• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Reba : mitos genealogis, proses ritual, makna dan fungsi bagi masyarakat Ngadha di Flores, NTT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Reba : mitos genealogis, proses ritual, makna dan fungsi bagi masyarakat Ngadha di Flores, NTT."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

i   

TRADISI REBA:

MITOS GENEALOGIS, PROSES RITUAL, MAKNA DAN FUNGSI BAGI MASYARAKAT NGADHA DI FLORES, NTT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Strata 1 (S-1) Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Yoseph Karolus Leba 094114020

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii   

(3)
(4)
(5)
(6)

vi   

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah

melimpahkan kasihnya untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Judul

skripsi ini adalah Tradisi Reba; Mitos Genealogis, Proses Ritual, Makna dan Fungsi

bagi Masyarakat Ngadha di Flores, NTT, ditulis untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak, karena itu penulis mau mengucapkan limpah terima kasih kepada:

1. Dr. Yosep Yapi Taum, M.Hum., yang berkenan menjadi pembimbing I penulis

dalam menyusun skripsi ini. Beliau telah memberikan banyak masukan,

pinjaman buku referensi, teori-teori yang digunakan dalam skripsi ini, dan terus

memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., yang berkenan menjadi pembimbing

II, selaku dosen pembimbing akademik penulis. Beliau juga memberikan

masukan dan terus memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Para dosen Program Studi Sastra Indonesia USD: Drs. B. Rahmanto, M.Hum.,

Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum., Drs.

Hery Antono, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum., dan Drs. F.X. Santosa,

M.S., serta dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu. Pengabdian mereka untuk dunia pendidikan sangat

berharga dan patut dihormati.

4. Bapak Aloysius Pede dan ibu Fransiska Lawe, orang tuaku tercinta yang telah

membiayai dan selalu mendoakan penulis setiap saat.

5. Paulina Vianti Eka Permata yang selalu memotivasi dan selalu menemani

penulis untuk mencari buku referensi dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kakak Delvis yang selalu meluangkan waktunya untuk membantu dan menjadi

teman curhat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Karyawan/i sekertariat Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah urusan

administrasi.

8. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah mempermudah peminjaman

(7)
(8)

viii   

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. (Amsal 3:5-6)

Motto

Pergilah dan jadilah bijak dengan berpijak pada kegagalan masalalumu Sebagai cambuk dan bergurulah pada keberhasilan untuk terus maju mengukir

keceriaan masa depanmu.

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

Kedua orang tuaku, Prodi Sastra Indonesia,

(9)

ix   

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

KATA PENGANTAR... vi 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Rumusan Masalah... 6

1.3Tujuan Penelitian... 6

1.4Manfaat Penelitian... 6

1.5 Tinjauan Pustaka... 7

1.6Landasan Teori... 8

1.6.1 Foklor... 8

1.6.2 Kepercayaan Rakyat... 9

1.6.3 Mitos Geneologis... 10

1.6.4 Ritual... 12

1.6.5Makna dan Fungsi... 13

1.7 Metode Penelitian... 14

1.7.1 Pendekatan... 14

1.7.2 Metode... 14

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data... 15

1.7.3.1 Teknik Pengamatan... 15

1.7.3.2 Teknik Wawancara... 16

1.7.3.3 Teknik Pencatatan... 16

1.7.3.4 Teknik Dokumentasi... 16

1.7.4 Analisis Data... 17

1.8 Sistematika Penyajian... 17

BAB II ASAL-USUL TRADISI REBA DALAM KONTEKS SEJARAH DAN BUDAYA MASYARKAT NGADHA 2.1 Pengantar... 19

2.2 Data Demografis Kabupaten Ngadha... 20

2.2.1 Letak Geografis Kabupaten Ngadha... 20

2.2.2 Bahasa dan Budaya Kabupaten Ngadha... 20

(10)

x   

2.2.3.2 Pertambangan... 22

2.2.3.3 Perkebunan... 23

2.3 Sejarah Asal-Usul Kabupaten Ngadha... 23

2.4 Kepercayaan Masyarakat Ngadha... 26

2.4.1 Percaya Pada Wujud Tertinggi... 26

2.4.2 Percaya Pada Leluhur... 27

2.4.3 Percaya Pada Makhluk Halus... 29

2.5 Kesenian Kabupaten Ngadha... 30

2.5.1 Alat Musik... 30

2.5.2 Upacara-Upacara Adat Masyarakat Ngadha... 33

2.5.2.1 Upacara Sagi... 33

2.6 Mitos Asal-usul Tradisi Reba... 36

2.7 Rangkuman... 40

BAB III PROSES RITUAL UPACARA REBA 3.1 Pengantar... 42

3.2 Proses Pelaksanaan Ritual Adat Reba... 42

3.2.1 Persiapan... 42

BAB IV MAKNA DAN FUNGSI RITUAL REBA BAGI MASYARAKAT NGADHA 4.1 Pengantar... 58

4.2 Makna Ritual Reba Bagi Masyarakat Ngadha... 58

4.2.1 Makna Historis... 59

4.2.2 Makna Persaudaraan... 69

4.3 Fungsi Ritual Reba Bagi Masyarakat Ngadha... 70

(11)

xi   

4.2.3 Fungsi Ajaran Hidup... 72

4.2.4 Fungsi Estetis... 73

4.4 Rangkuman... 73

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 75

5.2 Saran... 77

DAFTAR PUSTAKA... 78

LAMPIRAN... 80

1. Daftar Informan... 81

2. Foto-Foto Upacara Reba... 82

(12)

xii   

Leba, Yoseph Karolus. 2013, “Tradisi Reba: Mitos Genealogis, Proses Ritual, Makna dan Fungsi Reba bagi Masyarakat Ngadha di Flores, NTT”. Skripsi Strata 1 (S1). Program Study Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas tradisi Reba dari segi mitos genealogis, proses ritual, makna dan fungsi bagi masyarakat Ngadha di Flores, NTT. Studi ini memiliki tiga tujuan, yakni (1) mendeskripsikan asal-usul tradisi Reba dalam konteks sejarah dan budaya Masyarakat Ngadha, (2) mendeskripsikan proses ritual pelaksanaan upacara Reba di daerah Kabupaten Ngadha, dan (3) mendeskripsikan makna dan fungsi ritual Reba bagi masyarakat Ngadha.

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan folklor. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan referensi adalah mitos genealogis, ritual, makna dan fungsi. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan empat teknik pengumpulan data yaitu pengamatan (observasi), wawancara, pencatatan, dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukan beberapa hal berikut. (1) Asal-usul budaya Reba mengisahkan latar belakang munculnya budaya Reba. (2) Ada empat tahap proses pelaksanaan ritual Reba, yaitu tahap persiapan, tahap perayaan awal, tahap perayaan inti, dan tahap perayaan akhir. (3) Ada dua makna yang terkandung dalam upacara Reba, yaitu: (a) makna historis, yang mengisahkan perjalanan panjang nenek moyang orang Ngadha dari Saylon di India menuju ke tempat tujuannya yaitu di Ngadha, makna ini disampaikan melalui upacara Su’i Uwi (pemotongan ubi) dan upacara O’Uwi

(13)

xiii   

Leba, Yoseph Karolus. 2013, “Reba Tradition: Myth Genesis, Process, Meaning, and Function for Ngadha people in Flores, NTT”. Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Literary, Indonesian Literature Course, Sanata Dharma University

This thesis discusses Reba tradition: myth genesis, process, meaning, and function for Ngadha people in Flores, NTT. This study aims to (1) describe genesis of Reba tradition, (2) describe process of Reba ceremony, and (3) describe meaning and function Reba tradition for Ngadha people.

The approach that used in this study is folklore approach. The theories are mite genealogy, rite, meaning, and function. This research uses ethnography method with four gathering data technique: observation, dialogue, writing, and documentation.

The results in this thesis are genesis, process, meanings, and functions of Reba tradition. (1) The genesis of Reba tradition tells about historical back ground of Reba tradition. (2) There are four steps of process of Reba ceremony, that is preparation, beginning step, main ceremony, and the end of ceremony. (3) There are two meanings in Reba tradition, that is (a) historical meaning, that tell about the long journey of the ancestor of Ngadha people from Saylon, India to Ngadha, this meaning is told through

(14)

xiv   

1) Genealogis: asal-usul.

2) Konteks : situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.

3) Magi : kekuatan gaib.

4) Mitos : Asal-usul semesta alam atau suatu bangsa yang mengandung hal-hal yang

ajaib.

5) Reba : upacara adat Ngadha untuk mengenang ajaran para leluhur.

