• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Zein Hadi NIM : 11140430000080

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021

(2)

i

SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Zein Hadi

NIM. 11140430000080

Pembimbing :

Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A NIP. 195811281994031001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021

(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini berjudul “SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID- 19 PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab.

Jakarta, 28 Juli 2021 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Siti Hana, S.Ag., L.C., M.A NIP. 197402162008012013

(………)

2. Sekretaris : Hidayatullah, S.H., M.H NIP. 198708302018011002

(………)

3. Pembimbing : Dr. Supriyadi Ahmad, M.A.

NIP. 195811281994031001 (………)

4. Penguji I : Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag.

NIP. 196511191998031002

(………)

5. Penguji II : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.

NIP. 195903191979121001

(………) 24/08/2021

(4)
(5)

iv ABSTRAK

Zein Hadi, NIM 11140430000080, Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi Covid-19 Perspektif HAM Dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019), Skripsi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi Covid-19 Perspektif HAM Dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019). Tujuan Dari Penelitian Ini Untuk mengidentifikasi Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi Covid-19 Pada Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan) dan menganalisi data secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi denda penolakan vaksinasi COVID-19 melanggar hak asasi manusia karena tidak disertai persetujuan pasien di dalamnya. Adapun persetujuan dan penolakan pasien dalam tindakan medis sangat diperlukan dan penolakan pasien adalah hak yang harus dihormati.

Sedangkan hukum Islam lebih menekankan pada pemberantasan wabah itu sendiri agar terciptanya kemaslahatan umum.

Kata Kunci : Sanksi denda, Vaksinasi, Covid 19, HAM, Hukum Islam.

Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A Daftar Pustaka : 1968 - 2018

(6)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b be

خ t te

ث ts te dan es

ج j Je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r Er

س z zet

س s es

(7)

vi

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض d de dengan garis bawah

ط t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

ع koma terbalik di atas hadap

kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q Qo

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

ه h ha

ء apostrop

ي y ya

(8)

vii b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ـــــَـــــ a fathah

ـــِـــــ

ــ i kasrah

ـــــُـــــ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

َي

ـــــَـــــ ai a dan i

ـــــَـــــ و au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ــــَـا â a dengan topi diatas

ــــِـى î i dengan topi atas

ـــُــو û u dengan topi diatas

(9)

viii d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam )لا), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya: داهثجلإا = al-ijtihâd حصخزلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: حعفشلا = al-syuî

„ah, tidak ditulis asy-syuf „ah f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”

(te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 حعٌزش syarî „ah

2 حٍملاسلإا حعٌزشلا al- syarî „ah al-islâmiyyah 3 ةهاذملا حنراق م Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, يراخثلا= al-Bukhâri, tidak ditulis Al-bukhâri.

(10)

ix

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 خارىظحملا حٍثت جروزضلا al-darûrah tubîhu al- mahzûrât 2 ًملاسلإا داصتقلإا al-iqtisâd al-islâmî

3 هقفلا لىصأ usûl al-fiqh

4 ححاتلإا ءاٍشلأا ىف لصلأا al-„asl fi al-asyyâ‟ al- ibâhah

5 حلسزملا ححلصملا al-maslahah al-mursalah

(11)

x

الله الرحمن الرحيممسب

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, saya dapat menyelesaikan tugas akhir jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bersyukur dapat membuat skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti sekarang ini,

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan. Saya sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terus mendukung, membantu serta memberikan masukan dalam proses saya menyelesaikan tugas akhir ini. Pada kesempatan yang berharga ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazdhab.

Bapak Hidayatullah S.H., M.H., Sekertaris Program Studi Perbandingan Madzhab.

4. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan Mazhab, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya. Tidak lupa pula kepada pimpinan dan seluruh staff perpustakaan yang

(12)

xi

telah menyediakan fasilitas untuk keperluan studi kepustakaan, terutama perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum.

6. Kedua Orang Tua, Drs. Nur Aidi, M. Pd. Dan Munanih, S. Pd. I, Kakak dan adik-adik yang telah memberikan segalanya baik materiil maupun moril, serta doa, dukungan dan dorongan tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan Studi S1.

7. Diri Sendiri, yang telah bertahan sejauh ini.

8. Hudalina Mustika, SH. Sang terkasih yang turut andil besar dalam memotivasi penggarapan skripsi ini.

9. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Qotrun Nada (IMQN) Cabang Ciputat, Ikatan Keluarga Besar Qotrun Nada (Ikqnada) terimakasih atas kebersamaannya, semoga panjang umur perkawanan.

