yogyakarta tidak memiliki kampung tersebut. Mereka tinggal menyebar di
seluruh penjuru kota Yogyakarta. Sebagai kaum diaspora.
Diaspora berasal dari bahasa Yunani yang berarti berhamburan dan
aslinya mengacu pada masyarakat dan kebudayaan Yahudi. Dengan adanya
globalisasi kontemporer, terutama mobilitas kerja dan deregulasi pasar tenaga
kerja, populasi manusia telah menyebar luas ke penjuru dunia. Misalnya, hampir
separuh dari dua belas juta populasi Sikh tinggal di luar India. Kemunculan
komunitas ekspatrit ini berarti bahwa kebudayaan transnasional telah
berkembang, sering kali menyebabkan hibriditas budaya (percampuram kultural
dan kemunculan bentuk-bentuk baru hibriditas). Dengan pertumbuhan komunitas
diaspora, mayoritas masyarakat modern bersifat multikulturar sementara
perubahan kultutral ini membawa konsekuensi penting dalam hal
kewarganegaraan (Barker, 2011: 210).
Mereka tidak memilih untuk tinggal bersama-sama dengan etnisnya,
namun mereka lebih memilih untuk melakukan kegiatan perekonomian di satu
kawasan yaitu di Jalan Solo, Yogyakarta. Masyarakat keturunan India ini setiap
harinya selalu berinteraksi dengan etnis diluar etnisnya, yaitu etnis Jawa ataupun
etnis Cina atau etnis lainnya. Dengan adanya interaksi antar etnis ini, bisa saja
menyebabkan masyarakat keturunan India memiliki pola pemikiran baru yang
sering mereka temui di kehidupan sehari-hari ketika berinteraksi dengan orang
lain. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat keturunan India
akan mengadaptasi budaya-budaya yang ada di lingkungan sekitar mereka dan
menyebabkan rasa keIndiaan mereka menjadi berkurang.
Salah satu tradisi yang sangat kental dan masih sering dilakukan oleh
lainnya, pada tradisi pernikahan yang ada di India memiliki makna berbeda salam
setiap proses dan tahapannya. Mulai dari proses perjodohan sampai proses
pernikahan. Banyak hal-hal yang bisa ditemukan dalam tradisi pernikahan Etnis
India ini, mulai dari mitos-mitos ada, simbol-simbol yang digunakan, pola
hubungan yang ada dalam tradisi pernikahan itu, sampai modal untuk
melaksanakan tradisi pernikahan tersebut.
Merupakan satu hal yang sangat menarik bagi penulis jika melihat
fenomena tradisi pernikahan ini melalui kacamata sosial, dalam hal ini penulis
ingin melihat berdasarkan kelas sosial. Proses kedatangan keturunan India di
Yogyakarta juga menjadi sangat menarik karena etnis ini merupakan etnis
minoritas. Kemudian, penulis juga bisa mengetahui bagaimana seorang keturunan
India bisa mempertahankan ke-India-annya sebagai kaum imigran di kota ini.
Selain itu, penulis juga ingin melihat, apakah tradisi pernikahan yang dilakukan
oleh warga keturunan India tersebut bisa disebut sebagai usaha untuk
mempertahankan identitas etnisnya sebagai seorang Etnis India. Dengan latar
belakang tersebut, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Upaya Kaum Migran India di Yogyakarta Dalam Mempertahankan
Identitas Etnisnya Melalui Tradisi Pernikahan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalah
yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
“Bagaimana Upaya yang Dilakukan Kaum Migran India di Yogyakarta
Dalam Mempertahankan Identitas Etnisnya Melalui Tradisi Pernikahan?”
C. Tujuan
1. Tujuan Operasional
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan kaum migran India di
Yogyakarta dalam mempertahankan identitas etnisnya melalui tradisi
2. Tujuan Fungsional
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi manfaat dan
dapat sebagai tambahan masukan dalam khasanah penelitian dalam rangka
mengembangkan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya dan sosiologi
pada khususnya.
3. Tujuan Individual
Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan, guna memperoleh gelar
Sarjana ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan
informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan sosial (body of knowledge)
terutama kajian-kajian sosiologis mengenai Etnis India bagi penelitian
selanjutnya yang sejenis.
