• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK

PIDANA PERBANKAN DAN PEMALSUAN SURAT (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

RICARDO RAJAGUKGUK 140200417

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK

PIDANA PERBANKAN DAN PEMALSUAN SURAT (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst)

Ricardo Rajagukguk*) Syafruddin**) Edi Yunara***)

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) di Indonesia menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Sistem kerahasiaan bank dipegang ketentuan untuk melarang bank mengungkapkan data-data rekening dan berbagai personal dari para nasabahnya, pemalsuan surat yang menjadi predicate crime.Permasalahan dalam penelitian ini ketentuan hukum mengenai tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perbankan dan tindak pidana pemalsuan surat dalam perspektif hukum positif di Indonesia.Keterkaitan hukum dan sanksi pidana antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana perbankan serta tindak pidana pemalsuan surat. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime tindak pidana perbankan dan pemalsuan surat (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst).

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, penelitian ini bersumber pada studi kepustakaan yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan.

Perbuatan yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. UU No. UU No. 8 Tahun 2010 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. Tindak Pidana pencucian, dan tindak pidana perbankan serta pemalsuan surat memiliki hubungan atau keterkaitan yang sangat fundamental. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010. UU No. UU No. 8 Tahun 2010 tersebut dikenal satu istilah yang disebut dengan “tindak pidana asal” (predicate crime). Majelis Hakim menjatuhkan Pidana penjara kepada Terdakwa Sony Sulaiman dengan pidana penjara selama 12 (dua belas tahun) tahun dan pidana denda sebesar Rp.

10.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan 6 (enam) bulan penjara. Hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sesuai dengan tuntutan Penuntut Umum karena melihat semua fakta-fakta persidangan terbukti secara sah Terdakwa melanggar. Adapun unsur-unsur kesalahanpun sudah terpenuhi yakni, melakukan tindak pidana Artinya para pelaku terlebih dahulu melakukan suatu tindakan yang dilarang dan diancam dalam undang- undang. Mampu bertanggungjawab Artinya keadaan jiwa dari sipelaku harus normal sehingga sipelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan sengaja atau kealpaan

Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Pelaku, Tindak Pidana Pencucian Uang, Predicate Crime, Perbankan, Pemalsuan Surat.1

*) Ricardo Rajagukguk, Mahasiswa FH USU

**)Prof. Dr. Syafruddin, S.H., M.Hum

***)Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Predicate Crime Tindak Pidana Perbankan Dan Pemalsuan Surat (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst).” Maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Untuk itu penulis mengucapakan terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera UtaraMedan.

2. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H.,

M.Hum,S.H,M.Hum,selakuDekanFakultashukum Universitas SumateraUtara, sekaligus Dosen Pembimbing I penulis. Terima kasih banyak kepada Bapak atas arahan, bimbingan dan waktu yang diberikan pada penulis demi terciptanya penelitian yang baik oleh penulis.

3. Ibu Dr. Agusmidah, SH. M.Hum selakuWakilDekanIFakultashukum Universitas SumateraUtara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara.

5. Bapak Mohammad Ekaputra S.H.

M.Hum,selakuWakilDekanIIIFakultasHukum Universitas SumateraUtara

(5)

1. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum,selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum,selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.

3. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Kedua orang tua penulis Papa dan Mama tercinta yang dengan tulus, penuh kasih sayang dan kesabaran memberikan kepercayaan, dorongan semangat, dukungan materil dan doa yang tidak pernah putus sehingga dapat menyelesaikan studi.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuan yang diberikan, penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita semua, terima kasih.

