• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI RHIZOSFER Centella asiatica ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3 FROM RHIZOSPHERE Centella asiatica

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI RHIZOSFER Centella asiatica ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3 FROM RHIZOSPHERE Centella asiatica"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI

RHIZOSFER Centella asiatica

ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3

FROM RHIZOSPHERE Centella asiatica

SUMI N111 14 033

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI RHIZOSFER Centella asiatica

ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3 FROM RHIZOSPHERE Centella

asiatica

SKRIPSI

Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

SUMI N111 14 033

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala., yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Antibakteri Metabolit Sekunder Isolat Actinomycetes PG 3 Dari Rhizosfer Centella asiatica” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Ucapan salam serta shalawat juga penulis ucapkan teruntuk Nabi besar Muhammad Shallallahualaihi Wa Sallam., yang telah membawa umat muslim ke jalan yang benar.

Penulis menyadari banyak hambatan, kekurangan, serta kesulitan dalam menyelesaikan penelitian ini, yang tentunya berkat bimbingan, bantuan, dan motivasi dari beberapa pihak akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibu Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt.. selaku pembimbing utama dan Prof.Dr.M.Natsir Djide, MS., Apt. selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan banyak waktu, memberi petunjuk, menyumbangkan pikiran dan tenaganya dalam membimbing mulai selesainya skripsi ini, serta Ibu Dr. Sartini, M.Si., Apt. selaku ketua penguji, Bapak Muh.

Aswad, S.Si., M.Si., Ph.D., Apt. selaku sekretaris penguji, dan Bapak Drs.

Syaharuddin Kasim, M.Si., Apt. selaku anggota penguji yang telah meluangkan waktu untuk membagi ilmu dan menyumbangkan pikiran dalam membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini.

(7)

vii

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Farmasi, seluruh staf pengajar dan staf pegawai dan laboran Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu dalam proses menyelesaikan studi kami.

2. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. selaku penasehat akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat bermakna selama awal tahun penulis menginjakkan kaki di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.

3. Kedua orang tua tercinta, Ayah Sude dan Ibu Kasma yang telah mencurahkan segala kasih sayang, memberikan dukungan dari kecil hingga sekarang, mengingatkan segala hal dan berkat mereka penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Karena mereka adalah motivasi penulis dari kecil hingga sekarang.

4. Kepada kak Ismail, S.Si., M.Si., Apt. atas ilmu dan bantuannya selama penelitian.

5. Sahabat seperjuangan penelitian Hikma, Nute, Evi, Asmi, Koi, Lina, Dala, Jiraya, yang telah mendukung, memberi semangat dan berbagi saran selama penelitian.

6. Saudaraku Farmasi UNHAS angkatan 2014 (Hios14min) khususnya Eka, Nul, Roha, Ammi, Esta, Ulling, Nuwa, Hae, Dianabulat atas segala bantuannya selama ini. Serta warga KEMAFAR-UH yang selalu memberi semangat dalam perjalanan penulis di Farmasi UNHAS.

(8)

viii

7. Semua pihak yang terlibat, yang tidak sempat tersebut namanya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi terciptanya suatu karya yang lebih bermutu. Akhirnya, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Makassar, 4 Mei 2018

Penulis

(9)

ix

ABSTRAK

SUMI. Uji Aktivitas Antibakteri Metabolit Sekunder Isolat Actinomycetes PG 3 Dari Rhizosfer Centella asiatica (dibimbing oleh Herlina rante, Natsir Djide)

Actinomycetes merupakan salah satu kelompok mikroorganisme penghasil antibiotik paling banyak. Actinomycetes menjadi penting dalam bidang kesehatan dan industri farmasi karena kemampuannya dalam memproduksi metabolit sekunder untuk pengobatan, khususnya antibakteri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas metabolit sekunder isolat Actinomycetes PG 3 yang berasal dari Rhizosfer Centella asiatica yang dapat menghasilkan senyawa antibakteri. Isolat Actinomycetes PG 3 yang diperoleh difermentasi selama 17 hari yang kemudian diekstraksi menggunakan Etil asetat (1/1) dan biomassa dimaserasi dengan metanol. Ekstrak Etil asetat, Ekstrak Metanol dan Ekstrak Air yang diperoleh dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar terhadap bakteri S.aureus dan E.coli.

Ekstrak Etil asetat yang memiliki aktivitas paling besar, selanjutnya di Kromatografi lapis tipis dan bioautografi menggunakan Fase diam silika gel GF254 dan Fase gerak Kloroform : Etil asetat (3:1). Identifikasi isolat Actinomycetes PG 3 dilakukan secara mikroskopik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa isolat PG 3 diduga sebagai Actinomycetes yang termasuk dalam genus Streptomyces sp spora rantai panjang dengan tipe spora spiral tertutup, yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus dengan aktivitas kuat. Hasil KLT bioautografi Ekstrak Etil asetat terhadap S.aureus menunjukkan zona hambat masing-masing pada Rf 0,05;

0,62; 0,76 dan 0,95 yang diduga merupakan senyawa golongan Polifenol, Flavanoid dan Terpenoid.

Kata Kunci: Actinomycetes, kromatografi lapis tipis, bioautografi, antibakteri.

(10)

x

ABSTRACT

SUMI. Antibacterial Activity Test Of Secondary Metabolic isolated Actinomycetes PG 3 From Rhizosphere Centella asiatica (supervised by Herlina Rante, M. Natsir Djide)

Actinomycetes is the richest microorganisms in the production of antibiotics. Actinomycetes plays an important role in medical and pharmaceutical industry because of its capability to produce secondary metabolite for therapeutics use, especially antibacaterial. The aim of this study was to know the potential of isolated Actinomycetes PG 3 From Rhizosfer Centella asiatica which known of antibacterial compound. Isolated Actinomycetes PG 3 were fermented for 17 consecutive days then extracted by ethyl acetate with 1:1 ratio and biomass were macerated by methanol. The antibacterial activity of ethyl acetate extract, methanol extract, and water extract were assessed by agar diffusion method againts S.aureus and E.coli.

Ethyl acetate Extract shown to have the most antibacterial activity, then thin- layer chromatography and bioautography were performed by silica gel GF254

stationary phase and mobile phase chloroform : ethyl acetate (6:2). Isolate identification of Actinomycetes PG 3 was conducted based on microscopis characteristic. The results showed isolated PG 3 were predicted as Actinomycetes and in Classification of long chained spore with cyclic spore type of Streptomyces sp genus, that can potentially inhibit E.coli and S.aureus growth activities the most. Thin-layer chromatography and bioautography resulted ethyl acetate extract shown inhibition zone to S.aureus individually Rf 0,05 ; 0,62 ; 0,95 and were assumed as polyphenol, flavonoid and terpenoid compound.

