• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Gagasan Immanuel Kant dan J

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbandingan Gagasan Immanuel Kant dan J"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Perbandingan Gagasan Immanuel Kant dan Jacques Derrida atas Konsep Hak Kosmopolitan atas Keramahan (Cosmopolitan Right of Hospitality)

Rizky Alif Alvian

Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk membandingkan gagasan Immanuel Kant dan Jacques Derrida mengenai hak kosmopolitan atas keramahan (cosmopolitan right of hospitality). Perbandingan ini dilatari oleh menguatnya isu penerimaan imigran, pengungsi, dan pencari suaka di dalam diskursus hubungan internasional. Perbandingan atas keduanya menunjukkan bahwa Kant dan Derrida menginterpretasi hak tersebut secara berbeda. Sementara Kant mengadvokasi hak manusia untuk saling mengunjungi, Derrida mendorong terciptanya hak manusia untuk diterima. Perbedaan ini berpengaruh terhadap struktur kosmopolitanisme yang didorong oleh keduanya.

Kata Kunci: Immanuel Kant, Jacques Derrida, Hak Kosmopolitan atas Keramahan, Kosmopolitanisme.

A. Pengantar

(2)

Immanuel Kant sudah sejak jauh-jauh hari mengantisipasi permasalahan ini. Kant berpendapat bahwa tiap manusia memiliki hak untuk mengunjungi belahan bumi manapun yang ia kehendaki walau dengan sejumlah syarat. Hak orang asing untuk berkunjung ini disebut sebagai hak kosmopolitan atas keramahan (cosmopolitan right of hospitality)—selanjutnya akan disebut ‘hak kosmopolitan’ atau ‘hak atas keramahan’. Meskipun mencakup hak untuk berkunjung, hak kosmopolitan ini tidak mencakup hak untuk diperlakukan seperti tamu. Orang asing tidak dengan serta merta berhak atas pelayanan, sumber daya, dan perlindungan dari penerimanya. Pikiran Kant ini dapat dipahami mengingat Kant tidak merancang hak kosmopolitan sebagai instrumen melindungi orang lain, melainkan sebagai alat untuk membentuk federasi dunia. Dengan saling mengunjungi, Kant berharap manusia bisa saling memahami satu sama lain dan akhirnya membuat mereka ingin menyatukan diri.

Gagasan Kant di atas memperoleh kritik dari filsuf Perancis, Jacques Derrida. Bagi Derrida, hak kosmopolitan tidak bersifat instrumental. Sebaliknya, hak kosmopolitan itu semestinya menjadi fokus utama dari kosmopolitanisme dan bukan menjadi alat untuk mencapai tujuan yang tiba sesudah hak itu dipraktekkan. Konsekuensinya, bagi Derrida, hukum internasional seharusnya berisi aturan yang memastikan agar hak kosmopolitanisme ini dipraktekkan. Esai ini bertujuan menjelaskan kritik Derrida terhadap konsep hak kosmopolitan tersebut. Untuk menjelaskan hal itu, esai ini akan dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, esai ini akan menjelaskan konsep hak kosmopolitan menurut Kant. Kedua, esai ini akan memaparkan gagasan Derrida tentang hak kosmopolitan, termasuk kritiknya terhadap Kant. Terakhir, esai ini ditutup dengan kesimpulan.

B. Hak Kosmopolitan Kantian

Konsep hak kosmopolitan Kantian harus didudukkan di dalam gagasan Kant tentang kosmopolitanisme; dan gagasan Kant tentang kosmopolitanisme tersebut harus diletakkan di dalam gagasannya tentang etika. Oleh karena itu, bagian ini pertama-tama akan mengulas pandangan Kant tentang etika lebih dahulu sebelum masuk ke dalam topik kosmopolitanisme dan hak kosmopolitan.