Medan, Juni 2021 Penulis

RICARDO RAJAGUKGUK NIM. 140200417

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuandan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penelitian ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

1. Pertanggungjawaban Pidana ... 13

2. Pelaku Tindak Pidana ... 14

3. Tindak Pidana Pencucian Uang ... 15

4. Tindak Pidana Perbankan ... 17

5. Tindak Pidana Pemalsuan Surat ... 18

F. MetodePenelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB IIKETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang- Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 25 1. ... L

atar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 8

(7)

tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang. ... 25 2. ... T

indak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 30 a. ... L

atar Belakang Tindak Pidana Pencucian Uang di

Indonesia ... 30 b. ... U

ndang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang ... 33 c. ... U

ndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang ... 37 d. ... T

indak pidana lain yang berkaitan dengan

pencucian uang. ... 40 B. Pengaturan Tindak Pidana Perbankan dalam Undang-

Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. ... 42 C. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia ... 46 BAB IIIKETERKAITAN HUKUM DAN SANKSI PIDANA ANTARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN TINDAK

PIDANA PERBANKAN SERTA TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT

A. Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat sebagai

Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ... 49 B. Tahap-Tahap Tindak Pidana Pencucian Uang ... 51 C. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan 53 D. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang

Hasil Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat. ... 56 E. Keterkaitan Hukum Dan Sanksi Pidana Antara Tindak

Pidana Pencucian Uang Dengan Tindak Pidana Perbankan

(8)

serta Tindak Pidana Pemalsuan Surat ... 57 BAB IV .... PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN

PEMALSUAN SURAT (STUDI PUTUSAN NOMOR 43 /PID.SUS/2016/JKT-PST)

A. Kasus ... 60 1. ... K

ronologi ... 60 2. ... D

akwaan ... 64 3. ... T

untutan ... 65 4. ... F

akta hukum... 66 5. ... P

ertimbangan hakim ... 82 6. ... P

utusan. ... 99 B. Analisis putusanNo. 43/Pid.Sus/2016/Jkt-Pst ... 101 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA ... 107

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan, salah satunya sistem perbankan. Sistim perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antar negara yang dapat dilakukan dalam waktu singkat.2 Sistem keuangan ini ternyata di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, karena melalui sistem keuangan inilah para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar uang yang diperoleh dari kejahatan tersebut di atas masuk ke dalam sistem keuangan atau ke dalam sistem perbankan. Dengan demikian, asal uang tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para petugas hukum.3

Permasalahan ekonomi, menjadi faktor utama timbulnya kejahatan dibidang ekonomi. Apabila dibandingkan di zaman dahulu para pelaku kriminal dilakukan oleh orang-orang miskin dan pengangguran, akan tetapi di era globalisasi sekarang sebaliknya para pelaku kriminal dilakukan oleh golongan kelas elit, yang mendapat julukan “The white collar crime” atau kejahatan kerah putih selalu menarik perhatian masyarakat, karena para pelakunya cukup terkenal atau cukup terpandang. Dimana hasil kejahatan mereka yang berupa uang-uang

2 Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hlm 71

3 Raida L. Tobing, Penelitian Hukum Tentang Efektivitas Undang-Undang Money Laundering, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2009), hlm 1-2

(10)

Haram diproses dan direayasa dilembaga keuangan atau perbankan. Tindak kejahatan ini dikenal dengan isitlah kriminalitas money laundering.4

Beberapa sisi negatif terkait kemudahan dalam pelayanan di bidang perbankan, yaitu banyaknya froud yang dilakukan oleh pegawai bank dengan alasan pelayanan nasabah dan percepatan dalam proses pengajuan kredit, sisi negatif yang lain adalah Bank sebagai salah satu tempat yang rawan untuk pencucian uang. Alasannya, tahapan-tahapan kejahatan ini umumnya dilakukan melalui transaksi perbankan.5

Bentuk kejahatannya semakin canggih dan terorganisir, sehingga sangat sulit dideteksi oleh para penegak hukum. Para pelaku kejahatan pencucian uang selalu berusaha untuk menyelamatkan uang hasil kejahatannya dengan berbagai cara, dan salah satunya adalah melalui pencucian uang.6 Kejahatan pencucian uang merupakan suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.

Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga lembaga keuangan yang memiliki nilai teramat penting. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara. Namun karena pengaruhnya yang sangat besar maka tantangan terhadap dunia perbankan ini sangat riskan.

