• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah disepakati bersama dengan lebih efisien dan efektif dengan tindakan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah disepakati bersama dengan lebih efisien dan efektif dengan tindakan yang"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Organisasi

Organisasi yang didirikan pada dasarnya ingin mencapai tujuan dan sasaran yang telah disepakati bersama dengan lebih efisien dan efektif dengan tindakan yang dilakukan bersama-sama dengan penuh rasa tanggung jawab. Hal ini dapat dilakukan apabila para manajer dan anggotanya mengerti dan memahami dengan benar tentang organisasi. Karena organisasi tersebut dapat dipandang sebagai wadah, sebagai proses, sebagai perilaku dan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Namun pendefenisian organisasi yang banyak dilakukan oleh para ahli sekurang – kurangnya mempunyai unsur-unsur adanya manusia atau orang-orang yang bekerjasama, adanya kerjasama itu sendiri dan adanya tujuan organiasi yang telah disepakati.

Defenisi organisasi dari beberapa pandangan ahli organisasi tersebut diatas maka selanjutnya dapat dipergunakan sebagai acuan dalam mendefenisikan organisasi secara sederhana, sebagaai berikut :

“Organisasi adalah suatu bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan bersama – sama secara efesien dan efektif melalui kegiatan yang telah ditentukan secara sistematis dan didalamnya ada pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas dalam mencapai tujuan organisasi tersebut.”

Organisasi itu sangatlah penting dalam kehidupan kita dan meresap dalam kehidupan bermasyarakat. Karena dalam kenyataan sebahagian besar orang hidup dalam organisasi dan menghabiskan waktu hidup mereka sebagai anggota organisasi

(2)

(social, pekerjaan, sekolah dan sebagainya). Memang kadangkala kita melihat organisasi itu dapat dijalankan dengan lancar, efisien dan cepat serta tanggap terhadap kebutuhan manusia dan kadangkala juga dapat menjengkelkan atau membingungkan kita. Namun organisasi itu setidak – tidaknya dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif jika kemampuan technical skill dan manajerial skill dapat diterapkan dengan baik menjadi satu kesatuan yang solid yakni kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan organisasi.

Organisasi dapat dilihat atau ditinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain:

1. Organisasi Sebagai Wadah

Organisasi merupakan suatu wahana kegiatan yang mencerminkan bahwa organisasi merupakan tempat beraktivitas saja yakni kegiatan administrasi dan manajemen. Dalam wadah kegiatan itu setiap orang harus jelas tugas, wewenang dan tanggung jawabnya serta hubungan dan tata kerjanya. Pengertian yang dimaksud merupakan organisasi yang bersifat “statis” karena hanya melihat strukturnya saja.

Dikatakan oleh Soewarno Handayaningrat (1980:42) memberikan penjelasan organisasi sebagai wadah yang sifatnya statis, karena setiap orang dalam wadah itu harus jelas tugas, wewenang dan tangggung jawabnya serta hubungan dan tata kerjanya.

Oleh karena itu dalam organisasi yang dipandang sebagai wadah aktivitas maka pola struktur harus atas dasar landasan yang kuat serta pemikiran yang benar- benar berorientasi pada masa depan. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadi adanya perubahan dimasa datang misalnya perubahan tujuan,

(3)

perubahan aktivitas yang menuntut adanya perubahan yang mendasar dan strukturnya tidak harus berubah.

2. Organisasi sebagai suatu Proses Pembagian Kerja

Organisasi sebagai suatu proses pembagian kerja melihat bahwa adanya unsur-unsur yang saling berhubungan, yakni sekelompok orang atau individu, adanya kerjasama dan adanya tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Interaksi dalam organisasi akan terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Hubungan-hubungan ini terjadi karena adanya pembagian kerja yang telah jelas dalam suatu sistem. Kerjasama dalam suatu sistem yang teratur ini dimaksud untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati bersama.

Louis Allen (1958:57) mengemukakan tentang perlunya pembagian kerja sebagai berikut :

“We can define Organization as the process of denifying and grouping the work to be performed, defining and delegating responsibility and authority, and establishing relationships for the purposes of enabling people to work most effectively together in accomplisihing objectives” (kami dapat merumuskan organisasi sebagai proses menetapkan dan mengkelompok- kelompokkan pekerjaan yang akan dilakukan merumuskan dan melimpahkan tanggung jawab dan wewenang serta menyusun hubungan-hubungan dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara paling efektif dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi”.

Pengelompokan orang-orang dalam suatu pekerjaan yang dilakukan akan memungkinkan terjadinya hubungan kerjasama yang formal sesuai dengan apa yang telah ditetapkan, disamping itu dapat pula terjadi hubungan yang sifatnya informal antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok kerja yang lain,

(4)

hal ini dapat terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan pribadi masing-masing individu dalam suatu organisasi.

3. Organisasi sebagai Suatu Alat dalam Mencapai Tujuan

Manusia mendirikan suatu organisasi karena adanya beberapa tujuan dari individu dan hanya akan tercapai lewat tindakan yang harus dilakukan dengan adanya kesepakatan – kesepakatan atau adanya persetujuan bersama. Untuk melaksanakan kesepakatan tersebut maka dengan cara kerja sama akan dapat meringankan, mengefektifkan, mengefisiensikan dan mengoptimalkan pencapaian tujuan yang hendak dicapai bersama.

Gibson et al (1993:3) dalam kaitannya dengan tujuan maka organisasi itu mengejar tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dapat dicapai secara lebih efisien dan lebih efektif dengan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama. Organisasi merupakan suatu alat dalam mencapai tujuan dan sangat diperlukan oleh masyarakat baik dalam bidang profit maupun jasa (pelayanan). Tujuan organisasi akan tercapai bilamana tiap-tiap individu yang ada dalam organisasi sadar akan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sehingga pada akhirnya tujuan organisasi akan tercapai.

2.2. Kinerja Organisasi

Menurut Peter Jennergren dalam Nystrom dan Starbuck (1981:43), makna dari Performance (kinerja) adalah : “Pelaksanaan tugas-tugas secara aktual”.

Sedangkan Osborn dalam John Willey dan Sons (1980:7) menyebutnya sebagai

“Tingkat pencapaian misi Organisasi”. Dengan demikian dapatlah disimpulkan yang

(5)

mana performance (kinerja) itu merupakan “Suatu keadaan yang bisa dilihat sebagai gambaran dari hasil sejauh mana pelaksana tugas dapat dilakukan berikut misi organisasi”.