6) Ritus/Ritual: pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai

ciri-ciri mitos, jadi ritual lebih luas pengertiannya dibandingkan dengan upacara.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia terus bergerak menuju suatu perubahan yang terus menerus tanpa

kenal waktu. Dalam konteks perubahan itu, kebudayaan suatu suku bangsa yang

berada dalam dunia juga ikut berkembang sesuai kehendak manusia sebagai

subjek kebudayaan. Tetapi selain sebagai objek bentukan manusia, kebudayaan

juga merupakan suatu subjek yang memberikan ciri khas dan eksistensi dari

bangsa pemilik kebudayaan tersebut. Kebudayaan memberikan dirinya sebagai

ciri yang melekat pada suatu suku bangsa dari masa ke masa. Dalam bahasa

Indonesia terdapat istilah yang tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan

ini, yaitu adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya (Koentjaraningrat, 1986:

187).

Berbagai macam upacara yang terdapat di dalam masyarakat pada

umumnya merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan, dan

perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur tersebut diwariskan

secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya sebagai sebuah tradisi

(Bratawidjaja,1988:9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:959) tradisi

adalah adat istiadat turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan

dalam masyarakat atau penilaian, anggapan bahwa cara-cara yang telah ada

merupakan cara yang paling baik dan benar.

Dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki budaya tradisional seperti

halnya di Kabupaten Ngadha, masyarakat harus lebih sadar untuk lebih

(16)

menghayati budaya sendiri, karena dengan berakar dan mengenal budaya sendiri

dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kelangsungan hidup

bermasyarakat. Kebudayaan daerah dengan berbagai upacara adat mempunyai

nilai yang sangat baik dalam proses menjaga dan melestarikan keharmonisan

keluarga, suku, dan masyarakat serta dengan lingkungan alam sekitar pada

umumnya (Veronika Ulle Bogha, 2005:5).

Ngadha merupakan Kabupaten yang terletak diantara Kabupaten Nagekeo

(di Timur), dan Manggarai (di Barat) merupakan salah satu kabupaten yang

potensial di Pulau Flores, NTT. Beribukotakan Bajawa sebuah kota kecil

terletak di atas pegunungan, kira-kira 1000 m di atas permukaan laut. Secara

umum orang luar menyebut bahwa Ngadha hanya ada pola pembagian etnis antara

orang Bajawa (Ngadha) dan orang Nagekeo, namun sebenarnya di kabupaten ini

dikenal tiga kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki tanda-tanda kesatuan

yang berbeda kesatuan adat tersebut yaitu, Ngadha, Riung, dan So’a (Wawancara

Bapak Yohanes Wawo, 26 Desember 2012).

Sub kelompok etnik Ngadha adalah kelompok agraris, bagi mereka tanah

yang subur dan luas, curah hujan yang memadai, kelembaban tanah, tidak adanya

wabah pada tumbuhan, mempunyai arti penting. Mereka tahu dengan pasti karena

kebiasaan, bagaimana lahan pertanian harus mulai digarap, dengan

memperhatikan letak gugusan bintang yang memegang peran penting dalam

kegiatan berladang. Dengan memperhatikan dan mengetahui apakah bintang itu

sudah muncul di cakrawala, kelompok etnik dan sub-kelompok etnik diingatkan

(17)

lain dengan mengulangi upacara dan perayaan-perayaan yang menyangkut bidang

agraris; mereka tahu masa panen tiba dan berakhir (Daeng, 2000:204).

Ada upacara-upacara adat yang merupakan hasil kebudayaan yang

terdapat di kabupaten Ngadha yang mempunyai ciri-ciri mistis yang memberikan

pembenaran terhadap mitos. Upacara tersebut di antaranya, upacara adat Reba

(Mensyukuri hasil panen kepada Tuhan dan para leluhur), upacara Sagi (Tinju

Adat), upacara Dero (upacara tarian untuk mengiringi tinju atau penyemangat

terhadap orang yang akan bertinju yang di lakukan pada malam sebelum tinju),

upacara Tu Ngawu Feka (upacara pendewasaan diri), upacara Rori Lako

(berburu), upacara Sapu Kiki Ngi’i (upacara potong gigi bagi anak wanita),

upacara Yo Goe, Die rie (upacara adat dengan nyanyi-nyanyian dan pantun

mengiringi kepergian dan kedatangan para pemburu), upacara adat Dheli, Para

Zedhe, Dhodho (acara tusuk telinga bagi anak wanita), dan lain-lain yang

dilakukan setahun sekali, setiap lima tahun, dan ada juga yang dilakukan sepuluh

tahun sekali. Kegiatan ini pun dilakukan secara umum dalam semua lapisan

masyarakat yang diadakan cukup meriah dan ramai.

Dalam masyarakat tradisional, perilaku-perilaku ritual umumnya dapat

dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan pembenaran untuk

berbagai upacara. Sekalipun ada kemungkinan bahwa banyak ritual pada masa

silam berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat

diamati dua fenomena: ritual dan mitos berjalan seiring (Dhavamony, 1995:

(18)

Dalam konteks penelitian ini, perlu dibedakan antara upacara dan ritual.

Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai

ciri-ciri mistis. Di pihak lain, upacara berarti organisasi kompleks dari kegiatan

manusia yang tidak hanya sekadar bersifat teknis ataupun rekreasional melainkan

juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari

hubungan sosial (Dhavamony, 1995: 175).

Makna upacara Reba bagi masyarakat Ngadha dapat dilihat sebagai suatu

peristiwa historis yang mengisahkan tentang perjalanan hidup nenek moyang

orang Ngadha yang memperjuangkan kehidupannya melalui tanaman ubi sebagai

sumber makanan utama. Makna Reba juga merupakan kesempatan bagi para

anggota keluarga dapat saling jumpa, merevitalisasi, serta mempererat integritas

antar mereka. Keutuhan antar anggota keluarga dipertegas karena mereka

disadarkan akan identitasnya melalui sejarah eksistensi kelompok (Daeng, 2000:

201)

Upacara Reba juga berfungsi sebagai ajang untuk bekerja sama, saling

membantu, saling menghormati, dan menghargai kebudayaan-kebudayaannya

sendiri yang telah diwariskan oleh para leluhur, yang tercakup dalam fungsi

sosial, fungsi magis, fungsi ajaraan hidup, dan fungsi estetis (Wawancara, Bapak

Yohanes Wawo, 29 Desember 2012).

Ada dua aspek yang menarik dari upacara Reba yaitu: (1) Prosesnya yang

panjang dan cukup rumit, belum banyak diketahui orang mengenai upacara adat

Reba, dan (2) upaya-upaya yang dilakukan agar mempertahankan upacara ini

(19)

sebagai menu makanan utama masyarakat Ngadha dalam upacara Reba. Karena

dengan adanya globalisasi sekarang upacara ini bisa saja dikatakan sesuatu yang

bermasalah, karena pada upacara ini banyak sekali perubahan-perubahan yang

terjadi dalam masyarakat Ngadha salah satunya, seperti ubi diganti dengan nasi.

Padahal dahulu ubi merupakan sumber makanan utama kehidupan masyarakat

Ngadha.

Hal lain yang mendukung penulis yaitu, dalam upaya memperkenalkan

budaya Ngadha kepada publik agar bisa menambah wawasan dan pelajaran

tentang budaya tradisi Reba. Selain itu, tulisan ini dimaksudkan untuk

memperkenalkan lebih luas lagi tentang pariwisata budaya yang ada di Kabupaten

Ngadha.

Upacara Reba ini dilakukan dengan sangat teliti dan cermat, perhitungan

yang cermat dan teliti dari penganut adat akan sangat menentukan keberadaan

upacara ini. Kesalahan dalam upacara ini akan menyebabkan hal yang fatal bagi

orang dan keluarga yang melakukan upacara ini sebagai akibat dari kemarahan

dari wujud tertinggi. Bila terlanjur melakukan kesalahan, maka harus secepatnya

melakukan pemulihan untuk menghindari kemurkaan dari wujud tertinggi yang

akan mereka alami (Wawancara Bapak Yohanes Wawo, 26 Desember 2012).

Melihat beberapa aspek yang cukup berperan dalam masyarakat Ngadha

mengenai berbagai upacara adat, maka penulis berinisiatif untuk mengangkat

masalah ini sebagai karya ilmiah dengan judul “Tradisi Reba: Mitos Genealogis,

(20)

Objek penelitian yang berjudul “Tradisi Reba: Mitos Genealogis, Proses

Ritual, Makna dan Fungsi bagi Masyarakat Ngadha di Flores, NTT”, ini menjadi

salah satu sarana agar masyarakat menyadari betapa berharganya sebuah

kebudayaan bagi suatu bangsa, yang akhirnya akan membuat masyarakat menjadi

merasa bangga terhadap budaya daerahnya sendiri.

1.2Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana asal-usul tradisi Reba dalam konteks sejarah dan budaya

masyarakat Ngadha?

1.2.2 Bagaimana proses ritual pelaksanaan upacara Reba di daerah Kabupaten

Ngadha?