4 Budi Handoyo, Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Di Perbankan, Volume IX, No. 2, Juli - Desember 2017, hlm 204

5 Philips Darwin, Money Laundering, Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal Pencucian Uang. (Jakarta: Sinar Ilmu, 2012), hlm.97

6 Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Disertasi, (Jakarta: Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 45

(11)

Termasuk berbagai kejahatan yang dilakukan oleh bank, kemudian bank sebagai korban kejahatan, dan bank sebagai sarana antara keduanya.7

Seiring dengan kemajuan pembangunan di Indonesia dan perkembangan perekonomian dunia secara global, tuntutan kebutuhan masyarakat akan jasa perbankan semakin meningkat. Sektor perbankan berkembang pesat dan mempunyai peranan yang strategis. Perbankan sebagai lembaga perantara keuangan yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.8 Praktiknya dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, timbulnya ekses-ekses negatif berupa terjadinya suatu tindak pidana khusus yang dilakukan oleh oknum perbankan sendiri, nasabah atau pihak ketiga maupun kerja sama di antara keduanya mungkin saja terjadi.

Money laundering secara harfiah juga diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula dengan pembersihan uang dari hasil transaksi gelap. Kata money dalam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money atau illicit money. istilah money laundering Indonesia juga disebut secara beragam, berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.9

Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam rangka menunjang pelaksanaan peningkatan pemerataan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Fungsi strategis dari sektor perbankan tersebut sesuai

7Azharziv/https://draganhard1971.wordpress.com/2013/10/28/money-loundry-latar- belakang-sejarah-dan-cara-penanggulangannya-dari-sudut-hukum-nasional-dan-pidana-

internasional/#:~:text=Pada%20tahun%202002%2C%20pemerintah%20membuat,Juni%202001%

2C%20yang%20memasukkan%20Indonesia/diakses tanggal 21 April 2020.

8 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 7

9N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005) hlm, 5

(12)

dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU No. 10 Tahun 1998), yang menentukan bahwa perbankan di Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatkan kesejahteraan rakyat banyak.10

Kebijakan perbankan dalam menghimpun dana masyarakat maupun menyalurkannya untuk membiayai berbagai lini kegiatan tata kehidupan masyarakat perlu dikembangkan secara sehat. Langkah-langkah pemerintah guna menyehatkan perekonomian termasuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perkembangan nasional yang patut didukung. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan penegakan hukum pidana. Melalui instrumen pidana ini diharapkan dapat menangkal kejahatan perbankan nasional yang betujuan mengganggu kehidupan ekonomi dan sistem ekonomi bangsa.11

Kondisi objektif yang demikian itu, di satu sisi merupakan tantangan bagi peranan institusi perbankan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional, agar dapat berfungsi efisien, sehat, wajar, sehingga mampu menghadapi persaingan yang semakin bersifat global. Dengan ini, diharapkan perbankan nasional mampu melindungi dana yang dititip masyarakat ke bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 10 Tahun 1998 dalam penjelasan umumnya.12

10 Budiyono, Jurnal Dinamika Hukum, Peran Bank Indonesia Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan, Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011, hlm 113

11 Maikel Pieter Bukara, Jurnal Lex Crimen, Pemberantasan Tindak Pidana Perbankan Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Vol. V/No. 7/Sep/2016, hlm 150

12Ibid, hlm 150-151

(13)

Peranan perbankan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam pembangunan ekonomi, hal tersebut tidak terlepas dari berbagai tindakan yang dapat merugikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya tindak pidana perbankan.13 Para pelaku kejahatan biasanya terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan cara demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.

Apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan dengan menawarkan mekanisme lalu lintas dana dalam skala nasional maupun internasional dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Keadaan demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari hasil illegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada umumnya perbuatan demikian merupakan dana dari hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang beberapa tahun belakang ini mendapatkan perhatian ekstra dari dunia internasional, karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas- batas negara.14

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) di Indonesia menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, pemutihan uang, pendulangan uang atau bisa juga pembersihan uang dari hasil transaksi illegal. Langkah demi

13 Budiyono, Loc.Cit.

14 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2008) hlm.1

(14)

langkah terus dilakukan pemerintah dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 yang disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 dan saat ini diubah menjadi UU No. 8 tahun 2010. Dibentuknya Undang-undang Pencucian Uang, merupakan sebuah bentuk komitmen dan political will negara Indonesia untuk memerangi permasalahan pencucian uang.15

Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri, karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).16

