• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memproleh Gelar. Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memproleh Gelar. Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

STEVEN PASKAH LAMHOT AFRIEDINATA SIMANJUNTAK NIM . 160200256

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Pembuktian sederhana juga menimbulkan permasalahan yang lebih, yakni terlalu mudahnya untuk mengabulkan permohonan pailit dikarenakan permohonan pailit hanya cukup untuk membuktikan suatu keadaan dimana debitur memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Permasalahan dalam penelitian pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia. Perbandingan pembuktian sederhana dengan pembuktian perkara perdata pada umumnya. Standart pembuktian sederhana yang diterapkan oleh hakim pada perkara No.1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Sifat penelitian deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis deskriptif.

Pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia, Bahwa makna pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan yang dimuat dalam Pasal 8 ayat (4) sudah cukup jelas yaitu membuktikan adanya fakta dua kreditur atau lebih dan minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, Pasal 8 ayat (4) ini telah sesuai dengan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Perbandingan pembuktian sederhana dengan pembuktian perkara perdata pada umumnya Pasal 299 UUKPKPU menyatakan dengan tegas bahwa apabila tidak ditentukan lain dalam UUKPKPU, maka hukum acara yang berlaku dalam perkara kepailitan adalah hukum acara perdata dalam hal ini HIR/RBG.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa HIR/RBG dalam hukum acara perkara kepailitan berkedudukan sebagai hukum umum atau lex generalis, sedangkan UUKPKPU berkedudukan sebagai hukum khusus atau lex specialis. Standart pembuktian sederhana yang diterapkan oleh hakim pada Kriteria atau parameter dari pembuktian sederhana itu belum ada secara tegas. Dan itu masih merujuk kepada Pasal 8 ayat (4), kadang kala pembuktian sederhana ini berbanding terbalik dengan pembuktian yang biasa kalau pengadilan mengatakan dia tidak pembuktian sederhana maka itu bukan kompetensi dari pengadilan niaga melainkan kompetensi pengadilan negeri tadi mengajukan permohonan pailit kepengadilan niaga ternyata majelis hakim memandang ada sekenta didalamnya dan jikalau ada sengketa didalamnya berarti itu bukan pembuktian sederhana yang dimana kompetensinya pengadilan negeri.

Kata Kunci: Pembuktian Sederhana, Permohonan Pailit, Pengadilan Niaga.1

*)Mahasiswa FH USU

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, kasih dan penyertaan-Nya, sehingga penulis mampu menjalani masa perkuliahan sampai tahap penyelesaian skripsi yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Skripsi dengan judul “Pembuktian Sederhana Pada Permohonan Pailit CV HITADO Dalam Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Medan No. 1/Pdt. Sus-Pailit/2017/PN-NIAGA MDN” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Demi kelancaran penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik dukungan materil dan moril. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof.Dr.OK. Saidin,S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr.Jelly Leviza,S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution.S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H., selaku sekretaris Departemen Hukum Ekonomi;

8. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH.,M.Hum selaku dosen pembimbing I yang membimbing dan memberikan nasihat kepada penulis serta membantu penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

9. Ibu Dr. Detania Sukarja, SH., LLM., selaku dosen pembimbing II.

Terima kasih atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang Ibu berikan selama ini di setiap bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan dengan baik.

10. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH. M.Hum., selaku dosen pembimbing Akademik penulis sejak di bangku kuliah hingga menyelesaikan perkuliahan.

11. Seluruh Dosen dan seluruh Pegawai Tata Usaha dan Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Yang teristimewa dan terkasih kedua Orang tua penulis, Bapak Marelitua Simanjuntak S.H., M.H. dan Mama Eperisma Aritonang S.E.yang setiap waktu dan sepanjang masa memberikan motivasi dan mendoakan penulis agar dapat mencapai cita-cita yang setinggi- tingginya.

(6)

13. Kepada orang spesial bagi penulis, Yohana Shandra Aritonang S.Sos.

yang senantiasa memberikan dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini dan dapat menggapai cita-cita yang diimpikan.

14. Kepada saudara-saudara penulis, Ryan Boby Simanjuntak S.Sos.

(Saudara Sepupu Penulis), Josari Simanjuntak (Keponakan Penulis), Rona Dewi Simanjuntak (Saudara Sepupu Penulis), Heru Simanjuntak (Saudara Sepupu Penulis), Juan Simanjuntak (Saudara Sepupu Penulis), yang senantiasa memberi doa dan dukungan terhadap penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Opung yang sangat penulis kasihi, Rosiana Pane (Ibu dari Ayah Penulis), Tiongsi Sihombing ( Ibu dari Ibu Penulis), yang senantiasa mendoakan dan mengharapkan yang terbaik bagi penulis dalam menggapai cita-citanya.

16. Kepada abangda Robert S.H., M.H. yang penuh dengan kebijaksanaan dan kemurahaan hati dalam membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan memberikan saran saran yang baik bagi penulis selama penulis melakukan penyususan skripsi ini.

17. Kepada Ibu Riana Pohan S.H., M.H. dan Bapak Fahren S.H.,M.Hum., selaku Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini dengan memberikan saran dan komentar dalam pembahasan materi skripsi ini.

18. Kepada Dr. Edy Yunara S.H., M.Hum,. dan Dr. Marlina S.H.,M.Hum,.

yang penuh dengan kebijaksanaan dalam menjalankan tugas

(7)

membimbing, mendampingi dalam mengkuti Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Piala Prof. Soedarto VI (National Moot Court Competition) pada Tahun 2017, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, yang dimana kami dapat pengalaman yang baik dalam mengikuti perlombaan tersebut.

19. Kepada rekan-rekan seperjungan dalam mengikuti perlombaan Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Pada Piala Prof.

Soedarto VI yaitu, Yuanita Siagian, Putri Tampubolon, Reinhard Siahaan, Kwarta Gultom, Ekinia Karolina, Silvia Siahaan, Yosafat Tamba, Gom Banuaran, Sugita Girsang, Santa Clara, Dicky Purba, Surya Sirait, Haposan Banjarnahor, Hera Sihombing, Fanta Berutu, M.Adil Ginting, Theresia Junita, Riah Saragih.

