(Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 3 Mande Kabupaten Cianjur)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi sebagian dari syarat memperoleh Gelar Magister Pendidikan Bidang Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Oleh
SANTI KURNIAWATI NIM: 1204758
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS SEKOLAH PASCASARJANA
(Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 3 Mande Kabupaten Cianjur)
Oleh Santi Kurniawati
S.Pd. Universitas Pendidikan Indonesia, 2005
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
© Santi Kurniawati 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Februari 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
ABSTRAK
Santi Kurniawati, NIM: 1204758. Judul tesis “PENERAPAN MODEL DUAL – CODING DALAM PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS SISWA (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 3 Mande
Kabupaten Cianjur)” Dibimbing oleh, Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd. sebagai pembimbing I dan Prof. Helius Sjamsuddin, M.A., P.hD. sebagai pembimbing II.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini pembelajaran IPS belum mempertimbangkan cara pemrosesan informasi di dalam otak dengan memisahkan antara saluran verbal dengan saluran visual, yang berakibat kepada rendahnya hasil belajar siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subyek penelitian adalah kelas VII-G, terdiri dari dua puluh satu orang siswa laki-laki dan tujuh belas orang siswa perempuan, serta seorang guru mata pelajaran IPS sebagai guru mitra. Instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi, catatan lapangan, tes hasil belajar, angket, wawancara dan studi dokumentasi. Analisis data menggunakan reduksi data, paparan data dan penarikan kesimpulan. Penelitian menggunakan Dual-coding Theory yang dioperasionalkan oleh Meyer dan Anderson. Tindakan dilaksanakan selama dua siklus, siklus I terdiri dari dua pertemuan dan siklus II terdiri dari tiga pertemuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata hasil belajar siswa sebelum pelaksanaan tindakan masih rendah, hanya tiga orang siswa yang nilainya mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal. Setelah pelaksanaan tindakan siklus I, rata-rata hasil belajar naik, namun hanya lima belas siswa yang nilainya mencapai atau melebihi KKM dan setelah pelaksanaan siklus II nilai hasil belajar siswa meningkat dan tiga puluh lima siswa mencapai atau melebihi nilai KKM. Bagi guru, hasil dari penelitian ini adalah meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional. Sedangkan bagi siswa adalah memberi pengalaman belajar baru untuk membangun sendiri pengetahuannya dengan bantuan gambar. Kendala yang dihadapi selama pelaksanaan tindakan adalah guru belum memahami prinsip-prinsip Dual-Coding Theory dan siswa yang pasif. Cara mengatasi kendala adalah melakukan diskusi intensif dengan Guru Mitra dalam
refleksi dan menggunakan metode “Roda Berantai”.
ABSTRACT
Santi Kurniawati, NIM: 1204758. Thesis title "APPLICATION OF DUAL - CODING MODEL OF LEARNING TO IMPROVE STUDENT’ SOCIAL STUDIES LEARNING OUTCOMES (Classroom Action Research in SMP Negeri 3 Mande Cianjur)" Supervised by Prof.. Dr.. H. Dadang Supardan, M.Pd. as a supervisor I and Prof. Helius Sjamsuddin, M.A., P.hD. as supervisor II.
This research came by the fact that during this learning social studies have not considered how the information processing in the brain by separating the verbal channel with visual channels, which resulted in a lack of student learning outcomes. The method used in this study is action research. Subjects were class VII-G, consisting of twenty-one boys and seventeen girls, as well as a social studies teacher as teacher partner. The instruments used are observation, field notes, achievement test, questionnaire, interview and documentation. Data analysis using data reduction, exposure data and drawing conclusions. Research using the Dual-coding Theory which is operated by Meyer and Anderson. Actions carried out during two cycles, the first cycle consisted of two meetings and the second cycle consists of three meetings. The results showed that the average student learning outcomes prior to implementation of the action is still low, only three students were valued at a minimum completeness criteria. After the implementation of cycle I, the average result of learning gained, but only fifteen students whose value reaches or exceeds the KKM and after the implementation of the second cycle increases the value of student learning outcomes and thirty-five students reach or exceed the KKM. For teachers, the results of this research is to improve the pedagogical and professional competence. As for the students is to provide a new learning experience to build their own knowledge with the help of images. Obstacles encountered during the implementation of the action is not teachers understand the principles of Dual-Coding Theory and the students are passive. How to overcome obstacles is to conduct intensive discussions with the Teachers Partners in reflection and using the "Wheel Chain".
DAFTAR ISI
2.a Prinsip-prinsip Belajar Bruner ………. 19
2.b Teori Konstruktivistik Piaget .……….. 23
2.c Teori Kultural-Historis Vygotsky ……… 25
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar………..………. 28
C. Penerapan Model Dual Coding dalam Pembelajaran IPS…….. 32
1. Teori Pemrosesan Informasi……… 36
2. Inti Dual CodingTheory ………... 33
3. Langkah-langkah Aplikasi Model Dual Coding..…………… 41
D. Pembelajaran IPS……….... 45
E. Model Dual Coding dalam Pembelajaran IPS……… 50
F. Hasil Belajar……….... 53
D. Teknik Pengumpulan Data………..………. 74
2. Pelaksanaan Penerapan Dual Coding Theory dalam Pembelajaran IPS ……….……….. 102
a. Siklus I ……… 102
1) Tahap Perencanaan………. 102
2) Tahap Pelaksanaan dan Observasi……….. 103
3) Analisis dan Refleksi Pembelajaran ……….. 110
b. Siklus II……… 112
1) Tahap Perencanaan………. 112
2) Tahap Pelaksanaan dan Observasi……….. 113
3) Analisis dan Refleksi Pembelajaran ……….. 122
3. Hasil Belajar Melalui Penerapan Dual Coding Theory…….. 123
4. Kendala yang Dihadapi dan Alternatif Penyelesaiannya….. 130
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan……….. 134
B. Rekomendasi……… 136
DAFTAR TABEL
2.1 Tahapan Penggunaan Lambang dalam Memori dan Atensi ... 27
2.2. Prinsip-Prinsip Dual Coding dengan Pembelajaran yang Menggunakan Multimedia ... 41
2.3. Dimensi IPS Dalam Kehidupan Manusia ... 49
3.1. Kriteria Keberhasilan Tindakan ... 72
3.2. Matriks jadwal penelitian ... 73
3.3. Data Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66
4.1. Keadaan Tenaga Edukatif dan Non Edukatif SMPN 3 Mande Tahun Pelajaran 2013/2014 ... 89
4.2. Profil Guru Mitra ... 92
4.3. Komposisi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 93
4.4. Lembar Observasi Penerapan Dual-Coding Theory Dalam Pembelajaran IPS Siklus I ... 109
4.5. Lembar Observasi Penerapan Dual-Coding Theory dalam Pembelajaran IPS Siklus II ... 120
4.6. Nilai Hasil Belajar Siklus I ... 123
4.7. Nilai Hasil Belajar Siklus II ... 125
DAFTAR BAGAN
2.1 Jenis Strategi Pembelajaran Kognitif ... 22
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar ... 28
2.3 Skema pemrosesan informasi dalam otak manusia ... 36
2.4 Model Umum Teori Dual Coding ... 37
2.5 Langkah-langkah dual coding dalam Pembelajaran dengan Multimedia ... 43
3.1 Alur Penelitian Tindakan Kelas dari Ebbut ... 66
3.2. Alur siklus pelaksanaan penelitian ... 67
3.3 Alur observasi kelas... 75
3.4 Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif ... 81
4.1 Denah SMPN 3 Mande ... 87
DAFTAR GAMBAR
4.1 Foto Proses sosialisasi penerapan Dual Coding Theory dalam
pembelajaran IPS oleh observer kepada Guru Mitra ... 95
4.2 Contoh gambar dalam tayangan slide power point siklus I pertemuan 1 ... 104
4.3 Foto Kegiatan siswa pada Siklus I pertemuan 1 ... 106
4.4 Foto Kegiatan Pembelajaran Siklus II, pertemuan ke-2 ... 116
4.5 Foto Kegiatan Pembelajaran Siswa pada Siklus II ... 118
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai
komponen, bersifat timbal balik, dan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Pada dasarnya baik tidaknya pembelajaran yang berlangsung sangat
menentukan pemahaman siswa terhadap konsep materi yang diajarkan.