Kegiatan kriminal khususnya kejahatan money laundering dapat dikatakan sebagai ancaman eksternal terhadap bank. Cara terbaik bagi bank untuk melindungi diri dari ancaman kejahatan tersebut dengan berupaya memahami dan mengenal sebaik mungkin setiap nasabahnya berikut kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh nasabahnya yang berhubungan dengan aktivitas rekeningnya.17 Cara ini akan menjadi perisai utama bagi bank untuk mencegah agar bank jangan sampai dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan yang berkedok sebagai nasabah untuk menjalankan kegiatan pencucian uang.18

Money laundering merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa, dan negara, dan pada gilirannya, sifat money

15Beni Kurnia Illahi, Jurnal UBELAJ, Pengaturan Perampasan Harta Kekayaan Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia, Volume 2 Number 2, October 2017, hlm 186

16Ibid, hlm 182

17 Sutan Remy Sjahdeini, Peranan Lembaga Keuangan Dalam Pemberansan Pencucian Uang Dimasa Mendatang, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm.10

18 Ali Said Kasim, Penerapan Sistem Know Your Customer Principle Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), hlm.32.

(15)

laundering menjadi universal dan menembus batas-batas yurisdiksi negara sehingga masalahnya bukan saja bersifat nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional. Praktik money laundering dapat dilakukan oleh seseorang tanpa harus misalnya ia bepergian ke luar negeri. Hal ini dapat dicapai dengan kemajuan teknologi melalui informasi system internet, dimana pembayaran melalui bank secara elektronik dapat dilakukan. Begitu pula seseorang pelaku money laundering dapat mendepositokan uang kotor kepada suatu bank tanpa mencantumkan identitasnya.19

Sistem kerahasiaan bank dipegang ketentuan untuk melarang bank mengungkapkan data-data rekening dan berbagai personal dari para nasabahnya, karena sistem ini dalam praktiknya banyak ditunggangi oleh para pencuci uang maka Financial Action Task Force (FATF) dan International Monetery Fund (IMF) mendesak supaya supaya system kerahasiaan Bank ini tidak diterapkan secara ketat. Dalam pertemuan Menteri-menteri Keuangan Uni Eropa tahun 2000 lalu, juga meminta supaya para negara anggotanya meniadakan ketentuan rahasia bank itu.20

Dampak yang ditimbulkan oleh money laundering atau tindak pidana pencucian uang dapat menganggu stabilitas sistem keuangan dan sistem perekonomian suatu negara. Bahkan mengingat money laundering juga merupakan kejahatan trans-nasional yang modusnya banyak dilakukan melintasi

19 Sjahdeini, S.R. Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang&Pembiayaan Terorisme.

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), hlm 5

20 NHT. Siahaan, Pencucian Uang &Kejahatan Perbankan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm 24

(16)

batas-batas negara, maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan.21

Tindak pidana dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Pemalsuan surat yang menjadi predicate crime. Mengingat praktek penyamaran uang kotor dalam proses pencucian uang sangat canggih, maka telah disediakan landasan hukum untuk menerapkan pengalihan beban pembuktian secara mutlak dalam Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, yang intinya tindak pidana asal atau predicate crime tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.22

Tindak pidana pencucian uang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda (double crimes).23 Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 UU TPPU yang menyebutkan 25 jenis kejahatan dan juga seluruh kejahatan yang diancam pidana 4 tahun ke atas

Berkenaan dengan permasalahan di atas, terdapat satu putusan yang menarik untuk dikaji dan dianalisis, putusan tersebut adalah putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst Terdakwa Sony Sulaiman Sidarta bersama-sama dengan saksi Sidarta Catur Putra Candi Negara (Terdakwa dalam perkara terpisah), sekitar bulan Februari 2014 s/d April 2015 di Jakarta bertempat di Bank Permata, Tbk cabang Plasa Permata Thamrin Jakarta Jl. Jenderal Sudirman kav. 57 Jakarta 12190, Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menempatkan,

21 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 132

22 Artidjo Alkostar. Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Hubungannya Dengan Predicate Crimes. 42 No. 1 Januari 2013, hlm 83