Sebelum membahas masalah kinerja organisasi, terlebih dahulu perlu dibahas tentang masalah organisasi. Organisasi merupakan suatu bentuk kerja sama sekelompok manusia atau orang di bidang tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Etzioni.1969). Lebih lanjut Etzioni, menjelaskan bahwa organisasi memiliki ciri-ciri: a) adanya pembagian kerja, kekuasaan dan tanggung jawab berkomunikasi, pembagian yang direncanakan untuk mempertinggi realisasi tujuan khusus, b) adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang mengawasi penyelenggaraan usaha-usaha bersama dalam organisasi dan pengawasan. Usaha tersebut untuk mencapai tujuan organisasi, pusat kekuasaan ini juga harus menunjuk secara terus menerus pelaksanaan organisasi dan menata kembali stukturnya untuk meningkatkan efisiensi, c) pengaturan personil misalnya orang-orang yang bekerja secara tidak memuaskan dapat dipindahkan dan kemudian mengangkat pegawai lain untuk melaksanakan tugasnya.

Sedangkan Henry (1988) mengatakan bahwa organisasi merupakan suatu koneksitas manusia yang kompleks dan dibentuk untuk tujuan tertentu, dimana hubungan antara anggotannya bersifat resmi (impersional), ditandai oleh aktivitas kerjasama, teritegrasi dalam lingkungan yang lebih luas, memberikan pelayanan dan produk tertentu dan tangung jawab kepada hubungan dengan lingkungannya.

(6)

Ada beberapa pendapat yang mendefenisikan tentang kinerja organisasi, Jackson dan Morgan (1978) mengemukakan bahwa kinerja pada umunya menunjukan tingkat tujuan yang telah ditentukan sebelumnya ataupun yang hendak dicapai.

(Rue and Byar 1981 (dalam Keban 1995)) menyebutkan bahwa kinerja (performance) didefenisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau “The degree of accomplislnnent” atau kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi secara berkesinambungan.

Sementara itu, Atmosudirdjo (1997) mengatakan bahwa kinerja juga dapat berati prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu (performance. how well you do a piece of work or activity). Faustino (1995) memberi batasan mengenai performansi adalah suatu cara mengukur kontribusi – kontribusi dari individu – individu anggota organisasi kepada organisasinya.

Selain itu Bernadin dan Russel sebagaimana dikutip Jones (1991) lebih rinci memberikan batasan mengenai kinerja yakni dampak yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu. Menurut Peter Jennergen (dalam Steers.1985), pengertian kinerja organisasi adalah tingkat yang menunjukan seberapa jauh pelaksanaan tugas dapat dijalankan secara actual sehingga misi organisasi dapat tercapai. Selanjutnya Pemungkas (2000) menjelaskan bahwa kinerja adalah penampilan cara-cara untuk menghasilkan sesuatu hasil yang diperoleh dengan aktivitas yang dicapai dengan suatu unjuk kerja.

Dengan demikian dari konsep yang ditawarkan tersebut dapat dipahami bahwa kinerja adalah konsep utama organisasi yang menujukkan seberapa jauh

(7)

tingkat kemampuan pelaksanaan tugas-tugas organisasi dalam rangka pencapaian tujuan.

Untuk mengetahui bagaimana kinerja sebuah organisasi banyak pendapat para pakar menggunakan indikator dan konsep, seperti efektifitas, efisiensi dan juga produktivitas untuk menentukan sejauh mana kemampuan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan. Namun konsep dan indikator yang dikemukakan selalu saja hanya tepat digunakan bagi organisasi swasta yang berorientasi keuntungan belaka, hal ini tentunya berbeda dengan organisasi publik yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat banyak tanpa mengejar keuntungan materi. Namun orientasi untuk pelayanan public intinya bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat untuk menuju suatu pemerintahan yang Good Governance.

2.3. Mengukur Kinerja Organisasi

Cakupan dan cara mengukur indikator kinerja sangat menentukan apakah suatu organisasi publik dapat dikatakan berhasil atau tidak (Keban, 1995). Lebih lanjut Keban menjelaskan bahwa ketepatan pengukuran seperti cara atau metode pengumpulan data untuk mengukur kinerja juga sangat menentukan penilaian akhir kinerja.

Whittaker (1993) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas (dalam LAN.2000). Pengukuran kinerja mempunyai makna ganda, yaitu pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja, di mana untuk melaksanakan kedua

(8)

hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan tujuan dari suatu program secara jelas.

Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan strategis dengan akuntabilitas, sehingga suatu pemerintah daerah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti atau indikator – indikator atau ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Teknik dan metode yang digunakan dalam menganalisis kinerja kegiatan, yang pertama-tama dilakukan adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program dan kegiatannya. Program dan kegiatan merupakan program dan kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam perencanaan strategis Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Donald dan Lawton (dalam Keban. 1995) mengatakan bahwa penilaian kinerja organisasi dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu dan penilaian tersebut juga dapat dijadikan input bagi perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi.

Levine dkk (1990) mengusulkan tiga konsep yang bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu: responsiveness, responsibility dan accountability (Dwiyanto. 1995) Georgepoulus dan Tannenbaum dalam Emitai Etzioni (82) Mengunakan ukuran keberhasilan sebuah Organisasi dengan :

1. Produktivitas Organisasi

2. Bentuk organisasi yang luwes sehingga berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di dalam organisasi yang bersangkutan

3. Tidak adanya ketegangan, tekanan maupun konflik di antara bagian-bagian dalam organisasi tersebut.

(9)

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Banyak faktor yang dapat berperan menciptakan kinerja organisasi, diantaranya visi-misi, struktur organisasi, prosedur kerja, sistem intensif, disiplin, kerja sama, kepemimpinan dan lain-lain. Hal tersebut telah dibuktikan dengan berbagai penelitian. Menurut penelitian Daha (2002), faktor yang dapat berperan dalam mempengaruhi keberhasilan kinerja pelayanan publik yang sangat dominan adalah faktor kepemimpinan, sistem intensif dan kerjasama (Studi Kasus pada Kantor Pendaftaran Penduduk Kota Samarinda), keadaan tersebut lebih banyak terdapat pada organisasi yang bertujuan profit dan organisasi pelayanan publik secara langsung.