Keywords : Actinomycetes, thin-layer chromatography, bioautography, antibacterial

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Rumusan Masalah 3

I.3 Tujuan Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

II.1 Actinomycetes 4

II.1.1 Karakteristik dan Lingkungan Actinomycetes 4

II.1.2 Klasifikasi Actinomycetes 8

II.1.3 Metabolit Sekunder Actinomycetes 9

II.2 Rhizosfer 10

II.3 Antimikroba 11

II.4 Metabolit Mikroba 14

II.5 Pertumbuhan Mikroorganisme 16

(12)

xii

II.6 Fermentasi 18

II.7 Metode Pengujian Antimikroba 20

II.7.1 Metode difusi 20

II.7.1 Metode dilusi 23

II.8 Uraian Mikroba 24

II.8.1 Escherichia coli 24

II.8.2 Staphylococcus aureus 24

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 26

III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 26

III.1.1 Alat 26

III.1.2 Bahan 26

III.2 Metode Kerja 27

III.2.1 Sterilisasi Alat 27

III.2.2 Pembuatan Medium 27

III.2.3 Penyiapan Isolat Actinomycetes 28

III.2.3.1 Peremajaan isolat 28

III.2.3.2 Fermentasi Isolat Actinomycetes 28

III.2.3.3 Ekstraksi 28

III.2.4 Penyiapan bakteri Uji 29

III.2.4.1 Peremajaan Bakteri 29

III.2.4.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji 29

III.2.5 Pengamatan Morfologi Mikroba 29

III.2.6 Uji Aktivitas Antibakteri 30

(13)

xiii

III.2.7 KLT- Bioautografi 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32

IV.1 Hasil Peremajaan 32

IV.2 Fermentasi dan Ekstraksi 33

IV.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak 35

IV.4 KLT-Bioautografi 38

IV.5 Identifikasi Actinomycetes 42

BAB V PENUTUP 45

V.1 Kesimpulan 45

V.2 Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 50

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil Pengukuran rata-rata diameter zona hambat metabolit sekunder Actinomycetes terhadap pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli 35

2. Hasil Uji Skrinning Fitokimia 52

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Penampakan Isolat Actinomycetes pada media agar 5 2. Koloni Actinomycetes tumbuh pada agar yang menunjukkan

miselium substrat dan miselium udara 6

3. Isolat Actinomycetes PG 3 yang diinkubasi 10 hari 32 4. Kurva penentuan fase stasioner berdasarkan lama fermentasi

(hari) terhadap Diameter zona hambatan (mm) 34

5. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes

terhadap bakteri uji pada kadar 2 mg 36

6. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes

terhadap bakteri uji pada kadar 4 mg 36

7. Hasil Uji KLT Bioautografi pada bakteri Staphylococcus aureus 39

8. Identifikasi Golongan senyawa 42

9. Hasil Uji Mikroskopis Isolat PG 3 dengan perbesaran 1000x 43 10. A. Jenis struktur spora pada Streptomyces, B. Produksi spora

Rantai Panjang 43

11. Hasil Fermentasi selama 17 hari 53

12. A. Ekstrak Etil asetat; B. Ekstrak Air; C. Ekstrak Metanol 53 13. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri A. Staphylococcus aureus

B. Escherichia coli 53

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skema kerja 50

2. Komposisi Medium 51

3. Tabel 52

4. Dokumentasi gambar 53

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu permasalahan dalam bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang (Rahayu, 2010).

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di negara berkembang termasuk Indonesia (Darmadi, 2008). Berdasarkan data World Health Organization (2015), penyebab kematian tertinggi didunia setelah penyakit jantung koroner dan stroke adalah infeksi. Pengobatan yang sering digunakan untuk mengobati infeksi tersebut adalah penggunaan antibiotik, tetapi sekarang telah banyak mikroorganisme yang mengalami resistensi terhadap antibiotik (Rahayu, 2010). Oleh karena itu diperlukan galur-galur antibiotik untuk menemukan antibiotik baru dan lebih sensitif terhadap mikroba patogen yang resisten (Sulistiani dan Narwanti, 2015).

Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan Bakteri, Actinomycetes, Jamur dan beberapa mikroba lainnya (Kumalasari dkk, 2012; Adriani dan Febriwanti, 2013). Salah satu sumber potensial molekul antibiotik baru adalah Actinomycetes. Secara histori, Actinomycetes menghasilkan jumlah kelas antibiotik terbanyak seperti tetrasiklin, aminoglikosida, sefalosporin dan

(18)

2

makrolida. Sekitar 70% antibiotik dihasilkan oleh Actinomycetes, 20% Fungi dan 10% oleh Bakteri (Kumalasari dkk, 2012; Adriani dan Febriwanti, 2013).

Actinomycetes adalah organisme prokariotik yang termasuk bakteri gram positif, hidup bebas, saprofit, terdistribusi secara luas di tanah, air, dan membentuk kolonisasi pada jaringan tanaman atau endofit, juga penghasil berbagai senyawa aktif dari hasil metabolisme sekunder. Karakteristik morfologi dari prokariot ini menyerupai fungi karena memiliki hifa atau filamen namun tidak bersekat, namun mikroba ini termasuk dalam golongan bakteri karena bersifat prokariot dan memiliki kandungan peptidoglikan pada dinding selnya (Fatmawati dkk, 2014). Actinomycetes memiliki distribusi pertumbuhan yang luas. Sumber actinomycetes dapat dijumpai dalam air, pertumbuhan yang berupa filamen di dalam tanah, koloni di permukaan akar maupun di Rhizosfer (Fatmawati dkk, 2014).

Rhizosfer merupakan bagian tanah disekitar akar. Pada tanah di daerah Rhizosfer memiliki jumlah bakteri, jamur, dan actinomycetes yang lebih banyak dibandingkan tanpa Rhizosfer (Mukamto, 2015). Akar Tanaman mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat, seperti halnya pada tumbuhan lainnya. Hasil eksudasi akar tersebut kemudian menyebar ke tanah Rhizosfer rumput. Hasil eksudasi merupakan sumber makanan atausumber kehidupan untuk mikroflora tanah, termasuk mikroorganisme. Akibatnya disekitar perakaran rumput dapat ditemukan banyak mikroorganisme. Sehingga populasi mikroorganisme pada Rhizosfer

(19)

3

jauh lebih tinggi dibandingkan bagian tanah lainnya (Rahayu, 2006).

Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi Actinomycetes dari Rhizosfer yang berpotensi sebagai penghasil antibiotik salah satunya Fatmawati, (2014) telah melakukan penelitian mengenai aktivitas antibakteri Actinomycetes dari Rhizosfer Tanaman Solanaceae yang mampu menghambat pertumbuhan S.aureus, B.subtilis dan E.coli. Rante, dkk (2017) telah melakukan isolasi Actinomycetes dari Rhizosfer Centella asiatica dan salah satu isolat yang diperoleh diberi kode PG 3 yang belum diketahui aktivitas antibakterinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini.

I.2 Rumusan Masalah

Apakah metabolit sekunder isolat Actinomycetes PG 3 dari Rhizosfer Centella asiatica memiliki aktivitas sebagai penghasil antibakteri?

I.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui aktivitas antibakteri metabolit sekunder isolat Actinomycetes PG 3 dari Rhizosfer Centella asiatica.

(20)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Actinomycetes

II.1.1 Karakteristik dan Lingkungan Actinomycetes

Actinomycetes adalah kelompok bakteri gram positif dengan kadar guanin dan sitosin tinggi dalam DNA-nya, yang terdapat di terestrial atau perairan. Meskipun actinomycetes adalah uniseluler seperti bakteri, tidak memiliki dinding sel yang berbeda, tetapi dapat menghasilkan miselium yang nonseptate dan lebih ramping. Actinomycetes dapat dijumpai pada tanah, air tawar dan laut. Actinomycetes mempunyai peran penting dalam penguraian bahan organik, seperti selulosa dan kitin, melengkapi nutrisi dalam tanah, dan merupakan bagian penting dari pembentukan humus. Koloni actinomycetes menunjukkan konsistensi seperti tepung dan menempel kuat pada permukaan agar (Dhanasekaran and Jiang, 2016).

Actinomycetes menghasilkan berbagai metabolit sekunder dengan kepentingan farmakologis dan perdagangan yang tinggi. Dengan penemuan actinomycin, sejumlah antibiotik telah ditemukan dari Actinomycetes, terutama dari genus Streptomyces. Actinomycetes tersebar luas di tanah dengan sensitivitas tinggi terhadap asam dan pH rendah. Actinomycetes memiliki sejumlah fungsi penting, termasuk dalam degradasi

(21)

5

/dekomposisi semua jenis zat organik seperti selulosa polisakarida, lemak protein, asam organik, dan sebagainya, mendekomposisi humus di tanah, memberi bau tanah yang baru dibajak, menghasilkan sejumlah antibiotik seperti streptomisin, terramisin, aureomisin, dan sebagainya (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).