23 Yenti Garnasih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 1

(17)

mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pencucian uang.24

Terdakwa Sony Sulaiman melakukan perbuatan merekrut nasabah untuk menjadi nasabah simpanan Deposito Bank Permata melalui Saksi Sidarta, yang kemudian dananya digunakan Terdakwa Sony Sulaiman dengan tanpa seizin nasabah, kemudian atas arahan Terdakwa Sony Sulaiman, Saksi Sidarta menawarkan kepada nasabah berupa Time Deposit (TD) atau deposito berjangka Bank Permata dengan bunga sebesar sesuai dengan ketentuan Bank Permata dan Cash Back yang berbeda setiap nasabah kisaran 1-2,5 persen akan diberikan paling lambat 14 hari setelah penempatan para dana nasabah di Bank Permata. Setelah para nasabah setuju dengan produk yang ditawarkan, kemudian para nasabah mengisi formulir pembukaan rekening secara kurang lengkap. Terhadap pengisian formulir yang belum lengkap tersebut selanjutnya dilengkapi oleh Terdakwa Sony Sulaiman dengan mengisi alamat surat menyurat dan No telpon nasabah yang sudah dimodifikasi atau disesuaikan dengan keinginan Terdakwa Sony Sulaiman. Terdakwa Sony Sulaiman sengaja merekrut nasabah Bank HSBC untuk jadi nasabah Bank Permata karena Terdakwa Sony Sulaiman sudah mengenal Para nasabah tersebut di HSBC. 25

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dilakukan penelitian lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan judul Pertanggungjawaban

24 Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst, hlm 20-21

25Ibid, hlm 22

(18)

Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Predicate Crime Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst).

B. Perumusan Masalah

Setelah menyimak latar belakang yang telah dipaparkan di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, antara lain

1. Bagaimana ketentuan hukum mengenai tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perbankan dan tindak pidana pemalsuan surat dalam perspektif hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana keterkaitan hukum dan sanksi pidana antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana perbankan serta tindak pidana pemalsuan surat?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime tindak pidana perbankan dan pemalsuan surat (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti memiliki tujuan sebagai suatu sasaran yang ingin dicapai, adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perbankan dan tindak pidana pemalsuan surat dalam perspektif hukum positif di Indonesia.

(19)

b. Untuk mengetahui keterkaitan hukum dan sanksi pidana antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana perbankan serta tindak pidana pemalsuan surat.

c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime tindak pidana perbankan dan pemalsuan surat (Studi Putusan Nomor 43 /Pid.Sus/2016/Jkt-Pst).

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu:

a. Manfaat teoritis yaitu bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu hukum dan memberikan sumbangan pemikiran dalam memperbanyak referensi ilmu hukum khususnya terkait tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana perbankan serta tindak pidana pemalsuan surat.

b. Manfaat praktis yaitu bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana perbankan serta tindak pidana pemalsuan surat.

D. Keaslian Kepustakaan

Penelusuan telah dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik secara fisik maupun secara online, tidak ditemukan judul tersebut di atas, namun ada beberapa penelitian sebelumnya melakukan penelitian tentang tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana perbankan serta tindak pidana pemalsuan surat, antara lain :

(20)

Widya Lusidawati Silaban. Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2011), dengan judul penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Tindak Pidana di Bidang Perbankan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini

1. Pengaturan tindak pidana di bidang perbankan dalam peraturan perbankan dan peraturan lainnya di Indonesia.

2. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap nasabah dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perbankan.

Raja Sibayak D Purba Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2011), dengan judul penelitian Penegakan Hukum Terhadap WNA Yang Masuk/atau Berada Di Wilayah Indonesia Yang Tidak Memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa Yang Sah dan Masih Berlaku (Analisis Putusan Nomor:34/Pid.SUS/2018/PN-Mdn). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Pengaturan hukum terhadap WNA yang masuk dan berada di Wilayah Indonesia.

2. Pertanggungjawaban pidana terhadap WNA yang masuk/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah.

3. Penerapan hukum terhadap WNA yang masuk/atau berada di wilayah Indonesia yang tidak memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku (Analisis Putusan Nomor: 34/ Pid.SUS/2018/PN-Mdn).