1.2.3 Apa makna dan fungsi ritual Reba bagi masyarakat Ngadha?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan asal-usul tradisi Reba dalam konteks sejarah dan budaya

masyarakat Ngadha?

1.3.2 Mendeskripsikan proses ritual pelaksanaan upacara Reba di daerah

Kabupaten Ngadha.

1.3.3 Mendeskripsikan makna dan fungsi ritual Reba bagi masyarakat Ngadha.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Tradisi Reba merupakan salah satu tradisi yang terdapat di daerah

(21)

dilakukan bukan hanya untuk kepentingan peneliti semata, akan tetapi

diharapkan juga dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan kepustakaan

mengenai penelitian tradisi lisan yang sangat minim dalam masyarakat

Indonesia, antara lain:

1.4.1 Dalam bidang budaya, tradisi ini dapat menambah wawasan

kepada masyarakat luas yang ingin mengetahui lebih banyak

tentang budaya Reba yang terdapat di Kabupaten Ngadha.

1.4.2 Dalam bidang sastra lisan dan folklor, penelitian ini dapat

menambah wawasan kepada peneliti lain mengenai tradisi lisan

dan mitos genealogis termaksud tradisi lisan dalam upacara Reba.

1.4.3 Dalam bidang religi, masyarakat bisa mengetahui mantra dan sesaji

yang digunakan dalam tradisi Reba bagi masyarakat Ngadha.

1.4.4 Dalam bidang pariwisata dan pemerintah daerah, dimanfaatkan

untuk meningkatkan pendapatan daerah setempat, yaitu sebagai

wisata budaya, dan adat yang berakar pada keaslian daerah

sehingga bisa meningkatkan hakikat, martabat, serta moralitas

dalam kehidupan.

1.5 Tinjauaan Pustaka

Laporan hasil penelitian ini berisi pembahasan mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan tradisi Reba dalam masyarakat Ngadha. Penelitian mengenai

tradisi Reba yang terdapat dalam suatu daerah telah diteliti oleh beberapa peneliti,

diantaranya yaitu Hans J. Daeng (2000), dalam tulisannya yang berjudul “Reba,

(22)

tentang beberapa hal yang berhubungan dengan proses ritual, dan makna Reba

bagi sub-kelompok etnik Bajawa.

Karena topik yang penulis angkat juga menyangkut tentang manusia dan

tumbuhan menurut keyakinan masyarakat Ngadha, maka tulisan oleh Hendrik P.

Bhezo, tentang “Relasi manusia dan alam dalam konteks pemikiran orang ngadha

tentang kosmos dunia lain”. Yang ditulis dalam buku “Komunitas Pandangan

Orang Ngadha Tentang Kehidupan Manusia Di Dunia Lain” ini membahas

bagaimana pandangan orang Ngadha terhadap kekuatan lain yang ada di

sekitarnya dan bagaimana orang Ngadha mengimplikasikannya dalam kehidupan

sehari-hari dalam hubungannya dengan Dewa zeta nitu zale (Tuhan di atas dan

Bumi di bawah langit).

Tulisan lain yang penulis masukan adalah Agama Orang Ngadha: Kultus,

Pesta dan Persembahan, oleh Paul Arndt, Maumere: Puslit Candraditya

(2007:23). Tulisan ini mengedepankan tentang peranan agama dalam kepercayaan

asli yang melekat dan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam diri

orang Ngadha serta beberapa kegiatan yang menyangkut dengan keyakinan

tersebut. Tulisan-tulisan terdahulu tersebut di atas memberikan acuan bagi penulis

untuk menganalisis lebih baik lagi mengenai topik yang akan dibahas oleh

penulis.

1.6 Landasan Teori

(23)

Penelitian sastra lisan mengenai upacara Reba ini mengacu pada teori

analisis sastra lisan tentang asal-usul cerita rakyat (folklor). Cerita rakyat

mengalami perkembangan keberbagai arah dengan tokoh dan peristiwa yang

berbeda-beda lewat sejumlah transformasi tetapi tetap mempertahankan kerangka

struktur fungsi yang sama. Oleh karena itu, metode struktural ini dapat

digabungkan dengan metode penelitian genetik, penelusuran asal-usul cerita

rakyat (Teeuw, 1984:292-293).

Kata folklore terdiri dari dua kata yaitu folk yang berarti kolektif, dan lore

dapat diartikan sebagai tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, diwariskan

secara turun temurun, secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai

gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Kartidirdjo, 1992:176).

Folklor adalah kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan

turun-temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan

maupun tulisan (Danandjaja, 1984:2).

1.6.2 Kepercayaan Rakyat

Kepercayaan rakyat oleh ahli-ahli folklor modern lebih dikenal dengan

istilah kepercayaan rakyat (folk belif) atau keyakinan rakyat daripada “takhayul”

(Danandjaja, 1984:153). Pada umumnya di wariskan melalui media tutur kata.

Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (signs)

atau sebab-sebab (cause), dan diperkirakan akan ada akibatnya (result)

(Danandjaya, 1984:153).

Fungsi kepercayaan rakyat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya,

(24)

disebabkan manusia percaya adanya mahluk-mahluk gaib yang berasal dari

jiwa-jiwa orang mati, atau manusia percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam

alam (Koentjaraningrat, 1967:218).

Fungsi lain adalah sebagai sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang

berasal dari halusinasi seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa, dalam

bentuk mahluk-mahluk alam gaib (Koentjaraningrat, 1967:218).

1.6.3 Mitos Genealogis

Mitos (myth) adalah sejenis cerita prosa yang dipercaya kebenarannya oleh

masyarakat pendukung cerita itu. Mitos sebenarnya merupakan pengejewantahan

dogma sehingga sifatnya sakral, dan seringkali dihubungkan dengan ritus dan

teologi. Mitos menjadi semacam jawaban bagi berbagai persoalan eksistensial

pada saat manusia tidak mengerti, bimbang, ataupun kehilangan orientasi. Para

pelaku mitos umumnya bukan manusia tetapi memiliki sifat-sifat manusia

(misalnya binatang, dewa, ataupun pahlawan budaya). Mitos biasanya

mengungkapkan awal mula dunia, awal mula manusia, kematian, atau

menjelaskan etimologis binatang, kekhasan geografis, dan fenomena-fenomena

alam lainnya (Taum, 2011:67-68).

Sebuah ritual selalu dikaitkan dengan mitos, karena perilaku-perilaku

ritual umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan

pembenaran untuk berbagai upacara. Oleh J. van Baal (Daeng, 2000: 81), mitos

dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang di masa lalu

(25)

mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan Yang

Kudus melalui konsep serta bahasa simbolik Melalui mitologi diperoleh suatu

kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada

bermacam-macam kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama hidup.

Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia memiliki orientasi dalam

kehidupan ini. Dengan demikian, mitos adalah sebuah cerita pemberi pedoman

dan arah tertentu kepada sekelompok orang.

Dengan ungkapan Dhavamony (1995: 147), maka mitos sesungguhnya

merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting

tentang realitas asli, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari

kehidupan primitif.

Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia dapat berorientasi

dalam kehidupan ini; ia tahu dari mana ia datang dan kemana ia pergi; asal usul

dan tujuan hidupnya dibeberkan baginya dalam mitos, mitos menyediakan

pegangan hidup (Syukur Dister, 1982: 32-33). Pandangan Syukur Dister tersebut

sejalan dengan pendapat van Peursen yang mengatakan bahwa mitos adalah

sebuah cerita pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang.

Mitos memberi arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam

pedoman bagi manusia untuk bertindak bijaksana serta mitos menyadarkan

manusia akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Melalui mitos manusia dibantu

untuk menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan

(26)

Genealogis adalah garis pertumbuhan dari sesuatu berdasarkan

bentuk-bentuk sebelumnya (KBBI, 2008: 463). Dalam studi ini, mitos genealogis

dipandang sebagai sebuah prosa naratif yang menjelaskan atau mengisahkan

tentang asal-usul tradisi Reba.

1.6.4 Ritual

Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang

mempunyai ciri-ciri mistis. Ritual dapat dibedakan atas empat macam (1)

Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja

karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja

dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah

hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara

ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual faktitif, yang

meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau

dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok

(Dhavamony, 1995: 175-176).

Proses ritual berhubungan erat dengan emosi keagamaan yang dimiliki

individu itu sendiri. Menurut Koenjaraningrat (1967:218) emosi keagamaan atau

religious emition yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah

menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran

itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja kemudian menghilang lagi.

Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia untuk berlaku serba religi dan

(27)

dengan kelakuan serba religi tersebut, seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan

orang-orang yang bersangkutan.

Dalam ritual upacara Reba terdiri atas tiga rangkaian upacara inti, yaitu:

kobhe dheke (masuk rumah adat), O Uwi/ Sedo Uwi (tarian khusus mengiringi

upacara Reba), dan Su’i Uwi (upacara terakhir pada perayaan inti Reba), yang

dilaksanakan selama 2-3 hari atau lebih. Proses ritual ini akan dibahas pada Bab

III.