2. Manfaat Metodologis
Mengkaji seberapa jauh kemampuan metodologi dapat
mengungkapkan masalah yang diteliti. Mengembangkan penalaran, dan
membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan
peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
3. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi pada
penelitian lebih lanjut dan atau pembuat kebijakan (policy maker) bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep yang digunakan
1. Identitas Etnis
Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang
memainkan peran dalam seluruh interaksi komunikasi. Untuk itu penting
memberikan apresiasi pada apa yang membawa identitas. Untuk memberikan
pemahaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan
untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragam budaya ini.
Kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri.
Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi
kebaikan atau kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney (dalam
Samovar, 2007: 109-110), sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa
usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal
memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapai kebingungan
identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran
mereka dalam hidup. Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep
pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografis, budaya dan
politik. Menurut Mathews (dalam Samovar, 2007: 111), identitas adalah
bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri.
Tipologi identitas dalam Communication between Cultures, terbagi
atas identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas
regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi
(Samovar, 2007: 113- 118). Sedangkan dalam Intercultural Communicatin In
contexts, identitas budaya dan sosial dibagi atas identitas gender, identitas usia,
identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas, identitas nasional,
identitas regional, dan identitas pribadi (Martin & Thomas, 2007: 171-188).
Sedangkan kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan
suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang
Pengertian ras dan etnis sendiri dapat dipilah dan harus dipahami bahwa etnis
merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar kesamaan karakteristik
yang sifatnya lebih ‘’kebudayaan’’ daripada ras yang mengacu pada ciri-ciri
ragawi (Liliweri, 2001: 335-336).
Identitas etnis sering dikaji sosiolog, antropolog, psikolog, dan
sejarahwan. Para ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses
etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain
yang sering menjadi sinonim adalah etnisitas, dan konsep-diri kultural atau
rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna
yang sama oleh para ahli. Namun kadang-kadang konsep yang sama diartikan
secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit
dalam kajiankajian itu. Sering ia berkelindan dengan dan atau tersirat dalam
kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis (Mulyana & Jalaludin,
2005: 151).
Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari
identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas
kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut
dalam memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu
(Rahardjo, 2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah
kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini
menyangkut beberapa dimensi:
1. Identifikasi diri sendiri
2. Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku)
3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etni tertentu.
Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang
asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok
budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain (Martin &
Thomas, 2007: 175). Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah
perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang
pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok (Martin & Thomas, 2007:
menyebutkan keduanya berbeda. Beberapa ahli menyebutkan identitas etnis
dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tapi identitas ras
dikonstruksikan semata-mata oleh dirinya (Martin & Thomas, 2007: 177).
Karena perbedaan antara istilah ras dan etnisitas telah tidak cukup
dijelaskan dalam literature, maka variasi anatara ras dan identitas etnis dapat
juga jadi tidak jelas dan membingungkan. Masalah ini lebih jauh dipersulit
karena orang-orang sering menggambarkan identitas etnis mereka dalam
cara-cara individual yang tinggi sesuai dengan situasi dan lingkungan tertentu. Dari
pandangan Samovar dkk, walaupun identitas ras dikaitkan pada warisan biologis
yang menghasilkan karakteristik fisik yang sama dan dapat diidentifikasi.
Etnisitas atau identitas etnis diperoleh dari sebuah perasaan yang membagi
warisan, sejarah, tradisi, nilai, perilaku yang sama, daerah asal dan dalam
beberapa hal membagi bahasa. Kebanyakan orang memperoleh identitas etnis
mereka dari sebuah kelompok regional, misalnya Kurdi, sebuah kelompok etnis
yang besar di Timur Laut Irak dengan komunitas di Turki, Iran, Syria. Pada
contoh di atas, perasaan mereka pada etnisitas melebihi batas Negara dan
didasari pada praktek dan kepercayaan budaya umum. (Samovar, 2007:
113-114).
Selama beberapa tahun belakang ini di AS, imigran biasanya sering
membuat kelompok sesuai dengan daerah tertentu, untuk membentuk komunitas
etnis. Biasanya sense orang-oarng tersebut pada kelompok etnisnya tetap kuat
seperti praktik budaya tradisional dan kepercayaan yang masih diikuti dan kekal
(dijalankan terus menerus). Tetapi seiring waktu, anggota dari generasi muda
mengalami keragaman etnis yang lebih besar dan sering menikah dengan
anggota dari kelompok etnis lain.
