• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Pengertian Perjanjian. terhadap satu orang lain atau lebih.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Pengertian Perjanjian. terhadap satu orang lain atau lebih."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Umum tentang Pengertian Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Mengenaipengertian perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata Pasal 1313KUH Perdata:

“suatu perbuatan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Perumusan tersebut mengandung polemik di antara para sarjana, mereka menganggap perumusan perjanjian yang diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Kata perbuatan pada pasal 1313 KUHPerdata lebih tepat kalau diganti dengan kata perbuatan/tindakan hukum, karena tidak hanya untuk menunjukan akibat hukum yang dikehendaki, tetapi didalamnya sudah tersimpul adanya sepakat yang merupakan ciri daripada perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata).

2. Kalimat dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, ini menimbulkan kesan seolah-olah perjanjian sepihak. Supaya tidak terjadi salah pengertian, maka sebaiknya ditambahkan “atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri” (J.Satrio, 1992: 18).

Yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang lain atau lebih atau dimana para pihak saling mengikatkan dirinya terhadap lawan janjinya (J. Satrio, 1995: 7).

(2)

2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan, c. suatu hal tertentu,

d. suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut subyeknya, sedangkan dua syarat yang terakhir adalah mengenai obyeknya.Suatu perjanjian yang mengandung cacat subyeknya, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut batal dengan sendirinya, tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedang perjanjian yang cacat dalam segi obyeknya adalah batal demi hukum (J.

Satrio, 1995: 163-164).

Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Suatu syarat yang logis, karena dalam perjanjian harus ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi.Orang dikatakan telah memberikan persetujuan / sepakatnya, kalau orang. Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan kehendak yang diberikan secara bebas dalam arti betul-betul atas kemauan sukarela para pihak tanpa cacat kehendak yaitu tanpa paksaan, kekhilafan, kesesatan atau penipuan.

(3)

Menurut ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata berikut:

Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Pasal 1324 KUHPerdata merumuskan:

(1) Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan orang yang berpikir sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

(2) Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.

Pasal 1328 KUHPerdata menyebutkan:

(1) Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika dilakukan tipu muslihat tersebut.

(2) Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Dengan demikian jika sepakatnya para pihak karena ada unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.Bila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut mengikat para pihak.Untuk menyatakan kehendak, wujudnya bermacam-macam, dapat secara diam-diam dan dapat

(4)

pula secara tegas.Dalam pernyataan kehendak secara diam-diam, pernyataan secara setuju dapat disimpulkan dari sikap/ tindakan orang yang bersangkutan dan tindakan tersebut menimbulkan kepercayaan bagi pihak lawan Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan secara tertulis lisan maupun dengan tanda-tanda.Pernyataan kehendak yang diberikan secara tertulis, dapat dilakukan dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah tangan.

Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan:

Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

1. orang yang belum dewasa,

2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,

3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang-orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu.

Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan:

(1) Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

(5)

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa orang dapat dikatakan dewasa atau cakap adalah mereka yang telah berusia genap berusia 21 tahun atau telah lebih dahulu kawin. Untuk orang yang berada di bawah pengampuan kedudukan hukumnya adalah sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Hal itu diatur dalam Pasal 452 ayat (1) KUHPerdata sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang yang belum dewasa.

Orang yang berada di bawah pengampuan (curatele) dapat terjadi atas dasar:

a. gila (sakit otak), dungu, mata gelap, b. lemah akal,

c. pemborosan (J. Satrio, 1992: 283).

Setiap tindakan hukum orang yang berada di bawah pengampuan, diwakili oleh pengampuannya (curandus).

Mengenai istri-istri sekarang dianggap cakap dengan keluarnya SEMA No. 3/1963 tanggal 5 September 1963 yang telah menetapkan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan tindakan hukum di muka pengadilan dinyatakan tidak berlaku lagi. Kemudian dipertegas lagi dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1974 dimana kedudukan istri adalah seimbang dengan suami (Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974).

(6)

Ad.c. Suatu hal tertentu

Dalam suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Maksudnya adalah, bahwa objek perjanjian tidak harus secara individual tertentu, tetapi cukup bahwa jenisnya ditentukan.Hal itu tidak berarti, bahwa perjanjian sudah memenuhi syarat, kalau jenis objeknya saja yang sudah ditentukan.Ketentuan itu harus ditafsirkan, bahwa objek perjanjian harus tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus secara individual tertentu (J. Satrio, 1992: 293).