10. Kawan – kawan seperjuangan yang selalu saling memotivasi dan mengingatkan untuk menyelesaikan studi serta menjadi teman diskusi ; Akbar Wijaya, SH., Muhammad Kamal, S.Hum., Fahmi Pajrianto, SH., Ari Al Maulana, SH., Khalil Gibran Syaukani, SH., Ahmad Fauzi, S.Sos., Angga Yudha, SH., Ulpan Anggi, SH., Ade Yusroni, SH., Sahrul Fauzi, SH., Dimas Permadi Arya, SH.

11. Seluruh pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan dan juga doa yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi saya penulis serta pembaca pada umumnya. penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Ciputat, 05 Juli 2021 Penulis,

Zein Hadi NIM. 11140430000080

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan Dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 13

1. Pengertian Tindak P idana ... 14

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 16

3. Macam-Macam Tindak Pidana ... 20

B. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan ... 22

1. Pengertian Pemidanaan ... 22

2. Teori – Teori Pemidanaan ... 24

C. Tinjauan Umum Tentang Hukuman/Uqubah ... 30

1. Pengertian Hukuman... 30

2. Dasar Hukum ... 31

3. Tujuan Hukuman ... 33

4. Syarat Hukuman ... 35

5. Macam-Macam Hukuman ... 36

(14)

xiii

BAB III PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 DALAM DOKTRIN INFORMED CONSENT

A. Informed Consent ... 40

1. Pengertian ... 40

2. Syarat-Syarat Informed Consent ... 42

3. Hal Dimana Persetujuan Medik Tidak Diperlukan ... 44

B. Sanksi Penolak Vaksinasi ... 45

BAB IV ANALISIS SANKSI DENDA BAGI PENOLAK VAKSINASI COVID-19 A. Analisis Sanksi Denda Penolak Vaksinasi COVID-19 Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) ... 48

B. Analisis Sanksi Denda Penolak Vaksinasi COVID-19 Perspektif Hukum Islam ... 57

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Rekomendasi ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 71

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada Tahun 2019, dunia dilanda oleh sebuah wabah penyakit yang sangat mematikan. Penyakit tersebut memakan banyak korban dan penyebarannya sangat masif sampai dunia tidak siap menghadapinya.

Penyakit tersebut bernama Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Permasalahan paling pelik dari penyakit ini adalah penularannya yang sangat mudah sehingga penyebarannya menjadi cepat dengan skala yang luas.

WHO (World Health Organization) China Country Office menemukan kejadian pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Tiongkok mengidentifikasi kasus itu sebagai Coronavirus jenis baru. Kemudian WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), lalu COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi tertanggal 11 maret 2020.

Indonesia menemukan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020.

Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi penyebaran COVID-19 sudah hampir menjangkau seluruh wilayah di Indonesia dengan jumlah kasus dan jumlah kematian yang semakin meningkat dan semakin berefek terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Tercatat sampai dengan tanggal 9 Juli 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 70.736 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal (CFR 4,8%).1

1 Kementrian Kesehatan, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Rev-5, 2020. h., 19

(16)

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertera dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar. Maka, arti Indonesia sebagai negara hukum adalah segala aspek kehidupan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus didasarkan pada hukum dan segala produk perundang-undangan serta turunannya yang berlaku di wilayah NKRI.2

Kondisi penyebaran COVID-19 sudah hampir menjangkau seluruh wilayah dengan jumlah kasus yang semakin meningkat membuat Pemerintah Indonesia menetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Di samping itu, atas pertimbangan- pertimbangan tersebut telah dikeluarkan juga Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Sebagai bentuk penanggulangan COVID-19, Indonesia mengambil kebijakan untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan untuk menekan penyebaran COVID-19 semakin meluas. Pengaturan PSBB ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan secara teknis dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar. Namun, menurut pakar hukum tata negara Yusil Ihza Mahendra, landasan hukum tersebut dianggap “tanggung” karena tidak memuat sanksi bagi para pelanggarnya.3

Semenjak vaksin untuk COVID-19 ditemukan dan mulai diuji coba serta siap diproduksi massal, banyak negara yang mulai melakukan

2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, (Jakarta: Konstitusi Perss), h., 12

3 https://news.detik.com/berita/d-4966096/yusril-landasan-hukum-psbb-serba-tanggung- karena-tanpa-sanksi-pidana. Diakses pada hari sabtu, 23 Januari 2021pukul 00:43WIB.