Hal ini, menimbulkan kecenderungan untuk menipiskan perasaan
mereka pada identitas etnis dan hari ini, hal tersebut menjadi biasa ketika
mendengar orang Amerika menjelaskan etnisitas mereka dengan sejumlah
historis yang panjang mengenai etnik keluarga yang telah bergabung dari etnis
lain, bahkan sering secara sederhana mengakui diri mereka hanya sebagai orang
kelompok budaya dominan Amerika, yang semula meninggalkan tradisi religius
Kristen-Judeo yang berasal dari Eropa Barat, yang garis silsilah secara historis
diberi ciri oleh pencampuran yang luas melalui pernikahan antar etnis selama
bertahun-tahun.Martin dan Nakayama menulis banyak praktik budaya yang
diasosiasikan dengan warna kulit putih melebihi kesadaran partisipan, tapi tidak
dapat dilihat oleh anggota kelompok budaya minoritas. Oleh karena itu, putih
sering diasosiasikan dengan posisi keistimewaan (Samovar dkk, 2007: 114).
Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif
(struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Jika pendekatan objektif
melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari
kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa,
agama, atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif
merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami
atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan
diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiaanya pada
keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti
(Mulyana & Jalaludin, 2005: 152).
Jadi penelitian ini menggunakan pendektan kedua yaitu pendekatan
subjektif yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua
menganggap etnisitas bersifat dinamik. Pendekatan ini mengkritik pendekatan
positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang
dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang
individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan
kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka, pendekatan fenomenologis memandang
manusia jauh dari pasif (Mulyana & Jalaludin, 2005: 155).
Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri
sosio-kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnik antara yang satu dengan
lainnya. Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa
ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok
dalam dan kelompok luar, memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis
mengkategorisasikan diri mereka dan orang-orang lain untuk tujuan interaksi
(Mulyana & Jalaludin, 2005: 156).
Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpretif dalam
menilai identitas. Perspektif interpretif menekankan bahwa identitas bisa
dirundingkan, bisa dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi
dengan yang lain: identitas (identitas etnis) muncul ketika pesan saling
dipertukaran di antara orang-orang. Ini artinya bahwa menunjukkan identitas
kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat
kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal (pengakuan) dan
askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat
menimbulkan konflik (Martin & Thomas, 2007: 158).
Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu
memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana
orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang
berbeda digunakan tergantung individu yang terlibat dalam komunikasi. Artinya
bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul
adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang
yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Ininya,
perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis
diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols, label, dan norma. Core
Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan
konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara
anggota kelompok budaya.
Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma,
nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural. Terbentuknya suku bangsa
besandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah
berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang
mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek
moyang mitologis yang sama. Mitologis adalah Istilah Mitologi telah dipakai
sejak abad 15, dan berarti ilmu yang menjelaskan tentang mitos. Di masa
tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai
kehidupan Dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan. Menurut Barker
(2011: 27), Mitos tidak boleh disamakan dengan fabel, legenda, cerita rakyat,
dongeng, anekdot atau kisah fiksi. Mitos dan agama juga berbeda, namun
meliputi beberapa aspek. Etnisitas dibentuk oleh cara kita berbicara tentang
identitas kelompok dan mengidentifikasi diri dengan tanda dan simbol yang
membentuk etnisitas.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis berarti kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau
kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah
(keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta
adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Fredrik Barth (1988: 11) istilah etnik adalah suatu kelompok
tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi
dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis
adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
a. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan
b. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok
lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Etnisitas adalah konsep relasional yang berhubungan dengan kategori
identifikasi diri. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita tergantung pada apa
yang kita pikir bukan bagian dari kita. Seorang Serbia bukanlah seorang
Kroasia, Bosnia atau Albania. Walhasil, etnisitas lebih baik dipahami sebagai
suatu proses pembentukan sekat yang dikonstruksi dan dipelihara pada kondisi
sosio-historis tertentu. Tentu saja, menyatakan bahwa etnisistas bukan soal
perbedaan kultutral yang telah ada sebelumnya, melainkan suatu proses
itu tidak dapat dikonstruksi secara social di sekitar penanda yang memang
mengandung makna universalitas, teritori dan kemurnian, misalnya metafora
darah, kekerabatan dan tanah air (Barker, 2011: 205).