Pasal 1333 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut :

(1) Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

(2) Tidaklah menjadi halangan bahwa barang tidak tentu, asal jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata sebagai berikut :

Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Ad.d. Suatu sebab yang halal

Causa suatu perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup perjanjian (Satrio, 1992: 312).

(7)

Mengenai apa yang dimaksud dengan kausa yang halal dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan:

Suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.

Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

B. PerjanjianPenggunaan Klausul Baku 1. Pengertian Perjanjian Baku

Beberapa istilah dalam perjanjian baku antara lain yang dikenal di negeri Belanda dengan nama standaard contract; di Jerman dikenal dengan nama standard vertrag; dan di Inggris serta negara-negara Anglo Saxon lainnya dikenal dengan istilah standard forms of contract. Di samping istilah-istilah tersebut, perjanjian baku juga mendapat sebutan khusus karena sifatnya, yaitu disebut sebagai unconcious bargain, karena perjanjian ini dianggap tidak berperikemanusiaan. Selain itu juga diberi nama dengan sebutan agrement d’adhesion, karena bersifat menekan salah satu pihak. Adapun sebutan konfeksi sering ditujukan pada perjanjian baku karena format perjanjian (biasanya dalam bentuk formulir) yang telah tersedia dalam jumlah yang banyak dan siap untuk diisi jika akan membuat perjanjian. Pasal 1 angka (10) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menjelaskan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan

(8)

terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Sutan Remi Sjahdenidalam Shidarta, (2006: 146-147) mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul- klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang dipejanjikan.

Perjanjian baku ini lazim digunakan dengan istilah ”kontrak baku”

atau ”kontrak standar”. Di dalam kontrak baku tersebut lazimnya dimuat syarat-syarat yang membatasi kewajiban kreditur. Syarat-syarat itu dinamakan eksonerasi klausules atau exemption clause. Syarat ini sangat merugikan debitur, tetapi debitur tidak dapat membantah syarat tersebut, karena kontrak itu hanya memberi 2 (dua) alternatif, diterima atau ditolak oleh debitur. Mengingat debitur sangat membutuhkan kontrak itu, maka debitur menandatanganinya. Di dalam kepustakaan, kontrak baku ini disebut perjanjian paksaan (dwang kontrak) atau take it or leave it contract (Mariam Darus Badrulzaman, 2001: 285).

Perjanjian baku ini sering kali dikaitkan dengan masalah keberadaan syarat-syarat eksemsi (eksonerasi). Hal ini juga sering disebut dengan ”perjanjian adhesi” karena isinya sering kali menekan salah satu pihak (umumnya pihak yang posisi tawarnya lemah). Penekanan tersebut

(9)

merupakan upaya yang biasanya dilakukan dengan cara mencantumkan syarat-syarat eksemsi yang memberatkan salah satu pihak ke dalam bentuk syarat-syarat baku. Untuk melindungi lemahnya kedudukan masyarakat konsumen, dalam upaya perlindungan hukum yang selama ini hanya menyangkut tanggung jawab produsen atas produk yang dihasilkannya, yaitu yang dikenal dengan tanggung gugat produsen. Oleh karena itu perlu adanya upaya perlindungan konsumen, dengan mencari alternatif jalan keluarnya.

Khusus dalam proses litigasi dan pembentukan hubungan hukum, pada umumnya, pihak yang mempunyai kekuatan tawar yang dominan cenderung dalam posisi ”di atas angin”, jika dibanding dengan pihak yang posisi tawarnya lemah. Kaitannya dengan perjanjian baku, dalam pembentukan hubungan hukum, pihak konsumen tampak dan terkesan lebih bersikap ”pasif”, sementara pihak pelaku usaha lebih bersifat ”aktif”, dalam arti lebih mempunyai posisi yang menentukan. Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak

memenuhi ketentuan undang-undang, dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum (Pitlo dalam Ahmadi Miru, 2004: 117).

(10)

Pasal 1 angka (10) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan definisi klausula baku adalah:

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Perjanjian yang dibuat dengan menggunakan perjanjian baku, di satu sisi sangat menguntungkan apabila dilihat dari segi waktu tenaga dan biaya karena hal ini dapat dihemat, tetapi di sisi lain menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul di dalam perjanjian tersebut sebagai pihak yang dirugikan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena pembuatan perjanjian baku yang secara sepihak dan sudah distandarisasikan hanya menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang gerak bagi pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian tersebut.