(17)

vaksinasi terhadap warganya agar bisa memutus penyebaran dan memusnahkan COVID-19, salah satunya adalah Indonesia. Vaksin adalah antigen yang apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu4. Vaksin akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri/virus penyebab penyakit tertentu, sehingga akan menjadi kebal. Cakupan vaksinasi yang tinggi dan merata akan membentuk kekebalan kelompok (Herd Immunity) sehingga dapat mencegah penularan suatu penyakit. 5

Pemerintah indonesia telah siap melakukan upaya vaksinasi sebagai tindak lanjut dari kebijakan PSBB. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), dan secara teknis diatur dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 84 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Salah satu daerah yang telah siap melaksanakan vaksinasi adalah Jakarta, yang tertuang dalam Peraturan Daerah DPRD Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019. Perda ini mencakup seluruh kegiatan mengenai pemberantasan COVID-19 di wilayah DKI Jakarta. Salah satu hal yang termaktub dalam peraturan tersebut adalah adanya sanksi denda bagi siapa saja yang menolak divaksin. Sanksi tersebut tertuang dalam pasal 30 Perda No. 2 Tahun 2020. Dalam pasal tersebut tertulis bahwa, setiap orang yang menolak divaksin akan dikenakan denda maksimal 5 juta rupiah;

“Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi COVID-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).”

4 Peraturan Menteri Kesehatan No. 84 Tahun 2020 Pasal 1

5 Kementerian Kesehatan, Buku Saku InfoVaksin, 2020, h., 3

(18)

Tidak hanya penolakan vaksin yang mendapatkan denda dalam Perda tersebut, tapi bagi yang menolak tes cepat molekuler sebagaimana dituangkan pada Pasal 29, setiap orang yang dengan sengaja tanpa izin membawa jenazah yang berstatus probable atau konfirmasi yang berada di fasilitas kesehatan sebagaimana Pasal 31, dan setiap orang terkonfirmasi Covid-19 yang dengan sengaja meninggalkan fasilitas Isolasi atau fasilitas kesehatan tanpa izin petugas sebagaimana Pasal 32 dikenakan pula sanksi denda dengan besaran maksimal yang berbeda-beda.

Namun, vaksinasi tidak mendapat sambutan hangat sepenuhnya.

Terdapat beberapa gelombang masyarakat yang menyatakan penolakan terhadap vaksinasi, bahkan beberapa menyatakannya dengan sangat keras.

Penolakan ini tidak terlepas dari isu-isu dan berita palsu yang beredar di masyarakat. Salah satu yang menolak dengan sangat lantang adalah Ribka Tjiptaning, anggota DPR RI komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Dia menyatakan lebih baik ia membayar denda lima juta rupiah dari pada harus divaksin. Lebih lanjut ia mengungkapkan alasannya menolak vaksinasi, Pertama, karena masih ragu dengan keamanan dampak dari vaksin tersebut, Kedua karena tidak ingin dipaksa dan mengatakan bahwa pemaksaan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ketiga, karena menganggap vaksinasi hanya sebagai bisnis yang dilakukan oleh pemerintah semata.6

Hak Asasi Manusia (HAM) terdiri dari tiga kata yaitu hak, asasi dan manusia. Hak adalah kata yang diserap dari bahasa arab haqq yang bermakna benar, tepat. Asasi juga kata yang diserap dari bahasa arab asas yang bermakna dasar, fundamental. Manusia, jika mau diartikan sederhana adalah makhluk yang berakal budi. Menurut Ibn Nujaim, seorang ahli fiqh, hak adalah hubungan khusus antara seseorang dengan sesuatu atau kaitan

6 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210113074635-32-592938/ribka-tjiptaning- orang-pertama-menolak-vaksin-di-indonesia diakses pada hari sabtu, 23 Januari 2021 pukul 02:17.WIB

(19)

seseorang dengan orang lain yang tidak dapat diganggu gugat. Menurut Ebrahim Moosa, seorang pejuang HAM, hak adalah sesuatu yang sudah baku dan tidak dapat diingkari. Lebih lanjut HAM memiliki banyak pengertian, diantaranya;7

1. John Locke, HAM merupakan hak – hak yang dianuegrahkan langsung oleh Tuhan sebagai kodrat sejati manusia.

2. Abdullahi Ahmed An-Naim, HAM merupakan hak – hak yang harus dinikmati oleh setiap orang berdasarkan kenyataan bahwa ia adalah manusia.

3. Adnan Buyung Nasution, HAM adalah hak – hak yang dengan dalih apapun tidak dapat dilenyapkan karena dia manusia.8

Dalam hal ini HAM membuat seseorang bisa menerima sesuatu yang memang pada dasarnya ada untuknya. Pilihan juga merupakan sebuah hak asasi yang harus dilindungi dan difasilitasi. Ketika pilihan direbut maka HAM telah dicederai.

Vaksinasi adalah upaya pengobatan. Dalam islam sangat dianjurkan jika memang obat tersebut sudah dipastikan kehalalannya.