Etika Kant bersifat deontologis. Artinya, bagi Kant, sesuatu harus dilakukan karena tindakan itu benar terlepas dari apapun konsekuensinya.1 Gagasan Kant ini berbeda dengan, 1Thomas Donaldson, ‘Kant’s Global Rationalism’, Terry Nardin dan David Mapel (eds.), Traditions of International

(3)

misalnya, etika Aristotelian yang mengasosiasikan apa yang baik atau benar dengan apa yang memberi kebahagiaan terbesar. Franz-Magnis Suseno memberi contoh sebagai berikut: Seseorang ditangkap polisi dan dipaksa membuat fitnah bahwa orang lain telah melakukan tindakan kriminal. Apabila orang tersebut menolak membuat fitnah, maka ia akan dihukum mati. Dalam etika Aristotelian, membuat fitnah akan menjadi pilihan yang tepat karena dengan cara itu ia akan memperoleh kebahagiaan terbesar—dibandingkan dengan tetap diam dan dihukum mati. Dalam etika Kantian, orang tersebut harus memilih dihukum mati. Pasalnya, membuat fitnah, adalah sesuatu yang buruk pada-dirinya.2 Pertanyaannya kemudian adalah: darimana manusia

memperoleh standar baik dan buruk itu? Kant berpandangan bahwa etika sejak semula sudah tertanam di dalam diri manusia. Etika bersifat a priori atau mendahului pengalaman dan bisa ditemukan jika manusia berpikir rasional.3

Kant berpendapat bahwa pada awalnya manusia tidak menyadari keberadaan etika ini. Manusia adalah makhluk yang mengejar kepentingan dirinya masing-masing. Manusia bisa mengejar kepentingannya masing-masing karena tiap manusia pada dasarnya bebas. Akan tetapi, karena kepentingan tiap orang seringkali berkonflik satu sama lain, kebebasan untuk mencapai tujuan pribadi membuat kebebasan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri menjadi terganggu. Di titik ini, manusia menyadari bahwa kebebasan yang tak diatur bisa memberi dampak buruk. Oleh karena itu, manusia membentuk aturan untuk membatasi kebebasan masing-masing individu sehingga kebebasan satu orang tidak akan mengganggu kebebasan orang lain. Dengan kata lain, kebebasan tak terbatas seseorang dibatasi dengan hukum agar seluruh kebebasan individu-individu di dalam masyarakat bisa harmonis. Artinya, walaupun kebebasan seseorang dikurangi, kebebasan itu sebenarnya adalah kebebasan maksimal yang memungkinkan harmoni. Andai kebebasan ditingkatkan lagi, maka ‘state of war’-lah yang akan muncul dan bukannya harmoni.4

Kant menerapkan logika di atas dalam masalah politik internasional. Menurut Kant, pada prinsipnya tak ada perbedaan besar antara logika individu di dalam masyarakat dengan logika negara di dalam dunia internasional. Semula, kondisi dunia internasional diwarnai dengan

2 Franz Magnis-Suseno, ‘Moralitas dan Otonomi: Immanuel Kant’, kuliah disampaikan dalam Filsafat Etika dari

Yunani Klasik hingga Jawa, Teater Salihara, 9 Februari 2013.

3 Donaldson, hlm. 136; lihat juga Immanuel Kant, ‘An Answer to the Question: What is Enlightenment?’, Toward

Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006).

4 Immanuel Kant, ‘Idea for Universal History from a Cosmopolitan Perspective’, Toward Perpetual Peace and

(4)

pertentangan kepentingan yang akhirnya memicu perang. State of nature, menurut Kant, adalah

state of war. Namun, seiring dengan waktu, negara-negara menyadari bahwa berperang adalah tidak rasional. Sebaliknya, menciptakan perdamaian merupakan pilihan yang rasional. Oleh karena itu, negara-negara kemudian membentuk federasi global untuk menjamin eksistensi perdamaian tersebut. Federasi Kantian ini membatasi kebebasan negara anggotanya agar kebebasan tiap negara selaras dengan kebebasan negara lain sehingga perang tak terjadi. Federasi menetapkan aturan di tingkat global yang mengatur bagaimana negara-negara berinteraksi. Federasi inilah yang, menurut Kant, menandai terbentuknya dunia kosmopolitan.5