Lagi pula apabila dilihat dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak, biasanya pihak pelaku usaha cenderung melindungi kepentingannya sendiri, yaitu dengan menetapkan sejumlah hak sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan, sebaliknya pengusaha meminimalkan kewajibannya sendiri dan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan.

Ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut(Abdulkadir, 2002:6):

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat dari debitur

b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;

(11)

c. Terdorong oleh kebutuhan,debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;

d. Bentuknya tertulis.

Perjanjian baku digunakan dalam perjanjianlaundry dimana pihak pelaku usaha laundry telah menyiapkan terlebih dahulu klausula-klausula dalam perjanjian dan pihak konsumen hanya bisa menyetujuinya tanpa memiliki kesempatan untuk bernegosiasi mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh pihak pelaku usaha laundry. Perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara para pihak yang mempunyai kedudukan seimbang, sedangkan dalam perjanjian baku, kebebasan berkontrak tersebut patut dipertanyakan karena dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian baku tidak ada kesetaraan kedudukan yang seimbang antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan adanya perjanjian laundry, maka muncullah perikatan antara para pihak.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (Subekti,1997:1).

Sekarang ini, terdapat bentuk perjanjian dengan cara penyiapan suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak konsumen untuk disetujui, dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak konsumen untuk menentukan isi perjanjian. Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian baku.

Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa

(12)

membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan kedalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu. Jadi perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.

Pihak lawan dari yang menyusun perjanjian umumnya disebut adherent, berhadapan dengan yang menyusun perjanjian,tidak mempunyai pilihan kecuali menerima/menolak (Badrulzaman,1994:47).

Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai ketentuan teknis dari pencantuman klausula baku yang isinya adalah bahwa:

“pelaku usaha dilarang mencantumkan klausuka baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti”.

Kemudian Pasal 18 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

“pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”.

Setelah berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, para pelaku usaha yang telah mencantumkan atau membuat klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 UUPK tersebut diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku sehingga tidak bertentangan dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada prinsipnya tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang memuat klausula baku dalam setiap

(13)

dokumen dan/atau transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu mengenai pencantuman klausula eksonerasi yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti oleh konsumen.

2. Bentuk Perjanjian Baku

Bentuk perjanjian baku yang berkembang dalam masyarakat semakin beragam. Menurut Mariam Darus perjanjian baku yang terdapat di dalam masyarakat dapat dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: (Salim, 2006:156)

a. Perjanjian baku sepihak

Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) lebih kuat dibandingkan pihak debitur.

b. Perjanjian baku timbal balik

Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

(14)

c. Perjanjian yang ditetapkan pemerintah

Perjanjian yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.

d. Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat

Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.

3. Klausula Eksonerasi/Klausula Eksemsi

Pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian baku pada dasarnya tidak dilarang, yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian baku adalah apabila terdapat klausula yang memberatkan salah satu pihak.

Klausula yang dimaksud disebut dengan klausula eksonerasi atau klausula eksemsi, yaitu klausula yang isinya pembebasan tanggung jawab (exemtion clause) salah satu pihak yang dilimpahkan kepada pihak lawan.

Klausula eksonerasi biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya terdapat dalam perjanjian baku.

MenurutRijken (Ahmadi Miru, 2004: 114) mengatakan bahwa, klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi

(15)

karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. David Yates memberikan definisi terhadap klausula eksonerasi yaitu bagian dari suatu perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.

(Celina,tanpa tahun, 141)

Ahmadi Miru (2004: 116) memberikan ciri-ciri perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi, yaitu:

a. Pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;

b. Pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut;

d. Bentuknya tertulis;

e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

Klausula eksonerasi dalam KUHPerdata tercantum dalam Pasal 1493, yang menyatakan bahwa “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahwa mereka itu diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun. Selanjutnya Pasal 1506 KUHPerdata menyatakan bahwa “Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah meminta perjanjian bahwa ia tidak diwajibkan menanggung suatu apapun”.