Faktanya vaksin yang ada sekarang telah mendapatkan label halal lewat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2 Tahun 2021 Tentang Produk Vaksin COVID-19 dari Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China Dan PT. Bio Farma (Persero), tetapi dengan catatan keamanannya bisa terjamin oleh para ahli.

Oleh karena itu perlu adanya studi lebih lanjut perihal kebijakan DPRD DKI Jakarta di dalam Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 dengan berbagai sudut pandang hukum. Dan salah satu yang akan menjadi bahan perbandingan

7 Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia (Jakarta:

Gramedia), h., 40-43.

8 Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (JAKARTA: Kata Hasta Pustaka, 2007), h., 44.

(20)

adalah HAM dan hukum islam. Karenanya, Penulis mengajukan skripsi yang berjudul “Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi COVID-19 Perspektif HAM dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019)” .

(21)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya :

a. Kewajiban vaksin untuk menghentikan penyebaran virus b. Sanksi denda penolakan vaksinasi

c. Dasar hukum pidana penolakan vaksinasi

d. Dampak positif dan negatif dari kebijakan Peraturan daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019

e. Pengobatan yang halal dalam Islam f. Hak menolak pengobatan

2. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih objek Perda Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019. Mengingat adanya sanksi denda bagi yang menolak untuk divaksin.

Pembatasan masalah dalam skripsi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Covid-19 dibatasi pada varian virus corona yang muncul dan ditemukan pada tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok yang sekarang penyebarannya sampai ke seluruh dunia

b. Vaksinasi dibatasi dengan program vaksinasi Covid-19 yang diselenggarakan oleh pemerintah

c. Sanksi denda dibatasi pada sanksi denda bagi orang yang menolak program vaksinasi Covid-19 yang diselenggarakan oleh pemerintah

d. HAM dibatasi pada Informed Consent/persetujuan atau penolakan terhadap tindakan medik yang merupakan suatu

(22)

prinsip yang memberikan warga negara hak untuk mengatur nasibnya sendiri.

e. Hukum Islam dibatasi pada pengupayaan pengobatan yang mana sejalan dengan prinsip-prinsip tujuan hukum islam yaitu hifz al nafs (menjaga nyawa)

f. Perda Nomor 2/Tahun 2020 dibatasi dengan pasal 30 yang memuat sanksi terhadap penolak vaksinasi Covid-19

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, penulis dapat merumuskan beberapa masalah agar mempermudah pembahasan serta sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan pidana denda bagi penolak vaksinasi COVID-19 ?

b. Bagaimanakah hukum penolakan vaksinasi COVID-19 dalam perspektif HAM dan Hukum Islam?

(23)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun manfaat penelitian disesuaikan pada perumusan masalah di atas yang meliputi :

a. Untuk mengetahui pengaturan pidana denda bagi penolak vaksinasi

b. Untuk mengetahui pertimbangan sanksi denda penolak vaksinasi menurut HAM dan Hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah : a. Manfaat Akademis. Memberi sumbangan pemikiran dalam

rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya terkait masalah pidana denda bagi penolak vaksinasi.

Selain itu dapat dijadikan perbandingan dalam penyusunan penelitian selanjutnya dan menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang Perbandingan Mazhab dan Hukum.

b. Manfaat Praktis. Untuk memberi sumbangan informasi kepada khalayak umum mengenai penegakan hukum terhadap penolak vaksinasi di DKI Jakarta.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas oleh penulis lainnya, maka penulis me-review hasil-hasil penelitian yang sudah dihasilkan lebih jauh. Dalam hal ini penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan variabel judul skripsi yaitu:

1. Muhammad Qolbi, Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap sanksi pidana pencemaran air: studi perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004. Program Studi Jinayah Siyasah, UIN Syarif

(24)

Hidayatullah Jakarta. Dalam karyanya yang ditulis memuat sanksi pidana pencemaran air di dalam peraturan daerah.

2. Khalil Gibran Syaukani, SANKSI PIDANA KEPADA PEMBERI SUMBANGAN TERBUKA TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS (Studi Pemberlakuan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Dan Penanganan Kesejahteraan Sosial ). Program Studi Perbandingan Mazhab, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. dalam karyanya yang ditulis memuat sanksi pidana bagi pemberi sumbangan kepada pengemis di dalam peraturan daerah.

3. Vega Eli Rahmawati, IDENTIFIKASI ALASAN PENOLAKAN ORANG TUA MELAKUKAN IMUNISASI DPT. Program Studi Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam karyanya ia memuat tentang penolakan terhadap imunisasi.