Berdasar uraian di atas, Kant berusaha menunjukkan bahwa manusia—baik di level masyarakat ataupun dunia internasional—bergerak dari kondisi perang dan konflik menuju kondisi perdamaian. Manusia bergerak dari keadaan dimana kebebasan tak diatur oleh hukum menuju keadaan dimana kebebasan diatur oleh hukum. Di antara kedua fase ini, ada fase dimana manusia memperoleh kesadaran bahwa perang itu tidak baik, melakukan deliberasi, dan akhirnya membentuk hukum untuk mencegah perang. Fase ini krusial karena, menurut Kant, manusia pada dasarnya selalu berusaha menerapkan gagasan-gagasan yang sudah lebih dahulu ia miliki.6

Ranah material adalah manifestasi dari ranah ideal. Federasi dunia pun sebenarnya merupakan penerapan dari gagasan umat manusia tentang federasi dunia. Konsep hak kosmopolitan diciptakan Kant untuk membantu manusia menemukan gagasan federasi dunia ini. Hak kosmopolitan memediasi fase state of nature dengan fase kosmopolitan. Hak kosmopolitan membuat manusia bisa saling mengunjungi, berkomunikasi dan akhirnya menciptakan kehendak bersama (common will) untuk mengatasi segala perang dengan cara menciptakan federasi dunia. Lewat proses inilah manusia akan ‘continually progressing toward perpetual peace’.7

Hak kosmopolitan disebut juga sebagai hak atas keramahan (hospitality) atau hak berkunjung (visitation). Hak ini diatur dalam artikel ketiga dari ‘Perpetual Peace’ yang berbunyi: The Law of World Citizenship Shall be Limited to Conditions of Universal Hospitality’. Tiap orang memiliki hak ini karena, menurut Kant, seluruh manusia memiliki hak asali atas permukaan (surface) bumi sebelum permukaan bumi dikotak-kotakkan dalam

batas-5 Immanuel Kant, ‘Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch’, Toward Perpetual Peace and Other Writings,

(London: Yale University Press, 2006), hlm. 78-82.

6 Immanuel Kant, ‘Metaphysics of Moral’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University

Press, 2006), hlm. 135.

7 Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 85; lihat juga Gideon Baker, Politicising Ethics in International Relations

(5)

batas negara. Namun, di lain sisi, Kant juga mengakui hak suatu bangsa atas wilayah negara mereka. Hak kosmopolitan berada dalam tegangan antara hak asali umat manusia atas permukaan bumi dan hak suatu bangsa atas wilayah mereka. Oleh karena itu, hak kosmopolitan Kantian memiliki dimensi ganda. Di satu sisi, hak kosmopolitan memberikan hak bagi setiap individu di bumi untuk mengunjungi negara-negara lain. Keselamatan individu ini tidak boleh diancam oleh negara penerima apabila individu itu datang dengan damai. Di lain sisi, hak kosmopolitan hanya mencakup hak untuk berkunjung, berkomunikasi, membuka kontak dan menunjukkan diri (present) di hadapan negara dan masyarakat yang dikunjungi. Orang asing yang berkunjung tidak secara otomatis berhak atas sumber daya dari negara penerima. Pelayanan yang baik dari negara penerima harus diatur dalam perjanjian terpisah. Negara penerima juga berhak untuk menolak menerima orang asing jika penolakan itu tidak akan berdampak buruk bagi keselamatan sang pengunjung.8

Dengan demikian, hak kosmopolitan Kantian ini sebenarnya memiliki cakupan yang sangat minimal. Seseorang hanya bisa diterima sejauh (1) ia tidak berbahaya bagi penerima dan (2) ia berada dalam keadaan yang sangat kritis sehingga menolak kunjungannya akan menimbulkan ancaman pada keselamatannya. Bila ia berbahaya, maka negara penerima berhak untuk menolak. Andaikata sang pengunjung tidak berbahaya sekalipun, negara penerima tetap berhak untuk menolak sejauh penolakan itu tidak akan berbahaya bagi sang pengunjung.