20. Kepada Syahydah Napitu rekan Observer dalam Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Pada Piala Prof. Soedarto VII.

21. Liaison Officer (LO) Observer Universitas Sumatera Utara dalam Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Pada Piala Prof.

Soedarto VII yaitu, Annisa

22. Kepada rekan-rekan kepengurusan di Komunitas Peradilan Semu Periode 2018-2019 Bidang Keanggotaan yaitu, Inka Yuniar Ginting, Aulia, Teodora Siahaan, Maria, Anton Sitanggang.

23. Sahabat Penulis Angkatan 2016 yaitu, Steven Aldy Bukit, Steven Willy Mendrofa, Herbang Sitorus, Allessandro Panjaitan, Maruli Agustinus Sinaga, Iwan Manalu, Khaniska Buller, Yohanes Simbolon,

(8)

Niam Aruan, Amir Simamora dan seluruh teman-teman stambuk 2016 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih menjadi sahabat seperjuangan penulis menuntut ilmu pengetahuan selama perkuliahaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

24. Seluruh teman-teman seperjuangan dalam kepengurusan Remaja GKPI Horrisan Medan Periode 2015-2020 yaitu, Rentina Nainggolan, Anggreini Tarigan, Michel Sitompul, Maria Simatupang, Bryan Carlos Siagian, Intan Sitompul, Magdalena Sitorus, Luhut Bagariang, Anggela Tarigan, Natasya Tiatira, yang bersama-sama dengan penulis dalam mengambil kepengurusan.

25. Kepada seluruh rekan-rekan pemusik dalam pelayanan di Gereja GKPI Horrisan Medan yaitu, Blinton Samosir S.H., Novita Marpaung, Hasiholan Silaban, Clara Sitompul, Philip Sitompul, Rahmat Hutapea, Astrid Sihombing.

26. Para penulis buku-buku dan jurnal yang penulis jadikan refrensi dalam pengerjaan skripsi ini.

27. Kepada rekan-rekan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberiksn kontribusi kepada berbagai pihak, namun penulis juga menyadari ketidaksempurnaannya. Oleh sebeb itu diharapkan kritik yang membangun untuk kesempurnaan pernelitian serlanjutnya.

Medan, 21 Januari 2020 Penulis,

Steven Paskah Lamhot Afriedinata Simanjuntak

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian... 18

G. Sistematika Penulisan... 21

BAB II PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Aspek Hukum Kepailtan Indonesia ... 23

1. Pengertian Hukum Kepailitan ... 23

2. Asas-asas dan Tujuan Hukum Kepailitan ... 25

3. Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Kepailitan ... 29

4. Sumber-Sumber Hukum Kepailitan Indonesia Dan Yurisdiksi Pengadilan Niaga ... 32

B. Sejarah Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan Indonesia ... 35

1. Pembuktian Sederhana berdasarkan Faiillisesment Verordening ... 35

2. Pembuktian Sederhana Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ... 37

3. Pembuktian Sederhana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ... 38

C. Kriteria Pembuktian Sederhana... 40

(10)

BAB III PERBANDINGAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA

PADA UMUMNYA ... 52

A. Hukum Acara Yang Berlaku Di Pengadilan Niaga... 52

1. Hukum Acara Peradilan Pidana ... 52

2. Hukum Acara Peradilan Perdata ... 54

B. Esensi Dari Pembuktian Perkara Perdata ... 56

C. Perbandingan pembuktian Perkara Perdata Pada umumnya Dengan Pembuktian Sederhana... 61

BAB IV PENERAPAN PEMBUKTIN SEDERHANA DALAM PERKARA NOMOR 1/PDT.SUS-PAILIT/2017/PN NIAGA MDN ... 68

A. Posisi Kasus ... 68

B. Pertimbangan Hakim Dalam Kasus Nomor 1/Pdt.Sus- Pailit/2017/PN Niaga Mdn ... 72

C. Analisis Kasus ... 85

BAB V PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis moneter yang melanda suatu negara khususnya Indonesia, memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian negara yang bersangkutan dan menimbulkan kesulitan yang besar dikalangan dunia usaha yang meneruskan kegiatannya. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah. Hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.2

Perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan yang sangat besar yang diakibatkan adanya krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia pada tahun 1997, sehingga mengakibatkan banyak dunia usaha yang mengalami kebangkrutan dan tidak dapat melanjutkan dunia usahanya yang berdampak pula pada pengusaha yang tidak dapat melanjutkan kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo.3

Permasalahan yang ditimbulkan oleh krisis moneter pemerintah berinisiatif untuk melakukan perubahan peraturan perundang-undangan, yang terkait yaitu salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 4

2Victorianus Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit, (Bandung: Sarana Tutirial Nurani Nusantara, 2011), hlm.1.

3 Ibid., hlm.2.

(12)

tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya disebut UUK) yang ada.

Perubahan UUK ini pada dasarnya merupakan tuntutan dari dana moneter internasional / International Monetary Fund (selanjutnya disebut IMF), yang mendesak agar pemerintah Indonesia membuat pengaturan yang lebih jelas guna pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur dimana pada saat itu pengaturan hukum tentang kepailitan masih kurang memadai dan tidak dapat menjawab permasalahan yang ada pada saat itu.4

Permasalahan yang terjadi dalam perkara kepailitan adalah mengenai penerapan pembuktian sederhana dikarenakan permasalahan penerapan tersebut tidak dijelaskan baik pengertian maupun batasan-batasan yang secara jelas diterapkan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU).

Undang-undang hanya menentukan apa yang telah diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK sebagai berikut “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”5

Desakan bagi pembaharuan UUK sebenarnya sudah marak dibicarakan sejak mulai ramainya investor asing masuk ke Indonesia. Perlunnya UUK, bahkan juga diadakannnya suatu pengadilan niaga, bukan hanya untuk kepentingan dunia

4 Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan Teori Kepailitan, (Jakrta : Sinar Grafika,2018), hlm.40.