Dengan demikian pembahasan tentang “Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi COVID-19 Perspektif HAM dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019)”. Dalam hal ini belum ditemukan atau dikaji, baik berupa buku atau karya ilmiah lain. Oleh karena itu penulis berusaha mengangkat persoalan di atas dengan melakukan telaah literatur yang menunjang penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah langkah-langkah strategis yang bersifat umum dan terencana yang dilakukan guna menjawab persoalan yang diteliti.

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis- Normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis- normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

(25)

meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.9

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan bersifat deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan data yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, dokumen dan catatan lapangan, kemudian dianalisa yang dituangkan kedalam bentuk skripsi untuk memaparkan permasalahan dengan judul yang dipilih yaitu Pidana Denda Penolakan Vaksinasi COVID-19 Perspektif HAM dan Hukum Islam.

3. Sumber data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier. Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan primer merupakan bahan yang diperoleh dari kajian kepustakaan dengan cara membaca, mencatat, serta mengkaji bahan-bahan hukum yang terkait dengan penulisan skripsi ini, Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019.

b. Bahan sekunder merupakan bahan yang dapat menjadi penunjang bahan primer, seperti buku-buku, jurnal dan Karya ilmiah lainnya yang berhubungan dangan judul penelitian yang dilakukan.

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h., 13 -14

(26)

c. Bahan tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan penelitian ini meliputi: Kamus Hukum dan Media Internet.10

4. Teknik Pengumpulan Data

Didalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengemupulan data, yaitu menggunakan studi pustaka (libary research). Metode kepustakaan dilakukan dengan cara dengan cara menelusuri, membaca, dan mencermati pengetahuan yang ada dalam pustaka dan sumber bacaan yang berkaitan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data menggunakan metode deskriptif, kualitatif dan komparatif yakni menyajikan dan menggambarkan data-data sebelumnya yang masih berhubungan juga dikomparasikan antara hukum positif, HAM, dan hukum Islam.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 141

(27)

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab, yang masing-masing bab akan diuraikan dalam beberapa sub bab. Untuk lebih memperjelas dan mempermudah dalam pembahasan, berikut sistematika penulisan skripsi ini:

BAB I PENDAHULUAN, Membahas mengenai pendahuluan yang didalamnya berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN UMUM, Dalam bab ini akan berisi kerangka konsep dan kerangka teori. Kerangka konsep akan membahas tentang Tindak Pidana, Teori Pemidanaan dan Konsep Uqubah.

Selanjutnya kerangka teori menjelaskan teori yang akan digunakan sebagai alat analisis yang berisi tentang teori kebebasan, teori hak asasi, teori maslahah mursalah dan teori penegakan hukum.

BAB III PENOLAKAN VAKSINASI, bab ini akan membahas tentang;

Penolakan vaksinasi dalam doktrin informed consent , pemberian sanksi bagi penolak vaksinasi serta mekanisme sanksi tersebut.

BAB IV ANALISIS, bab ini akan berisikan tentang analisis pidana denda bagi penolak vaksin dalam perspektif Ham dan hukum islam serta kewajiban vaksin dengan teori – teori yang sudah disebutkan.

BAB V PENUTUP, berisikan kesimpulan dari bab sebelumnya serta rekomendasi bagi penulis selanjutnya agar dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya.

(28)

14 BAB II

TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam Wetboek van strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit. Strafbaar feits adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni delictu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.11

Menurut Hans Kelsen, Delik adalah suatu kondisi dimana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada.12

Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, yang dibentuk oleh kesadaran dalam memberikan ciri tertentu mengenai peristiwa hukum pidana. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dikenai hukuman pidana.

Prof. Moeljanto, S.H. merumuskan pidana dengan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana melanggar larangan tersebut dan dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh suatu aturan hukum, namun perlu diingat bahwa larangan ditunjukan kepada perbuatannya. (yaitu suatu

11 Teguh Prastyo, “Hukum Pidana”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 47.

12 Asshiddiqie Jimly, Ali Safa‟at M, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, Kompres, Jakarta, 2012, hlm 46.

(29)

keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang), sedangkan ancaman pidana ditunjukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.13

Menurut R. Soesilo, delik adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.14

Kansil juga berpendapat bahwa perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana atau delik) ialah perbuatan yang melanggar undang-undang dan oleh karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dipertanggungjawabkan.15

Menurut Mr. Tresna, peristiwa pidana itu adalah rangkaian perbuatan manusai yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.16

Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan itu baru dianggap sebagai tindak pidana, apabila bertentangan dengan Undang-Undang dan diancam dengan hukuman. Apabila bertentangan dengan hukum (Undang- Undang), artinya hukum tidak melarangnya dan tidak ada hukumannya dalam Undang-Undang maka perbuatan itu tidak dianggap sebagai tindak pidana. Setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan oleh para ahli hukum dalam penerjemah istilah tersebut kedalam bahasa Indonesia yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan pidana.17