Actinomycetes terdiri dari sekelompok mikroorganisme uniseluler bercabang, yang sebagian besar terdiri dari miselium pembentukan aerobik yang lebih dikenal sebagai substrat dan udara. Actinomycetes bereproduksi dengan pembelahan biner atau dengan menghasilkan spora atau konidia, dan sporulasi Actinomycetes dilakukan melalui fragmentasi dan segmentasi atau pembentukan konidia. Penampakan morfologi dari Actinomycetes (Gambar 1) adalah kompak, sering kasar, penampakan yang berbentuk kerucut dengan permukaan yang kering pada media kultur dan sering ditutupi dengan miselium aerial (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).

Gambar 1. Penampakan isolat Actinomycetes pada media agar. a, c Penampakan isolat Actinomycetes. b, d Morfologi koloni individu (Dhanasekaran dan

Jiang, 2016).

(22)

6

Berdasarkan perbedaan morfologi dan fungsi, miselia dapat dibagi menjadi miselium substrat dan miselium udara (Gambar 2)

Gambar 2. Koloni Actinomycetes tumbuh pada agar yang menunjukkan miselium substrat dan miselium udara (Dhanasekaran dan Jiang, 2016)

Seperti yang diketahui sebagai miselium vegetatif atau miselium primer, miselium substrat tumbuh ke medium atau di permukaan media kultur. Fungsi utama miselium substrat adalah penyerapan nutrisi untuk pertumbuhan actinomycetes. Miselium substrat memiliki variasi dalam ukuran, bentuk, warna dan ketebalan. Di bawah mikroskop, miselium substrat berbentuk tipis, transparan, dan lebih bercabang daripada hifa udara. Hifa tunggal memiliki ketebalan sekitar 0,4 sampai 1,2 μm, biasanya tidak membentuk sekat dan retak sehingga mampu mengembangkan cabang.

Warnanya berkisar dari putih atau hampir tidak berwarna hingga kuning, biru, ungu , coklat, merah, pink, orange, hijau, hitam atau warna lainnya.

Beberapa hifa dapat menghasilkan pigmen yang larut dalam air atau larut dalam lemak. Pigmen yang larut dalam air bisa meresap ke media kultur,

(23)

7

yang membuat medium dengan warna yang sesuai. Pigmen yang tidak larut dalam air (atau larut dalam lemak) membuat koloni dengan warna yang sesuai (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).

Miselium udara merupakan hifa miselium substrat berkembang ke tahap tertentu, dan tumbuh ke udara. Terkadang, hifa udara dan miselium substrat sulit dibedakan. Hal ini dapat dibedakan dengan preparasi pada Cover slip, dilihat dengan mikroskop cahaya dengan hifa substrat ramping, transparan, dan gelap sedangkan Hifa udara kasar, refraktif, dan terang. Hifa miselium udara ditandai dengan selubung berserat, kecuali genus Pseudonocardia dan Amycolata (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).

Beberapa jenis Actinomycetes memiliki miselium aerial. Miselium aerial merupakan bentuk dan struktur dari miselium vegetatif. Miselium aerial muncul dari miselium substrat dan menutupi seluruh koloni, sehingga terlihat seperti kapas atau tepung. Karakteristik miselium aerial lain dari Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, orange, lavender, biru, dan hijau (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).

Actinomycetes merupakan mikroorganisme tanah yang umum dijumpai pada berbagai jenis tanah. Populasinya berada pada urutan kedua setelah bakteri bahkan kadang kadang hampir sama. Actinomycetes hidup sebagai saprofit dan aktif mendekomposisi bahan organik sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah . Pada umumnya Actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada keadaan lingkungan dengan

(24)

8

pH dibawah 5,0 . Rentang pH yang paling cocok untuk Actinomycetes adalah antara 6,5-8,0. Temperatur yang cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes adalah 25-30 oC, tetapi pada suhu 55-65 oC Actinomycetes masih dapat hidup dalam jumlah cukup besar khususnya genus Thermoactinomycetes dan Streptomyces (Dhanasekaran dan Jiang, 2016).

Actinomycetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, Actinomycetes memerlukan bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan hidupnya dan beberapa jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan chitin. Media isolasi Actinomycetes adalah Starch nitrate Agar (SNA). Shahat dkk, 2011 telah melakukan penelitian dengan membandingkan beberpa medium isolasi Actinomycetes dalam menumbuhkan Streptomyces griseolus dan ditemukan bahwa medium SNA adalah medium yang paling baik, kemudian medium fish-meal extract, inorganik salts starch, oat meal extract, dan medium glycerol aspargine.

II.1.2 Klasifikasi Actinomycetes

Actinomycetes termasuk ordo Actinomycetales. Yang terbagi menjadi 3 famili yaitu (Waluyo, 2005) :

a. Family Mycobakteriaceae

Sel-sel tidak membentuk miselium atau hanya miselium yang rudimentar. Misalnya Mycobacterium dan Mycococcus

(25)

9

b. Suku Actinomycetaceae

Membentuk miselium, spora terbentuk dalam fragmen-fragmen miselium. Contoh : Actinomyces bovis, patogen penyebab penyakit mulut pada ternak.

c. Suku Streptomycetaceae,

Membentuk miselium, miselium vegetative tidak terbagi-bagi. Contoh :

 Streptomyces aureofaciens, menghasilkan aureomisin

 Streptomyces griseus, menghasilkan streptomision

 Streptomyces fradiae, menghasilkan neomisin dan fradisin

 Streptomyces rimosus, menghasilkan teramisin

 Streptomyces venezuelae, menghasilkan kloromisetin

II.1.3 Metabolit Sekunder Actinomycetes

Banyak metabolit sekunder mikroba yang menunjukkan aktivitas sebagai antimiktoba. Dari semua produk microbial, hasil fermentasi Streptomyces adalah sumber terbesar yang mengandung antibiotik.

Contohnya antimikroba yang mengandung betalaktam, aminoglikosida, fenilpropanoid, dan sebagainya. Salah satunya adalah S. Clavugerus memproduksi asam klavulanat yang merupakan inhibitor dari betalaktamase (Solecka dkk, 2012). Selain itu, Senyawa yang diperoleh dari actinomycetes bakau adalah Chalcomycin B yang diisolasi dari kultur Streptomyces laut sp. B7064 yang dikumpulkan dari sedimen mangrove Pohoiki, Hawaii, dimana makrolida ini menunjukkan aktivitas terhadap Staphylococcus aureus (MIC = 0,39 μg / mL), Bacillus subtilis (MIC = 6,25

(26)

10

μg / mL) ,Chlorella vulgaris, Chlorella sorokiniana dan Scenedesmus subspicatus (MIC = 50 μg / mL) (Asolkar dkk, 2002).

Yuan dkk (2011), telah mengidentifikasi dua lakton makrosiklik baru sebagai azalomisin F4a 2-etilpentil ester dan azalomisin F5a 2-etilpentil ester. Kedua Laktone tersebut diisolasi dari kaldu mangrove St reptomyces sp. 211726 yang diisolasi dari Rhizosfer mangrove Heritiera globosa yang dikumpulkan di Wenchang, China. Senyawa F4a dan F5a menunjukkan aktivitas terhadap Candida albicans ATCC 10231 pada MIC 2,34 dan 12,5 μg / mL dan sitotoksisitas terhadap sel HCT-116 dengan nilai IC50 5,64 dan 2,58 μg / mL.

II. 2 Rhizosfer

Istilah Rhizosfer menunjukkan bagian tanah yang dipengaruhi perakaran tanaman. Rhizosfer merupakan daerah sekitar perakaran yang sifat-sifatnya baik kimia, fisik dan biologi dipengaruhi oleh aktivitas perakaran. Rhizosfer dibagi menjadi dua, yaitu Rhizosfer bagian dalam (inner rhizosphere) yaitu daerah di permukaan perakaran tanaman, dan Rhizosfer bagian luar (outer rhizosphere) merupakan daerah di sekitar perakaran (Dewi, 2007).

Daerah Rhizosfer tersebut sering disebut sebagai Rhizoplanne.