Menurut Zahar (1996:9), menyebutkan:

“…Peningkatan kinerja individu dapat dilihat dari keterampilannya, kecakapan praktisnya, kompetensinya, pengetahuan dan informasinya, keleluasaan pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebajikannya, kreatifitasnya, moralitasnya dan lain-lain. Kinerja kelompok dapat dilihat dari aspek kerjasamanya. Keutuhannya, disiplinnya, loyalitasnya dan lain-lain”

Berdasarkan pendapat di atas, kinerja individu sangat dipengaruhi banyak hal, yang mana sangat menonjol adalah kecakapan serta pengetahuan seseorang, sedangkan kinerja kelompok juga sangat kompleksnya, yang mana diantaranya adalah aspek kerjasama dan disiplin dalam melaksanakan tugasnya adalah aspek kerjasama dan disiplin dalam melaksanakan tugasnya Hal tersebut tentunya dibutuhkan sikap profesionalisme dalam bekerja.

(10)

Menurut Robins (2001:273), bahwa:

“Sejumlah faktor struktural menunjukkan suatu hubungan kinerja. Dantara faktor yang lebih menonjol adalah presepsi peran, norma, inekuitas status, ukuran kelompok susunan demografisnya, tugas kelompok dan kekohesifan”

Selanjutnya menurut Katz (1969) pelaksanaan tugas atau tujuan organisasi memerlukan dukungan struktur organisasi seperti dasar hukum, tata kerja, fasilitas dan lain-lain. Kemampuan struktur organisasi merupakan kemampuan adminstrasi, yakni kemampuan organisasi untuk mencapai atau menyelesaikan tugas-tugas yang didukung oleh struktur organisasi di samping lingkungannya. Seberapa jauh kemampuan organisasi melaksanakan fungsi sangat tergantung pada tersedianya tenaga terlatih, resources dan tingkatan kewenangan (Katz, 1969:100)

Selanjtnya Wright dkk ( 1996:188), berpandangan bahwa:

“Struktur Organisasi adalah sebagai bentuk cara dimana tugas dan tangung jawab dialokasikan kepada individu, dimana individu tersebut dikelompokkan ke dalam kantor, departemen dan divisi. Struktur organisasi hendaknya selalu menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan publik dan lingkungan hal tersebut bertujuan untuk terciptanya kinerja organisasi yang efektif dan proses yang cepat”.

Menanggapi pendapat di atas, maka dapat di simak bahwa untuk terciptanya kinerja organisasi yang efektif agar tercipta suatu keadaan untuk mempercepat proses kerja yang cepat dibutuhkan struktur organisasi yang bisa memenuhi kebutuhan pubik dalam era otonomi saat ini.

(11)

Melihat dari pendapat para pakar tersebut di atas jelaslah, bahwa profesionalisme pegawai dan struktur merupakan faktor yang mempengaruhi dalam kinerja suatu organisasi khususnya.

2.5. Teori tentang Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pembelajaran melalui proses dan prosedur yang sistematis yang terorganisir baik teknis maupun manajerial yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama.

Menurut Zainun (2005) pendidikan pada dasamya dimaksudkan untuk mempersiapkan SDM sebelum memasuki pasar kerja. Dengan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dalam proporsi tertentu diharapakan sesuai dengan syarat- syarat yang dituntut oleh suatu pekerjaan.

Selanjutnya Soeprihanto (2001) menyatakan bahwa, "Pendidikan mempunyai fungsi sebagai penggerak sekaligus pemacu terhadap potensi kemampuan SDM dalam meningkatkan prestasi kerjanya, dan nilai kompetensi seorang pekerja dapat dipupuk melalui program pendidikan, pengembangan dan pelatihan".

Menurut Simamora (2004), pertanyaan yang harus dihadapi oleh organisasi bukan lagi apakah akan melakukan investasi bagi pengembangan sumber daya manusia yang dimiliki, melainkan berapa besar investasi yang harus dibuat. Dari pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia mutlak diperlukan bagi organisasi yang terus berkembang sejalan dengan

(12)

perkembangan dalam masyarakat.

Para pegawai yang sudah berpengalamanpun selalu memerlukan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, karena selalu ada cara yang lebih baik untuk meningkatkan produktivitas kerja. Peningkatan, pengembangan dan pembentukan tenaga kerja dapat dilakukan melalui upaya pembinaan, pendidikan dan pelatihan (Hamalik, 2006).

Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian (Notoatmojo, 2003). Pendidikan berkaitan dengan mempersiapkan calon tenaga kerja yang diperlukan oleh suatu instansi atau organisasi sehingga cara penekanannya pada kemampuan kognitif, afektif dan psychomotor. Pendidikan merupakan proses pembelajaran melalui proses dan prosedur yang sistematis dan terorganisir baik teknis maupun manajerial yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama.

Menurut Soeprihanto (2001) dalam pengembangan sumber daya (human resource development) bahwa nilai-nilai kompetensi seorang pekerja dapat dipupuk melalui program pendidikan, pengembangan atau pelatihan yang berorientasi pada tuntutan kerja aktual dengan penekanan pada pengembangan skill, knowledge dan ability yang secara signifikan akan dapat memberi standar perilaku dalam sistem dan proses kerja yang diterapkan.

Pendidikan dengan berbagai programya mempunyai peranan penting dalam proses memperoleh dan meningkatkan kualitas kemampuan profesional individu.

Melalui pendidikan, seseorang dipersiapkan untuk memiliki bekal agar siap tahu,

(13)

mengenal dan mengembangkan metode berfikir secara sistematik agar dapat memecahkan masalah yang akan dihadapi dalam kehidupan dikemudian hari (Sedarmayanti, 2005).

Berdasarkan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974, menyatakan bahwa

"Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohaniah, yang berlangsung seumur hidup, baik didalam maupun diluar sekolah, dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila".

Sedangkan pengertian pendidikan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional disebut bahwa

"Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang".

2.6. Teori tentang Pelatihan

2.6.1. Pengertian dan Manfaat Pelatihan

Pelatihan merupakan suatu usaha mengurangi atau menghilangkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan pegawai dengan yang dikehendaki organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki pegawai dengan cara menambah pengetahuan dan ketrampilan serta merubah sikap. Pegawai merupakan kekayaan organisasi yang paling berharga, karena dengan segala potensi yang dimilikinya, pegawai dapat terus dilatih dan dikembangkan. sehingga dapat

(14)

lebih berkarya guna, prestasinya menjadi semakin optimal untuk mencapai tujuan organisasi.

Menurut Bernardin dan Russell dalam Gomes (2000) menyatakan bahwa

"Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performan pegawai pada pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Pelatihan lebih berkaitan dengan peningkatan keterampilan pegawai yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu sehingga lebih menekankan pada keterampilan (skill). Pelatihan merupakan cara terpadu yang diorientasikan pada tuntutan kerja aktual, dengan penekanan pada pengembangan skill, knowledge dan ability".

Soeprihanto (2001) menyatakan bahwa, "Pelatihan adalah kegiatan untuk memperbaiki kemampuan pegawai dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan suatu Pekerjaan ".

Menurut Rivai (2006) manfaat dilakukannya pelatihan bagi pegawai antara lain adalah:

1. Membantu pegawai dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih efektif;

2. Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri;

3. Membantu pegawai mengatasi stres, tekanan, frustasi, dan konflik;

4. Memberikan informasi tentang meningkatnya pengetahuan kepemimpinan, keterampilan komunikasi dan sikap;

5. Meningkatkan kepuasan kerja dan pengetahuan;

6. Membantu pengembangan keterampilan mendengar, bicara dan menulis dengan latihan;

7. Menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru;

8. Memberikan nasihat dan jalan untuk pertumbuhan masa depan;

(15)

9. Membangun rasa pertumbuhan dalam pelatihan.

2.6.2. Perbedaan Pelatihan dan Pengembangan

Yoder dalam Mangkunegara (2006) membedakan antara istilah pelatihan (training) dan pengembangan (development), dimana pelatihan ditujukan untuk pegawai pelaksana dan pengawas. Sedangkan pengembangan ditujukan untuk pegawai tingkat manajemen. Sementara itu, Umar (2007) melihatnya dari segi waktu, dimana pelatihan (training) ditujukan pada kebutuhan saat ini untuk dapat menguasai berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja, sedangkan pengembangan bertujuan untuk menyiapkan pegawainya agar siap memangku jabatan di masa yang akan datang.

Nadler sebagai orang yang pertama kali mencetuskan istilah Human Resource Development tahun 1969, membedakan antara pengertian Training, Education, dan Development sebagai berikut (Atmosoeprapto, 2004):

Training : learning to present job (belajar yang ada kaitannya dengan pekerjaan yang ditangani saat ini).

Education : Learning to prepare the individual for different but identified job (belajar untuk persiapan melakukan pekerjan yang berbeda tetap teridentifikasi).

Development : Learning for growth of the individual but not related to a specific present or future job (belajar untuk perkembangan

(16)

individu, tetapi tidak berhubungnn dengan pekerjaan tertentu saat ini atau yang akan datang).

Selanjutnya Notoatmodjo (2003) membedakan pendidikan dengan pelatihan seperti yang ditunjukkan pada tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Perbedaan Antar Pendidikan Dengan Pelatihan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Faktor Pembeda

Pengembangan kemampuan Area kemampuan (penekanan) Jangka waktu pelaksanaan Materi yang diberikan Metode belajar

Penghargaan akhir proses

Pendidikan Pelatihan

Menyeluruh (overall) Khusus / Specific Kognitif, afektif, psikomotor Psikomotor

Panjang Pendek

Lebih umum Lebih khusus

Konvensional Inkonvensional Gelar (degree) Sertifikat Sumber : Notoatmodjo (2003)

Dengan demikian pendidikan, pelatihan dan pengembangan merupakan istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha terencana yang diselenggarakan untuk mencapai pemuasan skill, pengetahuan dan sikap-sikap pegawai atau anggota organisasi. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses yang akan menghasilkan suatu perubahan perilaku peserta yang berbentuk peningkatan kemampuan kognitif, afektif ataupun psikomotor. Dampak lain yang akan ditimbulkan adalah peningkatan produktivitas kerja baik secara kualitas maupun kuantitas, meningkatnya semangat kerja (Nawawi, 2006).

Menurut Soeprihanto (2001) bahwa "Pelatihan akan bermanfaat bagi sebuah organisasi apabila kebutuhan pelatihan itu dianalisis pada saat dan waktu yang tepat"

Gomes (2000) menyatakan bahwa "Pelatihan hanya bermanfaat dalam situasi pada saat para pegawai kekurangan kecakapan dan pengetahuan".

Sedangkan menurut Tovey dalam Soeprihanto (2000) menyatakan bahwa

(17)

"Analisis kebutuhan pelatihan merupakan upaya pemahaman analitis tentang situasi tempat kerja untuk secara spesifik menentukan kebutuhan pelatihan apa yang harus dipenuhi sehingga dana, waktu dan segala usaha tidak terbuang percuma".

2.6.3. Metode-metode Pelatihan

Metode-metode pelatihan yang akan digunakan dalam memberikan pelatihan kepada pegawai antara lain adalah (Rivai, 2006):

1. On the Job Training

On the job training atau disebut juga dengan pelatihan dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu metode pelatihan dengan cara para pekerja atau calon pekerja ditempatkan dalan kondisi pekerjaan yang riil, di bawah bimbingan dan supervisi dari pegawai yang telah berpengalaman atau seorang supervisor. Walaupun metode ini tampaknya sederhana, apabila tidak ditangani dengan tepat beberapa permasalahan mungkin timbul seperti kerusakan mesin produksi, ketidakpuasan konsumen, kesalahan dalam melakukan filing dokumen dan lain-lain. Untuk mencegah masalah ini, instruktur harus dipilih secara selektif

2. Rotasi

Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar mendapatkan variasi kerja, para pengajar memindahkan para peserta pelatihan dari tempat kerja yang sah ke tempat kerja yang lainnya. Setiap perpindahan umumnya didahului dengan pelatihan pemberian instruksi kerja. Disamping memberikan variasi kerja bagi karyawan, pelatihan silang (crossing training) turut membantu perusahaan ketika ada karyawan yang cuti, tidak hadir, perampingan atau terjadi pengunduran diri.

(18)

3. Magang

Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih berpengalaman, dan dapat ditambah pada teknik off the job training. Banyak pekerja keterampilan tangan, seperti tukang pipa dan kayu dilatih melalui program magang resmi.

Asistensi dari kerja sambilan disamakan dengan magang karena menggunakan partisipasi tingkat tinggi dari peserta dan memiliki tingkat transfer tinggi kepada pekerjaan.