13 Pipin saripin, “Hukum Pidana Di Indonesia”, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm 51

14 R. Soesilo, “Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik Khusus”, Politeia, Bogor, 2000, hlm 26

15 C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia”, cet, XI, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm 116

16 Mr. Tresna, “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, cet, V, Eresco, Bandung, 1986, hlm 55

17 Wirjono prodjodikiro, “Asas-asa Hukum Pidana di Indonesia”, cet, V, Eresco, Bandung, 1986, hlm 55

(30)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat itu dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu yang pertama dari sudut teoritis dan yang kedua dari sudut undang-undang. Sudut teoritis ialah yang berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusan sedangkan sudut undang- undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang- undangan yang ada.

Menurut Moeljatno diketahui bahwa unsur-unsur tindak pidana itu adalah sebagai berikut:

1) Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia 2) perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana 3) perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang

4) harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan 5) perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat.

Dan sedangkan menurut EY Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur tindak pidana yaitu sebagai berikut:

1) Subjek 2) Kesalahan

3) Bersifat Melawan Hukum dan tindakan

4) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/

perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana 5) Waktu, tempat dan keadaan unsur objektif lainnya.18

Berikut ini adalah unsur tindak pidana dari sudut undang-undang yaitu:

1) Unsur Tingkah Laku

18 Mukhlis R, “Tindak Pidana di Bidang Pertahanan di Kota Pekan Baru”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No.1, (November, 2007), h., 204

(31)

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana.

Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen) juga dapat disebut perbuatan materiil (materiil feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (natalen). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerak atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan tertentu, harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena melaksanakan kewajiban hukumnya.

2) Unsur Sifat Melawan Hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifatnya bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber dari masyarakat (melawan hukum materiil).

3) Unsur Kesalahan

Kesalahan atau schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif.

4) Unsur Akibat Konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana materiil (materiel delicten) atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana; tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat. 5) Unsur Keadaan yang Menyertai

(32)

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.19

Tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana itu pada umunya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur Subjektif dan unsur Objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur Objektif itu adalah unsur-usnur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan.

a. Unsur-unsur subjektif

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa), 2) Maksud atau voornmen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP.

Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan, pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte road seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan- kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP. Perasaan takut atau vress seperti yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.

b. Unsur-unsur Objektif

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal

19 Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara,1985), h., 70

(33)

415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai berikut.20 Menurut moeljanto, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).21

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam dengan pidana mengambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Menurut bunyi batasan yang dimuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. Kelakuan manusia b. Diancam dengan pidana

c. Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Batasan yang dimuat Jonkers (penganut paham nonisme) dapat dirinci unsurunsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

20 Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 193

21 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 79

(34)

d. Dipertanggungjawabkan.

Schravendijk dalam batasan yang dimuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);

e. Dipersalahkan/kesalahan.22

Walaupun rincian dari ketiga rumusan diatas tampak berbeda-beda namun pada hakekat dan persamaannya, yaitu: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

3. Macam-Macam Tindak Pidana

Pergolongan tindak pidana didalam KUHP terdiri atas kejahatan dan pelanggaran. Didalam teorinya, macam-macam tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Kejahatan dan pelanggaran (menurut sistem KUHP)

Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbutan seperti Pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran merupakan westdelict atau delik Undang-Undang adalah perbuatan melanggar apa yang ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya keharusan memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) bagi pengendara kendaraan bermotor dijalan umum.23

b. Delik Formil dan Materil

22 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”,PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 80

23 Teguh Prasetyo, “Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 58

(35)

1) Delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidan oleh Undang-Undang. Perumusan delik formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya.

2) Delik materil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan kepada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang. Untuk selesainya tindak pidana yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut.24

c. Delik aktif (delicta commissionis) dan Delik pasif (delicta omissionis).

Berdasarkan macam perbuatannya;

1) Delik aktif (delicta commisionis) adalah delik yang terjadi karena seseorang dengan berbuat aktif melakukan pelanggaran terhadap larangan yang telah diatur dalam Undang-Undang.

2) Delik pasif (delicta ommissionis) adalah delik yang terjadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat).

3) Delik campuran (delicta commisionis perommissionis commisceo) adalah delik yang berupa pelanggaran suatu perbuatan yang dilarang. Akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat.25

d. Delik Dolus dan Culpa Delik

24 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2000, hlm 126

25 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2000, hlm., 50.

(36)

Dolus adalah delik yang memuat dengan cara kesengajaan.