Rhizoplanne merupakan daerah permukaan akar pada Rhizosfer. Jumlah mikroorganisme pada Rhizosfer bagian dalam biasanya lebih besar dari pada Rhizosfer bagian luar, karena lebih banyak interaksi biokimia antara akar dan mikroba. Rhizosfer dicirikan oleh lebih banyaknya aktivitas mikrobiologis dibandingkan di dalam tanah yang jauh dari perakaran tanaman. Intensitas

(27)

11

aktivitas semacam ini tergantung dari panjangnya jarak tempuh yang dicapai oleh eksudasi sistem perakaran. Pengaruh keseluruhan perakaran tanaman terhadap mikroorganisme tanah disebut sebagai efek Rhizosfer. maka akan lebih banyak jumal mikroorganisme pada tanah yang termasuk Rhizosfer.

Beberapa faktor seperti tipe tanah, kelembaban tanah, pH, temperatur, umur dan kondisi tanaman mempengaruhi efek Rhizosfer. (Richards, 1974).

Laju kegiatan metabolik mikroorganisme Rhizosfer berbeda dengan laju kegiatan metabolik mikroorganisme non-Rhizosfer. Pada umumnya Rhizosfer dari kebanyakan tanaman mengandung bakteri gram-negatif , tidak berspora, berbentuk batang, dan terdapat pada daerah Rhizosfer. Bakteri yang membutuhkan asam amino lebih banyak terdapat di daerah Rhizosfer dibandingkan tanah di luar Rhizosfer. Actinomycetes penghasil antibiotik lebih banyak terdapat dalam Rhizosfer dibandingkan tanah tanpa Rhizosfer.karena actinomycetes yang memiliki sifat antagonis dan kompetitif terhadap mikroorganisme tanah lainnya. Rhizosfer dapat mengalami perubahan, di antaranya diakibatkan oleh: (1) penambahan tanah; (2) pemberian nutrisi melalui daun; dan (3) inokulasi artifisial biji atau tanah yang mengandung sediaan mikroorganisme hidup, terutama bakteri (Richards, 1974).

II. 3 Antimikroba

Antimikroba adalah subtansi yang menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri maupun mikroorganisme lainnya, tetapi toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Suatu antibakteri harus bersifat toksisitas yang selektif artinya obat atau zat tersebut harus bersifatssangat toksik pada

(28)

12

mikroorganisme penyebab penyakit tetapi tidak toksik terhadap jasad inang (Kee dan Hayes, 1996).

Berdasarkan sifat toksisitas selektif tersebut, antibakteri dapat dibagi menjadi (Solecka dkk, 2012; Djide dan Sartini, 2008):

1. Bakteriostatika

Zat atau bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (bakteri). Dalam keadaan ini jumlah mikroorganisme menjadi stasioner, tidak dapat lagi multiplikasi dan berkembang biak. Sebagai contoh adalah sulfonamide, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan sebagainya.

2. Bakteriosida

Zat atau bahan yang dapat membunuh mikroorganisme (bakteri) dalam hal ini jumlah mikroorganisme akan berkurang atau bahkan habis, tidak dapat lagi berkembanng biak. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin, neomisin. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar anti bakterinya meningkat

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi atas (Djide dan Sartini, 2008; Ganiswara 1995)

1. Antibakteri yang menghambat metabolisme sel bakteri

Bakteri membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.

Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar,

(29)

13

kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino benzoate (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Antibakteri bekerja memblok tahap metabolik spesifik bakteri, seperti sulfonamide, trimethoprim, PAS dan sulfon.

2. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel

Dinding sel bakteri teridiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida. Antibakteri golongan ini dapat menghambat sintesis atau menghambat aktivitas enzim yang berperan dalam pembentukan dinding sel mikrooganisme. Antibakteri yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosforin, vankomisin dan sikloserin.

3. Antibakteri yang menggangu keutuhan membran sel bakteri

Antibakteri secara langsung bekerja pada membran sel yang mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler yang berupa komponen penting dari dalam sel mikroorganisme yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida. Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin, kolistin, dan sebagainya.

4. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel bakteri

Dalam kelangsungan hidupnya, bakteri perlu mensintesis berbagai protein, dimana sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Antibakteri mempengaruhi fungsi ribosom pada mikroorganisme yang menyebabkan sintesa protein terhambat.

(30)

14

Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua sub unit yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S.

Antibakteri yang berinteraksi dengan ribosom 30S antara lain aminoglikosida dan tetrasiklin, sedangkan yang berinteraksi dengan ribosom 50S antara lain kloramfenikol, linkomisin, klindamisin dan eritromisin.

5. Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri

Dalam hal ini antibakteri mempengaruhi metabolisme asam nukleat.

Antibakteri kelompok ini bekerja dengan cara berikatan dengan enzim polymerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Sebagai contoh, kuinolon menghambat DNA girase dan rifampisin mengikat dan menghambat DNA-dependent RNA- polymerase yang ada pada bakteri.

II.4. Metabolit Mikroba

Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi 2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme primer yang terjadi dalam semua sel hampir semuanya memiliki kemiripan baik prosesnya maupun produk yang terjadi maupun fungsi biologisnya. Sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi.

(31)

15

Metabolit sekunder merupakan produk spesifik dari setiap spesies (atau hanya ditemukan dalam bagian kecil dari spesies dalam grup filogenik).

Tanpa senyawa ini maka organisme akan berakibat menderita karena kurang dapat mempertahankan diri namun demikian tidak menyebabkan kematian secara langsung, contohnya antifungi, antibakteri, antikolesterol, enzim inhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan melawan predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot dkk. 2002;

Luckner, 1990; Bennett dan Bentley, 1989 ).

Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang berlebih. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai. Metabolit sekunder dihasilkan melalui jalur biosintesis metabolit primer. Jalur biosintesis metabolit sekunder lebih spesifik untuk setiap famili atau genus mikroba dan berhubungan terhadap mekanisme evolusi suatu spesies (Dewick, 1997; Torssell, 1997).

Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer merupakan metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup, diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Metabolisme primer telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs, asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya

(32)

16

merupakan kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua mikroorganime (Ganiswara, 1995).

Semua mikroba yang memiliki sistem jalur metabolisme yang sama akan menghasilkan senyawa metabolit primer yang sama pula. Berbeda halnya dengan metabolit sekunder, metabolit ini bukan merupakan metabolit dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya tetapi mendukung kelangsungan hidup suatu spesies untuk tetap hidup (Bennett dan Bentley, 1989).

Metabolit sekunder tidak memiliki peran dalam proses kehidupan dasar.

Metabolit sekunder disintesis dari substrat yang dihasilkan oleh metabolit primer melalui lintasan metabolisme primer. Metabolit sekunder dalam tumbuhan biasanya dapat divisualisasi dari warna, bau, dan rasa yang dihasilkan dari senyawa kimia. Metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan obat, insektisida, pewangi dan lain-lain. Ada beberapa metabolit sekunder khususnya antibiotik yang dihasilkan dari jalur biosintesis ini seperti antibiotik β-laktam (misalnya penisilin dan sefalosporin), antibiotik aminoglikosid (streptomisin), steroid (gibberelin), makrolida (tetrasiklin), aktinomisin, dan anthramisin (Torssell, 1997).

II.5 Pertumbuhan Mikroorganisme

Pertumbuhan secara umum dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pertumbuhan sel bakteri biasanya mengikuti suatu pola pertumbuhan tertentu berupa kurva pertumbuhan sigmoid.

(33)

17

Apabila suatu mikroorganisme dimasukkan kedalam medium yang baru pada umumnya tidak akan segera membelah diri, tetapi akan memerlukan waktu untuk penyesuaian diri dalam medium tersebut. Pertumbuhan bankteri dalam suatu medium memiliki beberapa fase pertumbuhan sebagai berikut (Djide dan Sartini, 2008)

1. Fase permulaan

Pada fase ini mikroorganisme melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya yang baru. Sel-sel pada fase ini mulai membesar, tetapi belum melakukan pembelahan sel.