C. Kritik Derrida

Kritik Derrida terhadap Kant bisa dibaca dengan pertama-tama memahami karakter pemikiran Derrida, khususnya gagasannya tentang ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi—gagasan yang sentral dalam pemikiran Derrida—merupakan strategi membaca teks yang setidaknya mempunyai dua ciri. Pertama, dekonstruksi berusaha menunjukkan bahwa sebuah teks selalu bersifat multitafsir. Teks tidak pernah memiliki makna yang ‘tetap’, ‘benar’, ‘stabil’ atau ‘seharusnya’ karena hubungan antara teks (sebagai petanda/signifier) dan makna (sebagai tinanda/signified) selalu bersifat arbitrer. Derrida berusaha menantang pandangan mapan yang mengandaikan bahwa selalu ada tafsiran yang benar dan salah dalam memahami sebuah teks. Menurutnya, selama ini, sebuah tafsiran hanya nampak benar karena makna-makna alternatif dari sebuah teks direpresi,

8 Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 82, ‘Metaphysics of Moral’, hlm. 146; karena sifat ganda ini, Kleingeld

(6)

dikesampingkan atau dianggap tidak ada.9Kedua, dekonstruksi juga berusaha menantang tradisi

metafisika Barat yang, seperti kritik Martin Heidegger, mengutamakan apa yang hadir di atas apa yang memungkinkan kehadiran. Oleh karena itu, metafisika selalu mengasumsikan oposisi biner (antara hadir lawan tidak hadir, murni lawan tidak murni, sederhana lawan kompleks, baik lawan buruk, mungkin lawan tidak mungkin) dan memberi keutamaan pada salah satu sisi sambil di saat yang sama merendahkan sisi yang lain. Metafisika ini, menurut Derrida, selalu tercantum secara implisit di dalam teks-teks filsafat Barat. Tujuan dekonstruksi adalah untuk merombak sistem metafisika ini dengan cara menunjukkan bahwa sesuatu sebenarnya tak bisa dikategorisasikan sebagai bagian dari salah satu oposisi. Pada akhirnya, ada banyak hal yang tak bisa diputuskan (undecidable) untuk dimasukkan ke dalam sisi oposisi manapun.

Mengapa dekonstruksi Derridean—yang sepintas tak punya hubungan dengan teori politik—harus lebih dahulu diulas? Selain untuk memahami akar gagasan Derrida, ulasan di atas juga diperlukan karena Derrida nyaris tak pernah membangun filsafatnya sendiri. Filsafat Derrida selalu merupakan hasil pembacaan dekonstruktif atas teks tertentu. Derrida mengklaim bahwa ia tak pernah punya filsafat sendiri karena ia sebenarnya hanya menunjukkan bahwa sebuah teks yang dikira bermakna tunggal dan stabil sesungguhnya bersifat multitafsir. Artinya, sejak semula, makna-makna alternatif itu sudah tersimpan di dalam teks yang didekonstruksi. Derrida hanya membuat makna alternatif itu menjadi lebih jelas. Hal yang sama pun terjadi dalam konteks hak kosmopolitan. Derrida, alih-alih menciptakan konsep yang baru tentang hak kosmopolitan, sebenarnya hanya membaca ulang teks-teks Kant—sambil mengaitkannya dengan teks-teks lain—dengan strategi dekonstruksi di atas.

Pembacaan Derrida terhadap naskah Kant sebagian besar terpusat pada esai ‘Perpetual Peace’, khususnya pada artikel ketiga yang berbunyi: ‘The Law of World Citizenship Shall be Limited to Conditions of Universal Hospitality. Dekonstruksi Derrida ini berusaha mempertanyakan ulang oposisi-oposisi biner yang tersimpan di dalam teks Kant. Derrida kemudian menunjukkan bahwa hak kosmopolitan/hak atas keramahan merupakan konsep yang penuh dengan paradoks.

Derrida memulai pembacaanya dengan menelaah artikel ketiga Perpetual Peace. Dalam artikel ketiga itu, Kant menulis bahwa hak atas keramahan (hospitality) adalah hak orang asing

9 Jacques Derrida, ‘Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences’, Writing and Difference,

(7)

untuk diperlakukan tidak dengan permusuhan (hostility). Kant menulis bahwa hak atas keramahan berarti ‘the right of a stranger not to be treated in a hostile manner’.10 Dalam hak

kosmopolitan, ‘the host may not treat him [stranger] with hostility’.11 Di titik ini, Derrida

mengidentifikasi oposisi biner di dalam teks Kant, yakni keramahan lawan permusuhan.12 Lebih

jauh, oposisi ini juga meliputi oposisi antara teman (friend) lawan musuh (enemy) karena di dalam Metahphysics of Moral, Kant menulis, ‘They [strangers] have a right to try to enter into it, without the foreigner being justified in confronting him as an enemy’.13

Setelah mengidenfitikasi oposisi biner tersebut, Derrida kemudian berusaha menelaah apa yang dimaksud dengan keramahan. Derrida berpendapat bahwa konsep ini setidaknya mensyaratkan dua elemen, yakni penerima/tuan rumah (the host) dan orang asing/pengunjung (the guest). Sang penerima merupakan pemilik dari teritori. Ia menjadi pihak yang menawarkan rumahnya untuk disinggahi orang asing atau setidaknya menjadi pihak yang menerima dan menyambut orang asing. Namun, di lain sisi, sang penerima tetap menjadi penguasa dan pengendali dari teritori itu. Sang penerima memiliki hukum, bahasa, tradisi, aturan dan norma yang memaksa tamunya untuk tunduk. Penundukan ini adalah keharusan. Pasalnya, jika sang penerima tak lagi memiliki kendali atas rumahnya, maka sang tamu bisa mengambil alih kekuasaan atas rumah dari tangan sang tuan rumah sehingga tak ada lagi yang bisa disebut sebagai tuan rumah—tuan rumah yang tak punya kendali atas rumahnya tentu tak lagi bisa disebut sebagai tuan atas rumahnya. Akibatnya, tak ada keramahan lagi yang bisa diberikan— karena keramahan selalu mensyaratkan keberadaan seorang tuan rumah yang memberikan rumahnya untuk disinggahi orang asing.14

Menurut Derrida, konsep keramahan ini mengandung paradoks. Walaupun hak atas keramahan menyatakan bahwa sang penerima harus memperlakukan orang asing bukan sebagai musuh, hak atas keramahan pada akhirnya selalu mensyaratkan sikap curiga, bermusuhan, dan keinginan untuk menguasai orang asing itu. Paradoksnya, hal itu dilakukan justru agar posisi tuan rumah tetap terlindungi sehingga hak atas keramahan itu bisa diterapkan. Oleh karena itu, konsep hak atas keramahan atau hak kosmopolitan sebenarnya bersifat ambigu. Hak ini berada di

10 Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 82. 11Ibid.

12 Jacques Derrida, ‘Hostipitality’, Angelaki: Journal of the Theoritical Humanities, 2000, 5: 3, hlm. 4. 13 Kant, ‘Metaphysics of Moral’, hlm. 146.

14 Derrida, ‘Hostipitality’, hlm. 4; Jacques Derrida, ‘Step of Hospitality’, Of Hospitality (California: Stanford

(8)

antara keramahan (hospitality) dan permusuhan (hostility) sehingga tak bisa secara total dikategorikan ke dalam keramahan murni atau permusuhan murni. Kondisi tak terputuskan ini (undecidability) membuat Derrida menciptakan istilah baru: hostipitality.

Paradoks ini bisa dipahami lebih baik jika konsep Derrida tentang orang asing sedikit diulas lebih dalam. Pasalnya, Derrida punya definisi yang cukup spesifik tentang apa dan siapa itu orang asing (stranger/foreigner). Bagi Kant, orang asing dalam kasus hak kosmopolitanisme adalah mereka yang berasal dari negara lain. Bagi Derrida, arti orang asing jauh lebih luas dari itu. Dengan menarik pengalaman Sokrates di pengadilan yang menghukum mati dirinya, Derrida berpendapat bahwa orang asing adalah mereka yang berbicara dalam bahasa, nilai atau moralitas yang berbeda.15 Artinya, bagi Derrida, definisi orang asing tidak selalu berkaitan dengan

kewarganegaraan (citizenship) walaupun pendefinisian orang asing berdasar kewarganegaraan tetaplah penting. Tak masalah apakah seseorang punya kewarganegaraan atau tidak, sejauh ia tidak familiar dengan tatanan sosial tempat ia berdiri, maka ia adalah orang asing. Konsep Derrida ini memberi ruang bagi manusia yang tak punya kewarganegaraan (stateless people) untuk memperoleh hak atas keramahan. Namun, pengertian orang asing ini menjadi lebih radikal ketika Derrida menyebut orang asing sebagai ‘liyan absolut’ (absolute other).16 Pengertian