Sedangkan delik Culpa adalah delik yang mengatur unsur kealpaan.26

e. Delik tunggal dan berganda

Delik tunggal adalah delik yang dilakukan dengan perbuatan satu kali. Sedangkan delik berganda adalah delik dengan melakukan perbuatan dua atau lebih.

f. Delik aduan dan delik murni

Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak korban. Delik murni adalah delik yang menentukannya tidak perlu dilakukan pengaduan dari pihak korban.27

B. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan 1. Pengertian Pemidanaan

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada umumnya. Hukum pidana ada untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan kejahatan. Berbicara mengenai hukum pidana tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan pemidanaan. Arti kata pidana pada umumnya adalah hukum sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman. Moeljatno membedakan istilah pidana dan hukuman.

Beliau tidak setuju terhadap istilah-istilah konvensional yang menentukan bahwa istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah dihukum berasal dari perkataan word gestraft. Beliau menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk kata straf dan diancam dengan pidana untuk kata word gestraft. Hal ini disebabkan apabila kata straf diartikan hukuman, maka kata straf recht berarti hukum-hukuman. Menurut Moeljatno, dihukum berarti diterapi hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum

26 Wirdjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, cet ke 5, hlm 20.

27 Wirdjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, cet ke 5, hlm 22.

(37)

tadi yang mempunyai arti lebih luas, sebab dalam hal ini tercakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.28

Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana hal tersebut dikatakan demikian karena pemidanaan merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. ”A criminal law without sentencing would morely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelalsanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ”dapat dicela”, maka di sini pemidanaan merupakan ”perwujudan dari celaan”

tersebut.29

Sudarto menyatakan bahwa ”pemidanan” adalah sinomin dengan perkataan penghukuman. Lebih lanjut Sudarto mengatakan:

”Penghukuman berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai penetapan hukum atau memutus beratkan tentang hukumnya.

Menetapkan/memutuskan hukumnya untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang khusus hukum pidana saja, akantetapi juga bidang hukum lainnya (hukum perdata, hukum administrasi dsb.). sehingga menetapkan hukum dalam hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya. Pengertian penghukuman dalam perkara pidana kerapkali sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/ penjatuhan pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini juga mempunyai makna yang sama dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam pengertian “sentence conditionaly” atau “voorwaardelijk veroordeeid”

28 Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), h., 40

29 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006), h., 125

(38)

yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”.

Sedangkan W.A. Bonger menyatakan bahwa pemidanaan adalah sebagai berikut :30

“Menghukum adalah mengenakan penderitaan. Menghukum sama artinya dengan “celaan kesusilaan” yang timbul terhadap tindak pidana itu, yang juga merupakan penderitaan. Hukuman pada hakikatnya merupakan perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dengan sadar. Hukuman tidak keluar dari satu atau beberapa orang, tapi harus suatu kelompok, suatu kolektivitas yang berbuat dengan sadar dan menurut perhitungan akal. Jadi “unsur pokok” baru hukuman , ialah

“tentangan yang dinyatakan oleh kolektivitas dengan sadar”.

Pemidanaan merupakan suatu tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, dapat dibenarkan secara normal bukan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si pelaku pidana, korban atau masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi pidana dijatuhkan agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut untuk melakukan kejahatan. Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seseorang yang melakukan tindak pidana sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa.

2. Teori-teori Pemidanaan

Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukumm,

30 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan Oleh R.A. Koesnoen.

(Jakarta : PT. Pembangunan), h., 24-25

(39)

terdapat beberapa teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu :

1) Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan) Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi si korban.

Jadi dalam teori ini dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan pelaku tindak pidana akibat perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang dirugikannya.

Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut: “Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.”31

Bahwasannya teori absolute ini tidak hanya memikirkan bagaimana pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana yang tersebut juga sebenarnya memiliki hak untuk di bina atau dibimbing agar menjadi manusia yang lebih berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.

2) Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan) Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana itu sendiri. Jadi teori ini menyadarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat dari pada pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan nama teori nisbi yang menjadikan dasar penjatuhan hukuman

31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984), h., 10

(40)

pada maksud dan tujuan hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.

Untuk bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat yaitu sebagai berikut:

“Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan- tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini sering disebut sebagai (Utilitarian Theory) jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan Ne Peccetur (supaya orang tidak melakukan kejahatan).”32 Jadi teori relative ini adalah bertujuan agar bisa mencegah supaya ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu. Teori relatif dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dibagi menjadi dua sifat prevensi umum dan khusus, Andi Hamzah menegaskan, bahwa :

“Teori ini dibedakan menjadi prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum, menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulagi perbuatan yang dilakukannya.33

3) Teori Kombinasi (Gabungan)

32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984), h., 11

33 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), h., 34.