5 Dimas Gherry Ade Duandana, “Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Kepailitan Studi Kasus Di Pengadilan Niaga Semarang”, Naskah Publikasi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012, hlm 1.

(13)

bisnis dan perekonomian semata-mata, tetapi pertama-tama untuk melindungi kepentingan modal asing yang secara langsung maupun tidak langsung telah ditanamnkan di Indonesia.6 UUK perlu diperbaiki dengan alasan pertama bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut Perpu) Nomor 1 tahun 1998 sifatnya hanya perubahan atas ketentuan dalam faillsement Verondening, sehingga akibatnya untuk penyelesaian masalah kepailitan harus memperhatikan juga ketentuan yang terdapat dalam faillsement Verondening.

Keadaan ini menyebabkan terdapat ketidakkonsistenan penggunaan beberapa istilah atau terminologi hukum yang digunakan sehingga dalam praktik sering menyulitkan bagi praktisi hukum.7

Kedua guna memenuhi kesepakatan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni janji pemerintah akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang komprehensif dalam waktu paling lama satu tahun terhitung sejak UUK diundangkan pada tanggal 9 September 1998.8 Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2004 melakukan perubahan untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan terhadap UUK yang lama, maka lahirlah UUK yang baru yaitu UUK-PKPU.9

Lahirnya UUK-PKPU disebabkan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UUK belum dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. UUK-PKPU ini terdapat beberapa hal baru yang

6 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : Kencana 2017), hlm.5.

7 Ibid, hlm 385

8 Ibid

9 M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktek Di Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm.12.

(14)

dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan ketidakpastian hukum yang terdapat dalam UUK tersebut10.

Merujuk kepada substansi yang diatur UUK-PKPU yang baru bahwa sebagian besar sama dengan UUK lama, tetapi mengalami penyempurnaan dibagian penyelesian perkara UUK-PKPU yang belum diatur pada UUK lama.

Kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passi prorate dalam rezim hukum harta kekayaan.11 Pasal 1 butir 1 UUK-PKPU mendefinisikan :12

“Kepailitan” adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas”.

Berdasarkan uraian di atas kepailitan diartikan adanya ketidakmampuan debitur untuk membayar (pihak penghutang) untuk melakukan pembayaran utangnya kepada pihak kreditur (pihak pemberi hutang) dalam waktu yang telah ditentukan oleh para pihak, maka jika dalam hal seperti ini terjadi salah satu cara dalam penyelesaian masalah tersebut ialah hukum yang dapat di tempuh yang dapat melalui hukum kepailitan.

10 Sunarmi, Op.Cit, hlm 425.

11 Kartini Mulyadi, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm.168.

12 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 ayat (1). (selanjutnya disebut Republik Indonesia Kepailitan)

(15)

Pasal 299 UUK-PKPU menegaskan khusus perkara kepailitan, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata13. Artinya bahwa sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUK-PKPU, maka hukum acara yang berlaku untuk pengadilan niaga dalam penyelesian perkara-perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut K-PKPU) adalah Het Herziene Indonesich Reglement (selanjutnya disebut HIR) dan untuk Pengadilan Niaga yang berada di Jawa dan Madura menggunakan Reglement Buiten Gewesten (selanjutnya disebut RBg).14

Menurut Pasal 163 HIR, 283 RBg dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), sebagaimana disebutkan:15

“Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau menyebut suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa didalam pembuktian perkara di pengadilan diwajibkan kepada pihak yang merasa mempunyai hak atau dalam hal membantah hak orang lain dan bahkan untuk menguatkan haknya merupakan suatu kewajiban dari pihak-pihak yangs sedang berperkara baik itu pihak penggugat atau tergugat.

Hukum K-PKPU ada sistem pembuktianya berbeda dengan sistem pembuktian hukum perdata secara umum. Didalam pemerikasaan perkara K-

13 Ibid, Pasal 299.

14 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013),hal 7

15 Ketentuan Pasal 163 HIR atau Pasal 283 RBg atau Pasal 1865 KUHPerdata

(16)

PKPU di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat dikarenakan didalam UUK- PKPU memberikan batas waktu proses pemeriksaan perkara K-PKPU, sehingga lebih cepatnya pemeriksaan perkara ini dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut yaitu asas pembuktian sederhana atau pembuktian secara sumir.

Pengaturan pembuktian secara sederhana diatur didalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa :16

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk menyatakan pailit sebagai mana dimaksud didalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”

Didalam kepailitan, Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU tidak terlepas dari Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa :17

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditur.”

Melihat dari ketentuan UUK-PKPU bahwa tidak ada memberikan penjelasan secara rinci bagaimana tata cara penerapan pembuktian sederhana yang diterapkan dan memeriksa permohonan pailit. Hal ini menyebabkan ketidak jelasan didalam defenisi ini yang menyebakan perbedaan penafsiran dalam menyelesikan perkara kepailitan, ketidak jelasan ini yang sering dimanfaatkan

16 Republik Indonesia, Kepailitan, Pasal 8 ayat (4).

17 Ibid, Pasal 2 ayat (1).

(17)

oleh para debitur maupun kreditur untuk menguntukan dirinya sendiri. Terlebih terhadap pengertian utang yang belum mendapat defenisi yang jelas dan ini juga yang menyebatkan para Hakim Niaga Indonesia hanya bisa mengartikannya secara sempit.

Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem tertutup dan terbatas dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-Undang telah menentukan secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Pembatasan kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas dan leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti diluar ketentuan yang ada didalam undang-undang yang mengatur, hakim harus menolak dan mengesampingkanya dalam penyelesaian perkara.18

Pembuktian sederhana juga menimbulkan permasalahan yang lebih, yakni terlalu mudahnya untuk mengabulkan permohonan pailit dikarenakan permohonan pailit hanya cukup untuk membuktikan suatu keadaan dimana debitur memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur dan sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih tampa memperhatikan apakah debitur masih mampu membayar atau benar-benar tidak mampu lagi dalam melakukakan pembayaraan utangnya.