Namun, konsep etnisitas bukan tidak menemui masalah dalam
pemakaiannya dan ia tetap merupakan istilah yang diperdebatkan. Sebagai
contoh, orang kulit putih Anglo-Saxon sering kali menggunakan konsep etnisitas
untuk menunjuk kepada orang lain, biasa dengan pigemntasi kulit yang berbeda,
sehingga keturunan Asia, Afrika, Hispanik dan warga Amerika keturunan
Afrika adalah suku bangsa tetapi warga Inggris atau Amerika Anglo-Saxon atau
warga Australia tidak. Disini warna kulit dilihat sebagai sesuatu yang
ditakdirkan universal, sementara orang lain dipandang terbentuk secara etnis.
Sebagaimana dikatakan Dyer (dalam Barker, 2011: 206), mengkaji warna kulit
putih adalah soal menjadikan kulit putih sebagai sesuatu yang aneh ketimbang
sesuatu yang mengancam, ini dipandang sebagai kriteria keumuman manusia
yang diterima apa adanya. Namun, seperti dia katakan, pengakuan bahwa warna
kulit putih adalah suatu temuan historis tidak berarti bahwa dia akan punah
begitu saja (Barker, 2011: 206).
Etnis India
Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke
kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah. Di Bali, misalnya, berbagai sisa
keramik sejak abad pertama Masehi telah ditemukan. Malah nama Indonesia
sendiri berasal dari bahasa latin Indus India dan bahasa Yunani nêsos pulau
yang secara harafiah berarti Kepulauan India (Wirjosuparto, 1957: 5).
Sejak abad ke-4 dan ke-5, pengaruh budaya India menjadi semakin
jelas. Bahasa Sansekerta digunakan dalam berbagai prasasti. Namun sejak abad
ke-7, huruf India semakin sering dipergunakan untuk menulis bahasa-bahasa
setempat yang kini sudah mengandung banyak kata pinjaman bukan saja dari
bahasa Sansekerta, tetapi juga dari berbagai bahasa Prakerta dan bahasa-bahasa
Dravida.
Selain itu, masyarakat pribumi Indonesia pun mulai memeluk
Wisnuisme dan Tantrisme. Menurut Sutjipto (Wirjosuparto, 1957: 23) ,
penduduk India dibagi kedalam 6 kategori, yaitu (1) Negrito, sudah tidak ada di
India tapi dapat ditemukan keturunannya di kepulauan Andaman; (2)
Proto-Australoid, tersebar di seluruh India dan kebanyakan berkasta rendah
diantaranya orang beragama hindu; (3) Mongoloid, (a) Palaeo-Mongoloid,
tinggal di bukit-bukit Assram dan dekat perbatasan Burma, (b)
Tiberto-Mongoloid, memiliki sifat mongoloid tinggal di Sikkim, Bhutan dan daerah
perbatasan India; (4) Mediterranean, (a) Palaeo-Mediterranean, memiliki
ciri-ciri tinggi sedang, berkulit hitam dan memiliki tubuh yang sedang seperti orang
Tamil, Kannada dan Malaya, (b) Mediterranean atau Eropa memiliki tubuh
yang lebih besar dan lebih putih kulitnya tinggal di daerah Punjab dan lembah
sungai Gangga bagian utara, (c) Mediterranean yang memiliki sifat ketimuran
memiliki hidung panjang dan kulit putih dapat ditemui di Punjab, Sindh,
Rajasthan dan Uttar Pradesh bagian barat; (5) Brachycephal memiliki kepala
bundar banyak ditemukan di seluruh India; (6) Nordic, berbahasa arya dan
merupakan orang-orang yang meletakan dasar kebudayaan hindu di India,
memiliki ciri-ciri tinggi, kulitnya putih, rambutnya kemerah-merahan dan
bermata biru.
Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama
menetap di Indonesia. Kelompok suku masyarakat Tamil dari India Selatan
banyak terdapat di daerah Sumatera Utara (Medan, Pematang Siantar, dan
lain-lain). Banyak dari mereka yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris
untuk bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka di daerah tersebut.
Marimutu Sinivasan adalah seorang pengusaha India-Indonesia yang berasal
dari suku Tamil, yang dilahirkan di Sumatera Utara.