Pembelajaran yang tidak efektif akan mempengaruhi terhadap pemahaman
siswa. Salah satu upaya pembaharuan dalam pembelajaran di bidang
pendidikan adalah pembaharuan metode mengajar. Metode mengajar dapat
dikatakan relevan jika mampu mengantarkan siswa mencapai tujuan pembelajaran
pada umumnya dan tujuan ilmu pengetahuan sosial pada khususnya. Wena
(2009:2) menyatakan: “… guru sebagai komponen penting dari tenaga
kependidikan, memiliki tugas untuk melaksanakan proses pembelajaran”.
Perkembangan dunia pendidikan di jaman modern ini menuntut proses
pendidikan yang manusiawi, yaitu sebuah pendidikan yang konsen pada
perkembangan berbagai dimensi kecerdasan peserta didik dengan konsep
pembelajaran yang menyenangkan (Silberman, 1996). Jadi dalam hal ini, hakekat
pendidikan bukan sekedar memindahkan ilmu pengetahuan dari guru kepada
siswa, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah keterlibatan mental dan
tindakan itu sendiri. Oleh karena itu peran siswa dalam pembelajaran sudah
seharusnya lebih dikedepankan. Sedangkan guru sebagai fasilitator harus bisa
menciptakan suasana kelas yang menyenangkan sehingga dapat mendukung
proses pembelajaran.
Mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam
memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Mata pelajaran IPS disusun
kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan
pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang
lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan.
Tujuan pendidikan IPS secara umum adalah menjadikan peserta didik
sebagai warga negara yang baik, dengan berbagai karakter yang berdimensi
spiritual, personal, sosial, dan intelektual. Pendidikan IPS menurut NCCS
mempunyai tujuan informasi dan pengetahuan (knowledge and information), nilai
dan tingkah laku (attitude and values), dan tujuan ketrampilan (skill): sosial,
bekerja dan belajar, kerja kelompok, dan keterampilan intelektual (Jarolimek,
1986:58). Menurut materinya, ruang lingkup materi IPS adalah : 1) Merupakan
perpaduan atau integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora. 2)
Terkait dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan kebangsaan, seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta tuntutan dunia
global. 3) Jenis materi IPS dapat berupa fakta, konsep dan generalisasi, terkait
juga dengan aspek kognitif, afektif, psikomotorik dan nilai-nilai spiritual.
Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar
dan Menengah mengutarakan bahwa mata pelajaran IPS di SMP secara rinci
memiliki 4 tujuan, yaitu: a) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dan lingkungannya; b) memiliki kemampuan dasar untuk
berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial; c) memiliki komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; d) memiliki kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk,
di tingkat lokal, nasional dan global. Keempat tujuan tersebut pada dasarnya untuk
membentuk dan mengembangkan tiga kecakapan peserta didik, yaitu kecakapan
akademik, kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan akademik
dijabarkan lebih rinci dalam tujuan pertama: mengenal konsep – konsep yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Kecakapan personal
untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial serta memiliki komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Sedangkan kecakapan sosial
diuraikan lebih rinci dalam tujuan yang keempat, yaitu siswa diharapkan memiliki
kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat
yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.
Bloom dalam Popham (2011 : 35) membedakan tujuan pembelajaran
dalam tiga kategori. Walaupun sebenarnya dalam proses pembelajaran tiga
kategori tersebut muncul dalam perilaku siswa ketika harus mengerjakan tugas
dalam proses pembelajarannya. Misalnya ketika siswa harus mengerjakan ujian
esai dalam pelajaran IPS, siswa mungkin menggunakan pensil untuk menulis
esainya. Dalam hal ini, maka ranah psikomotor siswa sedang bekerja. Kemudian
siswa merasa percaya diri dengan esai yang dikerjakannya, maka ranah afektif
siswa sedang berperan dalm proses tersebut. Namun ranah terpenting yang
ditampilkan adalah ranah kognitif. Karena keterampilan kognitif merupakan hasil
dari proses intelektual tentang bagaimana menyelesaikan soal tes. Pengaturan
kecerdasan atau intelektualitas siswa untuk merespon atau menjawab pertanyaan
merupakan suatu hal yang benar-benar diperhitungkan dalam sebuah essai.
Intinya, keterampilan kognitif menjadi dasar dari berbagai keterampilan yang
diharapkan dapat dimiliki siswa. Meskipun keberhasilan pendidikan tidak
tertumpu hanya dari ranah kognitif saja. Akan tetapi ranah kognitif adalah ranah
yang paling jelas muncul dan dapat diases dengan perangkat tes yang ada.
Banyak kritik terhadap proses pembelajaran yang dianggap gagal yang
tercermin dari hasil belajar siswa yang rendah. Namun jarang yang mengkritisi
pembelajaran dari sisi bagaimana pengetahuan diproses dalam otak manusia.
Dengan kata lain yang selama ini dikritisi adalah perangkat keras pendidikan,
berupa kurikulum, model, metode maupun media pembelajaran. Sedangkan
perangkat lunaknya, yaitu otak siswa jarang mendapat perhatian. Padahal jika
mengoptimalkan kinerja otak dalam menerima dan mengolah informasi
(pengetahuan) untuk kemudian diaplikasikan dalam berbagai bentuk
keterampilan.
Dalam konteks program pembelajaran, tanpa mengurangi arti penting serta
tanpa mengesampingkan faktor-faktor yang lain, faktor kualitas pembelajaran
merupakan faktor yang sangat berperan dalam meningkatkan hasil pembelajaran
yang pada akhirnya akan berujung pada meningkatnya kualitas pendidikan, karena
muara dari berbagai program pendidikan adalah pada terlaksananya program
pembelajaran yang berkualitas. Menurut Clark (1981:12) dalam Widoyoko,
(2010:6): “…hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan
siswa dan 30 % dipengaruhi oleh lingkungan”. Sedangkan salah satu lingkungan
belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah adalah
kualitas pembelajaran. Kemampuan siswa disini termasuk diantaranya bagaimana
siswa mengolah informasi berupa materi pelajaran.
Kualitas pembelajaran mempunyai andil yang sangat besar dalam keberhasilan belajar siswa. Hasil penelitian Senduperdana (2007:31),
memperlihatkan bahwa kualitas pembelajaran mempunyai hubungan positif dan
signifikan dengan hasil belajar mahasiswa. 21 % variasi hasil belajar mahasiswa
dapat diprediksi dari kualitas pembelajarannya. Guna meningkatkan kualitas
pembelajaran dapat dilihat dari indikator-indikator kualitas pembelajaran. Ada 10
kategori kelompok indikator kualitas pembelajaran, yaitu: 1) lingkungan fisik
mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar; 2) iklim kelas kondusif
untuk belajar; 3) guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan semua siswa
mempunyai harapan untuk berhasil; 4) guru menyampaikan pelajaran secara
koheren dan terfokus; 5) wacana yang penuh pemikiran; 6) pembelajaran bersifat
riil (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa; 7) ada
penilaian diagnostik yang dilakukan secara periodik; 8) membaca dan menulis
sebagai kegiatan yang esensial dalam pembelajaran; 9) menggunakan penalaran
efektif. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu dasar
peningkatan pendidikan secara keseluruhan
Kesulitan umum yang dihadapi siswa dalam mempelajari mata pelajaran
IPS antara lain (1) kurangnya minat siswa pada pelajaran IPS yang beranggapan
bahwa IPS merupakan pelajaran menghafal, (2) pelajaran yang abstrak sehingga
sulit dipahami oleh siswa (3) kurangnya pemahaman siswa tentang konsep-konsep
dasar dalam materi, (4) pembelajaran yang terlalu sering menggunakan media
cetak, (5) pembelajaran yang hanya berpusat pada guru. Untuk mengatasi masalah
itu, maka kualitas dari pengajaran harus ditingkatkan serta didukung oleh
faktor-faktor lainnya.