1.6.5 Makna dan Fungsi Ritual

Makna adalah arti atau maksud pembicara atau penulis (KBBI, 2005:703).

Fungsi adalah kegunaan suatu hal (KBBI, 2005:322). Makna yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah arti tuturan lisan masyarakat Ngadha dalam upacara

Reba. Sedangkan fungsi proses ritual secara umum terbagi menjadi empat, yaitu

fungsi spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Proses ritual sebagai fungsi

spiritual yaitu usaha manusia dalam berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara

manusia berkomunikasi melalui upacara-upacara keagamaan baik untuk memohon

keselamatan, menjaga keseimbangan kosmos, bahkan pembinaan hubungan baik

dengan para leluhur dan Tuhan-Nya (Rostiyati, 1994:106-107).

Sebagai fungsi sosiologis, upacara keagamaan memiliki

penjelasan-penjelasan sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat kehidupan

sosial antara warga masyarakat. Para penganut religi atau agama terkadang tidak

(28)

melakukannya karena mereka menganggap melakukan upacara itu sebagai suatu

kewajiban sosial saja (Rostiyati, 1994:111-112).

Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan tradisi

upacara Reba bagi masyarakat Ngadha. Dalam hal ini makna dan fungsi yang

dimaksud adalah arti dan fungsi tuturan adat masyarakat Ngadha dalam upacara

Reba.

1.6 Metode Penelitian

1.7.1 Pendekatan

Pendekatan folklor merupakan pendekatan yang akan digunakan dalam

penelitian ini. Folklor merupakan mentifact (fakta kejiwaan), yaitu fakta yang

terjadi dalam jiwa, pikiran, atau kesadaran manusia yang dituturkan dan

diwariskan secara turun temurun melalui bahasa lisan (Kartodirdjo, 1992:176).

Folklor Indonesia terbagi menjadi dua yaitu kepercayaan rakyat dan permainan

rakyat. Folklor Indonesia lebih menekankan pada aspek-aspek turun-temurun,

kepolosan, keaslian, dan kolektif.

1.6.2 Metode

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode etnografi. Menurut

Sukmadinata (2008:62), metode etnografi adalah metode yang mendeskripsikan

dan menginterpretasikan budaya, kelompok, sosial, atau sistem. Meskipun makna

budaya itu sangat luas, metode etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola

(29)

etnografi dilaksanakan di lapangan dalam waktu yang cukup lama, berbentuk

observasi dan wawancara secara alamiah dengan para partisipan, dalam berbagai

bentuk kegiatan penelitian serta mengumpulkan dokumen-dokumen.

Dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk mengetahui asal-usul,

proses ritual, makna, dan fungsi tentang tradisi upacara Reba yang masih

dilakukan oleh masyarakat Ngadha, di Flores NTT.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data lapangan, teknik-teknik pengamatan,

wawancara, perekaman, pencatatan, diperlukan untuk mendapatkan data dari

tempat penelitian (Taum, 2011:239-240). Selain itu teknik dokumentasi juga

diperlukan dalam penelitian ini.

1.7.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)

Pengamatan adalah melihat dan mengamati suatu kejadian (tari, permainan,

tingkah laku, nyanyian, dll) dari gejala luarnya sampai kedalamnya dan

menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat hasil pengamatannya (Taum,

2011:239).

Dalam teknik ini peneliti mengamati upacara Reba (mensyukuri hasil

panen) yang dilakukan di Kabupaten Ngadha, Flores NTT. Yang diamati

upacaranya dari proses awal hingga akhir upacara. Pengamatan upacara tersebut

dilakukan oleh peneliti pada tanggal 26-29 Desember 2013 yang bertempat di

(30)

1.7.3.2 Teknik Wawancara

Wawancara adalah suatu proses tanya jawab lisan, yaitu dua orang atau

lebih berhadap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka yang lain dan

mendengarkan dengan telinga sendiri (Hadi, 1979:192).

Dalam wawancara ada dua tahap penting. Tahap pertama ‘wawancara

bebas’yaitu memberi kebebasan seluas-luasnya kepada informan untuk berbicara.

Tahap kedua ‘wawancara terarah’ yaitu mengajukan pertanyaan yang sudah di

susun sebelumnya untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam

(Taum, 2011:239).

Teknik ini yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data secara

langsung dari para informan yaitu tua-tua adat yang dipercaya dan mengetahui

secara jelas tentang proses ritual adat Reba. Selain itu data juga diperoleh melalui

tokoh masyarakat dan kaum muda.

1.7.3.3 Teknik Pencatatan

Dalam teknik ini peneliti menggunakan perlengkapan data dengan

mengambil dari sumber data dalam bentuk catatan-catatan tertulis tentang

pelaksanaanupacara Reba serta prosesnya yang berasal dari Kabupaten Ngadha.

1.7.3.4 Teknik Dokumentasi

Dokumentasi adalah semua tulisan yang dikumpulkan dan disimpan, yang

(31)

adalah mengatur dan menyimpan tulisan atau gambar dan foto sebagai dokumen

(KUBI, 1994:354).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan kamera untuk mengambil

gambar objek dalam bentuk foto selama berlangsungnya proses tradisi upacara

Reba.

1.7.4 Analisis Data

Penulis menggunakan metode deskriptif analisis dalam penelitian ini.

Metode deskriptif analisis berfungsi sebagai pemecah masalah yang diselidiki

dengan menggambarkan atau melukiskan objek penelitian pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk memberikan

bobot lebih tinggi pada metode ini (Namawi dan Martini, 1994: 73).

1.8 Sistematika Penyajiaan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab pertama, adalah

pendahuluan, pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, teknik penelitian,

dan sistematika penyajiaan. Latar belakang menjelaskan alasan penulis

mengangkat judul penelitian. Pada penelitian ini, masalah yang di angkat adalah

“Tradisi Reba: Mitos Geneologis Proses Ritual, Makna dan Fungsi bagi

Masyarakat Ngadha di Flores, NTT” Rumusan masalah dibuat untuk membatasi

penulis dalam menganalisis masalah dalam penelitian yang akan dilakukan.

(32)

penulis dari penelitian yang dilakukan. Manfaat penelitian yaitu untuk mengukur

sejauh mana kepentingan yang didapat dari penelitian yang berupa manfaat dalam

bidang akademis. Tinjauan pustaka mengemukakan pustaka yang pernah

menjelaskan tentang ritual Kebudayaan Reba dan pengertiannya masing-masing.

Landasan teori menyampaikan teori- teori yang digunakan sebagai landasan

penelitian. Teknik penelitian merincikan teknik pengumpulan data yang berupa

teknik pengamatan, teknik wawancara, teknik pencataan dan teknik dokumentasi

dalam penelitian ini. Sistematika menguraikan urutan hasil penelitian. Bab II,

membahas tentang asal-usul tradisi Reba dalam konteks sejarah dan budaya

masyarakat Ngadha, yang meliputi data demografis Kabupaten Ngadha, sejarah

asal-usul Kabupaten Ngadha, kepercayaan masyarakat Ngadha, kesenian daerah

Kabupaten Ngadha, dan asal-usul tradisi Reba. Bab III membahas mengenai

proses ritual upacara Reba, proses ritual upacara Reba menjelaskan tentang

tahap-tahap upacara Reba, yakni tahap-tahap persiapan, perayaan awal, perayaan inti, dan

perayaan akhir. Bab IV membahas tentang makna dan fungsi ritual Reba bagi

masyarakat Ngadha. Fungsi mencakup tentang fungsi sosial, fungsi magis, dan

fungsi ajaran hidup. Bab V berisi kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil

analisis dalam penelitian ini yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan

(33)

BAB II

ASAL-USUL TRADISI REBA

DALAM KONTEKS SEJARAH DAN BUDAYA

MASYARAKAT NGADHA

2.1 Pengantar

Reba adalah satu upacara ritual yang berkaitan dengan pertanian

tradisional pada masyarakat Ngadha. Budaya Reba merupakan kompleksitas

nilai-nilai (sosial, filosofis, religius, moral, kesenian, rekreatif, ekonomi, hukum,

pelestarian lingkungan) serta gagasan vital dari keyakinan yang mampu mengatur

pelaku masyarakat pendukungnya baik dalam kehidupan sosial atau lingkungan

sosial maupun lingkungan alam. Budaya Reba merupakan pedoman bagi

masyarakat Ngadha untuk berinteraksi dalam komunitas sosial maupun interaksi

dengan lingkungan alam sekitarnya (Veronika Ulle Bhoga, 2005: 19).