Di Jakarta, masyarakat Tamil-Indonesia mempunyai organisasi yang
bernama Indonesia Tamil Tamram yang bergerak dalam pelestarian bahasa dan
budaya Tamil, membangun saling pengertian antara orang India dan Indonesia,
dan memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak Tamil di Indonesia untuk
belajar bahasa ibu mereka. Untuk maksud tersebut, organisasi ini mengadakan
menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait, seperti debat, drama, tarian, dan
musik, mendatangkan artis-artis terkenal dari India dalam bidang tari, musik,
drama, dll.
Kelompok suku masyarakat Punjabi dari India Utara banyak terdapat
di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan
pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang. Banyak dari mereka yang
beragama Sikh. Beberapa tokoh terkemuka dari masyarakat ini misalnya adalah
Raam Punjabi, raja sinetron Indonesia dan istrinya, Rakhee Punjabi, H.S.
Dillon, pakar ekonomi pertanian. Kehidupan masyarakat Indonesia keturunan
India dikemas dengan begitu unik dalam serial televisi Raj's Family di salah satu
stasiun televisi swasta.
Selain itu, di Indonesia ada pula kelompok suku masyarakat Sindhi
yang juga banyak berperan dalam dunia perdagangan di Indonesia. Mereka
umumnya bergerak di bidang industri garmen dan tekstil, makanan dan
pertanian, perfilman, intan permata dan batu-batu mulia. Masyarakat Sindhi di
Indonesia mempunyai organisasi sosial yang bernama Gandhi Seva Loka yang
banyak memberikan bantuan kepada komunitas mereka sendiri, serta
menyelenggarakan proram orang tua asuh secara teratur. Organisasi ini juga
menolong kaum fakir-miskin di kalangan masyarakat yang lebih luas,
khususnya ketika ekonomi negara dilanda krisis yang berkepanjangan.
2. Kelas Sosial
Kelas sosial dapat didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan)
orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status
sosial (Horton, 1999: 5). Para anggota suatu kelas sosial saling memandang satu
sama lainnya sebagai anggota masyarakat yang setara, serta menilai diri mereka
secara sosial lebih hebat dari beberapa orang lain dan lebih rendah dari beberapa
orang lainnya (Horton, 1999: 6).
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke
kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para anggota kelas lainnya
mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kategori kelas sosial
biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari status yang rendah sampai
yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas sosial tertentu merasa para
anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang lebih tinggi maupun lebih
rendah dari pada mereka.
Pendekatan yang sistematis untuk mengukur kelas sosial tercakup
dalam berbagai kategori yang luas berikut ini: ukuran subjektif, ukuran reputasi,
dan ukuran objektif dari kelas sosial. Peneliti konsumen telah menemukan bukti
bahwa di setiap kelas sosial, ada faktor-faktor gaya hidup tertentu (kepercayaan,
sikap, kegiatan, dan perilaku bersama) yang cenderung membedakan anggota
setiap kelas dari anggota kelas sosial lainnya.
Para individu dapat berpindah ke atas maupun ke bawah dalam
kedudukan kelas sosial dari kedudukan kelas yang disandang oleh orang tua
mereka. Yang paling umum dipikirkan oleh orang-orang adalah gerakan naik
karena tersedianya pendidikan bebas dan berbagai peluang untuk
mengembangkan dan memajukan diri.
Dengan mengenal bahwa para individu sering menginginkan gaya
hidup dan barang-barang yang dinikmati para anggota kelas sosial yang lebih
tinggi maka para pemasar sering memasukkan simbol-simbol keanggotaan kelas
yang lebih tinggi, baik sebagai produk maupun sebagai hiasan dalam iklan yang
ditargetkan pada audiens kelas sosial yang lebih rendah.
Uang diperlukan pada kedudukan kelas sosial atas. Namun demikian,
kesusukan kelas sosial seseorang tidak secara langsung sebanding dengan
penghasilannya. Untuk dapat memahami peran uang dalam menentukan kelas
sosial, kita harus menyadari bahwa pada dasarnya kelas sosial merupakan suatu
cara hidup (Horton, 1999: 8).
Sebagaimana yang ditunjukan oleh kutipan terdahulu, setiap kelas
sosial merupakan suatu subkultur yang mencakup sistem perilaku, seperangkat
nilai, dan cara hidup. Subkultur ini berperan dalam membantu orang untuk
mempersiapkan anak-anak untuk menerima status kelas sosial orang tua mereka.