(16)

Adapun klausula eksonerasi di dalam UUPK diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf (a) yang menyatakan bahwa “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha”. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (penjelasan Pasal 18 ayat 1 UUPK).Dengan menggunakan perjanjian baku maka terdapat perbedaan posisi para pihak dalam perjanjian pengguna jasa laundry. Para pihak tidak memiliki posisi tawar yang sama kuat. Apabila salah satu pihak memiliki posisi tawar yang lemah, maka besar kemungkinan pihak yang kuat akan menentukan isi kontrak untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan pihak yang lemah. Perjanjian baku memang tidak memenuhi ketentuan Undang- undang, namun berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam kenyataannya dapat diterima. Penerimaan perjanjian baku oleh masyarakat motifasinya adalah bahwa hukum berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat dan bukan sebaliknya.

Pasal 1 angka 10 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan /ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

(17)

Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999 menjadi harapan baru, di mana masalah perlindungan konsumen perlu penataan dan adanya kepastian hukum. Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama pihak lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup (A.Z. Nasution, 1999: 64)

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu : 1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informecy);

3. hak untuk memilih (the right to choose);

4. hak untuk didengar (the right to be hear) (Shidarta, 2000: 17).

Adapun untuk menjaga hak-hak dasar konsumen tersebut pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan konsumen.Menurut ketentuan Pasal 36 Undang-undang 8 tahun 1999, Anggota Badan Perlindungan Konsumen terdiri dari atas unsur :

a. pemerintah;

b. pelaku usaha;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

d. akademisi; dan e. tenaga ahli.

(18)

C. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata perlindungan hukum dapat didefinisikan sebagai berikut:

"Kata perlindungan berasal dari kata dasar lindung. Perlindungan berarti cara, proses, atau perbuatan melindungi. Sedangkan kata hukum berarti 1) peraturan/adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas, 2) undang-undang, peraturan dan sebagainya, otoritas untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu, 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. Hukum juga dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan“

(Poerwadarminta, 2003: 595).

Istilah "konsumen“ dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia disebut sebagai definisi yuridis formal yang ditemukan pada Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UU ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap

(19)

pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK (Shidarta, 2006: 12).

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:

‘‘Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah hukum perlidungan konsumen dan perlindungan konsumen banyak ditemukan dalam literatur-literatur yang membahas tentang perlindungan terhadap konsumen, banyaknya konsumen yang dirugikan oleh para pelaku usaha dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, sehingga dengan hal itu muncullah gerakan perlindungan konsumen.

"Hukum Perlindungan Konsumen itu sendiri adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan dengan pihak konsumen, pelaku usaha dan pihak lain yang berkaitan dengan masalah konsumen yang disertai sanksi bagi pelanggarnya”(Suyadi, 2007: 1).

(20)

Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan konsumen sangat penting sekali dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang berupa hak-hak yang dimiliki konsumen, sehingga apabila hak-hak tersebut dilanggar oleh pelaku usaha, terdapat suatu sanksi bagi pelanggarnya. Sehubungan dengan itu, konsumen akan terlindungi kepentingannya serta bertujuan untuk mengurangi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen peranannya dalam masyarakat sangat dibutuhkan, karena pada umumnya kedudukan konsumen di Indonesia masih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, sehingga sangat diperlukan kehadirannya untuk menjamin kepastian hukum untuk melindungi kepentingan konsumen.

Menurut Janus Sidabolok, mengemukakan bahwa:

“Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia.

Sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi” (Sidabolok, 2006:9).

(21)

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:

‘‘Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen (Sutarman Yodo, 2007: 1).

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu antara hukum perlindungan konsumen dan perlindungan konsumen itu berbeda, yaitu :

"Hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen”(Sidabolok, 2006: 45).

Berhubungan dengan hal tersebut, maka dapat dideskripsikan bahwa terdapat suatu perbedaan diantara keduanya yakin bahwa hukum konsumen itu lebih menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan antara satu pihak (pelaku usaha) dengan pihak yang lainnya (konsumen) yang

(22)

menyangkut barang dan/atau jasa, sedangkan hukum perlindungan konsumen itu lebih mengarah pada upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha.

AZ. Nasution dalam Janus Sidabolok menjelaskan sebagai berikut:

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan.

Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.

Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang (Sidabolok, 2006: 46).

Berdasarkan hal tersebut hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Maka, berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Oughton dan Lowry memandang hukum perlindungan konsumen (consumer protection law) sebagai sebuah fenomena modern yang khas abad kedua puluh, namun sebagaimana ditegaskan dalam perundang-undangan, perlindungan hukum bagi konsumen itu sendiri dimulai seabad lebih awal (Barkatullah, 2010: 3).