Memahami tradisi Reba secara mendalam tidak mungkin di pisahkan dari

konteks sosial budaya masyarakatnya. Untuk itu dalam bab ini akan di paparkan

hal-hal mengenai, data demografis Kabupaten Ngadha, sejarah asal-usul

Kabupaten Ngadha, sistem kepercayaan masyarakat Ngadha, kesenian daearah

Kabupaten Ngadha, asal-usul upacara Reba, dan di akhiri dengan sebuah

rangkuman.

(34)

2.2 Data Demografis Kabupaten Ngadha

2.2.1 Letak Geografis Kabupaten Ngadha

Kabupaten Ngadha adalah salah satu dari sekian banyak kabupaten yang

ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur, di bagian tengah Pulau Flores. Secara

geografis Kabupaten Ngadha terletak pada, koordinat 8º Lintang Selatan sampai

dengan 9º Lintang Selatan, dan 120º45’ sampai dengan 121º50’ Bujur Timur.

Dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut: di sebelah Utara dengan laut

Flores, di sebelah Selatan dengan laut Sawu, di sebelah Timur dengan Kabupaten

Nagekeo, dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Manggarai Timur. Di daerah

Kabupaten Ngadha beriklim tropis, dan mempunyai dua musim yakni: musim

hujan dari Bulan Oktober sampai Bulan April dan musim panas dari Bulan Mei

sampai Bulan September.

Rangkaian pegunungan dan perbukitan merupakan kekhasan topografi

Kabupaten Ngadha. Gunung-gunung yang terkenal yaitu: Gunung Ebulobo (2.149

m), Gunung Inerie (2.245 m), Gunung Lobobutu (1.800 m), dan Gunung Inelika

(1.631 m). Kabupaten Ngadha memiliki flora dan fauna yang bervariasi.

Panorama yang indah, adat istiadat dan kebudayaan yang unik merupakan obyek

wisata yang dapat dinikmati. Sumber (http://www.ngadakab.go.id//, di unduh

tanggal 23 maret 2013).

2.2.2 Bahasa dan Budaya Kabupaten Ngadha

Wilayah Kabupaten Ngadha terdiri dari sepuluh kecamatan, yaitu:

(35)

Golewa, Kecamatan Golewa Selatan, Kecamatan Riung, Kecamatan Riung Barat,

Kecamatan So’a, Kecamatan Wolomeze, dan Kecamtan Jerebuu.

Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di Kabupaten Ngadha

adalah bahasa Ngadha. Dalam kebudayaan Ngadha, rumah adat merupakan

peranan penting dalam pola kemasyarakatan. Kabupaten Ngadha juga memiliki 3

suku besar, yaitu suku Bajawa, suku So’a, dan suku Riung. Masing-masing suku

ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih dipertahankan sampai saat

ini, seperti rumah adat, dialek yang berbeda satu sama lainnya, tarian, pakian adat,

dan lain-lain.

Walaupun bahasa dan kebudayaan antara satu kecamatan dengan

kecamatan lainya berbeda, masyarakat Ngadha pada umumnya masih

mempercayai Madhu dan Bhaga sebagai simbol persatuan nenek moyang

masyarakat Ngadha. Sumber (http://www.ngadakab.go.id//, di unduh tanggal 23

maret 2013).

2.2.3 Ekonomi Masyarakat Ngadha

2.2.3.1 Perikanan

Kabupaten Ngadha memiliki wilayah perairan/laut yang sangat potensial

baik di pantai utara yaitu Laut Flores (Kecamatan Riung), maupun pantai laut

selatan yaitu Laut Sawu, yang terletak di Kecamatan Golewa dan Kecamatan

Aimere. Kekayaan laut yang utama yaitu ikan, lobster, rumput laut, dan mutiara.

Sumber daya perikanan dan kelautan di Kabupaten Ngadha terdapat pada garis

(36)

dan pantai selatan 114 Km. Sesuai PP nomor 25 tahun 1999, luas laut yang

menjadi kewenangan Kabupaten hanya mencapai 4 mil laut.

Luas wilayah perairan laut sebesar 344.363 Ha dengan potensi lestari

sebanyak 10.334,82 ton/tahun yang terdiri atas potensi ikan pelagis sebanyak

6.717,63 ton, dan ikan demersal sebanyak 3.617,18 ton. Sampai dengan tahun

2000 tingkat pemanfaatannya baru mencapai 55,51 ton sisanya, dan perairan

umum serta budidaya, dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) sebanyak

1.101 Rumah Tangga yang terdiri dan 989 Rumah Tangga Perikanan Nelayan,

dan 131 Rumah Tangga Perikanan Budidaya. Dan jumlah tersebut yang berstatus

sebagai Nelayan Penuh sebanyak 265 orang dan 176 orang sebagai Nelayan

Sambilan. Sumber (http://www.ngadakab.go.id//, di unduh tanggal 23 maret

2013).

2.2.3.2 Pertambangan

Potensi pertambangan yang terdapat di Kabupaten Ngadha, adalah

sebagai berikut : Besi/Mangan terdapat di Mbong Milong- Riung dengan luas area

1.359 Ha. Emas terdapat di Desa Rawangkalo, Wangka, Lindi dengan luas area

1.177.100 Ha (5.789 ton). Perak, Belerang terdapat di Desa Mataloko, dengan luas

area 30 Ha. Tembaga 33.088 %, Pasir, Besi dengan luas area 65 Ha, terdapat di

Desa Naru dan Aimere, Tanah Liat yang terdapat di Desa Bomari-Langa dengan

luasnya 30.512.619 M3. Marmer terdapat di Kecamatan Sambinasi, Rawangkalo,

(37)

266.721.653 M3, Batu Permata 1/2, Permata 1.00.000 M3. Sumber

(http://www.ngadakab.go.id//, di unduh tanggal 23 maret 2013).

2.2.3.3 Perkebunan

Kabupaten Ngadha memiliki potensi perkebunan yang cukup potensial

untuk dikembangkan. Beberapa jenis komoditi andalan yang dikembangkan di

Kabupaten Ngadha adalah : kopi, kakao, jambu mete, kemiri, kelapa,

cengkeh,vanili, dan merica. Luas area lahan kering yang sangat potensial yaitu

98.100 ha, dan fungsionalnya seluas 47.943 ha, sedangkan sisanya sebesar 50.157

ha belum dimanfaatkan.

(http://www.ngadakab.go.id//, di unduh tanggal 23 maret 2013).

2.3 Sejarah Asal-Usul Kabupaten Ngadha

Nama Kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata Ngadha yang oleh

bangsa Belanda konsonan “dh” tidak dapat diucapkan dengan benar sebagaimana

ucapan orang Ngadha, oleh karena itu, terucaplah konsonan “dh” menjadi

konsonan “d” sehingga kata Ngadha menjadi Ngada, yang digunakan sebagai

nama tempat maupun sebagai nama klan dan kini menjadi nama wailayah

administratif kabupaten.

Ngadha, Kabupaten yang terletak di antara Kabupaten Nagekeo (di

Timur), dan Manggarai (di Barat) merupakan salah satu kabupaten yang potensial

di Pulau Flores. Beribukotakan Bajawa sebuah kota kecil terletak di atas

(38)

menyebut bahwa Ngadha hanya ada pola pembagian etnis antara orang Bajawa

(Ngadha) dan orang Nagekeo, namun sebenarnya di Kabupaten ini dikenal tiga

kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki tanda-tanda kesatuan yang berbeda.

Kesatuan adat tersebut adalah: Ngadha, Riung, dan So’a. Wilayah kesatuan adat

Ngadha meliputi, Kecamatan Aimere, Jerebu’u, Golewa, Bajawa, dan Kecamatan

Ngadha Bawa dengan lambang persatuan adat Ngadhu dan Bhaga. Sedangkan

orang Riung memiliki tradisi dan adat istiadat sendiri dengan ciri campuran

dengan etnis Manggarai dan Ngadha. Kesatuan adat So’a memiliki campuran adat

antara Ngadha dan Nagekeo dengan lambang kesatuannya Ngadhu.

Ngadha sebenarnya nama seorang ibu asal dari klan Ngadha

(Arndt,terjemahan Lege,1984). Dari penelusuran sejarah, Ngadha adalah nama

suatu suku Bangsa Aria di India dan juga nama tempat tinggalnya. Salah satu suku

bangsa yang terkenal pada orang-orang Aria adalah suku Magadha. Ngadha

sebenarnya berasal dari Magadha, M dan NG sering bergantian dari banyak dialek

Ngadha seperti Madhu dan Ngadhu yang berarti lambang kakek moyangnya

(leluhur). Dalam sejarah pengembaraan orang-orang Aria di India, perpindahan

suku-suku bangsa dari barat ke timur telah mulai lebih dahulu dibandingkan

dengan suku-suku bangsa lainnya. Karena itu, baik di barat maupun ke timur kita

temukan nama-nama dari suku-suku bangsa yang terkenal, seperti: Bharata,

Tritsu, dan Puru. Tiga suku bangsa tersebut kemudian bergabung menjadi satu

suku bangsa yaitu Bangsa Kuru di Kuruksthera. Sementara itu suku bangsa

Magadha, yang adalah nenek moyang orang Ngadha, terus melanjutkan perjalanan

(39)

moyang orang Ngadha melakukan perjalanan yang lama dan panjang. Seperti

telah disebut di awal bahwa nenek moyang orang Ngadha berasal dari klan

Magadha di India, yang artinya perjalanan mereka lakukan tidak saja melalui

hutan, gunung, dan padang pasir, tetapi juga melalui lautan. Oleh karena itu,

mereka memiliki banyak pengalaman, khususnya pengalaman berlayar.