Meskipun dalam beberapa hal terdapat persamaan dan pengecualian, namun
sudah merupakan kenyataan bahwa sosialisasi rata-rata anak kelas sosial
menengah berbeda dengan sosialisasi rata-rata anak kelas sosial rendah (Horton,
1999: 17).
Ada dua macam kelas yang ditemukan Marx ketika menganalisis
kapitalisme, yaitu borjuis dan proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus
untuk para kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi
dan mempekerjakan pekerja upahan. Konflik antara kelas borjuis dan kelas
proletar adalah contoh lain dari kontradiksi material yang sebenarnya.
Kontradiksi ini berkembang sampai menjadi kontradiksi antara kerja dan
kapitalisme. Tidak satupun dari kontradiksi-kontradiksi ini yang bisa
diselesaikan kecuali dengan mengubah struktur kapitalis. Bahkan sampai
perubahan tersebut tercapai, kontradiksi makin memburuk. Masyarakat akan
semakin berisi pertentangan dua kelas besar yang berlawanan. Kompetisi
dengan tokoh-tokoh besar dan rantai monopoli akan mematikan bisnis-bisnis
kecil dan independen, mekanisasi akan menggantikan buruh tangan yang
cekatan, dan bahkan beberapa kapitalis akan ditekan melalui cara-cara ampuh
untuk memonopoli, misalnya dengan melakukan merger. Semua orang yang
akan digantikan ini akan terpaksa turun kelas menjadi proletariat. Marx
menyebut pembengkakan yang tak terelakkan di dalam jumlah proletariat ini
dengan proletarianisasi (Ritzer, 2004: 66).
3. Pernikahan
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis
kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik
menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama atau secara
logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang
rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Hal ini dapat terwujud jika ada suatu
a. Menurut Agama Islam.
Berdasarkan Al Quran surat An Nisa’ ayat 1, yaitu “Hai sekalian
manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan menjadikan istri daripadanya, dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakan pria dan wanita”(Anwar Abu Bakar, 2007: 148).
b. Menurut Agama Kristen.
Pernikahan adalah persekutuan hidup dari dua orang yang bersedia
tolong-menolong (saling melayani) secara timbal balik. Tuhan Allah
mengenali laki-laki dan melengkapi dengan memberikan seorang
penolong sebagai pasangannya. Selaku penolong perempuan akan
menyelamatkan laki-laki dari kesepian dan kesunyian. Keduanya tidak
lebih rendah atau lebih tinggi.
c. Menurut Agama Katholik.
Pernikahan adalah perkawinan yang menerima sakramen pernikahan
dari Gereja.
d. Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Menurut Syamsul Rijal Hamid, Pernikahan adalah menciptakan
ikatan lahir dan batin seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan
syarat dan rukun yang telah ditetapkan (1997: 240). Beberapa definisi
mengenai pernikahan, kita dapat membandingkan definisi dari sudut
agama baik agama Islam, Kristen atau Katholik, dari sudut
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan dari
pendapat pakar, sehingga kita dapat mengerti definisi pernikahan secara
menyeluruh dari berbagai aspek.
Soerojo Wignyodipuro (1987: 122) menyatakan bahwa pernikahan
adalah peristiwa sebagai rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk
(1994: 32) menyatakan bahwa nikah adalah aqad yang mengandung arti
halalnya hubungan antara pria dan wanita dan berkewajiban tolong-menolong,
serta menentukan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami-isteri.
Sedangkan Goodenough (dalam William A. Havilland, 1993: 77)
menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan
resmi antara seseorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka
yang tetap untuk berhubungan seksual satu sama lain dan yang menegaskan
bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahiran anak.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pernikahan adalah hubungan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan
untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan, serta menimbulkan
hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami isteri.
4. Tradisi
Dalam Ensiklopedi Islam (1999: 21) disebutkan bahwa adat adalah
kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara
turun temurun. Kata adat disini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang
mempunyai sanksi, seperti hukum adat, dan mana yang tidak mempunyai
sanksi, seperti adat. Adapun yang dikehendaki dengan kata adat disini adalah
adat yang tidak mempunyai sanksi yang disebut dengan adat saja.