2. Fase pertumbuhan yang dipercepat

Pada fase ini mikroorganisme mulai melakukan pembelahan diri, tetapi waktu generasinya masih panjang.

3. Fase pertumbuhan logaritma (eksponensial)

Pada fase pertumbuhan ini kecepatan pertumbuhan paling cepat, waktu generasinya pendek dan konstan. Selama fase ini metabolisme paling cepat dan pesat sehingga sintesa bahan sel sangat cepat dan konstan. Keadaan tersebut berlangsung sampai salah satu atau beberapa nutrient habis atau telah terjadi penimbunan hasil-hasil metabolisme yang bersifat racun sehingga menyebabkan pertumbuhan terhambat.

4. Fase pertumbuhan mulai terhambat

Pada fase ini pertumbuhan mulai terhambat karena adanya pengurangan nutrient dan mulai terjadi penimbunan hasil-hasil

(34)

18

metabolisme yang bersifat racun, juga terjadi perubahan lingkungan seperti pH dan lain-lain. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik. Hal ini karena jumlah sel yang masih tumbuh lebih banyak daripada jumlah sel yang mati.

5. Fase Pertumbuhan tetap (Stasioner)

Pada fase ini jumlah sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase ini lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah habis. Pada fase ini sel-sel lebih tahan terhadap keadaan ekstrim seperti panas, dingin, radiasi dan bahan kimia.

6. Fase kematian yang dipercepat dan kematian logaritma

Pada fase ini kecepatan kematian meningkat terus menerus sedangkan kecepatan pembelahan menjadi nol.

II.6 Fermentasi

Fermentasi dalam dunia mikrobiologi industri digambarkan sebagai proses untuk mengubah bahan dasar mnjadi produk yang dikehendaki dalam kultur bakteri tertentu. Sistem fermentasi dapat dilakukan dengan 3 macam, yaitu (Djide, 2012) :

1. Sistem batch

Sistem ini merupakan sistem yang paling sederhana dan sering digunakan di laboratorium untuk mendapatkan produk sel atau metabolitnya. Fermentasi sistem batch adalah sistem tertutup, artinya semua nutrisi yang dibutuhkan bakteri selama pertumbuhan dan

(35)

19

pembentukan produk berada di dalam 1 fermentor. Jadi tidak ada penambahan bahan atau pengambilan hasil selama fermentasi berlangsung.

2. Sistem fed-batch

Sistem ini tidak tertutup seperti sistem batch. Selama fermentasi, substrat, nutrisi, atau induser dapat ditambahkan ke dalam fermentor.

Sistem fed-batch dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu sistem volume tetap dan sistem volume berubah. Sistem volume tetap berarti setiap ada penambahan medium baru ke dalam fermentor, ada medium lama, produk, atau sel yang dikeluarkan sebanyak medium baru yang dimasukkan fermentor, sedangkan sistem volume berubah berarti ke dalam fermentor ditambahkan medium baru tetapi tidak ada medium lama atau produk yang dikeluarkan dari dalam fermentor .

3. Sistem continuous

Sistem fermentasi ini biasanya digunakan dalam skala industri. Sistem continuous adalah sistem batch yang fase eksponensialnya diperpanjang, dengan tetap menjaga fluktuasi nutrisi dan jumah sel/biomassa. Bakteri diberi nutrisi/medium segar, sementara itu sejumlah sel atau medium dikeluarkan dari system batch dengan kecepatan yang sama. Hal ini menjamin tingkat kestabilan dari faktor- faktor seperti volume kultur, biomassa, konsentrasi produk dan substrat, pH, suhu, dan oksigen terlarut.

(36)

20

II. 7 Metode pengujian antimikroba

Pengujian antimikroba ada berbagai macam metode yang dapat digunakan. Metode yang paling sering digunakan adalah difusi dan dilusi.

Berikut akan diuaikan beberapa metode yang digunakan dalam pengujian animikroba, yaitu (Balouri dkk, 2016)

II.7.1 Metode difusi a. Metode difusi agar

Metode ini telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan merupakan metode resmi yang banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi klinis dalam menguji kepekaan antimikroba. Alat yang dapat digunakan pada metode ini yaitu pencadang atau disk. Prinsip metode ini yaitu agen antimikroba yang terdapat pada pencadang/disk akan berdifusi ke dalam media agar yang berisi mikroorganisme uji dan akan menghambat pertumbuhan mikroba yang ditandai dengan adanya zona hambat (bening).

Prosedur pengerjaan dalam metode ini yaitu dengan cara menginokulasikan mikroorganisme uji pada media agar. Kemudian, pencadang/disk (berdiameter kurang lebih 6 mm) yang mengandung senyawa antimikroba pada konsentrasi tertentu dimasukkan ke dalam media agar yang telah berisi mikroorganisme uji. Cawan petri tersebut kemudian diinkubasi pada kondisi yang sesuai.

Kelemahan metode ini yaitu tidak dapat membedakan efek bakterisida dan bakteriostatik serta tidak sesuai untuk mennetukan konsentrasi

(37)

21

hambat minimum karena, tidak diketahui secara pasti jumlah agen antimikroba yang berdifusi kedalam medium agar. Meskipun demikian, metode ini memiliki kelebihan seperti sederhana, murah dan mudah untuk mengintrepretasikan hasil yang diperoleh.

b. Metode gradient antimikroba (E-test)

Metode ini menggabungkan prinsip metode dilusi dan difusi dalam menentukan nilai konsentrasi hambat minimal (KHM). Hal ini didasarkan pada kemungkinan terbentuknya gradient konsentrasi zat antimikroba yang diuji pada media agar. Adapun prosedur kerja metode ini yaitu strip yang mengandung zat antimikroba dengan gradient konsentrasi meningkat dari satu ujung ke ujung lainnya dimasukkan ke dalam media agar yang telah berisi mikroba uji. Kemudian diinkubasi pada kondisi yang sesuai. Nilai KHM ditentukan pada bagian antar strip yang memiliki zona hambat paling kecil.

Metode ini dapat digunakan untuk penentuan nilai KHM antibiotik, antijamur, dan antibakteri. Selain itu, metode ini dapat mengetahui interaksi antara dua zat antimikroba seperti antibiotic. Sinergitas dari kombinasi terdeteksi oleh penurunan KHM setelah pengkombinasian zat antimikroba tersebut.

c. Metode kromatografi lapis tipis-Bioautografi

Metode ini menggabungkan Kromatografi Lapis tipis dengan deteksi biologis dan kimia. Beberapa penelitian telah menggunakan metode ini

(38)

22

untuk menentukan aktivitas antibakteri dan antifungi. Ada tiga metode bioautografi yang dapat digunakan yaitu sebagai berikut :

1. Metode kontak

Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan.

Prinsip dari metode ini sama dengan difusi agar yaitu zat antimikroba dari kromatogram berdifusi ke dalam media agar yang telah diinokulasikan dengan mikroorganisme uji. Setelah beberapa menit atau jam untuk memungkinkan difusi, kromatogram yang dimasukkan kedalam media agar kemudian dikeluarkan lalu diinkubasi. Zona hambat muncul pada tempat senyawa antimikroba kontak dengan media agar.

2. Metode bioautografi langsung

Metode ini juga banyak digunakan dalam pengujian antimikroba.

Prosedur pengerjaan metode ini yaitu dengan cara mencelupkan atau menyemprotkan kromatogram dengan suspense mikroba. Kemudian bioautogram diinkubasi pada suhu 25 0C selama 48 jam. Pertumbuhan mikroba dapat ditentukan dengan melihatnya secara visual. Visualisasi pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada indikator yaitu gram tetrazolium. Indikator ini disemprotkan ke bioautogram kemudian bioautgram diinkubasi lagi pada suhu 25 0C selama 24 jam atau pada suhu 37 0C selama 3-4 jam.

(39)

23

3. Metode bioautografi pencelupan

Metode pencelupan merupakan gabungan dari dua metode sebelumnya. Lempeng kromatogram ditutupi dengan media agar cair yang telah terdapat mikroorganisme uji. Kemudian ditempatkan pada suhu rendah selama beberapa jam sebelum inkubasi. Setelah inkubasi dengan kondisi yang sesuai, pewarnaan dapat dilakukan dengan menggunakan indikator tetrazolium untuk mendeteksi pertumbuhan mikroba.

d. Metode difusi lainnya

Metode difusi lainnya lebih umum digunakan dalam menentukan aktivitas antimikroba dari ektrak, hasil fraksinasi, dan zat murni. Metode yang dimkasud yaiyu difusi agar sumuran, Agar Plug Diffusion method and Cross Streak Method yang digunakan untuk menunjukkan antagonism yang tinggi antara mikroorganisme, serta Poisined Food Method yang digunakan untuk mengevaluasi efek antifungi terhadap pertumbuhan fungi.

II.7.2 Metode Dilusi

Metode dilusi merupakan metode yang paling tepat untuk penentuan konsentrasi hambat minimal (KHM) karena, konsentrasi zat antimikroba yang terdapat pada media padat (dilusi padat) dan cair (mikro dan makrodilusi) dapat diketahui. Dilusi cair dan dilusi padat dapat digunakan secara kuantitatif untuk mengukur aktivitas antimikroba. Nilai KHM yang didapatkan didefinisikan sebagai konsentrasi terendaah dari zat antimikroba yang

(40)

24

menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan biasanya dinyatakan dalam mg/L atau mg/mL.

II.8 Uraian Mikroba

II.8.1 Escherichia coli Divisi : Protophyta Kelas : Schyzomycetes Bangsa : Eubacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Escherichia coli termasuk dalam bakteri gram negaiif, berbentuk batang yang pendek dengan diameter 0,4-0,7 μm x 1,4 μm, mempunyai flagella peritrik yang digunakan sebagai alat unuk bergerak dan ada juga yang tidak nergerak. Bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif dapat memfermentasi lakosa dan menghasilkan gas. Bakteri ini biasa ditemukan disaluran pencernaan manusia maupun hewan vertebrata. Di alam bebas biasa terdapat dalam air, tanah, dan bahan organik. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah suhu 37 0C (Shabrina dan Bani, 2012).

II.8.2 Staphylococcus aureus

Divisi : Protophyta (schizophyta) Kelas : Schyzomycetes

(41)

25

Bangsa : Eubacteriales Famili : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakeri gram positif yang berbentuk bola dengan diameter 0,5 - 1,5 µm tidak mempunyai alat gerak dan tidak tahan asam. Bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu 37

0C. pada tubuh biasanya terdapat pada kulit, saluran pernafasan bagian atas, saluran air kemih, mulut, hidung, luka yang erinfeksi, selaput lendir dan tempat-tempat lainnya (Shabrina dan Bani, 2012).

(42)

26

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1 Penyiapan Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah Alat-alat gelas, Autoclav (All American model 25X-2®), Cawan petri (OneMed®), Freeze dryer (Scanvac®), Jangka sorong (Tricle Brand®), Inkubator (Memmert®), Laminar air flow (Envirco®), Lemari pendingin (Pannasonic®), Mikro pipet (FisherBrand®), Mikroskop Cahaya (Olympus CX 22LED®), Oven (Memmert®), Seperangkat alat KLT, Shaker (Gemmy Orbit Model : VRN-480®), Timbangan analitik (ACIS Model AD 6001®), Vortex .

III.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan Air steril, Cover glass, Etil asetat, Kertas Cakram, Metanol, media SNA (Starch nitrate agar), media SNB (Starch nitrate broth), media NA (Nutrient Agar), Isolat Actinomycetes, Biakan bakteri Eschercia coli dan Staphylococcus aureus, NaCl 0,9%, Silica gel GF254.

(43)

27

III.2 Metode Kerja

III.2.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dicuci dengan deterjen, kemudian dibilas dengan air dan dikeringkan. Alat-alat gelas disterilkan menggunakan oven pada suhu 180 0C selama 2 jam. Untuk alat-alat logam disterilkan dengan cara dipijarkan dengan menggunakan bunsen dan alat-alat yang terbuat dari karet dan plastik serta alat-alat ukur disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit

III.2.2 Pembuatan medium 1. Medium NA

Ditimbang medium NA sebanyak 2,3 gram masukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian dilarutkan dengan air steril 100 mL, diaduk, diatur pH sampai 7,0 selanjutnya didihkan dan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 1 jam dengan tekanan 2 atm.

2. Medium SNA

Ditimbang agar 20 g, Starch 20 g, KNO3 1 g, MgSO4 0,5 g, K2HPO4

0,5 g, NaCl 0,5 g, FeSO4 0,01 g kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer, dilarutkan dengan air steril 1000 mL, diaduk, diatur pH sampai 7,0 selanjutnya didihkan dan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 1 jam dengan tekanan 2 atm.

(44)

28

3. Medium SNB

Ditimbang agar 20 g, Starch 20 g, KNO3 1 g, MgSO4 0,5 g, K2HPO4

0,5 g, NaCl 0,5 g, FeSO4 0,01 g kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer, dilarutkan dengan air steril 1000 mL, diaduk, diatur pH sampai 7,0 selanjutnya didihkan dan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 1 jam dengan tekanan 2 atm.

III.2.3 Penyiapan Isolat Actinomycetes

III.2.3.1 Peremajaan isolat

Isolat yang diperoleh dari penelitian sebelumnya diremajakan dengan cara diinokulasikan ke dalam medium SNA (Starch Nitrate Agar) dan diinkubasi 10 x 24 jam pada 37 0C.

III.2.3.2 Fermentasi Isolat Actinomycetes

Isolat yang telah diremajakan dimasukkan ke dalam medium SNB dalam erlenmeyer 500 mL yang berisi 200 mL media fermentasi dan diinkubasi pada suhu kamar selama 17 hari dengan penggojogkan.

III.2.4.3 Ekstraksi

Setelah fermentasi selama 17 hari, media pertumbuhan mikroba disaring untuk memisahkan biomassa dan cairan fermentasi. Biomassa di ekstraksi pelarut metanol dengan metode maserasi sedangkan cairan fermentasi diekstraksi dengan pelarut etil asetat dalam corong pisah selama

(45)

29

20 menit. Ekstrak yang diperoleh diuapkan lalu disimpan pada deksikator untuk digunakan pada uji selanjutnya.

III.2.4 Penyiapan bakteri Uji

III.2.4.1 Peremajaan bakteri

Inokulasikan biakan segar (Staphylococcus aureus dan Eschercia coli) ke dalam 10 mL medium NA dalam tabung reaksi dengan cara digores pada agar miring, sebarkan secara merata dan diinkubasikan selama 1 x 24 jam pada suhu 37 0C.

III.2.4.2 Pembuatan suspensi Bakteri Uji

Bakteri uji yang telah diremajakan disuspensikan dengan larutan NaCl fisiologis 0,9% steril sebanyak 10 mL. Dengan kekeruhan standar Mc Farland 0,5 sebagai perbandingan visual dari kepadatan bakteri. Standar Mc Farland 0,5 dengan suspensi bakteri yang mengandung 1 X 10˄8 CFU/mL

III.2.5 Pengamatan Morfologi Mikroba

Uji secara morfologi dengan pengamatan menggunakan metode culture slide yaitu koloni dari kultur stok digores pada media SNA dan cover glass slip diletakkan pada media, kemudian diinkubasi pasa suhu 37 0C selama 1 minggu, pengamatan terhadap struktur, warna dan bentuk spora dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000 x (objektif 100x dan okuler 10x).

(46)

30

III.2.6 Uji Aktivitas Antibakteri

Medium Nutient Agar (NA) sebanyak 20 mL dituang ke dalam cawan petri dan disuspensikan 0,1 mL biakan bakteri uji, setelah medium setengah padat dimasukkan kertas cakram yang mengandung Amoxicillin sebagai kontrol positif, Etil asetat sebagai kontrol negatif, Esktrak etil asetat, Ekstrak air dan Ekstrak metanol di atas media inokulum. Semua cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C, diamati adanya aktivitas antibakteri yang ditandai oleh adanya zona hambatan pertumbuhan bakteri disekitar kertas cakram dan dilakukan pengukuran garis tengah daerah hambatan dengan menggunakan mistar garis (milli poor).

II.2.7 KLT dan Bioautografi

Ekstrak yang aktif ditotolkan pada beberapa plat KLT yang dikembangkan dengan campuran fase gerak Kloroform : Etil asetat (3:1).

Pembacaan kromatogram dilakukan dibawah sinar UV (254 nm dan 366 nm).

Kromatogram diletakkan dalam cawan petri yang telah berisi biakan bakteri S. Aureus dan E.coli. Bercak-bercak pada kromatogram ditempel kecawan petri yang berisi medium Nutrient Agar (NA), plat kromatogram kemudian dibiarkan menempel pada medium agar selama 30 menit di lemari pendingin.

Setelah 30 menit, plat kromatogram diangkat dengan hati-hati. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Setelah diinkubasi, dilakukan

(47)

31

pengamatan dengan melihat zona hambat yang terbentuk sebagai daerah yang terang dan tidak ditumbuhi bakteri.

Selanjutnya beberapa plat KLT yang lain diidentifikasi senyawa kimia dengan cara kromatogram disemprot dengan beberapa pereaksi semprot untuk menentukan jenis senyawa yang menghambat pertumbuhan bakteri uji.

(48)

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Peremajaan

Pada Penelitian ini dilakukan dengan meremajakan hasil isolat PG 3 dari Rhizosfer Centella asiatica yang telah diperoleh menggunakan medium SNA baru yang digores pada cawan petri dan diinkubasi pada suhu 37 0C. Hasil peremajaan menunjukkan penampakan koloni yang sama dengan koloni asalnya.

Gambar 3. Isolat Actinomycetes PG 3 yang ditumbuhkan pada medium SNA dan diinkubasi 10 hari. A, Tampak depan; B, Tampak belakang

Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa isolat PG 3 memiliki pertumbuhan yang sangat lebat pada hari ke-10 dengan warna miselium aerial/udara putih dan warna miselium substrat coklat kehitaman. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhanasekaran dan Jiang (2016), yang menyatakan bahwa miselium substrat dari Actinomycetes dapat memberikan Warna seperti putih atau hampir tidak berwarna hingga kuning, biru, ungu , coklat, merah, pink, oranye, hijau, hitam atau warna lainnya.

A B

(49)

33

Sedangkan Locci dan sharples (1984) mengatakan bahwa karakteristik miselium aerial lain dari Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, orange, lavender, biru, dan hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel”.

IV.2 Fermentasi dan Ekstraksi

Isolat yang telah diremajakan kemudian dilakukan fermentasi untuk memperoleh senyawa metabolit sekundernya. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan isolat murni yang telah diremajakan selama 10 hari. Dalam penelitian ini, fermentasi dilakukan dengan menggunakan media pertumbuhan Starch Nitrate Broth (SNB). Media pertumbuhan yang baik merupakan media yang mampu menyediakan sumber karbon dan mineral- mineral lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitasnya (Todar K, 2009). Penelitian ini menggunakan media SNB karena mempunyai kandungan karbon dan mineral. Sumber karbon media SNB berasal dari soluble starch yang mengandung sejumlah C yang beragam dari pati dan gliserol. Sumber nitrogen anorganik berasal dari KNO3, mineral-mineral yang berasal dari magnesium, natrium, besi, kalium yang merupakan komposisi dari media SNB (Ali A, 2009). Lama fermentasi didasarkan pada aktivitas dari cairan Fermentasi terhadap bakteri uji. Hasil peneletian cairan fermentasi menunjukkan pada hari ke 17 aktivitas yang besar terhadap bakteri uji sehingga dianggap telah mencapai fase stasioner. Fase stasioner merupakan

(50)

34

fase dimana jumlah sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati (Djide dan Sartini, 2008). Aktivitas pertumbuhan pada hari ke 17 dapat dilihat pada kurva penentuan fase stasioner (Gambar 4).

Gambar 4. Kurva penentuan fase stasioner berdasarkan lama fermentasi (hari) terhadap diameter zona hambatan (mm).

Selanjutnya hasil fermentasi hari ke 17 disaring, sehingga terpisah antara biomasssa dan supernatan. Biomassa yang diperoleh diekstraksi menggunakan metanol dengan metode maserasi sedangkan supernatant diekstraksi menggunakan etil asetat (1:1) yang diulang sebanyak 2 kali. Etil asetat digunakan karena merupakan pelarut yang semi polar, memiliki toksisitas rendah dan tidak bercampur dengan air. Selain itu, etil asetat sering digunakan sebagai pelarut karena etil asetat dapat menyari lebih banyak senyawa-senyawa metabolit sekunder yang dapat memberikan aktivitas antibakteri (Sulistyani dan Akbar, 2014). Pada tahap ekstraksi, cairan fermentasi : Etil asetat akan digojog, sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan etil asetat dan lapisan air. Kemudian ekstrak yang diperoleh diuapkan

0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15 20 25

Diameter Zona Hambatan (mm)

Lama Fermentasi (Hari)

(51)

35

dan ditimbang. Dari hasil medium produksi diperoleh bobot ekstrak etil asetat sebanya 76 mg, ekstrak air sebanyak 3450 mg sedangkan ekstrak metanol sebanyak 133 mg dari 1000 mL medium fermentasi. Ekstrak yang diperoleh tergolong sedikit dikarenakan tidak dilakukannya optimasi media yang digunakan untuk medium fermentasi. Optimasi medium fermentasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh media sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan isolat.

IV.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak

Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar dengan menggunakan paper disk berbentuk bulat dengan diameter 6 mm dan memiliki ketebalan 0,5 mm. Metode difusi agar memiliki beberapa kelebihan yaitu sederhana untuk dilakukan dan dapat digunakan untuk melihat sensitivitas berbagai jenis mikroba terhadap antibakteri pada konsentrasi tertentu (Zainuddin, 2006). Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1. Hasil Pengukuran rata-rata diameter zona hambat metabolit sekunder Actinomycetes terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus Escherichia coli

Kadar Ekstrak dalam paper disk

Ekstrak Daya hambat (mm)

E.coli S.aureus

2 mg Etil asetat 8.36 8.81

Metanol 9.13 8.71

Air 7.6 7.63

4 mg Etil asetat 10.8 12.01

(52)

36

Metanol 9.7 9.03

Air 7.75 7.89

Kontrol positif Amoxicillin 22.6 20.3

Gambar 5. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan kadar 2 mg

0 5 10 15 20 25

Etil asetat Metanol Air Amoxicillin

Zona hamabat (mm)

Kadar 2 mg

E.coli S.aureus

0 5 10 15 20 25

Etil asetat Metanol Air Amoxicillin

Zona hambat (mm)

Kadar 4 mg

E.coli S.aureus

(53)

37

Gambar 6. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan kadar 4 mg

Aktivitas antibakteri dari Ekstrak til asetat, Ekstrak metanol dan Ekstrak air menunjukkan adanya diameter hambatan terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus (gram positif) dan Escherichia coli (gram negatif) pada kadar 2 mg dan 4 mg yang dapat di kategorikan sebagai antibakteri spektrum luas karena mampu menghambat bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.