Pengalaman mereka terlihat dari kesamaan beberapa nama gelar pemimpin

dalam kehidupan suku seperti: Mosa Keso Ulitange Dala (Jurumudi), Mosa Ana

Koda (Nahkoda) dan pemberian nama kampung dengan memakai nama

bagian-bagian perahu seperti: Mangu Lewa (puncak tiang layar yang tinggi), dan Laja

(layar perahu). Bagian-bagian dari rumah juga memakai nama bagian-bagian dari

perahu seperti Mangu yang berarti tiang layar, yang adalah juga tiang tengah dari

rumah pada serambi depan rumah; atap rumah berbentuk layar. Tangga yang

berada diserambi depan rumah disebut juga padha jo yang berarti jembatan

perahu. Beberapa kampung di gunung pun mempunyai nama-nama sebagai

berikut: Mangulewa yang berarti tiang layar yang tinggi, Rajolewa yang berarti

perahu yang panjang, Jo Jawa yang berarti perahu Jawa, karena itu juga mungkin

sekali Jawa adalah tanah yang mempunyai kesan yang mendalam selama

pengembaraan, nama dari pulau yang merupakan tempat tinggal terakhir sebelum

Flores. Kalau orang menemukan unsur-unsur budaya Hinduisme seperti yang ada

pada orang Ngadha di daerah-daerah lain di timur, maka hal ini disebabkan oleh

penyerpihan dari suatu kelompok yang lebih besar yang kemudian menetap di

(40)

2.4 Kepercayaan Masyarakat Ngadha

Seluruh masyarakat kabupaten Ngadha mayoritas beragama Katolik.

Meskipun demikian mereka tetap mempraktekkan dan menghayati kepercayaan

asli. Kepercayaan asli meliputi kepercayaan pada wujud tertinggi, roh nenek

moyang, dan mahluk halus (Veronika, 2005:87-89). Berikut akan dipaparkan

masing-masing kepercayaannya:

2.4.1 Percaya Pada Wujud Tertinggi (Dewa Zeta Nitu Zale)

Dewa Zeta Nitu Zale, terdiri dari empat kata yang mempunyai artinya

tersendiri secara terpisah. Namun jika disatukan mengandung suatu pemahaman

yang bulat, utuh tak terpisahkan dan diucapkan sebagai satu kesatuan. De kata

ganti penanya yang menyatakan tempat. Misalnya wi de artinya dimanakah, kata

penanya yang menyatakan tempat yang tepat.

Dewa dasar yang tepat berada dimana? (De wa wi de?) Dasar, sumber

asalnya yang tepat berada di atas yang disebutnya Zeta. Di atas yang menunjukan

tempat yang tinggi, tempat yang agung, atau keagungan. Tanggapan ‘di atas’

berdasarkan pada pengalaman manusia, seperti hujan dari atas. Namun sampai

dimana tingginya, tidak disebutkan batasnya. Sedangkan tempat yang tinggi,

hanya di ukur dengan kemampuan pandangan mata manusia yang memandang ke

atas langit. Orang Ngadha memahami Dewa sebagai satu dasar atau sumber yang

tepat dan transparan, terselubung dibalik pengelihatan mata biasa manusia.

Dalam lingkup sosial budaya masyarakat kabupaten Ngadha wujud

(41)

memberikan sesuatu, yang penuh kasih sayang dan yang selalu menjadi sandaran

manusia di dalam hidupnya. Dewa adalah wujud tertinggi sebagai penguasa

manusia dan alam semesta. Allah disebut dengan berbagai nama yaitu Dewa Zeta,

Tua Dewa, Mori Dewa dan Ema Mori Bhu. Dewa Zeta dipahami sebagai Tuhan

yang menjadi penguasa langit dan keberadaanya adalah sebuah misteri yang tidak

kelihatan dan diyakini akan mendatangkan kebaikan kalau manusia berbuat baik

dan akan mendatangkan malapetaka kalau menusia tidak setia kepada-Nya.

Karena itu masyarakat Ngadha selalu percaya bahwa segala sesuatu yang di

berikan akan kembali kepada-Nya.

2.4.2 Percaya Pada Leluhur

Dalam upacara Reba ada banyak rangkaian upacara yang diawali dengan

mengundang Sang Pencipta. Dalam memulai suatu upacara, arwah leluhur atau

roh nenek moyang menjadi mediator untuk menghantar permohonan keselamatan

atau keberhasilan kepada Tuhan. Keberhasilan segala usaha dianggap tergantung

pada kekuatan supranatural sehingga setiap usaha yang dianggap penting disertai

dengan upacara, khususnya ditujukan untuk memperoleh restu dari nenek moyang

terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakat (Soejono,1984). Kontak atau

komunikasi dengan arwah nenek moyang atau leluhur melalui pengucapan mantra

dan pemberian sesajen. Mereka yakin bahwa Tuhan-lah sumber kebaikan,

pemberi berkat dalam usaha pertanian atau perladangan.

Dalam upacara sesajen Tuhan selalu di sapa: Dewa Zeta Nitu Zale, artinya

(42)

yakin bahwa arwah leluhur dianggap sangat berpengaruh dalam aktifitas

berladang. Masyarakat memiliki pengetahuan empiris di bidang perkebunan. Magi

merupakan hal yang tidak terpisahkan dari keberhasilan di bidang perkebunan.

Pemujaan terhadap leluhur menjadi salah satu bagian penting dari kegiatan

suku-suku atau menjadi identitas suku-suku. Masyarakat kabupaten Ngadha yakin

akan campur tangan leluhur atas kehidupan manusia. Para leluhur (orang mati)

tetap hidup dalam wujud Roh, Semua yang telah meninggal di jemput oleh

leluhurnya ke tempat yang sama. Contoh konkrit yang biasa dilakukan adalah

ketika bekerja dari pagi hingga matahari yang sudah menjelang terbenam semua

orang di sarankan untuk berhenti semua dari kegiatan kerja karena akan

bergantian para leluhur yang akan menggarap lahan itu. Hal ini merupakan suatu

wujud kepercayaan yang menyatakan bahwa para leluhur akan datang

mengunjungi manusia yang hidup pada malam hari dan melihat hasil kerja

manusia tersebut. Masyarakat Ngadha percaya bahwa setelah kematian akan ada

kehidupan lain lagi yang abadi.

Pemujaan leluhur dibuat dengan memberikan sesajian pada saat-saat

tertentu, Pemberian makan kepada leluhur dengan maksud untuk menghadirkan

mereka dalam setiap kegiatan dan senatiasa menjaga agar jangan sampai terjadi

hal yang tidak diinginkan bersama. Banyak sekali uapacara-upacara yang

dilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan ini. Pemberian makanan

kepada leluhur dapat dilakukan ditempat-tempat seperti: di dalam rumah, di tugu

batu, di depan rumah ataupun di kuburan serta di tempat yang dianggap sebagai

(43)

semasa hidup atau makanan yang di anggap khusus dan paling disukai seperti,

hati ayam, hati babi, atau berupa daging isi, serta minuman berupa moke/tuak dan

sirih atau pinang. Hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa orang mati tetap

membutuhkan perhatian dan penghormatan dari manusia yang masih hidup.

Hidup di dunia hanya sementara, dan kelak semua anggota keluarga akan bersatu

kembali dalam suasana yang baru.

2.4.3 Percaya Pada Mahluk Halus (Nitu Zale)

Masyarakat kabupaten Ngadha percaya akan adanya mahluk halus atau roh

halus yang mendiami waktu dan ruang tertentu. Manusia ataupun hewan dilarang

melintasi tempat itu pada waktu tertentu, karena makhluk atau roh halus akan

mendatangkan kemalangan padanya. Mahluk atau roh halus tersebut disebut

dengan nama Nitu. Identitas nitu dikenal mempunyai warna dan ukuran tetentu.