Derrida terhadap liyan ini memiliki kedekatan dengan gagasan Emmanuel Levinas. Bagi Derrida maupun Levinas, tiap manusia secara absolut berbeda dengan manusia lainnya. Tiap manusia adalah unik dan tak bisa direduksi ke dalam bentuk pengetahuan apapun—kita bahkan tak bisa melabelinya dengan identitas apapun karena identitas itu akan selalu bersifat reduksionis. Konsekuensinya, tiap manusia sebenarnya bersifat asing bagi manusia lainnya—karena kita tak tahu apapun tentangnya. Tiap manusia adalah orang asing dan oleh karenanya menjadi subyek hak kosmopolitan; tak peduli siapa ia, darimana ia berasal, kewarganegaraan apa yang ia miliki, bahasa apa yang ia gunakan atau agama apa yang ia anut. Memaksa seseorang untuk menghapus keunikan khas dirinya dan menyesuaikan diri dengan tempat ia berdiri, bagi Derrida, adalah sebuah kekerasan (violence).17 Menurut Derrida dan sahabatnya, Emmanuel Levinas, kehendak

untuk mereduksi perbedaan menjadi kesamaan adalah akar dari segala kekerasan dan totalitarianisme di Eropa.

15 Jacques Derrida, ‘Foreigner Question’, Of Hospitality (California: Stanford University Press, 2000), hlm. 5-20. 16 Derrida, ‘Foreigner Question’ hlm. 25.

17 Jacques Derrida, ‘Violence and Metaphysics’, Writing and Difference, (London: Routledge, 2001), hlm. 102; lihat

(9)

Konsep di atas sangat berguna untuk memahami paradoks dari hak atas keramahan. Di satu sisi, seorang manusia adalah orang asing yang berhak atas hak atas keramahan. Sang tuan rumah tak bisa memilih siapa yang harus ia terima atau tidak karena ia tak bisa mengkategorisasikan orang asing di hadapannya. Orang asing itu memiliki keberbedaan dan keunikan absolut yang membuat usaha tematisasi terhadap dirinya selalu gagal. Di lain sisi, ketika sang orang asing telah diterima di dalam rumah sang penerima, sang orang asing akan hidup di dalam wilayah sang penerima. Tetapi, ketika sang orang asing menyesuaikan diri dengan budaya sang tuan rumah, maka di titik ini sang orang asing terpaksa menghilangkan keunikan khas dirinya. Perbedaan direduksi menjadi persamaan. Selain mencerminkan kekerasan, reduksi ini juga melukai jantung gagasan keramahan itu sendiri.18 Pasalnya,

keramahan selalu diberikan penerima kepada orang asing dengan segala kekhasannya. Maka, ketika kekhasan itu direduksi menjadi kesamaan, orang asing itu tak lagi bisa disebut orang asing dan implikasinya, tak ada keramahan yang bisa diberikan—karena keramahan mensyaratkan orang asing.

Pada bagian yang lebih awal, esai ini telah menunjukkan bahwa hak kosmopolitan mensyaratkan superioritas tuan rumah di atas tamunya karena hanya dengan cara demikianlah sang tuan rumah bisa tetap menjadi tuan rumah dan memberikan keramahan bagi tamunya. Namun, Derrida menunjukkan bahwa superioritas tuan rumah membuat keramahan yang murni tak bisa diberikan—karena di dalam keramahan selalu ada sikap bermusuhan. Sedangkan pada paragraf di atas, esai ini menunjukkan bahwa hak kosmopolitan mensyaratkan superioritas tamu di atas tuan rumah. Tamu harus tetap menjadi unik dan asing karena jika ia berhenti menjadi asing maka keramahan tak akan bisa diberikan sama sekali—karena keramahan selalu mensyaratkan ke-asing-an sang tamu. Lantas, dalam paradoks ini, apakah masih ada yang bisa dilakukan? Ataukah Derrida hanya berhenti di sini dan membiarkan gagasan hak keramahan menjadi gagasan abstrak yang tak mungkin diwujudkan?