CV. Hitado perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha Distributor Tepung Terigu Merek Eris Biru yang didirikan berdasarkan Akta Perseroan

18M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm 554-555

(18)

Komanditer CV. Hitado Nomor : 17, tanggal 04 Oktober 1996 yang dibuat dihadapan Alina Hanum Nasution, SH. Notaris/PPAT Kota Medan dengan Perubahan berdasarkan Akta Pemasukan dan Pengeluaran Persero Serta Perobahan Anggaran Dasar Nomor 8, tanggal 20 Maret 2001 yang dibuat dihadapan Sjarifuddin Taib, SH Notaris/PPAT Kota Medan., kemudian dirubah lagi dengan akta pemasukan sebagai persero serta dibuat dihadapan Susan Widjaja, SH Notaris di Medan. 19

Hubungan hukum pemohon pailit dan kreditur – I Ic. New Universal PTE. LTD. berkedudukan di SINGAPORE, 151 Chin Swee Road, # 04 – 03 Manhattan House. Singapore 169876. Phone : 65 –67320361, 67329361 ; Fax : 65-67322931. Email: New Universal@singnet. com.sg;joshida@singnet .com.sg adalah dalam kaitan Kerjasama Dagang Eksport Import Tepung Terigu yang di Import Kreditur-I dari Turki atas Permintaan Pemohon Pailit. Hubungan Dagang tersebut telah berlangsung sejak tahun 2008. Kerjasama Eksport Import Tepung Terigu Pemohon Pailit dan Kreditur-I mulanya berjalan lancar, namun akibat adanya Persoalan Hukum Pidana yang dialami Pemohon Pailit yang telah menjadi Korban Penipuan dalam Jual Beli Tepung Terigu yang terjadi pada tahun 2012.20

Berdasarkan pemaparan di atas penulis mengangkat judul Pembuktian sederhana dalam permohonan pailit menjadi penelitian skripsi dimana melakukan Tinjuan Yuridis terhadap salah satu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI). Penelitian ini mengkaji bagaimana penerapan pembuktian

19 Putusan No. 1/Pdt.Sus-Pailit/2017/Pn Niaga Mdn

20 Ibid

(19)

sederhana didalam permohonan kepailitan ditinjau dari hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia dan apakah diterapkan oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya ketika melakukan memutus perkara. Oleh karena itu penulis merasa penting diadakan suatu tulisan yang membahas tentang penerapan pembuktian sederhana dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Adapun judul tulisan skripsi ini adalah “Pembuktian Sederhana pada Permohonan Pailit CV.HITADO (Studi Putusan No. 1/Pdt.Sus-Pailit/2017/Pn Niaga Mdn).”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah hal-hal sebagai berikut :

1. Bagaimana pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia?

2. Bagaimana perbandingan pembuktian sederhana dengan pembuktian perkara perdata pada umumnya?

3. Bagaimana standart pembuktian sederhana yang diterapkan oleh hakim pada perkara No.1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn ?

C. Tujuan dan Manfaat penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui tentang pengaturan pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia.

(20)

b. Untuk mengetahui perbedaan pembuktian sederhana dengan pembuktian perkara perdata pada umumnya.

c. Untuk mengetahui standart pembuktian sederhana yang diterapkan oleh hakim pada perkara No.1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn.

2. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan suatu pengaruh serta pengetahuan dan pandangan tentang bidang ilmu Hukum Kepailitan dan terkhusus kepada Pembuktian Sederhana, dalam kasus-kasus Hukum Kepailitan di Indonesia dan yang akan dibandingkan dengan perkara perdata biasa dan dapat mengetahui pertimbangan-pertimbangan Hakim Niaga di Indonesia , dan didalam penerapan Pembuktian Sederhana pada perkara No: 1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn.

b. Secara Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan atau menjadi penambahan materi bagi para pembacanya, dari kalangan masyarakat umum maupun para akademisi dan terkhususnya kepada mahasiswa yang sedang mengemban di kuliah fakultas hukum yang ingin mengetahui tentang cara penerapan pembuktian sederhana didalam suatu perkara kepailitan.

D. Keaslian Penulisan

(21)

Untuk mengetahui keaslian penulisan, sebelumnya penulis telah melakukan pemeriksaan terhadap judul skripsi Pembuktian Sederhana Pada Permohonan Pailit CV.Hitado No.1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn di perpustakan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tertanggal 31 Juli 2019 yang menyatakan tidak ada judul yang sama. Belum pernah dilakukan namun ada beberapa penelitian yang membahas pembuktian sederhana, antara lain:

Sagung Wira Chantieka. Fakultas Hukum Universitas Udayana (2016), dengan judul penelitian Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Kepailitan Oleh Agen Sindikasi Kredit Sebagai Pemohon Pailit. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengaturan pembuktian sederhana dalam Permohonan Pailit oleh agen sindikasi kredit sebagai Pemohon Pailit

2. Implikasi dari pengaturan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan oleh agen sindikasi kredit sebagai pemohon pailit

Kesimpulan dalam penelitian pengaturan pembuktian sederhana yang hanya berdasarkan pada Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU seringkali menimbulkan disparitas putusan Hakim dan problematika lainnya yang seringkali menyebabkan penolakan terhadap permohonan kepailitan akibat pemohon tidak mampu membuktikan secara sederhana. Pengaturan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU tidak dapat ditafsirkan dapat melakukan penolakan terhadap permohonan yang tidak dibuktikan secara sederhana, hal ini dilihat dari frasa Pasal 8 ayat (4) yang tidak menyebutkan penolakan terhadap permohonan yang tidak dapat membuktikan secara sederhana, namun harus mengabulkan permohonan yang dapat dibuktikan secara sederhana.