(23)

Purba dalam bukunya Abdul Halim Barkatullah berpendapat mengenai perlindungan konsumen sebagai berikut:

"Perlindungan hukum bagi konsumen sebagai satu konsep terpadu dan merupakan hal baru, yang perkembangannya dimulai dari negara-negara maju. Namun demikian, saat sekarang konsep ini sudah tersebar ke bagian dunia lain.“ (Barkatullah, 2010: 3).

Purba juga mengatakan bahwa terdapat sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, sebagai berikut:

1. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;

2. Konsumen mempunyai hak;

3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban;

4. Pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen menyumbang pada pembangunan nasional;

5. Pengaturan tidak merupakan syarat;

6. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang sehat;

7. Keterbukaan dalam promosi produk;

8. Pemerintah berperan aktif;

9. Peran serta masyarakat;

10. Implementasi asas kesadaran hukum;

11. Perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum tradisional;

12. Konsep perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum (Barkatullah, 2010: 10).

(24)

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspek itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan lain sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan dengan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persolan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat- syarat yang tidak adil. Dalam hal ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya (Sidabolok, 2006: 10-11).

Aspek yang pertama, mencakup persoalan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggungjawab produk, yaitu tanggungjawab yang dibebankan kepada

(25)

produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat didalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya rendah, barang tidak dapat bertahan lama karena cepat rusak, dan sebagainya. Dengan demikian, tanggungjawab produk erat kaitannya denga persoalan ganti kerugian. Aspek yang kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang dan/atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang dan/atau jasa kebutuhannya (Sidabolok, 2006: 10-11).

Produsen secara umum membuat atau menetapkan syarat-syarat perjanjian secara sepihak tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepentingan konsumen sehingga bagi konsumen tidak ada kemungkinan untuk mengubah syarat-syarat itu guna mempertahankan kepentingannya (Satrio, 2001: 42). Seluruh syarat yang terdapat pada perjanjian, sepenuhnya atas kehendak pihak produsen barang dan/atau jasa. Bagi konsumen hanya ada pilihan: mau atau tidak mau sama sekali. Karena itu, Vera Bolger menamakannya sebagai take or leave it contract. Artinya, kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh dibuat, dan kalau tidak setuju, silahkan pergi (Sidabolok, 2006: 10-11).

(26)

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Biasanya syarat-syarat perjanjian itu telah tertuang dalam formulir yang sudah disiapkan terlebih dahulu yang dicetak sedemikian rupa sehingga kadang-kadang tidak terbaca dan sulit dimengerti.

1. Hak dan kewajiban konsumen

Pentingnya perlindungan terhadap konsumen didasarkan kepada kenyataan tidak seimbangnya antara hak dan kewajiban yang berlaku bagi konsumen dan pelaku usaha. Penyebab gangguan atas kepentingan konsumen itu antara adalah :

a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subyek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.

b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu hak yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commision) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.

d. Comission atau omission ini menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai obyek dari hak.

e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.

(27)

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk dipedagangkan (Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, 2001: 5).

Hak dan kewajiban konsumen yang diberikan/dibebankan oleh Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Hak Konsumen

Menurut ketentuan Pasal 5, konsumen memiliki hak sebagai berikut:

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan.

3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan.

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif.

(28)

8) Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.

9) Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban Konsumen

Konsumen memiliki kewajiban sebagai berikut:

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

2) Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang /atau jasa.

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

c. Hak Pelaku Usaha

Hak pelaku usah meliputi:

1) Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

2) Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

3) Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

(29)

4) Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan.

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

d. Kewajiban Pelaku Usaha

Kewajiban dari pelaku meliputi :

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif.

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

(30)

7) Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatan tidak sesuai dengan perjanjian.

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam Pasal 19 Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Jadi apabila suatu produk yang dipasarkan, ternyata terdapat cacat pada produk-produk tersebut sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen maka produsen yang menghasilkan produk tersebut harus bertanggung jawab, karena dalam keadaan demikian tersebut dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.

(31)

D. Tuntutan Ganti Rugi

1. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi

Dalam setiap perikatan selalu ada suatu prestasi yang harus terpenuhi yang merupakan hakekat dari perikatan itu sendiri.Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata ada tiga yaitu memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Wanprestasi menurut J. Satrio berupa : 1. debitur sama sekali tidak berprestasi,

2. debitur keliru berprestasi; (J Satrio, 2001: 122).

Menurut R. Subekti wanprestasi berupa : 1. debitur tidak memenuhi kewajibannya;

2. debitur terlambat memenuhinya ;

3. debitur memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan (R. Subekti, 1996: 147).

Akibat hukum bagi Debitur yang melakukan wanprestasi diatur dalam Pasal 1236, Pasal 1243, KUHPerdata sebagai berikut :

Pasal 1236 KUHPerdata:

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.

(32)

Pasal 1243 KUHPerdata:

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Wanprestasi mempunyai akibat hukum dari Debitur yang berupa hukuman/sanksi sebagai berikut :

1. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh Kreditur;

2. Apabila perbuatan itu tidak betul, Kreditur dapat memenuhi pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim.

3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada Debitur sejak terjadi wanprestasi.

4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti rugi.

5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diputuskan di muka Pengadilan Negeri dan Debitur dinyatakan bersalah (Pasal 181 ayat (1) HIR) (Abdulkadir Muhamad ,2002: 204-205).

(33)

2.Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum merupakan perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan orang.Dalam KUH Perdata perbuatan melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi pada suatu perbuatan supaya dapat dibenarkan gugat ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata yaitu:

1). Perbuatan melawan hukum.

2). Harus ada kesalahan.

3). Harus ada kerugian yang ditimbulkan.

4). Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Unsur-unsur tersebut haruslah terpenuhi semuanya, sehingga ketentuan mengenai syarat-syarat dari adanya gugat ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum bersifat kumulatif. Berikut ini penjelasan lebih lanjut unsur-unsur perbuatan melawan hukum.

Ad 1.Perbuatan yang melawan hukum.

Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam Bahasa Belanda disebut "daad" (Pasal 1365 KUHPerdata) dan perbuatan negatif disebut "nalatigheid" (kelalaian) atau kurang hati-hati (Pasal 1366 KUHPerdata). Dengan demikian, Pasal 1365 KUHPerdata itu untuk orang yang betul-betul berbuat,

(34)

sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata untuk orang yang tidak berbuat.

Pelanggaran kedua pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama yaitu mengganti kerugian.

Ad 2.Harus ada kesalahan

Pasal 1365 KUHPerdata tidak memberikan ukuran tentang perbuatan yang bagaimanakah dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Namun sejak putusan H.R. tahun 1919 dalam perkara Lindenbaum - Cohen, pada umumnya dikenal empat kriteria perbuatan

melawan hukum. Keempat kriteria tersebut dipergunakan untuk menilai sifat melanggar hukumnya suatu perbuatan. Sedangkan ukuran tentang kesalahan dipergunakan untuk menilai ada tidaknya kesalahan pada diri si pelaku. Pada umumnya unsur kesalahan mengikuti sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, tetapi prakteknya tidak demikian.

Ad 3.Harus ada kerugian yang ditimbulkan

Kerugian ini dapat bersifat kerugian materiil atau kerugian imateriil. Apa ukuran yang termasuk kerugian tidak ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan melawan hukum. Menurut Yurisprudensi, kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Ketentuan tersebut diperlakukan secara analogi, kerugian akibat wanprestasi yang meliputi 3(tiga) unsur yaitu biaya, kerugian yang sungguh-sungguh diderita dan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian adalah 5 dari 30 ekor sapi perah di kawasan usaha peternakan Cibungbulang Bogor yang menunjukkan indeks kesehatan normal. 12 dari 30 ekor

a) Pemahaman, merupakan penerimaan yang cermat terhadap isi pesan yang disampaikan komunikan atau memiliki pemahaman yang sama terhadap pesan yang di komunikasikan.

kecepatan otot dalam melangkah. Kekuatan otot tungkai ini digunakan saat lari menggiring bola, dan menendang bola, dengan otot tungkai yang kuat maka tendangan akan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penerima Tunjangan Profesi bagi Guru

Di bawah ini adalah nilai-nilai budaya yang cenderung dapat bertahan dalam masyarakat Indonesia, kecuali .... interaksi pada

Dalam rangka mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan, maka Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan diharapkan dapat merumuskan kebijakan dan

Segenap anggota jemaat Klasis Pulau Jawa menyatakan turut berdukacita dan berdoa kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih memberikan penghiburan sejati dan kekuatan

Sejak dulu sampai sekarang telah berlalu empat belas abad lebih, kisah kisah Alquran yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu mendapat tempat dan hidup dihati umat, padahal