Paradoks semacam ini sering ditemui dalam filsafat Derrida. Paradoks ini, di satu sisi, memberi kesan bahwa sebuah pilihan dan tindakan tak bisa dilakukan. Tetapi, di sisi lain, Derrida menekankan bahwa paradoks semacam ini harus tetap dilampaui. Setidaknya, apabila pelampauan itu tak bisa dilakukan, manusia harus berusaha untuk membawa paradoks ini ke titik terjauhnya.

(10)

Derrida tidak bisa melampaui paradoks hak kosmopolitan di atas. Akan tetapi, Derrida masih berusaha untuk membawa konsep hak kosmopolitan ini ke titik terjauhnya. Di satu sisi,

Derrida menyatakan bahwa keramahan, idealnya, merupakan altruisme tak bersyarat yang diberikan sang tuan rumah pada tamunya. Keramahan ideal ini bersifat absolut, murni dan bahkan melampaui hukum serta etika. Keramahan bukanlah etika. Sebaliknya, etikalah yang dideduksikan dari keramahan. Namun, seperti yang telah ditunjukkan esai ini, keramahan yang murni adalah konsep penuh paradoks yang sukar dibawa ke ranah praktek. Di samping itu, karena melampaui hukum dan etika, manusia idealnya mempraktekkan keramahan murni karena kehendaknya sendiri dan bukan karena tuntutan dari hukum atau etika. Dengan kata lain, manusia idealnya tergerak untuk melindungi orang asing karena ia merasa harus menolong dan bukan karena etika atau hukum menuntutnya untuk menolong. Tetapi, di sisi lain, Derrida mengakui betapa tak realistisnya keramahan murni. Oleh karena itu, Derrida berpendapat bahwa keramahan, mau tidak mau, tidak bisa murni. Pada akhirnya, akan selalu ada superioritas tuan rumah di atas tamu atau sebaliknya. Akan selalu ada kekerasan yang dipraktekkan tuan rumah pada tamu; dan akan selalu ada tamu yang menekan kekuasaan tuan rumah. Selain itu, keramahan harus diformalisasikan menjadi etika dan hukum agar tiap orang dituntut untuk melindungi orang lain. Tindakan melindungi orang asing tidak bisa semata-mata bersandar pada altruisme manusia.19

Dengan begitu, Derrida berusaha menjembatani antara ‘keramahan tak terbatas’ (unlimited hospitality) yang ideal, altruis, murni, absolut dan abstrak dengan ‘keramahan terbatas’ (limited hospitality) yang tak murni, terbatas, dan konkret. Keramahan terbatas tak akan bisa mencapai keramahan tak terbatas. Namun, keramahan terbatas bisa dibuat sedekat mungkin dengan keramahan tak terbatas melalui perumusan hukum—utamanya hukum internasional. Keputusan Derrida ini memiliki satu motif, yakni untuk melindungi manusia lain semaksimal mungkin sekalipun tindakan melindungi itu tak pernah menjadi tindakan seideal yang dibayangkan. Daripada membiarkan gagasan keramahan menjadi gagasan yang indah dan abstrak tetapi tak bisa melindungi manusia, Derrida memilih untuk membuatnya menjadi tidak murni tetapi bisa melindungi manusia—walaupun masih penuh dengan kekerasan di sana-sini.

D. Penutup

19 Derrida, ‘Step of Hospitality’, hlm. 136-137; Derrida kembali mengulas topik ini dalam Jacques Derrida, ‘On

(11)

Di titik ini, posisi Derrida terhadap kosmopolitanisme mulai bisa dibedakan dari Kant. Baik Derrida maupun Kant sama-sama berpendapat bahwa hukum internasional punya peran penting untuk menyokong gagasan ideal mereka tentang dunia. Namun, keduanya punya pandangan yang cukup radikal soal apa isi hukum itu dan bagaimana pandangan mereka tentang hak kosmopolitan. Kant berpendapat bahwa hukum tersebut berisi pengaturan kebebasan sehingga benturan kebebasan antar negara tak akan memicu perang. Kant cenderung memahami hak kosmopolitan sebagai pemantik bagi umat manusia agar mereka saling berinteraksi dan akhirnya membentuk kehendak bersama untuk menciptakan hukum di atas. Artinya, bagi Kant, hak kosmopolitan bersifat instrumental. Posisi Derrida—yang sebenarnya hanya menarik gagasan alternatif dari dalam teks Kant sendiri—sama sekali lain. Hukum yang diharapkan Derrida bukanlah hukum yang muncul setelah hak kosmopolitan dipraktekkan, melainkan hukum yang membuat hak kosmopolitan itu bisa dipraktekkan. Derrida berangkat dari keresahan akan maraknya diskriminasi yang dilakukan negara dan masyarakat kepada kaum imigran. Oleh karena itu, bagi Derrida, hak kosmopolitan itu baik pada-dirinya dan bukan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan lainnya. Derrida terkesan mengesampingkan konsekuensi dari pemberian hak kosmopolitan ini karena ia berulangkali menyatakan bahwa memberi keramahan selalu merupakan pilihan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Walau demikian, Derrida melihat bahwa melindungi orang asing yang datang—dan berarti memperlakukannya layaknya

teman alih-alih musuh___bisa membuat dunia ini menjadi dunia yang dipenuhi persahabatan.20

Bagi Derrida, dunia seperti itulah yang layak disebut sebagai dunia yang kosmopolitan.**

Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral, Pengantar Fenomenologi (Depok: Penerbit Koekoesan, 2010) Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida (Yogyakarta: LKiS, 2005)

Baker, Gideon, Politicising Ethics in International Relations (New York: Routledge, 2011) Derrida, Jacques, ‘Foreigner Question’, Of Hospitality (California: Stanford University Press,

2000)

Derrida, Jacques, ‘Hostipitality’, Angelaki: Journal of the Theoritical Humanities, 2000, 5: 3 Derrida, Jacques, ‘Politics of Friendship’, American Imago, 50: 3 (1993: Fall)

Derrida, Jacques, ‘Step of Hospitality’, Of Hospitality (California: Stanford University Press, 2000)

Derrida, Jacques, ‘Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences’, Writing and Difference, (London: Routledge, 2001)

(12)

Derrida, Jacques, ‘Violence and Metaphysics’, Writing and Difference, (London: Routledge, 2001)

Derrida, Jacques, On Cosmopolitanism’, On Cosmopolitanism and Forgiveness (New York: Routledge, 2006).

Donaldson, Thomas, ‘Kant’s Global Rationalism’, Terry Nardin dan David Mapel (eds.),

Traditions of International Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992) Kant, Immanuel, ‘An Answer to the Question: What is Enlightenment?’, Toward Perpetual

Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)

Kant, Immanuel, ‘Idea for Universal History from a Cosmopolitan Perspective’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)

Kant, Immanuel, ‘Metaphysics of Moral’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)

Kant, Immanuel. ‘Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006)

Kleingeld, Pauline, ‘Kant’s Cosmopolitan Law: World Citizenship for a Global Order’, Kantian Review, Volume 2, 1998.

Magnis-Suseno, Franz, ‘Moralitas dan Otonomi: Immanuel Kant’, kuliah disampaikan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan temuan penelitian tentang usaha guru dalam meningkatkan kemampuan belajar menghafal al- Qur‟an Hadits melalui Metode Drill di MAN Kunir adalah dengan jalan:

Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian tindakan kelas mengenai “Penerapan Metode Question Student Have (QSH) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan

Berdasarkan hasil analisis penelitian dan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel kepemimpinan transformasional

2. The simple past tense materials should be completed by the pattern how to write it in both verbal and nominal sentences. The past verbs for both regular and

Fungsi MIA Di bawah Seksyen 6, Akta Akauntan 1967 • Untuk menentukan kelayakan seseorang yang akan didaftarkan sebagai ahli • Untuk menyediakan latihan dan pendidikan; oleh

Indonesia yang baik dan benar. Siswa tidak mendapatkan “model” yang pas dalam berbahasa Indonesia yang indah. Maka, siswa merasa lebih memiliki “gengsi” apabila

Selain itu, sebagai bahan perbandingan antara pemakaian afiks dalam Friendster dengan afiks dalam ragam formal yang akan dilakukan pada bagian analisis, penulis pun

Kemudian hasil pengukuran spektrum absorpsi dan absorptivitas molar (ε) dari senyawa MTPP dan MTPC, pada pita Q 1 MTPC terdapat 2 pita yaitu pada Q 1a dan Q 1b , senyawa