(22)

Alfi Yudhistira Arraafi. Universitas Jember Fakultas Hukum (2016), dengan judul penelitian Penyelesaian Gugatan Sederhana Dalam Perkara Perdata Di Pengadilan. Adapun permasalahan dalam penelitian :

1. Karakteristik khusus penyelesaian gugatan sederhana dalam perkara perdata.

2. Perbedaan acara pemeriksaan perdata biasa dengan pemeriksaan penyelesaian gugatan sederhana

3. Upaya hukum yang dapat diajukan para pihak apabila tidak menerima Putusan hakim dalam penyelesaian gugatan sederhana.

Kesimpulan dalam penelitian Hukum acara perdata di Indonesia berencana mengalami penyederhanaan dengan diterbitkannya regulasi oleh Mahkamah Agung yang berbentuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pemeriksaaaan perdata biasa dengan penyelesaian gugatan sederhana yaitu tidak adanya replik dan duplik dalam penyelesaian gugatan sederhana, satu- satunya upaya hukum yang dapat diajukan dalam pemeriksaan gugatan sederhana adalah upaya hukum keberatan.

Sehingga penulis dijadikan sebagai dasar untuk mengangkat judul tersebut dikarenakan belum adanya skripsi lainnya yang sama dengan tulisan ini dan jikalaupun isi dan substansinya berbeda. Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

(23)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pembuktian Sederhana

Hukum pembuktian adalah keseluruhan pembuktian aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim.21

Pembuktian sederhana dalam praktik di Pengadilan Niaga, menjadi tidak sesederhana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UUK. Puang berpendapat bahwa sering terjadi adanya penafsiran berbeda-beda atau inkonsistensi penafsiran di kalangan majelis hakim tentang ketidakjelasan pengertian pembuktian sederhana.22

Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum acara formal bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan hukum materil. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam R.Bg dan HIR. Sedangkan secara materiel, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut.23 Hukum pembuktian ini termuat didalam HIR yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; R.Bg berlaku diluar pulau Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan

21Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta : Prenadamedia Group,2012), hlm.23.

22 Victorianus Randa Puang, Op.Cit, hlm. 3.

23 Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi 2, (Jakarta : Mitra Wacana Media,2017), hlm.57.

(24)

pembuktian akta di bawah tangan; dan Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.24

Di dalam suatu perkara pailit dilakukan dengan pembuktian secara sederhana, dimana telah diatur didalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU, yang menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Dalam pemberlakuan pembuktian sederhana ini diberikan kewenangan seluruhnya kepada hakim untuk membuat putusan pailit apakah sudah memenuhi syarat-syarat formil dan materiil yang terdapat didalam UUK-PKPU.

Perkara kepailitan, yang dibuktikan hanyalah kebenaran tentang ada atau tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pada praktiknya, kebenaran yang akan dibuktikan pada beberapa kasus kepailitan adalah kebenaran tentang hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya permasalahan hukum yang perlu diselesaikan secara adil, bukan untuk dipailitkan.25

Pengadilan niaga merupakan suatu lembaga peradilan yang memiliki suatu tugas dan wewenang dalam melakukan pemeriksaan dan memutuskan apakah suatu permohonan pailit ataupun PKPU yang diajukan oleh para pihak yang berperkara dapat diterima atau tidak. Didalam Pengadilan Niaga digunakan sistem

24 Ibid, hlm.58.

25 Bappenas, “Ekstitensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangan Dalam Era Globalisasi”, https://www.bappenas.go.id/files/9013/6082/9890/12eksistensi-pengadilan-niaga-dan-perkemba ngannya-dalam-era-globalisasi_.pdf. Diakses pada tanggal 27 September 2019 Pukul 18.00.

(25)

hukum acara perdata, UUK-PKPU juga telah mengatur tentang acara peradilan didalam sistem mengenai pembuktianya, yaitu yang dikenal dengan Pembuktian Sederhana.26

2. Permohonan Pailit

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya.

Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebebkan karena kesulitan keadaan keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas keseluruhan kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunanakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proposional dan sesuai dengan struktur kreditur.27

Kepailitan merupakan sitaan umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.28

26 Victorianus M.H. Randa Puang, Loc.Cit., hlm.63.

27 M.Hadi Shubhan, Loc.Cit., hlm.1.

28 Suci, dan Poesoko, Hukum Kepailitan Kedudukan dan Hak Kreditur Separatis atas Benda Jaminan Debitur Pailit (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2016), hlm. 64

(26)

Pendapat lain menurut Gunawan Widjaja, mengemukakan bahwa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.29 Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.30

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepailitan merupakan suatu keadaan dimana seorang debitur berhenti membayar utang-utangnya kepada kreditur. Debitur itu dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur itu sendiri atau kreditur. Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut, pengadilan niaga dapat menunjuk Kurator untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta debitur pailit. Kurator kemudian membagikan harta debitur pailit kepada para kreditur sesuai dengan piutangnya masing-masing.

Permohonan kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga melalui panitera Pengadilan Niaga tersebut. Adapun yang dapat mengajukan permohonan pailit tersebut adalah :31

a. Debitur b. Kreditur

29 Gunawan Widjaja. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.83

30 Ibid

31 Suci, dan Poesoko, Op.Cit, hlm.119.

(27)

c. Kejaksaan, dalam hal untuk kepentingan umum d. Bank Indonesia, dalam hal untuk kepentingan umum

e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal debiturnya perusahaan efek, atau lembaga kliring dan penjaminan; dan

f. Menteri Keuangan, dalam hal debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan readuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung di bidang kepentingan publik.

Permohonan kepailitan tersebut wajib diajukan melalui advokat kecuali jika pemohonya adalah kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan.32 Dengan melalui seorang advokat yang diharapkan diproses beracara ialah dengan tidak mengalami kendala teknis yang disebabkan advokat telah dianggap lebih mengetahui tentang prosedural dalam pengajuan kepailitan.

Mekanisme permohonan pailit telah di jelaskan dalam Pasal 6 UUK-PKPU yang dimana permohonanya ditujukan kepada ketua Pengadilan. Yang dimaksud ketua Pengadilan ialah Ketua Pengadilan Niaga yang berada didlam lingkup peradilan umum, adapun syartanya sebagai berikut :33

a. Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan.

b. Panitera mendaftarakan permohonan.

c. Sidang dilakukan paling lambat 20 hari setelah permohonan disaftarkan.

32 Republik Indonesia, Kepailitan, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2).

33 Ibid, Pasal 6

(28)

d. Bila alasan cukup pengadilan dapat menunda paling lambat 25 hari.

e. Pemeriksaan paling lambat 20 hari.

f. Hakim dapat menunda sampai dengan 25 Hari.

g. Pemanggilan dilakukan 7 hari sebelum sidang dilakukan.

h. Putusan pengadilan paling lambat 60 hari setelah permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

Dalam kelengkapannya yang harus dipenuhi dalam pengajuan kepailitan sesuai dengan formulir yang disediakan oleh Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut :34

a. Surat permohonan bermaterai dari advokat yang ditujukan kepada ketua Pengadial Niaga setempat.

b. Izin/kartu advokat yang dilegalisir pada kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat.

c. Surat kuasa khusus.

d. Surat tanda bukti dari/KTP suami/istri yang masih berlaku (bagi debitur perorangan), akta pendirian dan tanda daftar perusahaan/TDP yang dilegalisir (bagi debitur yayasan/partner), surat pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek yang dilegalisir (bagi pemohon kejaksaan/BI/OJK).

e. Surat persetujuan suami/istri (bagi debitur perorangan), berita acara RUPS tentang permohonan pailit (bagi debitur perseroan terbatas), putusan dewan pengurus (bagi yayasan/partner).

34 M.Hadi Shubhan, Op.Cit, hlm 120.

(29)

f. Daftar asset dan kewajiban (bagi debitur perorangan), neraca keunagan terakhir (bagi perseroan terbatas/yayasan/partner); dan g. Nama serta alamat kreditur dan debitur.

Jika yang mengajukan ialah kreditur, maka ditambahkan dengan beberapa kelengkapan, antara lain surat perjanjian utang dan perincian utang yang tidak dibayar.

F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan untuk menyelesaikan skripsi ini bersifat penelitian deskriptif yang mengacu kepada penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder).35 Dalam hal ini penulis mengambil beberapa jenis penelitian normatif sebagai berikut:36

a. Penelitian inventarisasi hukum positif b. Penelitian terhadap asas-asas hukum

c. Penelitian untuk menemukan hukum in concreto 2. Data penelitian

Di dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan pustaka (data sekunder).37 Jadi dalam

35 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empris, (Depok : Prenadamedia Group, 2016), hlm. 129.

36Ronny Hanitijo Soemitro, Metologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hlm.11-12.

37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2013), hlm.11.

(30)

penyelesaian penelitian ini sumber data yang digunakan antara lain sumber data sekunder, yang dimana datanya tidak secara langsung.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer didapat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.

Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997, tentang Dokumen Perusahaan. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. HIR (Het Herzeiene Indonesich Reglement), dan RBg (Reglement Buiten Gewesten) dan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan Nomor.

1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa artikel, karya ilmiah, buku-buku, ataupun tulisan yang berhubungan dengan dalam penulisan ini.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan suatu penjelasan terhadap suatu bahan hukum primer maupun bahan hukum

(31)

sekunder dalam hal ini berupa Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik dalam pengumpulan data dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan penelurusan pustaka (library reseach) yaitu dengan cara pengumpulan informasi dengan menggunakan bantuan buku, karya ilmiah, dan juga menggunakan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menunjukan perpustakaan sebgai tempat dilaksanakannya suatu penelitian. Kepustakaan sebagai sumber data sekunder, di tempat inilah diperoleh hasil-hasil penelitian dalam bentuk tulisan yang sangat berguna bagi mereka yang sedang melaksanakan penelitian. Penelitiaan dapat memilih dan menelaah bahan-bahan kepustakaan yang diperlukan guna dapat memecahkan dan menjawab permasalahan pada penelitian yang dilaksanakan.38

4. Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah Metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Yaitu data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara Kualitatif, untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.39 Metode Kualitatif merupakan metode dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya kemudian diolah dan dianalisi untuk

38 Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, (Medan: Multi Grafik, 2005), hlm.21.

39 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hlm.116.

(32)

mendapatkan kesimpulan dari permasalahan dan tiuangkan dalam entuk pernyataan tulisan.40

G. Sistematikan Penulisan

Sistematika penulisan dibuat untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu ditentukan sistematika penulisan yang baik. Sistematika penulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing bah saling terkait satu sama lainnya. Adapun sistematika penulisan ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan penulis akan menjabarkan tentang secara umum dalam penulisan ini anatar lain latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keasilian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan yang dilakukan oleh penulis ialah dengan penelitian normatif terhadap pembuktian sederhana dalam permohonan pailit pada putusan No.1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn.

BAB II PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM HUKUM KEPILITAN

Bab ini akan dijabarkan penjelasan tentang aspek hukum kepailitan di Indonesia, sejarah pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan Indonesia, kriteria pembuktian sederhana.

40 Amarudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Gratifi Press,2006), hlm.118.

(33)

BAB III PERBANDINGAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA

Bab ini akan dijabarkan penjelasan tentang hukum acara yang berlaku di pengadilan niaga, esensi dari pembuktian perkara perdata, Perbandingan pembuktian Perkara Perdata Pada umumnya Dengan Pembuktian Sederhana

BAB IV PENERAPAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM

PERKARA NOMOR 1/PDT.SUS-PAILIT/2017/PN NIAGA MDN

Bab ini akan dijabarkan mengenai posisi kasus, pertimbangan hakim dalam kasus nomor 1/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Mdn.

BAB V PENUTUP

Bab ini akan dijabarkan tentang kesimpulan dari seluruh bagian penulisan dan juga yang merupakan ringkasan dari seluruh subtansi penulisan skripsi ini, dan juga meliputi saran yang kan diajukan oleh penulis yang kaitanya dengan pokok masalah dalam pembahasan skripsi ini.