Nitu mendiami bagian-bagian tertentu baik di rumah maupun di alam bebas. Di

rumah nitu diyakini mendiami lubang dan tangga rumah juga di atap rumah. Di

alam bebas nitu dipercaya mendiami pohon besar, sungai, mata air, batu besar,

atau puncak bukit. Tempat-tempat itu dianggap angker dan pemali. Pada

tempat-tempat ini dipercayai nitu berupa wujud binatang raksasa misalnya kucing yang

ukurannya seperti kuda atau seorang nenek yang sedang duduk mengenakan

pakaian putih tanpa memperlihatkan wajahnya ataupun juga terdengar bunyi gong

dan gendang pada malam-malam tertentu dengan suara orang yang banyak.

Selain itu Nitu juga dipahami dan diidentifikasikan atau dipersonifikasikan

(44)

dan duka manusia. Pemahaman ini lebih bersifat manusiawi dan lebih akrab

dengan manusia serta lebih dekat dengan manusia walaupun tidak kelihatan. Yang

paling dekat dengan manusia ialah tanah atau bumi. Maka Nitu adalah satu pribadi

yang tinggal di tempat yang dalam, yang dalam bahasa Ngadha yaitu Zale Ulu

Nitu. Pribadi yang memiliki suatu kekuatan yang tak terbatas yang tidak kelihatan

yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, namun penuh perhatian. Oleh orang

Ngadha, Nitu Zale senantiasa dihubungkan dengan Dewa sehingga menjadi Dewa

Zeta Nitu Zale. Salah satu aspek keilahian Allah, penyelenggara ilahi, yang

mengantar manusia ke tujuan hidupnya.

Dewa Zeta Nitu Zale merupakan kesatuan dasar dan kekuatan yang

mendasari moralitas hidup orang Ngadha. Karena itu Dewa Zeta Nitu Zale, tidak

dapat di ungkapkan secara terpisah, tetapi selalu menjadi satu ungkapan utuh

Dewa Zeta Nitu Zale bukan Dewa Zeta dengan Nitu Zale. Jadi Dewa Zeta Nitu

Zale merupakan ungkapan kekuatan yang menyatu, satu kekuatan yang

memperibadi yang menyelenggarakan hidup manusia.

2.5 Kesenian Daerah Kabupaten Ngadha

2.5.1 Alat Musik

a) Foy Doa

Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bambu

kecil yang bergandeng dua atau lebih. Mungkin musik ini biasanya

digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari

(45)

diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada

ganda atau dua suara, hal ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa.

Umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan

kehidupan, sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo

ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi mae menge, yang artinya kami harus

rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkannya yaitu,

Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara

itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara. Perkembangan

Musik Foy Doa menurut Bapak Yohanes Wawo (58), seorang seniman

sekaligus pencipta alat musik ini mengatakan bahwa, Awal mulanya musik

Foy Doa dimainkan secara sendiri, dan baru sekitar 1970-an, musisi di

daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti :

Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat

musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.

b) Foy Pay

Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk

mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Namun dalam

perkembangannya alat musik ini selalu berpasangan dengan musik Foy

Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai, yaitu : do, re, mi, fa, sol.

c) Sowito

Alat musik pukul yang terbuat dari Seruas bambu yang dicungkil

kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu

(46)

memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang

panjangnya kurang dari 30 cm. Setiap ruas bambu menghasilkn satu nada.

Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat dari beberapa buah

ruas bambu sesuai kebutuhan.

d) Reba

Alat musik Reba ini berdawai tunggal, terbuat dari tempurung

kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit

kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang

tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah. Penggeseknya terbuat

dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah

digosok dengan lilin lebah. Dalam perkembangannya alat musik ini yang

dulu dimainkan dengan cara gesek, kini dapat juga dimainkan dengan cara

dipetik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta

dawainya pun diganti dengan senar plastik. Alat musik Reba tiruan ini

berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.

e) Thobo

Alat musik tumbuk yang terbuat dari Seruas Bambu betung yang

buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi.

Cara memainkannya yaitu, ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti

menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi

musik Foy doa.

(47)

Alat musik yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi ini.

Biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat,

mengiringi tarian dalam penerimaan tamu dan sebagainya.

Sumber: Wawancara Bapak Yohanes Wawo (58 tahun), Seorang

seniman di yang berasal dari Kecamatan Golewa, diwawancarai pada

tanggal 29 Desember 2012.

2.5.2 Upacara-Upacara Adat Masyarakat Kabupaten Ngadha

Ada banyak sekali upacara adat yang merupakan hasil kebudayaan yang

terdapat di kabupaten Ngadha yang mempunyai ciri-ciri mistis yang memberikan

pembenaran terhadap mitos, Setiap upacara adat mempunyai ciri khas dan

keunikan tersendiri (Hendrik P. Bhezo: 2007), Upacara-upacara tersebut di

antaranya:

2.5.2.1. Upacara Sagi (Tinju Adat)

Sagi merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat dalam

kampung atas hasil panen yang dijawantahkan dalam bentuk ritual tinju

tradisional (adat) di wilayah Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada. Peserta tinju adat

(sagi) ini biasanya terdiri dari dua kubu yang berlawanan. Petinju dari kedua kubu

tersebut biasanya para pemuda yang dipilih secara acak dari kerumunan penonton

yang menyaksikan pagelaran tinju adat tersebut. Para petinju dipilih oleh Mosa

(panitia) acara. Peralatan tinju yang dipakai masih sangat tradisional, yaitu berupa

(48)

yang digunakan berupa Lesu (ikat kepala), selendang (untuk penutup dada), dan

Ragi (kain tenun penutup tubuh bagian bawah). Penentuan kegiatan Sagi pada

malam Dero biasanya mengikuti siklus peredaran bulan.

2.5.2.2 Upacara Dero (tarian adat So’a)

Upacara Dero adalah upacara yang berupa tarian untuk mengiringi tinju

atau penyemangat terhadap orang yang akan bertinju yang di lakukan pada malam

sebelum tinju, upacara Dero ini masih bersangkutan dengan upacara sagi (tinju

adat) yang dilaksanakan di kecamatan So’a. Biasanya peserta dalam upacara ini

adalah masyarkat sendiri yang menghadiri upacara tersebut.

2.5.2.3 Upacara Tu Ngawu Feka (upacara pendewasaan diri)

Upacara Tu Ngawu Feka adalah upacara sunat yang dilakukan oleh

pemimpin adat kepada seorang pemuda sebagai lambang kedewasaan terutama

untuk meminang seorang gadis untuk menikah. Upacara ini dilaksanakan di

kecamatan So’a.

2.5.2.4. Upacara Rori Lako (berburu)

Rori Lako adalah upacara ritual perburuan hewan liar yang ada di So’a

yang biasanya berlangsung pada bulan Oktober. Hewan liar yang biasa diburu

adalah Rusa dan Babi hutan. Upacara Rori lako saja memiliki beberapa ritual

mulai dari persiapan hingga akhir kegiatan. Hasil buruan yang didapat dan

(49)

Soa. Karena itu hewan buruan ini kadang diusung untuk dipertunjukan ke Publik.

Masyarakat Soa menyebutnya sebagai Kogha (rusa) adalah salah satu hewan liar

yang menjadi target perburuan. Mendapat kepala rusa adalah kehormatan bagi

satu kelompok atau orang yang melakukan perburuan. Ada beberapa peralatan

yang digunakan untuk berburu antara lain: Tuba (Tombak), Sodhi (parang).

2.5.2.5 Upacara Sapu, Kiki Ngi’i (acara potong gigi bagi anak wanita)

Upacara ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja,

tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu

pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan. Sebelum menuju upacara

potong gigi, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat.

Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan

tandak. Mereka mulai menari, bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun

sambil berpegang tangan.

2.5.3 Kerajinan Tangan

Kerajinan tangan yang terkenal di Kabupaten Ngadha sangat banyak

sekali, sampai saat ini sedikit sekali masyarakat Ngadha yang menguasainya. Hal

ini dikarenakan kemajuan zaman, orang-orang lebih suka menggunakan

barang-barang impor yang lebih praktis dan mudah didapat. Kerajinan tangan yang

sampai saat ini masih dipertahankan misalnya anyam-anyaman dari daun pandan

seperti bere (tas anyaman), sawu (tempat menampung padi atau jagung sekitar 20

(50)

dengan daya tampung 50kg), dan rume (anyaman yang berbentuk seperti karung

yang digunakan untuk menampung padi atau beras sampai 1/2 ton), sedangkan

anyaman yang lain yang terbuat dari kulit bambu yaitu kodo manu (sangkar

ayam), k’pe (tempat sirih pinang yang juga bisa menyimpan barang lain seperti

uang) dan sosa (perangkap ikan). Hasil kerajinan tangan yang lain lagi misalnya

fego (sendok yang terbuat dari kayu, bambu atau tempurung kelapa) dll

(Wawancara Djawanai, 5 Januari 2013).

2.6 Mitos Asal-Usul Tradisi Reba

Pada zaman dahulu ada seorang petani yang bernama Sili pergi mencari air.