4. Ceramah Kelas dan Presentasi Video

Ceramah dan teknik lain dalam off the job training tampaknya mengandalkan komunikasi daripada memberi model. Ceramah adalah pendekatan terkenal karena menawarkan sisi ekonomis dan material organisasi, tetapi partisipasi, umpan balik, transfer dan repetisi sangat rendah. Umpan balik dan partisipasi dapat meningkat dengan adanya diskusi selama ceramah.

5. Pelatihan Vestibule

Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional rutin, beberapa perusahaan menggunakan pelatihan vestibule. Wilayah atau vestibule terpisah dibuat dengan peralatan yang sama dengan yang digunakan dalam pekerjaan. Cara ini memungkinkan adanya transfer, repetisi dan partisipasi serta material perusahaan bermakna dan umpan balik.

6. Permainan Peran dan Model Perilaku

Permainan peran adalah alat yang mendorong peserta untuk membayangkan identitas lain. Misalnya, pekerja pria dapat membayangkan peran supervisor

(19)

wanita dan sebaliknya. Kemudian keduanya ditempatkan dalam situasi kerja tertentu dan diminta memberikan respon sebagaimana harapan mereka terhadap lainnya.

7. Case Study

Metode kasus adalah metode pelatihan yang menggunakan deskripsi tertulis dan suatu permasalahan riil yang dihadapi oleh suatu.

8. Simulasi.

Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, simulasi yang melibatkan simulator, yang bersifat mekanik (mesin) yang mengandalkan aspek - aspek utama dalam suatu situasi kerja dan kedua adalah simulasi komputer. Untuk tujuan pelatihan dah pengembangan, metode ini sering berupa games atau permainan. Teknik ini umumnya digunakan untuk melatih para manajer, yang mungkin tidak boleh menggunakan metode trial and error untuk mempelajari pembuatan keputusan.

9. Belajar Mandiri dan Proses Belajar Terprogram

Materi instruksional yang direncanakan secara tepat dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan para karyawan. Materi-materi ini sangat membantu apabila para karyawan itu tersebar secara geografis (berjauhan jaraknya) atau ketika proses belajar hanya memerlukan interaksi secara singkat saja.

10. Praktik Laboratorium

Pelatihan di laboratorium dirancang untuk meningkatkan keterampilan interpersonal. Juga dapat digunakan untuk membangun perilaku yang diinginkan

(20)

untuk tanggung jawab pekerjaan di masa depan. Peserta mencoba untuk meningkatkan keterampilan hubungan manusia dengan lebih memahami diri sendiri dan orang lain.

11. Pelatihan Tindakan (Action Leaming)

Pelatihan ini terjadi dalam kelompok kecil yang berusaha mencari solusi masalah nyata yang dihadapi oleh perusahaan, dibantu oleh fasilitator (dari luar atau dalam perusahaan)

12. Role Playing

Role playing adalah metode pelatihan yang merupakan perpaduan antara metode kasus dan program pengembangan sikap. Masing-masing peserta dihadapkan pada suatu situasi dan diminta untuk memainkan peranan, dan bereaksi terhadap taktik yang dijalankan oleh peserta yang lain. Kesuksesan metode ini tergantung dari kemampuan peserta untuk memainkan peranannya sebaik mungkin.

13. In-Basket Technique

Melalui metode in-basket technique, para peserta diberikan materi yang berisikan berbagai informasi, seperti email khusus dari manajer, dan daftar telepon. Hal-hal penting dan mendesak, seperti posisi persediaan yang menipis, komplain dari pelanggan, permintaan laporan dari atasan, digabungkan dengan kegiatan bisnis rutin. Peserta pelatihan kemudian mengambil keputusan dan tindakan.

14. Management Games

Management games menekankan pada pengembangan kemampuan problem solving. Keuntungan dan simulasi ini adalah timbulnya integrasi atas berbagai

(21)

interaksi keputusan, kemampuan bereksperimen melalui keputusan yang diambil, umpan balik dari keputusan, dan persyaratan-persyaratan bahwa keputusan dibuat dengan data yang tidak cukup.

15. Behavior Modeling

Behavior Modeling adalah suatu metode pelatihan dalam rangka meningkatkan keahlian interpersonal. Kunci dari behavior modeling adalah belajar melalui observasi atau imajinasi

16. Outdoor Oriented Programs

Program ini biasanya dilakukan di suatu wilayah yang terpencil dengan melakukan kombinasi antara kemampuan di luar kantor dengan kemampuan di ruang kelas. Program ini dikenal dengan istilah outing, seperti arung jeram, mendaki gunung, kompetisi tim, panjat tebing dan lain-lain.

2.7. Teori tentang Motivasi

2.7.1. Pengertian dan Faktor-faktor Motivasi

Motivasi berasal dari kata Latin "movere" yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukan untuk sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya dan potensi bawahan agar mau bekerjasama secara produktif dan mampu mewujudkan tujuan yang telah ditentukan (Hasibuan, 2000).

(22)

Sperling dalam Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa "Motivasi merupakan suatu kecenderungan untuk beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri".

Sedangkan Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa "Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja)".

Selanjutnya Sedarmayanti (2005) menyatakan bahwa "Motivasi dapat diartikan sebagai suatu daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau yang diperbuat karena takut akan sesuatu.

Misalnya ingin naik pangkat atau naik gaji, maka perbuatannya akan menunjang pencapaian keinginan tersebut. Yang menjadi pendorong dalam hal tersebut bermacam-macam faktor diantaranya faktor ingin lebih terpandang diantara rekan kerja atau lingkungan dan kebutuhannya untuk berprestasi.

Berdasarkan pendapat dari para ahli manajemen sumber daya manusia di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada motivasi jika tidak dirasakan adanya kebutuhan dan kepuasan serta ketidakseimbangan. Rangsangan terhadap hal termaksud akan menumbuhkan tingkat motivasi dan motivasi yang telah tumbuh merupakan suatu dorongan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan atau pencapaian keseimbangan. Motivasi merupakan suatu dorongan kebutuhan dari dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dan motifnya.

Faktor-faktor motivasi yang digunakan dalam penelitian ini dikutip dari teori dua faktor Herzberg. Faktor-faktor motivasi tersebut akan diuraikan berikut ini:

1. Gaji (Salary)

Gaji atau upah merupakan bentuk kompensasi. yakni imbalan jasa yang diberikan secara teratur kepada seorang atas prestasi kerja yang di berikannnya

(23)

(Wursanto, 1989).

Bagi pegawai, gaji merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya. Gaji selain berfungsi memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap pegawai juga dimaksudkan untuk menjadi daya dorong bagi pegawai agar dapat bekerja dengan penuh semangat. Menurut Braid dalam Timpe (2005) tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realistis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai. Menurut Braid dalam Timpe (2005), program kompensasi yang baik mempunyai 3 (tiga) ciri penting, yaitu bersaing, rasional dan berdasarkan performa.

Stephen et al. dalam Timpe, (2005) menyatakan bahwa uang/gaji tidak dapat memotivasi pegawai terkecuali pegawai menyadari keterkaitannya dengan performs.

Meier dalam As'ad (2002), bahwa pendistribusian gaji didasarkan pada produksi, lamanya kerja, lamanya dinas dan besarnya kebutuhan hidup. Sedangkan Menurut Nitisenmito dalam (Saydam, 2004) agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, dalam pemberian kompensasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum;

b. Dapat mengikat karyawan agat tidak keluar dari perusahaan;

c. Dapat menimbulkan semangat dan kegairahan kerja;

d. Selalu ditinjau kembali;

e. Mencapai sasaran yang diinginkan;

(24)

f. Mengangkat harkat kemanusiaan;

g. Berpijak pada peraturan yang berlaku.

2. Supervisi

Supervisi yang efektif akan membantu peningkatan produktivitas pekerja melalui penyelenggaraan kerja yang baik, pemberian petunjuk-petunjuk yang nyata sesuai standar kerja dan perlengkapan pembekalan yang memadai serta dukungan- dukungan lainnya (Glueck, 1989). Tanggung jawab utama seorang supervisor adalah mencapai hasil sebaik mungkin dengan mengkoordinasikan sistem kerja pada unit kerjanya secara efektif (Dharma, 2007).

Supervisor mengkoordinasikan sistem kerjanya itu dalam 3 (tiga) hal penting, yaitu : melakukan dengan memberi petunjuk/pengarahan, memantau proses pelaksanaan pekerjaan dan menilai hasil dari sistem kerja yang diikuti dengan melakukan umpan balik (feed back).

Menurut Harper dalam Timpe (2001) bahwa supervisor dalam melaksanakan penilaian kinerja, menurut pendekatan pengkajian dan pengembangan kinerja (performance review and development) lebih efektif dari sistem penilaian kinerja karena seorang pimpinan tidak hanya memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan, potensi karier dan keberhasilan profesional setiap karyawannya saja.

Pendekatan performance review and development mencakup penciptaan sasaran dan standar kinerja, mengkaji kinerja aktual, membandingkan kinerja aktual dengan sasaran yang telah ditentukan, mengkaitkan imbalan dengan kinerja, membuat rencana pengembangan dan menyepakati sasaran serta standar kinerja masa depan.

(25)

3. Kebijakan dan Administrasi

Keterpaduan antara pimpinan dan bawahan sebagai suatu kebutuhan atau totalitas sistem merupakan faktor yang sangat penting untuk menjamin keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Melalui pendekatan manajemen partisipatif, bawahan tidak lagi dipandang sebagai objek, melainkan sebagai subjek (Soedjadi, 2005)

Dengan komunikasi dua arah akan terjadi komunikasi antar pribadi sehingga berbagai kebijakan yang diambil dalam organisasi bukan hanya merupakan keinginan dari pimpinan saja tetapi merupakan kesepakatan dari semua anggota organisasi. Para pendukung manajemen partisipatif selalu menegaskan bahwa manajemen partisipatif mempunyai pengaruh positif terhadap karyawan melalui partisipasi, para karyawan akan mampu mengumpulkan informasi, pengetahuan, kekuatan dan kreaktivitas untuk memecahkan persoalan (Zaimm, 2003).

4. Hubungan Kerja

Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana kerja atau hubungan kerja yang harmonis dengan terciptanya hubungan yang akrab, penuh kekeluargaaan dan saling mendukung baik itu hubungan antar sesama pegawai atau antar pegawai dengan atasan.

Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan hubungan dengan orang lain, baik itu ditempat kerja maupun diluar lingkungan kerja. Menurut Ranupandojo dan Husnan (2003), bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan persahabatan dan mereka tidak akan bahagia bila ditinggalkan

(26)

sendirian, untuk itu maka mereka akan melakukan hubungan dengan teman - temannya.

Menurut Mengginson dalam Handoko (2005) bahwa "Kebutuhan sosial secara teoritis adalah kebutuhan akan cinta, persahabatan, perasaan memiliki dan diterima oleh kelompok, keluarga dan organisasi".

Selanjutnya Indrawijaya (2003), menyatakan bahwa "Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para pekerja lebih puas berada dalam kelompok. Kelompok kerja juga dapat memenuhi sistem sebagai "sounding board" terhadap permasalahan/ problem mereka atau sebagai sumber kesenangan atau hiburan".

5. Kondisi Kerja

Kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai tentu akan membuat pegawai betah untuk bekerja. Menurut Sumarni dkk (2003), bahwa dengan kondisi kerja yang nyaman, pegawai akan merasa aman dan produktif dalam bekerja sehari-hari. Sementara itu menurut Cumming (1987), bahwa lingkungan fisik dimana individu bekerja mempunyai pengaruh pada jam kerja maupun sikap mereka terhadap pekerjaan itu sendiri, 30% dari kasus absensi para pekerja ternyata disebabkan oleh sakit yang muncul dan kecemasan neurosis yang berkembang sebagai reaksi bentuk kondisi kerja.

6. Pekerjaan itu sendiri

Pekerjaan itu sendiri menurut Herzberg merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi (Timpe. 2005).

(27)

Suatu pekerjaan akan disenangi oleh seseorang bila pekerjaan itu sesuai dengan kemampuannya, sehingga dia merasa bangga untuk melakukannya. Pekerjaan yang tidak disenangi dan kurang menantang biasanya tidak mampu menjadi daya dorong, bahkan pekerjaan tersebut cenderung menjadi rutinitas yang membosankan dan tidak menjadi suatu kebanggaan (Saydam, 2004).

Melalui teknik pemerkayaan pekerjaan dapat menjadi sarana motivasi pegawai dengan membuat pekerjaan mereka lebih menarik membuat tempat kerja lebih menantang dan memuaskan untuk bekerja (Timpe, 2005).

7. Peluang Untuk Maju (advance)

Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan (Saydam, 2004). Setiap pegawai tentunya mengkehendaki adanya kemajuan atau perubahan dalam pekerjaannya yang tidak hanya dalam hal jenis pekerjaan yang berbeda atau bervariasi, tetapi juga posisi yang lebih baik. Setiap pegawai menginginkan adanya promosi ke jenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalamannya dalam bekerja.

Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.

Menurut Pigors dan Myers (1993) promosi merupakan kemajuan karyawan ke pekerjaan yang lebih, dalam bentuk tanggung jawab yang lebih besar, prestise atau status yang lebih, skill yang lebih besar dan khususnya naiknya tingkat upah atau gaji.

(28)

Nasution (2000) menyatakan bahwa ada beberapa alasan perlunya promosi diprogramkan dengan baik oleh organisasi, yaitu:

1. Promosi adalah jenjang kenaikan pegawai yang dapat menimbulkan kepuasan pribadi dan kebanggaan;

2. Promosi menimbulkan pengalaman dan pengetahuan baru bagi pegawai dan hal tersebut akan merupakan daya dorong bagi pegawai yang lain;

3. Promosi dapat mengurangi angka permintaan berhenti pegawai (labour turnover);

4. Promosi dapat membangkitkan semangat kerja pegawai dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.

5. Adanya peluang promosi membangkitkan kemauan untuk maju pada pegawai itu sendiri sehingga menimbulkan kesungguhan dalam mengikuti pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh organisasi;

6. Promosi dapat menimbulkan keunggulan berantai dalam organisasi karena timbulnya lowongan berantai.

8. Pengakuan/Penghargaan (Recognition)

Seperti dikemukakan oleh Maslow, bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan sense of belonging (rasa ingin dihargai). Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari pemberian kompensasi (Saydam; 2004).

Menurut Simamora (2004), pengakuan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan itu sendiri yang termaksud dalam kompensasi non finansial.

(29)

Seseorang yang memperoleh pengakuan atau penghargaan akan dapat meningkatkan semangat kerjanya. Menurut Soeprihanto (2001) bahwa "Kebutuhan akan harga diri/penghormatan lebih bersifat individual atau mencirikan pribadi, ingin dirinya dihargai atau dihormati sesuai dengan kapasitasnya (kedudukannya), sebaliknya setiap pribadi tidak ingin dianggap dirinya lebih rendah dan yang lain.

Mungkin secara jabatan lebih rendah tetapi secara manusiawi setiap individu (pria dan wanita ) tidak ingin direndahkan”.

Oleh sebab itu pimpinan yang bijak akan selalu memberikan pengakuan/

penghargaan kepada karyawan yang telah menunjukkan prestasi membanggakan sebagai faktor motivasi yang efektif bagi peningkatan prestasi kerja pegawainya.

9. Keberhasilan (Achievement)

Setiap orang tentu menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan/tugas yang dilaksanakan. Pencapaian prestasi atau keberhasilan (achievement) dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya (Saydarn, 2004). Dengan demikian prestasi yang dicapai dalam pekerjaan akan menimbulkan sikap positif, yang selalu ingin melakukan pekerjaan dengan penuh tantangan.

Seseorang.yang memiliki keinginan berprestasi sebagai suatu kebutuhan dapat mendorongnya untuk mencapai sasaran. Menurut MeCleland bahwa tingkat "needs of Achievement” (n-Ach) yang telah menjadi naluri kedua merupakan kunci keberhasilan seseorang (Siswanto 1999). Kebutuhan berprestasi biasanya dikaitkan dengan sikap positif, keberanian mengambil resiko yang diperhitungkan untuk

(30)

mencapai sasaran yang telah ditentukan.

10. Tanggung Jawab

Menurut Filippo (1996), bahwa tanggung jawab adalah merupakan kewajiban seseorang untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pengarahan yang diterima.

Setiap orang yang bekerja pada suatu perusahaan/organisasi ingin dipercaya memegang tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar apa yang telah diperolehnya. Tanggung jawab bukan saja atas pekerjaan yang baik, tetapi juga tanggung jawab berupa kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang mempunyai potensi. Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang mempunyai potensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar (Saydarn, 2004).

2.7.2. Teori-teori Motivasi

Dalam mengkaji teori dari motivasi cukup menarik yang mana teorinya dapat dikelompokkan / diklasifikasikan atas:

1. Teori Kepuasan (Content Theory) yang memusatkan pada apa-nya motivasi.

2. Teori Motivasi Proses (Process Theory) yang memusatkan pada bagaimananya motivasi.

3. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory) yang menitik beratkan pada dimana perilaku dipelajari.

Dalam penelitian ini yang dibahas hanya teori kepuasan, dimana teori ini oleh

(31)

pakar teori motivasi seperti Frederick Winslow Taylor, A.H. Maslow, Frederick Herzberg, Douglas McGregor, McClelland dan Claude S. George. Teori kepuasan yang diikuti oleh Frederick Herzberg sebagai berikut:

2.7.2.1. Teori Dua Faktor Herzberg

Dalam kehidupan organisasi, pemahaman terhadap motivasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya, namun motivasi juga dirasakan sebagai sesuatu yang sulit. Hal ini dikemukakan oleh Wahjosumidjo (2004) sebagai berikut:

a. Motivasi sebagai suatu yang penting (important subject) karena peran pemimpin itu sendiri besar kaitannya dengan bawahan. Setiap pemimpin harus mampu bekerja sama dengan bawahan, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan.

b. Motivasi sebagai suatu yang sulit (puzzling subject), karena motivasi sendiri tidak bisa diamati dan diukur secara pasti. Untuk mengamati dan mengukur motivasi berarti harus mengkaji lebih jauh perilaku bawahan.

Disamping itu juga disebabkan adanya teori motivasi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Untuk memahami motivasi pegawai dalam penelitian ini digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan oleh Herzberg. Adapun pertimbangan peneliti adalah : Pertama, teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro, yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja.

Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya. Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekejaan.

(32)

Teori ini dikemukakan oleh Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli tekhnik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor (Cushway dan Lodge, 2001). Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masingmasing orang dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang

(33)

diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2002).

Tabel 2. Herzberg's Two Factor Theory

Hygiene Factor Ektrinsic Motivation Intrinsic 1. Company policy and administration

(Kebijaksanaan dan administrasi)

1. Achievement (Keberhasilan pelaksanaan)

2. Supervision technical (Supervise)

2. Recognition

(Pengakuan/penghargaan)

3. Salary (Gaji/Upah) 3. Work it self (Pekerjaan itu sendiri) 4. Interpersonal reaction, supervisor . 4. Responsibility (Tanggung jawab) 5. Working condition (Kondisi kerja) 5. Advencement (Pengembangan) Sumber :Luthans (2001)

Adapun yang merupakan faktor motivasi menurut Herzberg adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (recognition), tanggung jawab (responsible).

Sedangkan faktor hygienis terdiri dari: kompensasi, kondisi kerja, status, suvervisi, hubungan antara manusia dan kebijaksanaan perusahaan. Untuk lebih jelasnya teori dua faktor Herzberg (Herzberg's Two Factor Theory) yang dikutip oleh Luthans (2001) ditunjukkan pada Tabel 2.

Menurut Herzberg, faktor hygienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidak puasan potensial

(34)

(Cushway dan Lodge, 2001). Sedangkan motivation/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah atau disebut hygienis (Tempe, 2005).

Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan oleh para ahli. Pekerjaan sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi kerena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka (Cushway dan Lodge, 2001).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Schwab,: De Vitt dan Cummings tahun 1971 telah membuktikan bahwa faktor ekstrinsik-pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performaa tingi (Timpe, 2005).

2.7.2.2. Teori Evaluasi Kognitif menurut P.C. Jordan

Inti teori ini adalah pandangan. yang mengatakan bahwa pengaruh motivasi intrinsik berkurang apabila seseorang telah termotivasi oleh dorongan yang bersifat ekstrinsik. Teori ini mengatakan bahwa apabila faktor-faktor motivasional yang bersifat ekstrinsik kuat, maka motivasi intrinsik melemah. Dicontohkan jika motivasi eksterinsik seperti penghasilan yang menarik, seorang karyawan seolah-olah

(35)

kehilangan kendali atas "nasibnya" dan karena itu kepuasan menampilkan kinerja rendah, dengan kata lain motivasi yang bersangkutan telah beralih dari motivasi intrinsik menjadi motivasi ekstrinsik (Siagian, 2002).

2.8. Pengalaman Kerja

Pada awalnya orang bekerja pada suatu organisasi atau lembaga dengan tugas atau pekerjaan yang belum pernah ia tangani tentu disertai perasaan yang was-was atau bertanya-tanya. Tetapi setelah dikerjakan berulang kali pekerjaan yang sama maka ia akan terbiasa dan perasaan kaku pun menjadi hilang. Hal ini cocok dengan pepatah lama, bahwa Alah bisa karena terbiasa.

Faktor kemampuan seseorang tidak cukup hanya dilihat dari segi pendidikan dan pelatihan saja, namun bisa juga dilihat dan segi pengalaman atau pengalaman kerja seseorang selama bekerja pada oraganisasi/lembaga tertentu.

Menurut Wibowo (2007) bahwa "Pengalaman merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi kinerja seseorang didalam melaksanakan tugas guna pencapaian tujuan organisasinya".

Pengalaman kerja sebagai kepala kelurahan dalam suatu pemerintahan akan berpengaruh terhadap kinerja kepemerintahannya. Dengan dibekali banyak pengalaman maka kemungkinan untuk mewujudkan. prestasi atau kinerja yang baik cukup meyakinkan dan sebaliknya bila tidak cukup berpengalaman didalam melaksanakan tugasnya, seseorang akan besar kemungkinan mengalami kegagalan.

Pengalaman pernah/lama menjadi Kepala Kelurahan akan memudahkan bagi

(36)

Kepala Kelurahan untuk melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangannya. Karena dengan adanya pengalaman tersebut maka Kepala Kelurahan sudah terlatih untuk mengembangkan kecakapan untuk memecahkan masalah- masalah dalam masyarakatnya. Disamping itu juga Kepala Kelurahan sudah terlatih dalam mengungkapkan pendapat yang dapat meyakinkan pihak lain untuk membentuk kesepakatan dalam menentukan suatu kebijakan dan pengalaman berhasil atau tidaknya suatu pekerjaan merupakan suatu pelajaran yang sangat berguna dikemudian hari.

Ada pepatah menyatakan bahwa "pengalaman itu adalah guru yang terbaik"

sebab orang belajar dari segudang pengalaman yang pernah ia alami akan merupakan pedoman/petunjuk kearah kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, Kepala Kelurahan yang banyak pengalaman kerjanya ia akan mudah menyelesaikan tugas/pekerjaannya dibandingkan dengan Kepala Kelurahan yang kurang berpengalaman, sehingga tujuan organisasi/pemerintahan akan tercapai atau tidak sangat tergantung kepada kemahiran kerja Kepala Kelurahan yang berpengalaman itu.

Referensi

Dokumen terkait

Kesulitan lain yang ditemukan adalah kemampuan dalam mengembangkan indikator pencapaian kompetensi; materi yang disusun hanya dari buku guru saja; sulit mencapai

-Rapat Koordinasi, Sinkronisasi, dan Pengendalian Sistem Layanan Rujukan Terpadu dan Pusat -Rapat Koordinasi Tingkat Eselon Satu tentang Pembiayaan Gaji dan Tunjangan Guru

- Untuk mengetahui sensitifitas bakteri terhadap antibiotik rifampicin, maka dilakukan uji hambatan menggunakan rifampisin 5, 10, 50, dan 100 mg/L, dengan cara merendam

Perlindungan hukum bagi wajib pajak tidak hanya melalui upaya-upaya hukum melalui peradilan tetapi juga upaya-upaya administratif di luar peradilan. Upaya

Dalam menjatuhi putusan hakim melakukan tindakan peradilan yang diatur dalam KUHAP dan dihukum berdasarkan peraturan Perundang- undangan dalam Undang-undang No.23 tahun

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Penerapan Model Teams Games Tournament (TGT) Berbantuan Media Laci Kartu Soal Pada Siswa Kelas IV SD 6

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya putaran poros kritis pada  praktikum putaran poros kritis ini seperti kecepatan putaran poros ini dapat terjadi

5) Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk mencapai KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yaang tersedia dalam silabus dan KD