(41)

Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum. Satochid Kartanegara menyatakan:

“Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum.”

Teori gabungan itu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :

a. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat

b. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih berat dari pada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terhukum.34

Teori pemidanaan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang dapat dikelompokkan menjadi beberap teori yaitu :

a. Retributif

34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1984, Hal. 212

(42)

Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Teori retributif meletigimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus di balas dengan menjatuhkan pidana. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan immanuel kant adalah keyakinan mutlak keniscayaan pidana, sekalipun sebenernya pidana tak berguna. Pandangan diarahkan pada masa lalu dan buka ke masa depan dan kesalahannya hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan. Nigel walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua aliran yaitu retributif terbatas yang berpandangan bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku. Kedua, retributif yang distribusi yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus di distribusikan kepada pelaku yang bersalah.35

b. Detterence (pencegahan)

Teori detterence ini tidak berbeda dengan teori retributif, detterence merupakan suatu bentuk teori pemidanaan yang didominasi oleh pandangan

35 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Reflika Aditama ,2011), h., 41.

(43)

konsekuensialis. Berbeda dengan pandangan retributif yang memandang penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka dalam teori detterence memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada sekedar pembalasan.

Secara teori detterence dibedakan dalam dua bentuk sebagai berikut :

(a) General Detterence

Penjatuhan suatu sanksi pidana adalah suatu proses pemberian derita dan karenanya harus di hindari. Penjatuhan suatu sanksi pidana dapat dibenarkan manakala memberikan keuntungan.

Keuntungan yang dimaksud disini ialah keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui mekanisme penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku dan benar-benar tidak dapat dicapai dengan cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa sebagian besar jenis kejahatan merupakan hasil dari perhitungan rasional, maka sanksi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan secara umum, dalam perumusan dan penjatuhannya hal ini harus memperhitungkan tujuan akhir yang akan dicapai.

(b) Special Detterence

Merupakan suatu sarana pencegahan pasca proses pemidanaan. Penjatuhan hukuman merupakan mekanisme yang harus di buat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana lagi dikemudian hari. Meskipun dalam pandangan lain suatu penjatuhan hukuman juga merupakan sarana pencegahan bagi mereka

(44)

berpotensi sebagai calon pelaku untuk berpikir sebelum melakukan suatu tindak pidana, dalam pandangan ini sanksi pidana memberikan efek jera penjeraan dan penangkalan sekaligus.

Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan seseorang yang dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama.

Sementara tujuan penangkalan merupakan sarana menakuti-nakuti bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.36

C. Tinjauan Umum Tentang Hukuman/Uqubah 1. Pengertian Hukuman

Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula dikatakan balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab disebut

„uqubah. Lafadz „uqubah menurut bahasa berasal dari kata „aqoba, yang memiliki sinonim ; „aqobahu bidzanbihi au „ala dzanbihi, yang mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain ; akhodzahu bidzanbihi, yang artinya menghukum atas kesalahannya.37

Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang38 dan lain sebagainya (yang bersifat mengikat dan memaksa). Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan, hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut ;

36 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Reflika Aditama ,2011), h., 75.

37 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet-Ke IVX (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). h. 952

38 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke- 3, (Jakarta:

Balai Pustaka, 2002), h. 411.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan selama eksperimen proses perancangan mesin untuk produksi bahan baku dengan material bonggol jagung dan menghasilkan produk berupa alat serut

TampilandarikekuatandBm di antenna alumunium foil single.. Gambar 4.2.2dBm model alumunium foil bertingkat. TampilandarikekuatandBm di antenna alumunium foil bertingkat.

Dalam rangkaian Rancang bangun alat pengendali interval nyala lampu sebagai pemanipulasi efek gerakan dengan output berupa LED sebanyak 16 buah ini selain berfungsi sebagai penanda

Dengan ini diberitahukan kepada sudara, apabila dikuasakan harus disertai dengan surat kuasa atau surat tugas dari direktur kepada penerima kuasa atau penerima tugas dan

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Satuan Kerja Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Aceh Tamiang Sumber Dana APBK Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2011 mengundang Penyedia

PROGRAM- PROGRAM INI DITUJUKAN UNTUK MENGHASILKAN MASYARAKAT YANG MANDIRI DALAM MENINGKATKAN STANDAR KEHIDUPAN MEREKA DENGAN MEMANFAATKAN POTENSI EKONOMI YANG ADA...

Kemudian sampel tersebut di bagi menjadi 2 yaitu case dan control , case adalah semua ibu hamil yang usia kehamilannya lebih dari 12 minggu pada saat

42 tahun 2007 tentang waralaba, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha