• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Kedudukan Kasus Lumpur Lapindo dan Uang Pengganti Bagi Korban Lumpur Lapindo Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Kedudukan Kasus Lumpur Lapindo dan Uang Pengganti Bagi Korban Lumpur Lapindo Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

i

Peristiwa semburan lumpur panas Lapindo merupakan salah satu permasalahan Bangsa Indonesia sampai saat ini. Lumpur Lapindo terjadi sejak 9 (sembilan) tahun silam tepatnya pada tanggal 29 Mei 2006, di desa Renokenongo, kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Peristiwa semburan lumpur mengakibatkan dampak kerugian yang sangat besar bagi masyarakat sekitar. Kerugian tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan kesehatan. Atas kerugian yang dialami tersebut, PT Lapindo Brantas harus bertanggung jawab dengan mengganti kerugian kepada para korban. Putusan Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2013 lalu, menimbulkan berbagai problematika hukum, yaitu terkait dengan pemberian uang pengganti oleh pemerintah kepada korban. Sehingga diperlukan kejelasan mengenai kedudukan kasus lumpur Lapindo, yang mana kemudian hal tersebut akan berpengaruh terhadap bentuk pertanggungjawabannya.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan hukum normatif akan dianalisa norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, metode penelitian yang juga digunakan adalah metode penelitian dengan studi kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran terhadap literatur - literatur hukum dengan tujuan untuk memperoleh data-data atau kebenaran yang akurat. Dengan metode ini, tujuan yang hendak dicapai adalah untuk dapat menggambarkan status lumpur Lapindo berdasarkan peraturan perundang-undangan, serta mengkaji kesesuaian istilah uang pengganti bagi korban berdasarkan status dari kasus lumpur Lapindo.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa status dari lumpur Lapindo adalah bukan merupakan bencana alam, melainkan suatu perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dikarenakan dokumen-dokumen hukum serta bukti-bukti konkrit di lapangan merujuk pada ruang lingkup perbuatan melawan hukum, yaitu terkait dengan adanya kesalahan teknis operasional pengeboran, serta adanya unsur kelalaian dalam menjalankan prosedural pengeboran. Terminologi uang pengganti yang diberikan oleh negara kepada masyarakat lumpur Lapindo adalah tidak tepat. Terminologi yang tepat seharusnya adalah dana talangan. Dengan dana talangan, maka PT Lapindo Brantas harus mengganti uang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum seharusnya mutlak menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas sebagai subjek hukum yang menimbulkan kerugian dan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah. PT Lapindo Brantas diharapkan untuk dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya secara mandiri dan menyeluruh kepada korban, serta kiranya pemerintah diharapkan dapat bersikap tegas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)

ii

Lapindo mudflow event is one of Indonesian nation problems until this day. Lapindo mudflow occurred since 9 (nine) years ago, precisely on May 29, 2006, in the Renokenongo village, Porong, Sidoarjo regency, East Java. Mudflow incident resulted in a huge losses impact to the surrounding community. The losses include a various aspects, that is the social aspects, economic, environmental and health. For their losses, PT Lapindo Brantas should be liable to give a compensate for the victims. The Constitutional Court Decision in 2013, incurs a various of the law problems, which is an associated with the provision of a substitute money by the government to the victims. So therefore needed to clarify the legal standing of Lapindo mudflow cases, because it will be affect on the form of responsibility.

The writing in this research is using a normative juridical method, with the normative legal approach, it will be analyzed a legal norms contained in the legislative regulation. In addition, the methodology that was used is a library research. It is a legal research and conduct by researching of the legal literature with the aim to obtain data or definite the truth. By using this method, the goal is to be able to describe the legal standing of Lapindo mudflow by the laws and regulations, as well as examine the suitability of a substitute money term for the victims based on the status of Lapindo mudflow cases.

The conclusion derived from the research is the status of Lapindo mudflow case is not a natural disaster, but rather a law-breaking deeds. It is because a legal document and the concrete evidence in the field is refers to the scope of the law-breaking deeds, which is associated with the presence of a technical fault of drilling operations, and element of negligence in performing the drilling procedural. Terminology of a substitute money who granted by the state for the Lapindo mudflow victims is not appropriate. The proper terminology should be a bailout. With the bailout, PT Lapindo Brantas should be replace the money as has been released by the government. The compensate responsibility should be an absolute for PT Lapindo Brantas as legal subjects who makes a losses and not for the government. PT Lapindo Brantas is expected to be able to fulfill an obligations and responsibilities independently and comprehensively to the victim, and presumably the government is expected to be firm in carrying out a duties and authorities in accordance with the laws and regulations that apply.

(3)

iii

LEMBAR JUDUL... LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN... LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN... LEMBAR PERSETUJUAN REVISI... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... B. Identifikasi Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Kegunaan Penelitian... E. Kerangka Pemikiran... F. Metode Penelitian... G. Sistematika Penulisan...

(4)

iv

1. Pengertian Badan Usaha... 2. Jenis-Jenis Badan Usaha... 3. Perseroan Terbatas Sebagai Subjek Hukum...

24 36 43 B. Pertanggungjawaban

1. Definisi Pertanggungjawaban... 2. Macam-Macam Tanggung Jawab... 3. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dalam Hukum... C. Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Badan Usaha

1. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana... 2. Bentuk Pertanggungjawaban Perdata... D. Pengaturan Force Majeure dalam Sistem Hukum di Indonesia

1. Pengertian Force Majeure... 2. Kondisi yang di Katergorikan sebagai Force Majeure... 3. Syarat Terjadinya Force Majeure...

46 50 53

58 63

66 69 72 BAB III SEMBURAN LUMPUR SEBAGAI DAMPAK AKTIVITAS PT LAPINDO

DAN PERAN PEMERINTAH SEBAGAI REGULATOR DALAM PRESPEKTIF HUKUM DI INDONESIA

(5)

v B. Bencana Dalam Prespektif Hukum Di Indonesia

1. Pengertian Bencana Secara Umum... 2. Jenis-Jenis Bencana... 3. Tanggung Jawab Pemerintah Terkait dengan Bencana...

85 87 98 4. Perbedaan Bencana dan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Subjek

Hukum... C. Perbuatan Melawan Hukum

1. Definisi Perbuatan Melawan Hukum... 2. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum... 3. Akibat Perbuatan Melawan Hukum...

104

106 109 112 D. Uang Pengganti...

E. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XII/2013

1. Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Putusan... 2. Amar Putusan...

117

119 127 BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN KASUS LUMPUR LAPINDO DAN

UANG PENGGANTI SEBAGAI DANA TALANGAN BAGI KORBAN

(6)

vi

A. Kesimpulan... B. Saran... DAFTAR PUSTAKA... CURRICULUM VITAE (CV)

(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa semburan lumpur panas Lapindo merupakan salah satu permasalahan Bangsa Indonesia sampai saat ini. Lumpur Lapindo terjadi sejak 9 (sembilan) tahun silam tepatnya pada tanggal 29 Mei 2006. Lumpur Lapindo merupakan suatu peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur terjadi tepat di Porong, kabupaten Sidoarjo, yang berjarak 12 km ke arah selatan dari Kota Sidoarjo.

(8)

1. Hipotesa Underground Blowout

Underground Blowout (semburan liar bawah tanah) terjadi akibat adanya kesalahan operasional pengeboran sehingga tekanan di dalam sumur memecahkan batuan dari sumur eksplorasi yaitu sumur BJP-1 dan;

2. Hipotesa Overpressured Zone

Overpressured Zone atau Remobilisasi zona bertekanan tinggi yang dikategorikan sebagai proses alamiah terjadinya lima (5) mud volcano disekitar sesar Watukosek, terlihat melalui bidang sesar Watukosek berarah timur laut-barat daya yang tereaktifikasi oleh kenaikan aktifitas tektonik dan gempa.1

Rancangan semula, mengenai pengeboran sumur eksplorasi BJP-1 direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi terjadinya circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur). Pemasangan casing dilakukan pada kedalaman tertentu yang telah direncanakan, dimana setiap ukuran dari casing tersebut disesuaikan dengan titik kedalaman yang telah dicapai. Ketika pengeboran lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, pihak PT Lapindo Brantas belum memasang casing yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung yaitu dengan kedalaman 8500 kaki. Pihak PT Lapindo Brantas membuat prognosis dengan mengasumsikan bahwa zona pengeboran yaitu pada zona Rembang dengan target pengeborannya adalah formasi Kujung, pada kenyataannya pengeboran

1

(9)

yang dilakukan berada pada zona Kendeng yang sama sekali tidak terdapat formasi Kujungnya. Bor terpaksa dipotong karena masuk pada lubang yang terdapat dalam batu gamping formasi klitik karena terjadi hilangnya lumpur dalam formasi (circulation loss) dan sesuai dengan prosedur standar operasi pengeboran dihentikan. Fluida bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai pada batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) sehingga fluida tersebut harus mencari jalan lain untuk dapat keluar. Hal tersebut yang menyebabkan lumpur naik ke atas dan penyemburan tidak hanya terjadi di sekitar sumur melainkan di beberapa tempat.2

Lumpur panas menggenangi 16 (enam belas) desa di tiga kecamatan, yang semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar enam meter. Luapan lumpur panas menggenangi berbagai sarana dan prasarana seperti pendidikan, kantor pemerintahan, rumah ibadah, areal pertanian, lahan ternak, serta sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Dengan keadaan seperti ini, secara otomatis akan banyak penduduk yang tidak hanya kehilangan tempat tinggalnya namun juga kehilangan mata pencahariannya dan akan terdapat banyak anak yang kehilangan tempat mereka untuk menuntut ilmu. Selain itu, 30 (tiga puluh) pabrik yang tergenang luapan lumpur terpaksa menghentikan aktivitas

2 Dyah Galih Rizky Wulandari, “Lumpur Lapindo Bukanlah Sebuah Bencana Alam”, 2014,

(10)

produksi. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja terkena dampak dari peristiwa semburan lumpur panas sidoarjo. Dampak lain akibat semburan lumpur panas yaitu menurunnya angka kesehatan di sekitar wilayah terdampak akibat pencemaran lingkungan, serta rusaknya berbagai sarana dan prasarana infrastruktur seperti jaringan listrik dan telepon. Luapan lumpur panas juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Hal ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.3 Terlihat jelas begitu banyak kerugian yang dialami korban baik kerugian dengan dampak sosial, lingkungan maupun ekonomi.

Semburan lumpur panas membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian khususnya di Jawa Timur. PT Lapindo Brantas, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan dana baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun pembuatan tanggul kurang lebih sebesar enam triliun rupiah (Rp 6.000.000.000.000,-). Keberadaan uang pengganti merupakan hal yang dinantikan oleh para korban sebagai upaya penggantian kerugian, baik di wilayah Peta Area Terdampak (PAT) maupun pada wilayah diluar Peta Area Terdampak. Sembilan tahun berlalu sejak lumpur menyembur dari lubang

3

(11)

pengeboran PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, namun upaya ganti kerugian terhadap korban merupakan suatu permasalahan yang sulit untuk dapat terselesaikan hingga saat ini. Hal sebagaimana dimaksud berkaitan dengan status serta kedudukan dari kasus lumpur Lapindo yang belum jelas.

Pemerintah telah memerintahkan PT Lapindo Brantas untuk membayar ganti kerugian kepada korban, dimana PT Lapindo Brantas diwajibkan mengeluarkan dana dengan total Rp 3,82 triliun untuk membeli tanah dan bangunan warga di wilayah terdampak. Pembayaran ganti kerugian dilakukan melalui PT Minarak Lapindo Jaya atas PT Lapindo Brantas. Hingga tahun 2012, total ganti kerugian yang telah terbayar adalah Rp 3,04 triliun. Pada tahun 2008, PT Minarak Lapindo Jaya telah membeli tanah dan bangunan warga senilai Rp 1,54 triliun. Pada tahun 2009 jumlahnya Rp 360 miliar dan tahun 2010 sebesar Rp 750 miliar. Pada tahun 2011, PT Minarak Lapindo Jaya membayar Rp 240 miliar, sementara pada tahun 2012 hanya Rp 150 miliar. Selanjutnya, pada tahun 2013, perusahaan tidak melaporkan adanya pembayaran sama sekali, hal tersebut dikarenakan perusahaan mengalami kesulitan finansial.4 Oleh karena itu, pemerintah melakukan upaya ganti kerugian dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun

4 Tempo Co. Nasional, “Berapa Ganti Rugi Lapindo Yang Sudah Dibayar”, 2014,

(12)

2013, terkait pembagian tanggung jawab ganti kerugian antara pemerintah dengan PT Lapindo Brantas. Pembagian tanggung jawab ini berada pada wilayah Peta Area Terdampak yang merupakan tanggung jawab PT Lapindo Brantas dan wilayah diluar Peta Area Terdampak yang merupakan tanggung jawab pemerintah. Hingga saat ini, status serta kedudukan kasus lumpur Lapindo belum dapat diketahui secara pasti, hal ini menimbulkan problematika dalam menetapkan bentuk pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas.

(13)

Untuk itu, berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai judul skripsi, yaitu: “TINJAUAN YURIDIS

KEDUDUKAN KASUS LUMPUR LAPINDO DAN UANG

PENGGANTI BAGI KORBAN LUMPUR LAPINDO DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.

B. Identifikasi Masalah

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat batasan permasalahan guna mempermudah pembahasan agar tidak menyimpang dari materi pokok penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah kasus lumpur Lapindo dapat dikategorikan sebagai bencana alam berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ?

2. Apakah istilah uang pengganti bagi korban telah sesuai dengan status dari kasus lumpur Lapindo ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalah yang telah dirumuskan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

(14)

2. Untuk mengkaji kesesuaian istilah uang pengganti bagi korban berdasarkan status dari kasus lumpur Lapindo.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum di bidang keperdataan, khusunya mengenai bentuk pertanggungjawaban hukum.

2. Secara Praktis

(15)

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Negara hukum sebagaimana dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum. Supremasi hukum (supremacy of law) adalah pemerintahan berdasarkan atas hukum.5 Penegakan supremasi hukum bertujuan untuk menegakan kebenaran, keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.6 Jelas terlihat bahwa cita-cita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah sekedar negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukalah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekuasaan, namun hukum yang dapat menciptakan keadilan bagi seluruh rakyatnya.

Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara. Aristoteles berpendapat bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu di didik

5 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung: Refika Aditama, 2009, Hlm. 1. 6 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Jakarta:

(16)

menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud,

maka terciptalah suatu “negara hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warga negaranya yang berdasarkan atas keadilan.

Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of law. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara

Republik Indonesia pada dasarnya merupakan negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara hukum, Pancasila juga memiliki elemen yang terkandung dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law. Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu:

1. Negara Hukum dalam arti Formil (sempit/klasik) ialah negara yang hanya bertugas untuk menjaga ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang-undang), yaitu melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat.

(17)

prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi.

(18)

Dalam konsepsi bangsa Indonesia, hak merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori yang betapapun elegan dan ekonomisnya, perlu direvisi atau ditolak jika ia tidak benar. Demikian juga dengan hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapihnya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.

Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.7 Pandangan Hans Kelsen ini merupakan pandangan yang bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan untuk setiap individu. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap

7

(19)

sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut dipertimbangan untuk kemudian ditentukan yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.8

Sebagai aliran positivisme, Hans Kelsen mengakui bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.9 Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positivisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.

Menurut Hans Kelsen :

“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan

karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung

8

Hans Kelsen, Ibid.

9

(20)

karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapat ditangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak”.10

Adapun 2 (dua) konsep teori keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yaitu:

1. Keadilan dan Perdamaian.

Keadilan bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.

2. Keadilan dan Legalitas.

Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan

legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar

diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika

diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.11 Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam

10 Hans Kelsen, Ibid, Hlm. 14, Lihat dan bandingkan Filsuf Plato dengan Doktrinnya tentang Dunia

Ide.

11

(21)

hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.

Berangkat dari teori negara hukum, penegakan keadilan dapat diterapkan dalam sikap bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuat. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala penuntutan, diperkarakan, dan dipersalahkan sebagai akibat sendiri atau pihak lain. Dalam hukum dikenal dua bentuk pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban perdata. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang untuk dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana atas tindakan yang dilakukan. Dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 1982-1983, Pasal 27 KUHP menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.12 Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, Pasal 34 KUHP mengenai definisi pertanggungjawaban pidana berbunyi:

12

(22)

“Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”.13

Seseorang dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi unsur-unsur kesalahan, yaitu memiliki kemampuan bertanggung jawab, adanya perbuatan berupa kesengajaan atau kealpaan sebagai bentuk kesalahan, serta tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata, adalah berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, melainkan jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan atas perbuatan melawan hukum, bertujuan untuk melindungi serta memberikan kepastian hukum, yaitu terkait dengan upaya ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Dasar pertanggungjawaban menurut hukum perdata dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan

13

(23)

pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab atas kesalahannya yang telah merugikan orang lain, sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah prinsip dimana pihak tergugat langsung bertanggung jawab sebagai sebuah risiko usahanya.

Upaya ganti kerugian sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum, muncul akibat adanya suatu kesalahan dan kepentingan yang menjadi dasar dalam menuntut keadilan, yaitu melalui upaya penggantian kerugian atas kerugian yang ditimbulkan akibat suatu perbuatan melawan hukum. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan ketentuan hukum tertulis yang melindungi serta memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada para pihak, khususnya pihak yang dirugikan akibat suatu perbuatan melawan hukum.

(24)

hukum, dan oleh karenanya tidak dapat dibebankan upaya ganti kerugian, karena tidak mencakup unsur penting dalam perbuatan melawan hukum. Kewajiban pemenuhan ganti kerugian adalah tanggung jawab yang harus dilakukan oleh seseorang yang akibat kesalahannya menyebabkan timbulnya suatu kerugian.

Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya. Menurut Standaard Arest, berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum jika bertentangan dengan undang-undang dan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, yaitu hak subjektif orang lain.

Pengertian terhadap melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subjektif dari orang tersebut, yaitu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Perlu diperhatikan mengenai hubungan kausalitas antara kesalahan dengan akibat yang ditimbulkan, Teori faktual atau dikenal dengan Teori Condition Sine Qua Non dari Von Buri, yaitu seorang ahli hukum Eropa Kontinental yang

(25)

“suatu hal adalah sebab dari akibat, sedangkan suatu akibat tidak akan

terjadi bila sebab itu tidak ada”.14

Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggungjawab, jika perbuatan Condition Sine Qua Non menimbulkan kerugian. Hubungan sebab akibat secara faktual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang secara faktual telah terjadi.

Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut hukum

mengenai ” but for ” atau ” sine qua non ”.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan hukum normatif akan dianalisa norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.15 Selain itu, metode penelitian yang juga digunakan adalah metode penelitian dengan studi kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran terhadap literatur - literatur hukum dengan tujuan untuk memperoleh data-data atau kebenaran yang akurat. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk menjelaskan peraturan-peraturan yang dalam hal ini undang-undang terkait adalah Kitab Undang-Undang

14 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, 1982,

Hlm. 87.

15

(26)

Hukum Perdata sebagai dasar perikatan, dihubungkan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian dan juga penerapannya. Penelitian dengan sifat deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau sedang berlangsung dengan tujuan agar dapat memberikan data seteliti mungkin, mengenai objek penelitian, sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisa berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, dimana data tersebut berupa data sekunder yang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.16 Bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoratif artinya memiliki otoritas dan kekuatan hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

16

(27)

c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, serta peraturan perundang-undangan yang relevan.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa literatur-literatur, bahan kepustakaan seperti buku bacaan hukum, yurisprudensi, artikel dari surat kabar, karya tulis ilmiah, hasil-hasil penelitian, hasil seminar, dan buku-buku terkait yang dapat digunakan sebagai bahan informasi tambahan dalam penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

G. Sistematika Penulisan

(28)

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : BADAN USAHA PENYELENGGARA PENGEBORAN MINYAK DALAM PRESPEKTIF HUKUM DI INDONESIA Dalam bab kedua penulis akan menguraikan tinjauan teoritik mengenai teori-teori terkait badan usaha seperti definisi, subjek hukum, jenis-jenis badan usaha, bentuk pertanggungjawaban hukum badan usaha, serta teori atau doktrin dan hal-hal terkait lainnya ditinjau berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

BAB III : SEMBURAN LUMPUR SEBAGAI DAMPAK AKTIVITAS PT LAPINDO DAN PERAN PEMERINTAH SEBAGAI

REGULATOR DALAM PRESPEKTIF HUKUM DI

INDONESIA

(29)

menguraikan dampak akibat semburan lumpur, definisi mengenai bencana dalam prespektif hukum di Indonesia, menguraikan tugas dan wewenang pemerintah terkait dengan bencana, menguraikan definisi serta teori-teori mengenai perbuatan melawan hukum, uang pengganti dan upaya-upaya yang telah dilakukan terkait adanya uang pengganti bagi korban.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN KASUS LUMPUR LAPINDO DAN UANG PENGGANTI SEBAGAI DANA TALANGAN BAGI KORBAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu status lumpur Lapindo menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan kesesuaian istilah uang pengganti bagi korban berdasarkan status dari kasus lumpur Lapindo.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan mengenai hasil penelitian yang telah diuraikan dalam Bab IV dan juga berisi saran-saran penulis sehubungan dengan hasil penelitian yang telah didapat.

(30)

148

Setelah menguraikan analisis mengenai kedudukan kasus lumpur Lapindo dan uang pengganti bagi korban, penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Status dan kedudukan kasus lumpur Lapindo bukanlah merupakan suatu bentuk bencana alam, melainkan perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dikarenakan dokumen-dokumen hukum serta bukti-bukti konkrit di lapangan merujuk pada ruang lingkup perbuatan melawan hukum. Dikatakan melawan hukum karena kasus lumpur Lapindo telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu terkait dengan adanya kesalahan dalam pelaksanaan teknis operasional pengeboran, serta adanya suatu kelalaian yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, yaitu dengan tidak memasang selubung bor (casing), sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya peristiwa semburan lumpur yang kini menimbulkan berbagai dampak kerugian yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, baik dampak dengan kerugian materiil maupun immateriil.

(31)

seharusnya adalah dana talangan. Dengan dana talangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka seolah-olah mengganti kedudukan ganti kerugian yang seharusnya dibayar oleh PT Lapindo Brantas kepada para korban. Tanggung jawab ganti kerugian akibat suatu perbuatan melawan hukum seharusnya mutlak menjadi tanggung jawab pihak yang melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan suatu kerugian, sebagaimana tertulis dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal ini, kesalahan bukan disebabkan oleh negara, sehingga pembebanan ganti kerugian bukan merupakan tanggung jawab negara, melainkan tanggung jawab PT Lapindo Brantas sebagai pelaku sekaligus sebagai subjek hukum yang menimbulkan kerugian akibat suatu perbuatan melawan hukum.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diberikan, Adapun saran yang dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak, yaitu antara lain:

1. Penulis dan peneliti selanjutnya

(32)

2. Pihak-pihak yang bersangkutan (Perusahaan dan Pemerintah)

a) Perusahaan diharapkan dapat bertanggung jawab secara penuh atas kerugian yang ditimbulkan akibat berbagai kesalahan serta kelalaian dalam pelaksanaan operasional pengeboran. Ganti kerugian seharusnya segera dilakukan hingga tuntas, mengingat diperlukannya biaya hidup para korban akibat dampak semburan lumpur yang menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan mata pencahariannya, rumah-rumah yang rusak dan tenggelam oleh lumpur, serta banyaknya harta benda para korban yang lenyap akibat lumpur. Secara teknis, kiranya perusahaan harus lebih berhati-hati dalam melaksanakan sistem operasional pengeboran, karena pada dasarnya kegiatan pengeboran harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan seteliti mungkin, sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas.

(33)

Data Pribadi: Pasfoto Nama : Rega Rismayudha 3 x 4 Tempat dan Tanggal Lahir : Kuningan, 13 Juli 1993

Alamat : Taman Cipadung Indah, Jln. Lestari No.59 Bandung, 40612.

Nomor Telepon : 022-7830784 Nomor HandPhone : 083823188998

E-mail : reggarismayudha@yahoo.com

Riwayat Pendidikan: Formal

1998 – 1999 : TK Bani Saleh, Bandung 1999 – 2005 : SD Pelita, Bandung 2005 – 2008 : SMP Negeri 34, Bandung 2008 – 2011 : SMA Negeri 10, Bandung 2011 – sekarang : Universitas Kristen Maranatha

Non Formal

(34)

3. Anggota Paduan Suara SMP Negeri 34 Bandung.

4. Anggota Palang Merah Remaja SMP Negeri 34 Bandung. 5. Anggota Teater SMP Negeri 34 Bandung.

6. Anggota Organisasi Intera Sekolah (OSIS) SMP Negeri 34 Bandung. 7. Peserta MOKA (Mojang Jajaka) SMP Negeri 34 Bandung.

8. Anggota MD SMA Negeri 10 Bandung.

9. Anggota Seni Musik SMA Negeri 10 Bandung.

10. Peserta Welcome To Maranatha 2011 Universitas Kristen Maranatha. 11. Peserta Outbond Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.

12. Peserta Seminar Nasional “Call For Paper” Universitas Kristen Maranatha.

13. Peserta Workshop Fakultas Hukum “Legal Drafting in Respect of Shares Sale &

Purchase Agreement”.

14. Peserta Seminar Bedah Buku “Hukum Pidana Korporasi”.

15. Peserta Seminar “Kenakalan Remaja Dalam Bidang Informasi Teknologi di Kota

Bandung”.

(35)

Campaign UNPAD.

21. Peserta The Young Producer Trans TV “creative challenge” perwakilan Fakultas

Hukum Universitas Kristen Maranatha.

22. Peserta Singing Contest “Anti Narkoba” Tingkat Provinsi Jawa Barat. 23. Paduan Suara Natal Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.

Bandung, 10 Agustus 2015

(36)

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan &

Ajaran Kausalitas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.2, Jakarta: Diapit Media, 2002. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing Co, St.

Paul-Minn, 2004.

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1987.

, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1987.

(37)

Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2011.

Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003.

I Gusti Bagus Sutrisna, ―Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tinjauan terhadap Pasal 44 KUHP), dalam Andi Hamzah edisi Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

J.H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya: Airlangga University Press, 1985.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Cetakan Kedua, Jakarta, 2006. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing, 2006.

Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan: Pasca Sarjana, 2008.

Komariah, Hukum Perdata, Edisi Revisi, Malang: Universitas Muhammadiyah, Malang, 2001.