Mengapa seseorang dapat membaca atau mendengarkan setiap kata dari
sebuah penjelasan ilmiah, termasuk penjelasan tentang hubungan sebab-akibat,
tetapi tidak dapat menggunakan informasi tersebut untuk memecahkan masalah?
Menurut Pranata (2004): “…menyajikan penjelasan verbal mengenai bagaimana
sesuatu sistem bekerja tidak menjamin seseorang dapat memahami penjelasan
tersebut.” Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari banyak siswa kesulitan
menyerap pelajaran di kelas. Namun siswa dapat menyerap dengan cepat
informasi yang mereka dapat dari televisi. Sehingga banyak dikeluhkan oleh para
orangtua pengaruh televisi yang demikian besar dalam kehidupan anak-anak
mereka. Padahal idealnya, pengaruh itu harusnya adalah hasil dari proses
pembelajaran mereka di sekolah. Penelitian juga telah menemukan bukti bahwa
cara yang efektif untuk membantu agar informasi ilmiah dapat lebih mudah
dipahami ialah melalui penjelasan informasi secara multimodal. Artinya
pesan pembelajaran dikemas dengan sedemikian rupa melalui beragam saluran
yaitu visual, audio maupun keduanya secara simultan.
Kenyataan bahwa pendidikan memberikan porsi terhadap proses proses
pengetahuan verbal dimaksudkan untuk memancing siswa agar dapat belajar
menggunakan cara visual dalam merepresentasikan sebuah informasi.
meningkatkan aktivitas otak (Marzano, 1998). Pada saat siswa berusaha
menyampaikan sesuatu yang mereka ketahui dalam sebuah bagan visualisasi,
mereka (sebenarnya) dipaksa untuk menggambarkan dua proses, apa yang telah
dipelajari dan bagaimana keterkaitan antar ide, informasi dan konsep, sebuah
bentuk pengembangan kemampuan berpikir ke taraf yang lebih tinggi (seperti
berpikir analitis) dan menyatukan pengetahuan agar dapat merasakan
lingkungan. Visualisasi juga membantu siswa untuk menyimpan dan mengingat
sebuah informasi dengan lebih mudah. Informasi/materi pengajaran melalui teks
dapat diingat dengan baik jika disertai dengan gambar. Seseorang yang
membaca/memahami teks yang disertai gambar, aktifitas yang dilakukannya
yaitu : memilih informasi yang relevan dari teks, membentuk representasi
proporsi berdasarkan teks tersebut, dan kemudian mengorganisasi informasi
verbal yang diperoleh ke dalam mental model verbal.
Kondisi di lapangan sekarang menunjukan hal yang berbeda.
Pembelajaran, khususnya IPS, di sekolah berlangsung monoton. Diungkapkan
oleh Geoffrey Partington (dalam Widja 1989 : 3) bahwa praktik-praktik
pengajaran yang berlaku selama ini sering dicap sebagai pelajaran hapalan yang
yang didominasi oleh situasi “too much chalk and talk by a lack of involvement of
children in their own learning”. Hal ini berdampak pada kurangnya pemahaman
siswa terhadap materi yang disampaikan sehingga hasil belajarnya kurang
maksimal. Menurut Somantri (2001 : 54), proses pembelajaran IPS di tingkat
persekolahan masih mengandung beberapa kelemahan diantaranya:
Kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi, dan peran pendidikan IPS di sekolah, tujuan pembelajaran kurang jelas dan tegas (not purposeful). Posisi, peran dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan. Informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendaya gunakan sumber-sumber lainnya serta proses pembelajaran masih berpusat pada guru.
Masalah belajar tidak terlepas dari masalah memori. Memori dan
berupa hasil belajar. Menurut Gagne (dalam Fadillah, 2005:1): “… bahwa dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar”. Memori mengacu
pada penyimpanan informasi, mengakses informasi yang pernah diterima. Pada
dasarnya memori mencakup proses encoding (penyandian), storage
(penyimpanan), dan retrieval (memanggil kembali). Jadi memori berkaitan
dengan penerimaan informasi, penyimpanan informasi, sampai
pemanggilan kembali informasi yang disimpan.
Menurut Naylor & Diem (1987:209), ”… proses pembelajaran dilihat dari
sudut pandang para ahli teori Pemrosesan Informasi adalah menyediakan
pengalaman belajar yang memperbolehkan para siswa memasukan informasi
dalam Long Term Memory yang dapat dipakai kapan pun diperlukan/dipanggil”.
Hal tersebut dapat dilakukan, jika siswa difasilitasi dengan proses pembelajaran
yang memungkinkan informasi baru terhubung dengan informasi lama yang sudah
tersimpan sebelumnya. Yang belum menjadi perhatian adalah bagaimana
informasi di dalam memori manusia dapat diolah dengan tepat, sehingga cepat
muncul ketika diperlukan. Salah satu metode yang efektif untuk mencapai hal ini
adalah melalui penggunaan berbagai media yang disesuaikan dengan gaya belajar
si pembelajar. Salah satu teori yang menjadi dasar dari pemikiran ini adalah Dual
Coding Theory yang dikemukakan oleh Paivio (1971).
Di SMP Negeri 3 Mande sendiri, pembelajaran, khususnya pada mata
pelajaran IPS telah dilaksanakan secara bervariasi. Maksudnya proses
pembelajaran IPS di kelas telah menggunakan beragam metode pembelajaran
secara bergantian dan menggunakan berbagai media pembelajaran, seperti media
visual maupun audio visual. Namun dari perbincangan dengan guru mata
pelajaran IPS, mereka menggunakan metode pembelajaran maupun media
pembelajaran di kelas tanpa memisahkan antara media berupa kata-kata (verbal)
dengan media berupa gambar (visual). Tujuan penggunaan metode maupun media
menghindari kebosanan, bukan untuk mengoptimalkan pengolahan memori
sebagai modal dasar siswa belajar. Padahal, jika penggunaan metode dan media
pembelajaran didasari dengan teori yang tepat, proses pembelajaran akan jauh
lebih efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Berdasarkan pengamatan peneliti pada waktu pra observasi, kenyataan di
lapangan khususnya pada pembelajaran IPS kelas VII di SMP N 3 Mande Cianjur
guru dalam memberikan penjelasan mengenai suatu konsep pelajaran IPS lebih
banyak berceramah, bercerita tanpa didukung visualisasi yang konkrit
berhubungan dengan materi. Pembelajaran seperti ini berakibat pada
pembelajaran yang lebih menekankan pada verbalisme. Proses pembelajaran IPS
yang berlangsung selama ini kurang efektif dan aplikatif, karena tingkat
pemahaman siswa akan IPS terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru yang
bersumber pada buku teks. Sedangkan unsur visual yang dapat membantu siswa
memahami pembelajaran. Metode pembelajaran yang demikian menyebabkan
siswa cenderung sulit memahami materi pembelajaran dan lebih banyak
menghafal. Siswa hafal, belum tentu mengerti atau paham dengan apa yang
mereka hapalkan. Hal ini berdampak kepada hasil belajar siswa yang rendah.
Kriteria Ketuntasan Minimal pelajaran IPS untuk Standar Kompetensi 1 adalah
70. Dari 38 siswa kelas VII-G dua orang yang mencapai batas Ketuntasan
Minimal 70, sedangkan nilai rata-rata IPS yang dicapai kelas VII-G adalah 57,6.
Hal ini membuktikan rendahnya hasil belajar IPS siswa kelas VII-G.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana penerapan Model Dual-Coding dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan hasil belajar siswa?” .Dari rumusan
masalah diatas dapat dikemukakan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai
1. Bagaimanakah gambaran awal pembelajaran IPS sebelum penerapan
Model Dual-Coding di SMP Negeri 3 Mande?
2. Bagaimana pelaksanaan Model Dual-Coding untuk meningkatkan
hasil belajar IPS siswa di SMP Negeri 3 Mande?
3. Bagaimana hasil-hasil yang diperoleh pembelajaran dengan Model
Dual-Coding untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran IPS?
4. Upaya apa saja yang dilakukan guru untuk mengatasi kendala dalam
penerapan Model Dual-Coding pada pembelajaran IPS?
C.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian merupakan sasaran, arahan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memproleh gambaran umum tentang penerapan Model Dual-Coding dalam
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS di SMP Negeri 3
Mande. Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui gambaran awal pembelajaan IPS sebelum penerapan
Model Dual-Coding.
2. Memahami bagaimana guru melaksanakan kegiatan pembelajaran IPS
dengan menggunakan Model Dual-Coding dalam meningkatkan hasil
belajar IPS siswa.
3. Melihat efektifitas penerapan Model Dual-Coding untuk meningkatkan
hasil belajar IPS siswa.
4. Mengindentifikasi kendala yang muncul dalam pelaksanaan
pembelajaran IPS dengan menggunakan Model Dual-Coding serta
mencari alternatif pemecahan masalahnya.
Manfaat penelitian tentang penerapan Model Dual-Coding dalam
pembelajaran IPS untuk meningkatkan hasil belajar IPS siswa diharapkan dapat
memberi manfaat.:
a. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian mengenai penerapan Model Dual-Coding ini adalah
untuk melihat efektif atau tidak dalam peningkatan hasil belajar IPS siswa,
dengan demikian peneliti dapat menjadikan Model Dual-Coding sebagai
alternatif model pembelajaran.
b. Bagi Guru IPS
Memperoleh wawasan/pengetahuan tambahan mengenai model alternatif
dan inovatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPS.
c. Bagi Siswa
Para siswa dapat meningkatkan hasil belajar dalam mata pelajaran IPS
yang diperoleh dari upaya mengoptimalkan proses pengolahan informasi dalam
otak mereka. Sehingga peningkatan hasil belajar ini bukan hanya dalam mata
pelajaran IPS, melainkan seluruh pelajaran yang mereka terima.
E.Definisi Istilah
1. Hasil Belajar adalah: adalah pernyataan kemampuan siswa dalam
menguasai sebagian atau seluruh kompetensi tertentu. Kompetensi adalah
kemampuan yang dimiliki berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan bertindak dan berpikir setelah
siswa menyelesaikan suatu aspek, atau sub aspek mata pelajaran tertentu
(Depdiknas, 2003 : 5). Adapun hasil belajar itu digunakan untuk
menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar atau untuk
menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran. Hasil
yang dapat diukur sedangkan bagi siswa merupakan dampak pengiring
(nurturent effects) berupa terapan pengetahuan dan atau kemampuan di
bidang lain sebagai suatu transfer belajar Muhibbin (2008 : 141). Secara
formal, hasil belajar dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka-angka yang
disimpulkan berdasarkan evaluasi hasil belajar Surya (2003 : 25-95).
Adapun hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pemahaman siswa kelas VII terhadap materi pembelajaran IPS setelah
beberapa siklus. Adapun materi pelajaran IPS dimaksud adalah materi
pelajaran IPS yang tercakup dalam Standar Kompetensi : 2. Memahami
kehidupan sosial manusia, dengan Kompetensi Dasar:
2.1 Mendeskripsikan interaksi sebagai proses sosial
2.2 Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan
kepribadian
2.3 Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial
2.4 Menguraikan proses interaksi sosial
2. Model Dual-Coding adalah: model pembelajaran yang dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip Dual-Coding Theory atau Teori Pengkodean
Ganda. Teori pengkodean ganda adalah teori yang berasumsi bahwa
manusia memiliki dua sistem pengolahan informasi yang berlainan: satu
mewakili informasi verbal dan yang lain mewakili informasi visual
(Solso, 1998). Lebih lanjut, Paivio (1991, dalam Solso, 1998)
menguraikan tentang separated dual-code dan integrated dual-code.
Separated dual-code menunjukkan perbedaan yang jelas pada model
penerimaan atau penyimpanan informasi dalam memori
berdasarkan informasi yang diberikan, dalam hal ini informasi
visual dan informasi verbal. Informasi yang diberikan dalam bentuk
kata-kata akan diterima dalam bentuk verbal, sedangkan informasi yang
diterima dalam bentuk gambar akan diterima atau disimpan dalam bentuk
bentuk informasi (verbal dan visual), dalam waktu yang sama, yaitu: 1)
membuat gambaran verbal serta kesesuaian dengan informasi verbal yang
diterima; 2) membuat gambaran visual serta kesesuaian dengan informasi
visual yang diterima; dan 3) membuat kesesuaian hubungan antara
gambaran visual dengan gambaran verbal yang sudah diterima. Model
dual coding yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
pembelajaran IPS dengan memakai prinsip-prinsip dan langkah-langkah
teori dual coding dari Allan Paivio yang kemudian dioperasionalkan oleh
Mayer. Prinsip utama dari teori dual coding adalah bahwa informasi akan
lebih mudah diterima kalau disampaikan secara verbal dan visual dalam
suatu kaitan (Paivio, 2007:33). Proses penyampaian dan penerimaan
informasi tersebut terdiri dari lima langkah sebagai berikut (Mayer,
2009:80):
1. Memilih kata-kata yang relevan untuk pemrosesan dalam memori kerja
verbal.
2. Memilih gambar-gambar yang relevan untuk pemrosesan dalam
memori kerja visual.
3. Menata kata-kata terpilih ke dalam model mental verbal
4. Menata gambar-gambar terpilih ke dalam model mental visual
5. Memadukan representasi kata dan representasi
berbasis-gambar.
Dengan demikian, Model Dual Coding yang digunakan dalam penelitian
ini tediri dari 3 (tiga) tahapan sebagai berikut: (a) perencanaan pembelajaran yang
mencakup kegiatan penetapan tujuan dan fokus pada topik pembahasan,
(b) pembahasan materi dengan memakai 5 (lima) langkah model dual coding di
atas, (c) melakukan penilaian hasil belajar.
Dalam penelitian ini, penulis menyusun sistematika penulisan diawali
dengan pendahuluan yang terdiri dari:
BAB I Latar belakang, menguraikan secara umum latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan serta dilanjutkan
dengan penyusunan penjelasn-penjelasanan defenisi istilah dalam penelitian ini.
BAB II penulis mengangkat kajian teoritis yang berkaitan dengan hasil belajar, model dual – coding, komponen-komponen dalam model dual – coding, kemudian penelitian terdahulu sebagai acuan dalam penelitian ini.
BAB III, dalam bab ini berisi metode penulisan yang akan digunakan
peneliti yaitu penjelasan tentang metode penelitian, prosedur penelitian,
instrument penelitian, lokasi dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data,
instrument penelitian dan analisis data, serta validitasi data penelitian.
BAB IV menampilkan deskripsi hasil penelitian meliputi: pelaksanaan
penelitian,dan analisis penelitian, juga temuan-temuan dalam penelitian serta hasil
diskusi peneliti dengan guru mitra dalam penelitian ini.
BAB V bagian ini merupakan akhir dari penelitian dalam penerapan
Model Dual-Coding menguraikan tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan
BAB III
METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
A.Pendekatan, Metode dan Teknik Penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititatif. Yaitu suatu
pendekatan penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive
dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi (Sugiyono, 2009 : 15).
Adapun menurut Creswell (2010 : 4), pendekatan kualitatif merupakan
metode-metode untuk mengeksplorasi makna yang dianggap berasal dari masalah
sosial atau kemanusiaan . Proses penelitian ini melibatkan upaya-upaya penting
seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara
induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum dan
menafsirkan makna data.
Karakteristik penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982)
dalam Sugiyono, (2009 : 21) adalah sebagai berikut:
a) Qualitative research has the natural setting as the direct source of data and researcher is the key instrument; b) Qualitative research is descriptive. The data collected is in the form of words of pictures rather than number; c) Qualitative research are concerned with process rather than simply with outcomes or products; d) Qualitative research tend to analyze their data inductively; e)
“Meaning” is of essential to the qualitative approach.
Berdasarkan karakteristik diatas, dapat dikemukakan bahwa penelitian
kualitatif dilakukan pada kondisi yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen), langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci dari
terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar (atau keduanya), sehingga tidak
menekankan angka dan lebih menekankan pada proses daripada produk. Analisis
data pada penelitian kualitatif dilakukan secara induktif. Yang paling penting dari
penelitian kualitatif adalah bahwa penelitian kualitatif lebih menekankan pada
makna (arti) data dibalik yang diamati. Adapun menurut Sudjana (2004:200):
Penelitian kualitatif tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan sebelumnya, tetapi dimulai dari lapangan berdasarkan lingkungan alami. Data dan informasi lapangan ditarik makna dan konsepnya melalui pemaparan deskriptif analitik tanpa menggunakan enumerasi dan statistik sebab lebih mengutamakan proses terjadinya suatu peristiwa dan tingkah laku dalam situasi alami. Generalisasi tidak perlu dilakukan sebab deskripsi dan interpretasi terjadi dalam konteks ruang, waktu dan situasi tertentu”.
Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, yaitu metode
yang tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa
adanya sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti. Hal ini bukan berarti
pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif
akan tetapi penekanannya tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha
menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan
argumentatif. Banyak penelitian kualitatif merupakan penelitian sampel kecil.
Lebih spesifik lagi, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Penelitian Tindakan Kelas (classroom action research). Penelitian Tindakan
Kelas (classroom action research), merupakan perpaduan antara prosedur
penelitian dan tindakan substansif sebagai prosedur penelitian. Hal ini ditandai
dengan suatu kajian reflektif, kolaboratif dan partisipatif. Tujuan penelitian
tindakan kelas (PTK) ini untuk memperbaiki kinerja guru didalam kelas dalam
melaksanakan pembelajaran, sehingga peserta didik menjadi termotivasi dalam
belajar dan hasil belajarnya pun meningkat.
Penelitian ini dimaksud untuk melihat gambaran secara mendalam serta
efektivitas penerapan salah satu metode pembelajaran di SMP Negeri 3 Mande.
didalam kelas tetapi juga untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam
mengajar melalui kegiatan yang inovatif yang berlandaskan pada efektif
kolaboratif dan upaya-upaya meningkatkan kualitas pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial didalam kelas. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan tersebut,
PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical ) yang terdiri dari empat
tahapan : a) Perencanaan; b) Pelaksanaan; c) Observasi dan evaluasi; dan d)
Refleksi.
Menurut Hopkins (Wiriaatmadja, 2005:11), PTK mempunyai karakteristik
khusus yang tidak terdapat pada penelitian lain, yaitu: 1) Tema penelitian bersifat
situasional permasalahan yang dihadapi guru dan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar sehari-hari; 2) Tindakan diambil berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi
diri; 3) Dilakukan dalam beberapa putaran; 4) Penelitian bertujuan untuk
memperbaiki kinerja; 5) Dilaksanakan secara kolaboratif atau partisipatorif; dan
6) Sampel terbatas, penelitian tindakan mengambil sampel spesifik pada kelas
atau sekolah dengan sasaran kelompok siswa, atau kelompok guru yang tidak
dilakukan secara acak sehingga hasil penelitian tindakan kelas tidak dapat
digeneralisasikan untuk wilayah yang lebih luas. Jika ditinjau dari sudut tujuan
penelitian, PTK termasuk Penelitian Development. Yaitu penelitian yang
bertujuan mengembangkan pengetahuan yang sudah ada. Adapun dari segi
pemakaian hasil penelitian yang diperoleh, PTK termasuk Penelitian Terapan
(Applied Research), dimana penelitian ini diselenggarakan dalam rangka
mengatasi masalah nyata dalam kehidupan, berupa usaha menemukan dasar-dasar
dan langkah-langkah perbaikan bagi suatu aspek kehidupan yang dipandang perlu
untuk diperbaiki. (Nawawi, 1985: 29-31).
Setidaknya ada enam prinsip dasar yang melandasi PTK (Hopkins, 1993
dalam Pertiwi dkk, 2013:27), yaitu: 1) siklis; 2) sistematik; 3) integral; 4)
autentik; 5) konsisten; dan 6) komprehensif. Karateristik Penelitian Tindakan
Kelas menurut Sukardi (2004:211), adalah sebagai berikut: (1) Problem yang
profesi sehari-hari; (2) Peneliti memberikan perlakuan atau treatment yang
berupa tindakan yang terencana untuk memecahkan permasalahan dan sekaligus
meningkatkan kualitas yang dapat dirasakan implikasinya oleh subjek yang
diteliti; (3) Langkah-langkah penelitian yang direncanakan selalu dalam bentuk
siklus, tingkat atau daur yang memungkinkan terjadinya kerja kelompok maupun
kerja mandiri secara intensif; dan (4) adanya langkah berpikir reflektif dari
peneliti baik sesudah mupun sebelum tindakan.
Ada empat jenis PTK, yaitu: 1) PTK diagnostik, 2) PTK partisipan, 3)
PTK empiris dan 4) PTK eksperimental (Supriyadi:2012) Penelitian ini akan
menggunakan PTK Eksperimental. Yang dikategorikan sebagai PTK
eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan
berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatan
belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegiatan belajar-mengajar,
dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk
mencapai suatu tujuan instruksional. Dalam penelitian ini, dual-coding theory
akan digunakan dalam pembelajaran IPS sebagai upaya untuk meningkatkan hasil
belajar siswa dalam pembelajaran IPS di kelas VII-G SMP N 3 Mande.
B.Prosedur Penelitian.
Menurut Wiriaatmadja, (2009:95), secara umum prosedur Penelitian
Tindakan Kelas terdiri dari: 1) Mengidentifikasi masalah pembelajaran; 2)
Menganalisis dan merumuskan masalah pembelajaran; 3) Merencanakan tindakan
berdasarkan rumusan masalah; 4) Melaksanakan tindakan, observasi dan asesmen;
5) Menganalisis data hasil observasi dan asesmen serta hasil interpretasi; dan 6)
Melakukan refleksi dan merencanakan tindak lanjut untuk siklus berikutnya.
Adapun menurut Wiriaatmadja, prosedur penelitian tindakan kelas meliputi
beberapa langkah: 1) Memilih mitra untuk penelitian; b) Membuat perencanaan
Pemikiran awal
e) Melakukan observasi; f) Membuat catatan lapangan; g) Melakukan diskusi dan
refleksi pasca pelaksanaan siklus 1; h) Merencanakan pelaksanaan tahap/siklus 2,
dan seterusnya.
Adapun alasan penulis menggunakan desain model Ebbut adalah, bahwa
dalam model ini, siklus penelitian di dalam kelas dibatasi dengan jelas sejak
penelitian direncanakan. Jika dalam satu siklus penelitian perubahan yang
diharapkan terjadi, maka tidak usah dilakukan siklus selanjutnya. Ebbut
berpandangan bahwa bentuk spiral yang dilakukan oleh Kemmis dan Mc Taggart
bukan merupakan cara baik untuk menggambarkan proses aksi refleksi (action
reflection). PTK model Dave Ebbut ini secara skematis dapat dilihat digambar
Pada dasarnya dalam PTK terdapat empat tahapan penting, yaitu: (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan (observasi), dan (4) refleksi. Dalam
penelitian penerapan Dual-Coding Theory untuk meningkatkan hasil belajar IPS
siswa kelas VII G SMP Negeri 3 Mande keempat tahapan tersebut dapat dilihat
pada bagan berikut:
Bagan 3.2:
Alur siklus pelaksanaan penelitian
Sumber: diadaptasi dari Supriyadi (2012 : 13)
Masalah atau ide awal penelitian berasal dari adanya keresahan peneliti
melihat rendahnya hasil belajar IPS siswa di SMP N 3 Mande. Dibuktikan dengan
daftar nilai mata pelajaran IPS yang kebanyakan masih di bawah Kriteria
Ketuntasan Minimal. Setelah itu peneliti mulai mempersiapkan alat penelitian
metode pebelajaran yang akan digunakan berdasarkan studi pustaka yang telah
dilakukan sebelumnya.
Dalam Studi pendahuluan kegiatan peneliti adalah melakukan
pengamatan pra observasi mengenai proses pembelajaran IPS di SMP N 3 Mande
dan mencatat kejadian-kejadian penting selama proses pembelajaran. Disamping
itu berdiskusi dengan guru model dan mewawancarai siswa mengenai
permasalahan yang sering muncul selama kegiatan pembelajaran, baik masalah
yang berkaitan dengan kompleksitas matari pelajaran, metode pembelajaran yang
guru gunakan, proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti perlu melakukan berbagai
persiapan sehingga komponen yang direncanakan dapat dikelola dengan baik.
Langkah-langkah persiapan yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:
Menentukan Jadwal dan Materi pembelajaran; Membuat perangkat dan skenario
pembelajaran (Silabus, RPP, LKS, dll) berisikan langkah-langkah pembelajaran
dengan menerapkan prisnsip-prinsip dual coding theory yang dilaksanakan guru,
disamping bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka
implementasi tindakan perbaikan yang telah direncanakan.; Mempersiapkan
fasilitas dan sarana pendukung yang diperlukan di kelas seperti gambar-gambar
dan alat-alat peraga, dll; Mempersiapkan cara merekam dan menganalisis
mengenai proses dan hasil tindakan perbaikan, kalau perlu juga dalam bentuk
pelatihan-pelatihan; Melakukan simulasi pelaksanaan, sehingga dapat
menumbuhkan serta mempertebal kepercayaan diri dalam pelaksanaan yang
sebenarnya; dan sebagai pelaku PTK, guru mitra harus terbebas dari rasa takut
gagal dan takut berbuat kesalahan.
Langkah selanjutnya adalah melaksanakan skenario tindakan perbaikan
yang telah direncanakan dalam situasi yang aktual. Kegiatan pelaksanakan
tindakan dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan dan pada saat yang
bersamaan kegiatan pelaksanaan tindakan ini juga diikuti dengan kegiatan
menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sesuai dengan rencana
tindakan, (2) bahan ajar yang diperlukan dalam pembelajaran termasuk lembar
kerja siswa (LKS), (3) alat evaluasi seperti kuis dan tes, (4) media pembelajaran
yang diperlukan, (5) lembar observasi untuk mengamati keterlaksanaan model
pembelajaran dengan menerapkan prinsip-prinsip dual-coding Theory dan
perubahan yang terjadi pada siswa selama proses pembelajaran. Kemudian
melaksanakan langkah-langkah mulai dari perencanaa hingga
reconnaisance/refleksi.
Pengamatan ini berfungsi untuk melihat dan mendokumentasikan
pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh tindakan dalam kelas. Hasil
pengamatan ini merupakan dasar dilakukannya refleksi sehingga pengamatan
yang dilakukan harus dapat menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Dalam
pengamatan, hal-hal yang perlu dicatat oleh peneliti adalah proses dari tindakan,
efek-efek tindakan, lingkungan dan hambatan-hambatan yang muncul.
Secara umum observasi adalah upaya merekam segala peristiwa dan
kegiatan yang terjadi selama tindakan perbaikan berlangsung (dalam hal ini pada
saat pembelajaran berlangsung). Observasi dapat dilakukan secara terbuka dan
tertutup. Pada observasi terbuka, pengamat tidak menggunakan lembar observasi,
melainkan hanya menyiapkan kertas kosong untuk merekam kegiatan
pembelajaran yang diamati. Pada observasi tertutup, pengamat telah menyiapkan
dan menggunakan lembar observasi untuk merekam aktivitas pembelajaran yang
diamati. Penelitian ini akan menggunakan observasi tertutup, untuk membatasi
hal-hal yang diobservasi difokuskan pada komponen-komponen pembelajaran dengan menerapkan model ”Dual-Coding”.
Mekanisme perekaman hasil observasi perlu dirancang agar tidak
mencampur adukkan antara fakta dan interprestasi, namun juga tidak terseret oleh
kaidah umum yang tanpa kecuali menafsirkan interprestasi dalam pelaksanaan
observasi. Apabila yang terakhir ini dilakukan sehingga yang direkam hanyalah
perangkat fakta karena proses erosi yang terjadi dalam ingatan, lebih-lebih apabila
pengamat hasil observasi yang telah secara utuh karena proses erosi yang terjadi
dalam ingatan, lebih-lebih apabila pengamat adalah juga pelaksana tindakan.
Observasi kelas akan memberikan manfaat apabila pelaksanaannya diikuti dengan
diskusi balikan. Hasil diskusi diinterprestasikan secara bersama-sama oleh
pelaksana tindakan dan pengamat. Diskusi mengacu kepada penerapan sasaran
serta pengembangan strategi perbaikan untuk menentukan perencanaan
berikutrnya
Reconnaisance/refleksi disini meliputi kegiatan: analisis, sintesis,
penafsiran (penginterprestasian), menjelaskan dan menyimpulkan. Hasil dari
refleksi adalah diadakannya revisi terhadap perencanaan yang telah dilaksanakan,
yang akan dipergunakan untuk memperbaiki kinerja guru pada pertemuan
selanjutnya. Refleksi merupakan upaya untuk mengkaji apa yang telah terjadi
dan/atau tidak terjadi, apa yang telah dihasilkan atau yang belum berhasil
dituntaskan dengan tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Hasil refleksi itu
digunakan untuk menetapkan langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai tujuan
penelitian. Dengan kata lain, refleksi merupakan kajian terhadap keberhasilan atau
kegagalan dalam pencapaian tujuan sementara, dan untuk menentukan tindak
lanjut dalam rangka pencapaian berbagai tujuan sementara lainnya.
Selanjutnya dapat dilakukan analisis data dalam rangka refleksi setelah
implementasi suatu paket tindakan perbaikan, mencakup proses dan dampak
seperangkat tindakan perbaikan dalam suatu siklus PTK sebagai keseluruhan.
Dalam hubungan ini, analisis data adalah proses menyeleksi, menyederhanakan,
memfokuskan, mengorganisasikan, dam mengabstraksikan data secara sistematis
dan rasional untuk menampilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk
menyusun jawaban terhadap tujuan PTK.
Jika dari hasil analisis dan refleksi, hasil yang didapat menunjukkan
keberhasilan dan menurut peneliti (sebaiknya setelah berdiskusi dengan sejawat)
hasil analisis dan refleksi, indikator keberhasilan belum tercapai, maka dirancang
kembali rencana perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus 2 dengan tahapan
kegiatan yang sama dengan siklus 1. Setiap siklus tindakan pada penelitian ini
akan dilaksanakan dalam dua kali pertemuan atau pembelajaran di kelas. Dengan
alasan efektifitas waktu pembelajaran. Biasanya, evaluasi dengan tes tertulis
membutuhkan waktu khusus di akhir pembelajaran. Sehingga untuk penilaian
dilaksanakan pada akhir pertemuan kedua setiap siklus.
Keberhasilan dari sisi hasil dapat dilihat dari meningkatnya prestasi hasil
belajar siswa dan ketuntasan belajar siswa sesuai dengan acuan yang telah
ditentukan dalam penelitian ini. Prinsip penilaian yang diterapkan di sini sedapat
mungkin mengacu pada Penilaian Berbasis Kelas atau Berbasis Peserta Didik,
artinya penilaian dilakukan sepenuhnya oleh guru terhadap seluruh aspek dan
proses kegiatan belajar siswa dengan isntrumen penilaian yang bervariasi dengan
tetap memperhatikan perbedaan kemampuan individual siswa. Oleh karena itu
Pedoman acuan penilaian yang ditentukan dalam penelitian ini untuk mengukur
kemajuan hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa ditetapkan berdasarkan
kriteria PAP (Penilaian Acuan Patokan).
Untuk batasan pelaksanaan siklus tindakan, digunakan kriteria
keberhasilan tindakan. Peneliti menggunakan PAP sebagai salah satu patokan
kriteria keberhasilan tindakan yang diadaptasi dari taraf atau tingkat keberhasilan
proses belajar mengajar dari Sjaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. (Djamarah
dan Zain, 2010:108). Dimana sebuah proses belajar mengajar dinyatakan berhasil
atau gagal jika:
1. 75 % dari jumlah siswa yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan minimal, optimal atau bahkan maksimal, maka proses belajar mengajar berikutnya dapat membahas pokok bahasan yang baru;
Berdasarkan kriteria keberhasilan proses belajar mengajar diatas,
kemajuan hasil belajar siswa melalui penerapan model Dual-Coding dikatakan
meningkat secara signifikan manakala dari hasil evaluasi di akhir tindakan
penelitian (siklus), 75 % dari seluruh siswa kelas VII-G telah berhasil mencapai
batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan untuk mata
pelajaran IPS di SMP Negeri 3 Mande, yaitu 70. Secara prosentase, kemajuan
hasil belajar siswa di sini dikatakan meningkat manakala nilai rata-rata hasil
belajar siswa di akhir tindakan menunjukkan peningkatan sebesar 10% dari hasil
belajar sebelumnya. Dan dengan begitu berarti program tindakan dinyatakan
berhasil dan siklus tindakan dihentikan. Sebaliknya, jika siswa yang mencapai
nilai di bawah KKM berjumlah 25% atau lebih dari keseluruhan siswa kelas
VII-G maka program tindakan dinyatakan belum berhasil. Dan oleh sebab itu siklus
tindakan harus dilakukan kembali ke siklus selanjutnya.
Adapun hasil belajar siswa dinyatakan dari skor perolehan siswa
berdasarkan tes hasil hasil belajar. Pedoman penskoran tergantung dari tiap
indikator pencapaian kompetensi yang dicantumkan dalam perangkat
pembelajaran. Tes hasil belajar sendiri dilaksanakan setiap akhir siklus. Dalam
penelitian tindakan kelas biasanya digunakan pedoman konversi nilai absolut
skala lima. Misalnya, data hasil belajar, pedoman konversinya adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.1:
Kriteria Keberhasilan Tindakan
No Interval Skor Huruf Klasifikasi
1. 0-59 E Sangat Kurang
2. 60-69 D Kurang
3. 70-79 C Cukup
5. 90-100 A Sangat Baik
Sumber: diolah dari (Soedjana, 2010:56)
Penelitian Tindakan Kelas akan dilaksanakan pada Tahun Pelajaran
2013/2014 semester ganjil dengan mempertimbangkan Kalender Pendidikan dari
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Karena pada hakekatnya, Penelitian Tindakan
Kelas merupakan penelitian yang dilakukan tanpa mengganggu jadwal akademik
di kelas. Penelitian ini rencananya dilaksanakan mulai bulan September 2013 –
Desember 2013. Rincian waktu dan kegiatan penelitian dapat di lihat pada matriks
Matriks jadwal penelitian
JADWAL PELAKSANAAN SIKLUS PENELITIAN TINDAKAN KELAS
“PENERAPAN DUAL – CODING THEORY DALAM PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKANHASIL BELAJAR IPS SISWA”
DI KELAS VII-G SMP NEGERI 3 MANDE TAHUN PELAJARAN 2013/201
No Deskripsi Kegiatan September Oktober Nopember Desember Keterangan
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5
1. Observasi V
UJI
AN
TEN
GA
H SEME
S
TER
2. Siklus 1
- Perencanaan tindakan 1 V V
- Pelaksanaan tindakan 1 V V
- Observasi dan evaluasi V V V
- Refleksi V V
3. Siklus 2
- Revisi V
- Perencanaan tindakan 2 V V
- Pelaksanaan tindakan 2 V V
- Observasi dan evaluasi V V V
- Refleksi V
C.Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di SMP Negeri 3 Mande, yang beralamat di Jl.
Aria Wiratanudatar, KM 9, Desa Jamali. Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur.
Lokasi penelitian merujuk pada pengertian sosial yang mengandung tiga unsur:
tempat, pelaku dan kegiatan (Nasution, 1996:43).
Alasan peneliti memilih SMP Negeri 3 Mande Kabupaten Cianjur sebagai
lokasi penelitan, dikarenakan alasan administratif, dimana peneliti sabagai salah
satu staf pengajar di sekolah tersebut. Adapun secara teoritis dasar pertimbangan
pemilihan lokasi tersebut adalah karena karakteristik penlitian tindakan kelas
bersifat situasional dan kontekstual artinya problema yang diangkat untuk
dipecahkan dalam penelitian tindakan kelas harus selalu berangkat dari persoalan
praktik pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru (Sukidin, 2002 dalam
Karahmatika, 2009:45).
2. Subyek Penelitian
Lebih khusus lagi, penelitian akan dilaksanakan di kelas VII-G dengan
jumlah siswa sebanyak 38 orang, terdiri dari 22 orang laki-laki dan 20 orang
perempuan. Adapun guru model adalah seorang guru matapelajaran IPS, bernama
Cahri Cahyana, S.Pd. Beliau memiliki latar belakang pendidikan S-1 Pendidikan
Sejarah, dan pengalaman mengajar sejak tahun 1997. Secara profesional, guru ini
telah memiliki sertifikat pendidik sejak tahun 2010. Adapun alasan pemilihan
belaiu sebagai Guru Mitra adalah karena beliau satu-satunya guru yang memiliki
kualifikasi pendidikan sesuai dengan mata pelajaran IPS.
D.Teknik Pengumpulan Data
Data untuk penelitian tindakan kelas ini dilakukan dengan observasi
observer. Berpedoman pada pendapat Wiriaatmadja (2009), Pertama, observasi
akan dilaksanakan secara umum dan khusus. Secara umum artinya, segala
kegiatan didalam kelas diamati dan dicatat dalam Catatan Lapangan. Sedangkan
secara khusus artinya, observasi difokuskan hanya pada kegiatan tertentu dalam
hal ini adalah pelaksanaan penerapan Dual-Coding Theory di dalam kelas.
Observer membantu peneliti untuk membuat Catatan Lapangan, setelah
sebelumnya disepakati terlebih dahulu ukuran-ukuran (baik-buruk, kuat-lemah,
efisien-tidek efisien) yang digunakan dalam pengamatan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik observasi yang dilakukan secara langsung oleh peneliti, dengan
menggunakan beberapa cara, yaitu: (1) Dokumentasi, yaitu untuk memperoleh
daftar nilai ulangan sebelumnya. Nilai tersebut dijadikan sebagai acuan; (2) Tes,
yaitu untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.
Instrumen tes dibuat peneliti dengan menggunakan kriteria tertentu, bahwa butir
soal yang diujikan sesuai dengan silabus dan dikonsultasikan dengan guru IPS di
SMP Negeri 3 Mande; (3) Observasi aktivitas siswa, yaitu untuk mengetahui
kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan siswa pada kegiatan pembelajaran.
Ada tiga fase esensial dalam mengobservasi kelas yaitu: pertemuan
perencanaan, observasi kelas dan diskusi balikan (Wiriaatmadja, 2009:106), yang
akan terlihat dari bagan di bawah ini.
Bagan 3.3: Alur observasi kelas
Sumber: Wiriaatmadja (2009), halaman 106 Pertemuan Perencanaan
Dalam pertemuan perencanaan, guru penyaji dan pengamat mendiskusikan
rencana pembelajaran termasuk bagaimana langkah-langkah pembelajaran akan
dilaksanakan dan bagaimana pengamat akan memulai pengumpulan data melalui
observasi. Selanjutnya hasil pengamatan dari kegiatan pembelajaran akan
dianalisis dalam diskusi balikan untuk menyepakati hasil observasi berupa
kekurangan maupun keberhasilan kegiatan pembelajaran dalam bentuk Catatan
Lapangan.
E.Instrumen Penelitian Pada prinsipnya, dalam metode penelitian kualitatif-naturalistik, peneliti
sendirilah yang menjadi instrumen utama penelitian (human instrumen), yang
terjun ke lapangan (kelas) untuk mengumpulkan sendiri informasi yang
diperlukan.
Penggunaan peneliti sebagai instrumen penelitian ini didasarkan pada
karakter seorang peneliti as the only human instrument yang dikemukakan oleh
Lincoln dan Guba (Wiriaatmadja, 2005:96) yaitu: 1) Responsif, terhadap berbagai
petunjuk baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat lingkungan; 2)
Adaptif, dengan mampu mengumpulkan berbagai informasi mengenai banyak
faktor pada tahap yang berbeda-beda secara simultan; 3) Menekankan aspek
holistik, karena manusialah yang mampu dengan segera menempatkan dan
menyimpulkan kejadian yang membingungkan di atas ke dalam posisinya secara
keseluruhan; 4) Pengembangan berbasis pengetahuan, hanya manusia yang dapat
sekaligur berpikir yang tidak diungkapkan (tacit knowledge) dalam menyusun
proposisi, sementara sadar bahwa situasi yang dihadapi memerlukan lebih dari
sekedar pengetahuan dan proposisi karena harus memahami apa yang dirasakan
subyek yang diteliti, simpati dan empati yang tidak diungkapkan; 5) Memproses
dengan segera, sang penelitilah yang mampu segera memproses data di rempat,
diciptakan, 6) Klarifikasi dan kesimpulan, ia juga memiliki kemampuan unik
untuk membuat kesimpulan di tempat, dan langsung meminta klarifikasi,
pembetulan, atau elaborasi kepada subyek yang diteliti; 7) Kesempatan eksplorasi,
terutama terhadap jawaban-jawaban dari subyek yang diteliti yang tidak lazim,
atau mengandung kelainan (idiosinkretik), yang sepertinya tidak berguna atau
tidak bisa dikoding, sehingga data tersebut diabaikan atau dibuang.
Untuk mempermudah pekerjaan penelitian, peneliti dibantu dengan alat
penelitian lain, yaitu:
1. Pedoman Observasi
Menurut Creswell (2010 : 267) observasi kualitatif merupakan observasi
yang didalamnya peneliti langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku
dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian. Dalam pengamatan ini,
peneliti merekam/mencatat aktivitas-aktivitas dalam lokasi penelitian. Untuk
proses observasi dalam penelitian Penerapan Dual-Coding Theory dalam
Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, peneliti akan
berperan sebagai partisipan.
Menurut Sugiyono (2009 : 315), pedoman observasi adalah pedoman
teknik pengamatan dan pencatatan langsung atau tidak langsung terhadap obyek
yang sedang diteliti, dengan menggunakan alat-alat seperti daftar isian, daftar
pertanyaan, checking list dan sebagainya, yang cara pengisiannya diisi oleh
pengamat sendiri.
Observasi dalam penelitian tindakan kelas berfungsi untuk
mendokumentasikan pengaruh tindakan terkait dengan orientasi ke tindakan
berikutnya dimana semua kejadian dicatat di dalam catatan lapangan (field note)
sebagai dasar bagi refleksi dan analisis untuk menentukan rencana tindakan pada
siklus beikutnya.
Tes Hasil Belajar (THB) merupakan salah satu alat ukur yang paling
banyak digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam proses
pembelajaran atau untuk menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan. Tes
adalah pemberian sejumlah pertanyaan yang jawabannya dapat benar atau salah.
Tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja. Tes tertulis
adalah tes yang menuntut peserta tes memberi jawaban secara tertulis berupa
pilihan dan/atau isian. Tes yang jawabannya berupa pilihan meliputi pilihan
ganda, benar-salah, dan menjodohkan. Sedangkan tes yang jawabannya berupa
isian dapat berbentuk isian singkat dan/atau uraian.
Menurut (Zainul dan Nasution, 1993 : 25-29), dasar-dasar penyusunan Tes
Hasil Belajar harus memenuhi beberapa syarat: 1) harus dapat mengukur apa-apa
yang dipelajari dalam proses belajar sesuai dengan tujuan instruksional yang
tercantum dalam kurikulum yang berlaku; 2) disusun sedemikian rupa sehingga
benar-benar mewakili bahan yang telah dipelajari; 3) penyusunan THB hendaknya
disesuaikan dengan aspek-aspek tingkat belajar yang diharapkan; 4) hendaknya
disusun sesuai dengan tujuan penggunaan penggunaan tes itu sendiri; 5)
disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut apakah mengacu pada
kelompok (norm reference, standar relatif) ataukah mengacu pada patokan
tertentu (criterion reference, standar mutlak); 6) hendaknya dapat digunakan
untuk memperbaiki proses belajar mengajar.
Untuk menilai hasil belajar siswa, penelitian ini akan menggunakan tes
uraian. Tes ini dibuat berdasarkan validitas isi. Menurut Suherman, dkk (1990:137), “validitas isi suatu alat evaluasi artinya ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang dievaluasikan, yaitu materi (bahan) yang dipakai sebagai
alat evaluasi tersebut yang merupakan sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai”. Adapun alasan penggunaan tes uraian dalam penelitian ini adalah: beberapa kelebihan tes uraian menurut Zainul dan Nasution (1993 :
30-32). Diantaranya adalah: dapat digunakan dengan baik untuk mengukur hasil
dibandingkan bentuk tes yang lain, memudahkan guru untuk menyusun soal, dan
sangat menekankan kemampuan menulis. Pada tingkat pemahaman: peserta didik
dituntut untuk menyatakan masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh
suatu prinsip atau konsep.
Sebagai alat penilaian, tes uraian yang dilakukan berupa tes awal, dan tes
akhir. Tes awal dilaksanakan sebelum proses pembelajaran berlangsung.
Sedangkan tes akhir dilaksanakan setiap siklus. Melalui tes akhir ini akan dapat
dilihat keberhasilan pembelajaran dengan penerapan Dual-Coding Theory di
dalam kelas.
3. Angket
Salah satu alat yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian
adalah angket. Penyebaran angket dilakukan setelah seluruh pembelajaran selesai
dilaksanakan sehingga pengisian angket oleh guru dan siswa dapat mengacu pada
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Pada penelitian ini angket diberikan kepada guru dan siswa. Angket yang
diberikan kepada guru adalah untuk mengetahui respon guru terhadap penerapan
Dual-Coding Theory, untuk mengetahui apakah guru telah melaksanakan kegiatan
belajar mengajar sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Sedangkan angket
yang diberikan kepada siswa bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap
penerapan Dual-Coding Theory dalam pembelajaran IPS.
4. Wawancara
Wawancara adalah “suatu percakapan terarah yang tujuannya untuk mengumpulkan atau memperkaya informasi atau bahan-bahan (data) yang sangat