Tradisi yang dalam arti sempit merupakan kumpulan benda-benda
material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu juga
mengalami perubahan. Tradisi lahir di saat terhenti ketika orang menetapkan
bagian-bagian cerita tertentu dari masa lalu sebagai tradisi. Tradisi bertahan
dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap jika benda material dibuang
atau gagasan dilupakan. Tradisi mungkin akan muncul kembali setelah lama
terpendam akibatnya terjadi perubahan dan pergeseran sikap aktif terhadap masa
lalu. Jika telah terbentuk, tradisi mengalami perubahan. Perubahan
masyarakat dapat diikutsertakan pada tradisi tertentu yang kemudian akan
mempengaruhi masyarakan secara keseluruhan.
Piotr Sztompka (2007: 71-72) menjelaskan bahwa proses munculnya
tradisi melalui dua cara. Pertama, kemunculan secara spontan dan tak
diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena suatu alasan, individu
tertentu menemukan warisan historis yang menarik perhatian, ketakziman,
kecintaan, dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cara.
Sehingga kemunculannya itu mempengaruhi rakyat banyak. Dari sikap takzim
dan mengagumi itu berubah menjadi perilaku dalam berbagai bentuk seperti
ritual, upacara adat dan sebagainya. Semua sikap itu akan membentuk rasa
kekaguman serta tindakan individual menjadi milik bersama dan akan menjadi
fakta sosial yang sesungguhnya dan nantinya akan diagungkan. Kedua, melalui
mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan
perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau yang
berkuasa.
Tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin,
kebiasaan, praktek dan lain-lain yang diwariskan turun temurun termasuk cara
penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut. Badudu Zain (Dalam
Anisatum Muti’ah, 2009: 15) juga mengatakan bahwa tradisi merupakan adat
kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus menerus dilakukan di
B. Landasan Teori
1. Paradigma
Dalam penelitian kali ini akan menggunakan pendekatan sosiologi.
Beberapa ahli memberikan definisi-definisi tentang sosiologi, yaitu sebagai
berikut :
a. Roucek dan Warren (dalam Soekanto, 1990: 5) mengatakan bahwa
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia
dengan kelompok-kelompok.
b. Pitirim A. Sorokin (dalam Soekanto, 1990: 5) mengatakan bahwa
sosiologi adalah suatu ilmu yang memepelajari :
(1). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam
gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala-gejala ekonomi dengan agama,
keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat
dengan politik, dan sebagainya)
(2). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan
gejala non sosial, misalnya, gejala geografis, biologis, dan
sebagainya.
(3). Ciri-ciri umum dari semua jenis gejala-gejala sosial.
c. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (dalam Soekanto, 1990: 5)
mengemukakan bahwa Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial.
Sedangkan pengertian sosiologi menurut Kamus Sosiologi
(Abercrombie, 2010: 535) yaitu sosiologi terdiri dari dua kata, yakni socius
(bahasa latin) yang berarti teman dan logos (bahasa yunani) yang berarti ilmu
tentang. Secara harfiah sosiologi berarti ilmu tentang pertemanan. Dalam sudut
pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai studi tentang dasar-dasar
keanggotaan sosial.
Menurut Harry M. Johnson (dalam Soekanto, 1990: 15), Sosiologi
sebagai ilmu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Bersifat empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang
2. Bersifat teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil
observasi yang konkret di lapangan, dan abstrak tersebut merupakan
kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan
menjalankan hubungan sebab akibat.
3. Bersifat kumulatif, artinya teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan
teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus.
4. Bersifat nonetis, artinya yang dipersoalkan dalam sosiologi bukanlah
baik buruknya usatu fakta, akan tetapi menjelaskan fakta tersebut secara
analitis.
Menurut Ritzer (2009: 3), di dalam sosiologi ada tiga paradigma
utama, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma
perilaku sosial. Pertama paradigma fakta sosial, paradigma yang dipelopori oleh
Emile Durkheim ini menekankan pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial.
Fakta sosial adalah sesuatu (thing) yang berada diluar individu dan berbeda dari
ide-ide tetapi bisa mempengaruhi individu didalam bertingkah laku. Secara garis
besar, fakta sosial kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, sistem sosial,
keluarga, pemerintah, institusi politik, kebiasaan, hukum, undang-undang,
nilai-nilai dan sebagainya. Teori yang berada dalam naungan paradigma fakta sosial
adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
Selanjutnya yang kedua adalah paradigma perilaku sosial yang
menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit dan realistis ialah
perilaku manuisa yang tampak dan kemungkinan perulangannya. Paradigma ini
memusatkan perhatian pada hubungan antar pribadi dan hubungan pribadi
dengan lingkungan. Menurut penganut paradigma ini tingkah laku seorang
individu memiliki hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi dia dalam
bertingkah laku. Jadi ada hubungan antara perubahan tingkah laku individu
dengan perubahan lingkungan sosial yang dialami individu. Teori yang searah
dengan paradigma ini adalah teori pertukaran.
Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan
dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model
Parsons. Karya Weber (dalam Soekanto, 1990: 37) membantu mengarahkan
perhatian sosiologi sebagai studi atau ilmu yang berusaha menafsirkan dan
memahami (interpretative understanding) tentang tindakan sosial. Bagi Weber
perbuatan manusia baru menjadi tindakan sosial sepanjang tindakan itu
mempunyai arti bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya
tindakan yang diarahkan kepada benda mati bukanlah sebagai suatu tindakan
sosial, kecuali tindakan yang diarahkan kepada benda mati dilakukan untuk
memancing reaksi dari orang lain. Jadi pokok persoalan yang perlu diselidiki
oleh sosiologi ini adalah tindakan sosial, yakni tindakan yang penuh arti dari
seorang individu.
Perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa aktor
dalam paradigma definisi sosial bersifat dinamis dan kreatif, karena mereka
memberikan interpretasi sebelum mereka memberikan reaksi atas tindakan
sosial. Sedangkan pada paradigma perilaku sosial, aktor kurang kurang sekali
memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya lebih ditentukan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya seperti norma, nilai-nilai, atau struktur
sosial. Pada penelitian ini akan menggunakan paradigma definisi sosial dengan
teori tindakan sosial yang dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
2. Teori yang digunakan
Talcott Parsons dilahirkan di Colorado Springs pada tahun 1902. Pada
1920 Ia masuk ke Amherst College. Setelah itu, ia melanjutkan studi
pascasarjana di London School of Economics tahun 1924. Pada tahun 1925,
Parsons pindah ke Heidelberg, Jerman. Pada tahun 1927, ia menjadi instruktur
dalam ekonomi di Amherst College. Sejak tahun 1927 hingga wafat pada tahun
1979 ia berprofesi sebagai pengajar di Harvard, Amerika Serikat. Pada 1937, ia
mempublikasikan sebuah buku yang menjadi dasar bagi teori-teorinya, yaitu
buku “The Structure of Social Action” (Ritzer, 2004: 254).
Pada akhir 1960-an, Parsons mendapat serangan oleh sayap radikal
sosiologi Amerika karena ia dipandang konservatif dalam sikap politiknya
skema kategorisasi panjang-lebar. Pada tahun 1980-an, teori-teorinya diminati
diseluruh dunia. Menurut Holton dan Turner (dalam Ritzer, 2004: 254)
karya-karya parsons memberikan kontribusi lebih besar bagi teori sosiologi, daripada
Marx, Weber maupun Durkheim. Selain itu, ide-ide pemikiran Parsons maupun
teori-teorinya, tidak hanya mempengaruhi para pemikir konservatif namun juga
teoretisi Neo-Marxian. Berdasarkan semua hasil karyanya, Talcott Parsons
adalah tokoh fungsionalis struktural modern terbesar hingga saat ini.
Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan skema AGIL-nya yang
terkenal. Parsons meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu
tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem
tindakan hanya akan bertahan jika memenuhi empat kriteria ini. Berikut adalah
penjelasan dari empat kriteria tersebut (Ritzer, 2004: 257) :
1. Adaptation (Adaptasi)
Sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar.
Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan
dengan kebutuhan-kebutuhannya.
2. Goal Attainment (Pencapaian Tujuan)
Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.
3. Integration (Integrasi)
Sistem harus mengatur hubungan bagoan-bagian yang menjadi
komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperative
fungsional tersebut (adaptasi, pencapaian tujuan, pemeliharaan pola)
4. Latency (Pemeliharaan Pola)
Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaharui motivasi
individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan
motivasi tersebut.
Parsons mendesain skema Adaptation, Goal Attainment, Integration,
Latency (AGIL) agar dapat digunakan pada semua level sistem teoritisnya.
Organisme behavioral adalah system tindakan yang menangani fungsi adaptasi