(38)

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 2009. Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Nico Ngani, Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan 6, Jakarta: Penerbit Kencana, 2010.

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Citra Aditya, 2010.

Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, 1982.

Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.

R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni, 2004.

(39)

oleh Mohammad Radjab, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982.

, Introduction to The Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan II, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1997.

, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Jakarta: Gramedia, 1997.

Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu, Bandung: Alumni, 1982.

Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010.

Widiyono, Wewenang Dan Tanggung Jawab, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

(40)

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Burgelijk Wetboek).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.

(41)

D. Rujukan Elektronik :

Adhitya Johan Rahmadan, ―Subyek Hukum dalam Hukum Perdata”, 2010 (http://pedulihukum.blogspot.com/2009/02/subyek-hukum-dalam-hukum-perdata.html).

Almalikhusin Ritonga, “Pengertian Bencana Alam”, 2010, (http://almalikhusinritong a.blogspot.com/2010/05/pengertian-bencana-alam.html).

Appe Hamonangan Hutauruk, “Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum”, 2013, (http://appehutauruk.blogspot.com/2013/08/unsur-unsur-perbuatan-mel

awan-hukum.html).

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), “Gempa Bumi”, 2014, (http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Gempabumi_-_Tsunami/Gempabumi .bmkg).

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, “Semburan Lumpur Panas Sidoarjo”, 2009, (http://www.bpls.go.id/penanggulangan-lumpur/).

(42)

Dyah Galih Rizky Wulandari, “Lumpur Lapindo Bukanlah Sebuah Bencana Alam”, 2014, (http://dyahgalih.blogspot.com/2014/01/lumpur-lapindo-bukanlah-sebu

ah-bencana.html).

E-jurnal, “Pengertian dan Klasifikasi Bencana Alam”, 2014, (http://jurnalapapun.blo gspot.com/2014/03/pengertian-dan-klasifikasi-bencana-alam.html).

Feri Hyang Daika, ―Pengertian Perbuatan Melawan Hukum”, 2010, (http://hetdenken.blogspot.com/2010/08/pengertian-perbuatan-melawan-hukum.html).

Fuat, “Istilah-Istilah dalam Mitigasi Bencana”, 2014, (http://fastrans22.blogspot.com 2014/03/istilah-dan-prinsip-mitigasi-bencana.html)

Ira Yunita, “Bentuk - Bentuk Badan Usaha”, 2013, (http://yunita-ira.blogspot.co m/2013/06/bentuk-bentuk-badan-usaha.html).

Koko Wijayanto, “Pencegahan dan Manajemen Bencana”, 2012, (http://social-studies17.blogspot.com/2012/11/recognize-pencegahan-bencana-dan.html). Lapindo Brantas Inc (LBI), “Profile History”, (http://lapindo-brantas.co.id/id/about/

history/).

(43)

Terbatas”, (http://mhugm.wikidot.com/artikel:002).

Maikel Jefriando, “Dana Talangan Lapindo Belum Bisa Cair”, 2015, (http://finance.detik.com/read/2015/03/11/144859/2855740/4/dana-talangan-lapindo-rp-781-m-belum-bisa-cair).

Marissa, “Definisi Bencana (Disaster)”, 2012, (http://guitars98.blogspot.com/2012/0 7/definisi-bencana-disaster.html).

Petrus Riski, “Logika Sesaat Pemerintah Saat Tangani Lumpur Lapindo”, 2014,

(http://www.mongabay.co.id/2014/06/01/logika-sesat-pemerintah-saat-tangani-lumpur-lapindo/).

Rudi Rubiandini, “Laporan Konferensi AAPG di Cape Town Afrika-Selatan”, 2008, (https://hotmudflow.wordpress.com/2008/10/30/laporan-konferensi-aapg-di-cape-town-afrika-selatan/).

Siaga Bencana Unidar, “10 Asas Penanggulangan Bencana”, 2013, (http://www.siagabencana.unidar.ac.id/?p=4).

Referensi

Dokumen terkait