Ia membawa wadah pengambil air yang disebut bhoka. Dalamperjalanan tersebut,

Sili menemukan suatu tanaman yang begitu rimbun yang merambat pada sebatang

pohon Reba. Sili mengamati, menelusuri dari ujung hingga ke pangkalnya, tanah

di sekitarnya retak atau terbelah. Sili memotong sebatang aur/bambu (guru butu)

melancipkan ujungnya dan mencoba menggali. Ia menemukan sebuah umbi yang

begitu besar dan panjang yang dalam bahasa Ngadha disebut uwi. Sili kembali

membawa ubi dan air, ubi tersebut dipotong-potong, 4 potong disisihkan untuk

ditanam kembali, sedangkan yang lain direbus lalu ubi dimakan berlaukkan kelapa

kukur.

Keempat potong yang disisihkan ditanam pada sebidang tanah kecil yang

berukuran kira-kira 2x2 m. Bidang tanah tersebut diberi nama mata tewi. Sisi

mata tewi dibatasi dengan potongan kayu Reba sebanyak 3 potong sehingga

(51)

sedangkan pada sudut kanan ditanami pisang. Pada bagian tengah diletakan

tempurung kelapa yang sudah diikat kembali dengan sabutnya. Kelapa merupakan

simbol manusia pemiliknya yaitu Sili.

Keempat potong ubi ditanam pada keempat sudut mata tewi bagian luar,

tongkat penopangnya ialah kayu pohon Reba. Batang kayu Reba tidak bisa

bertunas lagi, maka ubi bertumbuh subur, setelah ditanam mereka belum tahu

persis berapa lama ubi itu akan berisi. Yang diingat ialah pada saat menanam ubi,

posisi bulan adalah tegak lurus (wula neno Wae Roa) yang artinya bulan

bercermin pada kali yang bernama Wae Roa). Pada bulan berikutnya ketika bulan

pada posisi seperti di atas, mereka terus mengamatinya. Sampai dengan 12 kali

atau 12 bulan barulah terlihat bahwa ubi itu berisi dan dapat menggalinya untuk

dimasak dan dimakan. Ubi yang digali dapat disimpan lama, bila dilepas begitu

saja ia dapat bertunas. Ubi tidak bertunas lagi bila disimpan di dalam bambu (tuku

leko) atau disimpan dalam dhoka uwi (tempat penyimpanan dalam tanah). Hingga

kini pelestarian ubi mata tewi tetap dipelihara dan dilestarikan. Setiap suku

memiliki tempat untuk mata tewi. Ubi mata tewi inilah yang dipakai pada upacara

Reba selain ditanam di dalam kebun. Aur (guru butu) yang dipakai Sili untuk

menggali ubi hingga kini dijadikan simbol su’a, baik su’a uwi maupun su’a sa’o.

Su’a artinya tova atau tajak. Su’a uwi merupakan simbol bidang tanah untuk

pekerjaan berladang, bertani, seperti terungkap pada syair berikut ini: “ su’a uwi

sewunga wi dua uma, sewunga wi jaga nua,da kedha zele mataraga kedhi bhanga

(52)

kampung yang diletakan di atas mataraga, agar semua keturunan dapat

melihatnya.

Selanjutnya diceritakan bahwa Sili membagi potongan ubi ke mana-mana

untuk ditanam dan dikembangkan. Sili mengatur semuanya itu agar selalu

diulang, diperingati, maka dikemaslah dalam bentuk adat kebudayaan Reba.

Dalam perayaan Reba, ubi sebagai simbol seluruh tanaman, budaya, dan

kehidupan bagi masyarakat Ngadha, yang diungkapkan secara puitis sebagai

berikut:

Uwi meze go lewa laba: Ubi sebesar gong, sepanjang

gendang

Kutu koe dhano ana koe: Meski digali babi landak, tetap selalu

ada

Hui moki, moki bhai moi: Meski disungkur babi hutan tak akan

habis.

Makna simbolisnya: sumber kehidupan tidak akan habis, suatu budaya tidak akan

punah, manusia pendukungnya tetap berkembang biak bersama alam

lingkungannya, begitu besar dan tinggi maknanya.

(53)

Teks Tuturan 3

Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh

Bapak Fransiskus Dhosa (61 tahun), Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha.

Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba (23 tahun)

Dari mitos asal-usul tersebut, tokoh utamanya adalah Sili orang pertama

yang menemukan tanaman ubi Reba, dan sekaligus perintis kebudayaan Reba

melalui tanaman ubi yang ditemuinya. Alur cerita tersebut adalah alur maju,

karena menceritakan peristiwa dari awal sampai akhir cerita. Sedangkan latar

tempat terjadinya peristiwa tersebut yaitu di daerah Kabupaten Ngadha.

Selama pesta Reba, tanaman ubi disanjung-sanjung, dipuja-puja seperti

terungkap dalam syair di atas. Ubi dihias dengan daunnya, diikat gabung dengan

sebatang aur/bambu sepanjang 50 cm kemudian diikat pakai ijuk dengan syarat

harus tiga kali lilitan, dan diarak-arak keliling kampung.

Secara tersirat Reba merupakan sebuah upacara ritual adat pada

masyarakat Ngadha untuk mengingat kembali amanat yang telah ditinggalkan

oleh Sili Ana Wunga, pionir pertama penyelenggara budaya Reba, atau peletak

perayaan adat Reba. Pesta adat Reba sangat spesifik, sebab sukunya

masing-masing secara bergiliran perdesa mengadakan upacara tersebut secara bergantian

sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Selama perayaan Reba, tanaman ubi

disebut-sebut, disanjung-sanjung, dan dipuja-puji oleh masyarakat yang

menyelenggarakan upacara tersebut (Djawanai, 5 Januari 2013).

Berkaitan dengan Reba sebagai suatu budaya, ada beberapa pengertian

(54)

Daeng (2000), menamakan Reba sebagai perayaan tahun baru tradisional

pada sub kelompok etnik Bajawa, lebih lanjut Daeng menjelaskan masa waktu

selama upacara Reba disebut waktu sakral, suci atau tempus sacrum karena orang

yakin bahwa dahulu telah terjadi peristiwa yang membawa keberuntungan atau

kebahagiaan bagi seluruh anggota kelompok etnik. Pada masa itu ada hal-hal

yang dianggap tabu atau pemali, bila dilanggar akan menimbulkan malapetaka.

Reba adalah upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun sesuai kalender

adat dimulai dengan Reba Bena pada akhir Desember dan berakhir pada bulan

Februari yaitu Reba Loga. Upacara ini merupakan upacara ritual yang selalu

dinantikan karena semua anggota keluarga dari seluruh penjuru datang berkumpul

di rumah adat merayakan Reba secara bersama-sama. Upacara Reba terdiri atas 3

rangkaian upacara, yaitu: Kobe Dheke, O Uwi, dan Su’i Uwi yang dilaksanakan

selama 2 sampai 3 hari atau lebih (Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27

Desember 2012).

2.7 Rangkuman : Asal-Usul Tradisi Reba dalam Konteks Sejarah dan

Budaya Ngadha

Kehidupan Masyarakat Ngadha memiliki begitu banyak tradisi ritual

dalam berbagai fase kehidupan. Setiap tradisi memiliki nilai-nilai yang

kompleksitas seperti nilai religius, nilai moral, nilai kesenian, nilai ekonomi, dan

nilai pelestarian lingkungan. Dari nilai-nilai itu mendatangkan sebuah tradisi atau

(55)

religi, dan aspek-aspek sosial budaya, seperti upacara-upacara adat, dan

keseniaan-kesenian daerah tradisional.

Upacara Reba menggambarkan suatu tradisi Masyarkat Ngadha sebagai

pedoman untuk berinteraksi dalam komunitas sosial maupun berinteraksi dengan

lingkungan alam sekitarnya. Mempelajari Kebudayan Ngadha berarti kita

mempelajari sebuah mitos, dan proses ritual masyarakat Ngadha.

Reba sangat istimewa bagi masyarkat Ngadha karena upacara Reba

merupakan upacara yang sangat penting yang berkaitan dengan pertanian

tradisional masyarkat Ngadha, yang merupakan tradisi bagi Masyarakat Ngadha

untuk tetap mengadakan upacara ini setiap tahun. Upacara ini juga mengisahkan

kembali perjalanan nenek moyang masyarakat Ngadha pada zaman dahulu.

Gambar

gambar objek dalam bentuk foto selama berlangsungnya proses tradisi upacara
Gambar 1: Ngadhu adalah simbol persatuan dan kesatuan Masyarkat Ngadha
Gambar 4: sambutan pembukaan pelaksanaan upacara Reba oleh
Gambar 6: Proses Perayaan Ekaristi dalam upacara Reba.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Ritual bakar batu yang dilakukan merupakan bentuk pelestarian budaya leluhur, penjaga identitas sosial, sebagai salah satu sarana pewarisan budaya kepada generasi