Menurut Davis dan Stout (1971), kriteria kekuatan daya antibakteri sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat (Sulistyani, 2006). Berdasarkan kriteria tersebut, pada kadar 2 mg Ekstrak etil asetat, Ekstrak metanol dan Ekstrak air memiliki aktivitas antibakteri sedang (5-10 mm) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli sedangkan pada kadar 4 mg ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri yang kuat (10-20 mm) terhadap bakteri Staphylococcus dan Escherichia coli, Ekstrak methanol dan Ekstrak air memiliki aktivitas antibakteri yang sedang terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Aktivitas penghambatan ekstrak etil asetat lebih besar dibandingkan dengan Ekstrak metanol dan Ekstrak air, hal ini terlihat jelas pada kadar 4 mg

(54)

38

(Tabel 1) yang ditandai dengan terbentuknya diameter zona hambat ekstrak etil asetat yang lebih besar dibandingkan ekstrak methanol dan ekstrak Air.

Perbedaan zona hambat yang terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan struktur dinding sel antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.

IV.4 Uji KLT-Bioautografi

Ekstrak aktif yang diperoleh dari uji aktivitas antibakteri kemudian di KLT-bioautografi. Pada pengujian KLT-bioautografi dilakukan metode bioautografi kontak karena lebih mudah, sederhana dan paling umum digunakan. Selain itu, dengan bioautografi kontak diperoleh proses perpindahan senyawa aktif ke dalam medium agar yang dapat menghasilkan zona hambatan lebih besar. Dibandingkan dengan metode bioautografi langsung dimana penyebaran bakteri pada lempeng sering tidak merata dan kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih besar, begitu pula dengan bioautografi pencelupan dimana zona hambatnya agar sukar diamati (Djide dan Sartini, 2009).

Hasil pengujian KLT-Bioautografi menunjukkan bahwa spot dengan nilai Rf 0,05; 0,62; 0,76 dan 0,95 (Gambar 7) memiliki aktivitas antibakteri.

Zona bening pada spot tersebut terbentuk karena pertumbuhan bakteri oleh noda aktif yang merupakan komponen kimia yang bersifat antibakteri, yang telah berdifusi dari kromatografi ke medium agar.

(55)

39

Gambar 7. Hasil uji KLT bioautografi pada bakteri Staphylococcus aureus

Analisis golongan senyawa dalam ekstrak etil asetat menggunakan KLT dengan melihat warna bercak yang timbul setelah diberi pereaksi semprot. Pereaksi semprot yang digunakan yaitu AlCl3, Vanilin-H2SO4, Anisaldehid-H2SO4 dan FeCl3. Deteksi senyawa flavonoid dengan menggunakan pereaksi AlCl3. Menurut Markham (1988) adanya flavonoid dapat ditunjukkan dengan adanya pemadaman bercak di bawah sinar UV 254 nm dan dengan pereaksi semprot AlCl3 akan terbentuk warna kuning.

Hal ini menunjukkan adanya senyawa yang mengandung paling sedikit 2 ikatan rangkap terkonjugasi atau adanya cincin aromatik (Kumalasari, 2011).

Ekstrak etil asetat memiliki kandungan senyawa flavonoid setelah diberi pereaksi AlCl3 kemudian diamati di bawah UV 366 nm menunjukan fluoresensi warna kuning pada Rf 0,05 dan 0,28 (Tabel 2 dan Gambar 8 E).

Rf = 0,76 (Polifenol)

Rf = 0,62 (Terpenoid)

Rf = 0,05 (Flavanoid) Rf = 0,95 (Terpenoid)

(56)

40

Pereaksi semprot Anisaldehid asam sulfat digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan Terpenoid. Menurut Stahl (1985) deteksi Terpenoid dilakukan dengan sinar UV 254 nm dan pereaksi semprot yaitu anisaldehid-asam sulfat. Bila terdapat senyawa terpen maka nampak bercak berwarna violet, biru, merah, abu-abu atu hijau. Perubahan tersebut disebabkan anisaldehid sulfat dapat mengubah ikatan C-C pada terpenoid menjadi ikatan rangkap C=C sehingga ikatan rangkap terkonjugasi menjadi lebih panjang (Maryati, 2004). Setelah KLT disemprot pereaksi dan diamati dibawah sinar tampak menunjukan adanya bercak warna Hijau, Ungu dan Abu-abu pada Rf 0,31; 0,34; 0,47; 0,62; 0,8 dan 0,9 (Tabel 2 dan Gambar 8 D). Ekstrak Etil asetat positif mengandung senyawa terpenoid. Pereaksi vanilin-H2SO4 digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan saponin.

Setelah plat KLT disemprot vanillin-H2SO4 dan diamati di sinar tampak, tampak bercak berwarna kuning coklat pada Rf 0,71 (Tabel 2 dan Gambar 8 G) sedangkan Menurut wagner (1996) Deteksi senyawa saponin menunjukkan bercak warna biru dan biru-ungu pada sinar tampak setelah diberi pereaksi semprot vanillin-H2SO4 sehingga pada ekstrak etil asetat tidak mengandung saponin (Kumalasari, 2011). Pereaksi FeCl3 dapat mengidentifikasi adanya senyawa polifenol/tannin. Menurut Robinson (1995) Bercak yang muncul setelah disemprot dengan menggunakan FeCl3

menunjukkan warna biru kehijauan, ungu, coklat atau hitam yang kuat dengan berlatar belakang kuning pada sinar tampak. Ini terjadi akibat reaksi

(57)

41

pembentukan kompleks antara gugus OH dari fenol dengan Fe pada pereaksi semprot FeCl3 (Kumalasari, 2011). Dari hasil identifikasi polifenol menggunakan KLT, terdapat bercak dengan nilai Rf pada 0,76 menunjukkan warna ungu (Tabel 2 dan Gambar 8 F).

Berdasarkan hasil skrining fitokimia dengan Analisis KLT, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki kandungan kimia golongan Polifenol, flavonoid, dan terpenoid. Senyawa - senyawa ini diduga memberikan kontribusi dalam aktivitas antimikroba. Hal ini bisa dijelaskan bahwa secara umum flavonoid merupakan senyawa polifenol. Polifenol sebagai agen antibakteri berfungsi sebagai toksin dalam protoplasma, menembus dan merusak dinding sel serta mengendapkan protein sel bakteri.

Polifenol dapat menyebabkan kerusakan pada sel bakteri, menginaktifkan enzim, denaturasi protein, dan menyebabkan kebocoran sel (Kumalasari, 2011). Selain flavonoid dan polifenol, kandungan terpenoid Ekstrak Etil Asetat juga memberikan kontribusi sebagai antibakteri diduga melibatkan kerusakan membrane oleh senyawa lipofilik. Terpenoid dapat bereaksi dengan porin pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin, mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri sehingga sel bakteri kekurangan nutrisi yang menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Bobbarala,2012)

Referensi

Dokumen terkait

Your firm has acted for this client since its incorporation 20 years ago and, in addition to the statutory audit, provides a range of non-audit services including tax planning

Napak tilas Diana dalam dunia kreatif telah membawa nama Indonesia ke kancah internasional, antara lain di Super Design Show 2018, pameran yang merupakan bagian dari perhelatan

After graduating from the Newman School in 1913, Fitzgerald decided to stay in New Jersey to continue his artistic development at Princeton University.. He firmly

dengan darah, cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lender pasien. dan benda yang terkontaminasi

Madrasah kami belum memiliki ruang perpustakaan dengan ukuran luas minimum sama dengan ruang kelas dan dilengkapi dengan sarana yang standar. Madrasah kami memiliki

untuk kelas 1-5 siswa Kepala Sekolah Waka Kurikulum Menyesuaikan Dinas Pendidikan 200.000 37 Ujian Akhir Semester Terlaksananya Ujian. Semester 2 untuk

bahwa: Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri

Kami yang bertanda tangan di bawah ini ini para ahli waris dari almarhum MUNIR.D dengan ini menyatakan yang sebenarnya dan sanggup di angkat sumpah bahwa almarhum MUNIR.D dan