(34)

A. Aspek Hukum Kepailitan Indonesia 1. Pengertian Hukum Kepailitan

Terminologi istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, isitilah “faillite”

artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan “le faille”

yang memiliki arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Di negara- negara yang berbahasa inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrutpt” dan “bankruptcy”.41

Pembentukan UUK-PKPU diatur mengenai asas-asas kepailitan yang tercantum di dalam Penjelasan UUK yakni asas integrasi, asas keseimbangan, asas keadilan, dan asas kelangsungan usaha. Terkait dengan asas keseimbangan menyatakan bahwa undang-undang ini hanya mengatur beberapa ketentuan dari asas keseimbangan yang di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya

41 Sunarmi, Op.Cit, hlm.23.

(35)

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beriktikad baik.42

Keadaan pailit atau bangkrut merupakan peristiwa yang terjadi pada siapa saja, mulai dari orang perorangan maupun badan hukum (legal entity). Kepailitan juga tidak mengenal istilah kaya atau miskin. Prakteknya kehidupan sehari-hari didapati bahwa seorang milioner ataupun perusahaan multinasional juga dapat mengalami kepailitan atau kebangkrutan.43

Guna memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut, antara lain:44

a) R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihanya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.

b) Menurut Memorie van Toelichting (Penjelasan Umum) kepailitan adalah suatu penistaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.

Dalam hubungan dengan peraturan perundang-undangan kepailitan, peraturan dimaksud juga berfungsi untuk melindungi kepentingan pihakpihak terkait dalam hal ini kreditur dan debitur, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini, penjelasan umum UUK PKPU menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan

42 Usman R., “Kepailitan Terhadap Bank Berdasarkan Asas Keseimbangan sebagai Perwujudan Perlindungan Kepentingan Nasabah Penyimpan,” Badamai Law Journal (Vol. 1, No.

1, April 2016), hlm 141- 158.

43 Elyta Ras Ginting, Op.Cit, hlm.1

44 Sunarmi, Op.Cit, hlm.21.

(36)

mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor dimaksud yaitu:

a. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur;

b. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya;

c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para keditor45

Hukum kepailitan Indonesia tidak membedakan kepailtan orang perseorangan dengan kepailitan badan hukum. Hukum Kepailitan Indonesia sebagaimana dieleborasi dalam UUK PKPU, mengatur keduanya, baik kepailitan orang perseorangan maupun kepailitan badan hukum. Apabila dalam UUK PKPU tidak cukup diatur mengenai kepailitan orang perseorangan meupun kepailitan badan hukum, maka digunakanlah peraturan perundang-undangan yang lain sebagai dasar hukum.46

45 H.Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hlm 72

46 Syamsudin M.Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta : Tatanusa, 2012), hlm 34- 35

(37)

2. Asas-Asas dan Tujuan Hukum Kepailitan

Lembaga kepailitan merupakan salah satu lembaga yang penting didalam mewujudkan dari kedua pasal yang penting didalam KUHPerdata yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 tentang tanggung jawab debitur terhadap utang. Didalam Pasal 1131 KUHPerdata mengatakan “segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”47

Pasal 1132 KUHPerdata mengatakan “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”48

Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi-luna dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih aka nada dikemudian hari Pasal 1131 KUHPerdata dan 1132 KUHPerdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131 KUHPerdata) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132 KUHPerdata) secara proporsional, kecuali bagi kreditur dengan hak

47 Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm 212

48 Ibid, hlm 213

(38)

mendahului (hak preferensi). Jadi pada dasarnya, asas-asas yang terkandung didalam Pasal 1131 KUHPerdata dan 1132 KUHPerdata ini adalah bahwa Undang-Undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur- krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur.49

Dapat diambil kesimpulan dari penjelasan di atas dasar munculnya lembaga kepailitan yaitu untuk melakukan pengaturan dalam pembayaran utang yang telah jatuh waktu antara debitur terhadap para kreditur-krediturnya yang dimana sesuai dengan cara Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata.

Pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasanya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni :50

a) Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwuju dan dari asas keseimbangan, yaitu di suatu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

b) Asas Kelangsungan Usaha

49 Rahyu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press,2008),hlm.15.

50 Ibid, hlm.16.

(39)

Dalam Undang-Undang ini, terdapat keuntungan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

c) Asas Keadilan

Dalam kepailtan asas keadilan mengandung pengartian, bahwa ketentuan kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya.

d) Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengerian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Tujuan peraturan perundang-undangan tentang kepailitan, peraturan yang dimaksud berfungsi untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam kepailitan. Mengenai hal tersebut, penjelasan umum UUK-PKPU menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor yang dimaksud adalah :51

a) Untuk menghindari prebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur;

51Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi, (Bandung : Alumni,2007), hlm.35.

(40)

b) Untuk menhindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya; dan c) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan

oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri, misalnya debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditur lainnya dirugikan. Atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.

Dapat diambil kesimpulan dari penjelasan tentang tujuan hukum kepailitan adalah agar dapat melindungi para pihak yaitu antara pihak debitur dan kreditur yang dilakukan secara adil dan seimbang dengan tidak ada memihak antara pihak debitur ataupun kreditur.

3. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Kepailitan

Proses kepailitan ada pihak-pihak yang berperan didalamnya antara lain : a) Debitur

Pihak debitur pailit merupakan pihak yang melakukan permohonan pailit ke pengadilan yang berwenang dan juga yang dapat menjadi debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang- Undang yang pelunasanya dapat ditagih di muka Pengadilan.52

b) Kreditur

52 Republik Indonesia, Kepailitan, Pasal 1 ayat (3).

(41)

Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karna perjanjian atau Undnag-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.53

c) Hakim Niaga

Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh hakim tunggal) baik untuk tingkat pertama ataupun tingkat kasasi, hanya saja untuk perkara perniagaan lainya yakni yang bukan perkara kepailitan untuk peradilan tingkat pertama yang boleh diperiksa oleh hakim tunggual dengan penetapan Mahkamah Agung, sesuai dengan ketentuan Pasal 283 UUK, hakim majelis tersebut merupakan hakim-hakim Pengadilan Negeri yang telah diangkat menjadi hakim Pengadilan Niaga berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung, di samping itu juga ada hakim ad hoc yang diangkat dari kalangan para ahli dengan keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.54

d) Hakim Pengawas

Dalam Undang-Undang kepailitan ditegaskan bahwa hakim pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Secra komprehensif, wewenang hakim pengawas tidak hanya bersifat pasif saja akan tetapi terdapat banyak wewenang yang aktif, seperti memberikan suatu putusan atau penetapan, dan bahkan memimpin rapat-rapat seperti rapat verifikasi. Keberadaan hakim pengawas sangat penting serta sangat diperlukan dalam proses pengurusan dan pemberesan

53 Ibid, Pasal 1 ayat (2).

54 Bagus Irawan,Op.Cit., hlm.55.

(42)

harta pailit. Hal ini mengingat tugas dan tanggung jawab Kurator yang sedemikian berat terlebih jika debitur pailit itu suatu Perseroan Terbatas.55 e) Kurator

Kurator merupakan lembaga yang diadakn oleh undang-undnag untuk melakukan pemberesan terhadap harta pailit.56 Pada dasarnya tugas dan wewenang utama curator adalah melaksanakan tugas pengurusan dan / atau pemberesan atas harat pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan.

Adapun tugas dan wewenang Kurator sebagai mana yang diamanatkan Undang-Undang antara lain sebagai berikut, bahwa kurator berhak menerima salinan putusan permohonan pernyataan pailit dari Pengadilan paling lambat 3 (tiga) hari stelah putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. Kurator harus melalukan pencatatn harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima putusan pengangkatanya sebagai kurator serta kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, julah utang harta pailit, nama dan tempat tinggal kurator beserta jumlah piutang masing-masing kreditur. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyatan pailit diterima oleh curator dan hakim pengawas, curator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas.57

f) Panitia Kreditur

55 M.Hadi Shubhan, Op.Cit, hlm.105.

56 Ibid., hlm.108

57 Ibid.,hlm.112.

(43)

Panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga panitia kreditur akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada dua macam Panitia Kreditur uang dikenal dengan UUK, yaitu :58

1) Panitia kreditur yang sekarang yang terdiri dari 3 (tiga) orang (yang ditunjuk oleh pengadilan dari kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator) (Pasal 79 UUK-PKPU ayat (1)) dan panitia kurator tetap, yakni yang dibentuk oleh hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara.

2) Atas permohonan kreditur konkuren, dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority) hakim pengawas berwenang menggantikan panitia kreditur sementara apabila dalam putusan pailit telah ditunjuk Panitia Kreditur sementara atau membentuk Panitia Kreditur apabila dalam putusan pailit belum diangkat panitia kreditur. Dalam hal ini hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu panitia kreditur tersebut (Pasal 80 UUK PKPU).

4. Sumber-Sumber Hukum Kepailitan Indonesia dan Yurisdiksi Pengadilan Niaga

a) Pengaturan berdasarkan Hukum Nasional atau ketentuan Hukum Indonesia

58 Bagus Irawan,Op.Cit., hlm.72-73.

(44)

Peraturan kepailitan mula-mulanya dibagikan 2 (dua) fase yang diberlakukan secara sekaligus yaitu :59

1) Kepailitan khusus untuk pedagang (kooplieden)

Diatur di Buku Ke-III pada Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 Kitab Hukum Dagang (KUHDagang) (Wet van Koophandel) dengan judul Van de Voorzieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang.

2) Kepailitan untuk non pedangan (niet kooplieden)

Diatur dalam Reglement op de Rechtvordering (Rv) di Buku ke-III Bab ke-VII pada Pasal 899 sampai dengan 915 dengan judul Van de Staat van Kennelijk Onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.

(Stb.1847 No.52 jo Stb.1849 No.63).

Penerapan sistem dualism hukum kepailitan untuk pedangang dan non-pedagang di Negara Belanda sendiri mendapat kecaman dari ahli-ahli hukum di Belanda, sehingga dualism hukum kepailitan di Belanda diakiri pada tahun 1896. Untuk wilayah Hindia-Belanda, dualism peraturan kepailitan baru diakhiri pada tahun 1905 dengan memberlakukan Verordening op het en de Surceance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie atau lazim disingkat menjadi Faillissements Verordening dengan Stb.1905 No.217. Selanjutnya dengan Stb.1906 No.348 ketentuan Buku Ke-III Wet van Koophandel (MvK) dan Bab VII dari Buku III

59 Elya Ras Ginting, Hukum Kepailitan Teori Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm.31.

(45)

Reglement op de Rechtvordering (Rv) dinyatakan dicabut, dan Faillissements Verordening dinyatakan berlaku sebgai hukum kepailitan di Hindia-Belanda bagi semua tanpa membedakan pedagang atau non-pedagang dan berlaku sejak tanggal 1 November 1906.60

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 yang kemudian mengalami sedikit perubahan dan digantikan oleh Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembara Negara RI Tahun 2004 No. 131 yang merupakan Lex Specialist dari Burgelijk wet Book (BW) atau KUHPerdata.61

b) Yurisdiksi Pengadilan Niaga

Berdasarkan suatu perubahan dalam peraturan kepailitan yang lama (Faillissements Verordening) adanya pembentukan Pengadilan Niaga. Dalam pembentukan Pengadilan Niaga ini hanya berada didalam ruang lingkup Pengadilan Negeri. Sesuai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undnag Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Ketentuan-ketentuan yang disebutkan diatas, telah mengalam perubahan tetapi

60 Ibid.,hlm.32

61 Bagus Irawan,Op.Cit., hlm.74.

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa menurut hemat hakim, pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah merupakan hal yang refresif akibat perbuatan yang dilakukan karena

3. suatu sebab yang halal. Pos Indonesia bergerak dalam bidang jasa, maka faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Bahan hukum primer yang

Maka dengan demikian, berdasarkan pembahasan yang dijelaskan sebagaimana yang dimaksud di atas, timbul keinginan untuk mengkaji tentang keringanan pajak sebagai bentuk insentif

Maka, atas pertimbangan tersebutlah Majelis Hakim menyatkan bahwa terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). Dari pemaparan

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perempuan korban perang di Suriah ditinjau menurut hukum internasional, diantara banyak

Bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK” sebagaimana yang didakwakan

20 Artinya, Merek hanya mendapatkan perlindungan apabila Merek tersebut didaftarkan ke pemerintah melalui kementerian Hukum dan Ham dan dalam hal ini terdapat di Direktorat