Agus Muliadi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar (2016), dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pencucian Uang Yang

(21)

Berasal dari Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus Nomor:

48/Pid.Sus/2013/ PN.Mks). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Penerapan Hukum pidana materiil dalam tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi pada Putusan No.48/ Pid. Sus/

2013/PN.Mks.

2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan dalam tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi pada Putusan No.48/Pid.Sus/2013/PN.Mks.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi selain itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, tenyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).26 Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Asas kesalahan dalam bahasa Belanda berbunyi geen straf zonder schuld artinya tidak ada pidana tanpa kesalahan. Dengan demikian, seseorang baru dapat dipidana kalau pada orang tersebut terdapat kesalahan. Tidak adil kalau orang yang tidak mempunyai kesalahan terhadapnya dijatuhi pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa asas kesalahan merupakan asas yang sangat fundamental dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap si pembuat yang bersalah melakukan tindak pidana.27

26 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 2015), hlm. 37

27 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 85.

(22)

Pada prinsipnya tidak ada seorangpun yang tidak berlaku baginya ketentuan pidana yang terdapat dalam hukum pidana, maksudnya siapa saja yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan atas tindak pidana yang telah dilakukannya, kecuali jika pada orang tersebut tidak terdapat kesalahan. Chairul Huda mengatakan bahwa kesalahan dan pertanggungjawaban pidana merupakan lembaga yang terdapat dalam hukum pidana, baik yang terdapat dalam teori hukum pidana, maupun dalam penegakan hukum pidana. 28

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.29

2. Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana (dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Seperti yang terdapat

28 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2002), hlm 1.

29 Nawawi Arief, Barda, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 23

(23)

dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana.

1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

3. Tindak Pidana Pencucian Uang

Money laundering hadir dengan paradigma baru yang menggeser pardigma lama follow the suspect tapi lebih kepada mengejar hasil tindak pidananya (follow the money) yang dinilai lebih efektif dalam pemulihan keuangan negara yang telah dirugikan bertubi-tubi oleh dua puluh lima jenis tindak pidana utama (core crime) yang berujung kepada tindak pidana pencucian uang selaku tindak pidana lanjutannya melalui mekanisme pembuktiannya.30

Money laundering secara harfiah juga diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula dengan pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (legitimazing illegigitimate income). Kata money dalam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money dan illicit money. Istilah Indonesia juga di sebut secara beragam, berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.31

Pencucian uang (money laundering) tidak memiliki defenisi yang universal, karena baik negara-egara maju maupun negara-negara dari dunia ketiga,

30 Beni Kurnia Illahi, Op.Cit, hlm 201

31 N.H.T. Siahaan. Op.Cit, hlm. 5.

(24)

masing-masing mempunyai defenisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan “pencucian uang”.32

Tindak pidana pencucian uang adalah tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan menggunakan metode yang canggih, kreatif dan kompleks, atau tindak pidana pencucian uang sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.33 Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”34

Pencucian uang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang dihasilkan dari tindak pidana yang tujuannya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dari penegak hukum dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga nantinya menjadi uang yang halal.35

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian berasal dari tindak pidana asal karena objek yang dicuci dari tindak pidana pencucian uang adalah harta hasil dari tindak pidana asal sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010. Jika terdapat tindak pidana

32 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 15

33 Azis Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus. (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), hlm. 19

34 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 17

35 Sjahdeini, S.R. Op.Cit,hlm 5

(25)

pencucian uang yang tidak dibuktikan tindak pidana asalanya hal tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang.

4. Tindak Pidana Perbankan

Pemakaian istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan belum ada kesamaan pendapat. Apabila ditinjau dari segi yuridis tidak satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan pengertian tentang tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan.36Pasal 1 ayat (1) UU No.10 Tahun 1998 menentukan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya diancam hukuman pidana berdasarkan Undang-Undang. Unsur dari tindak pidana adalah subjek (pelaku) dan wujud perbuatan baik yang bersifat positif yaitu melakukan suatu perbuatan, maupun negatif yaitu tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukan.37 Tindak pidana perbankan pada dasarnya merupakan perbuatan melawan hukum dilakukan, baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan, sehingga menimbulkan keruguian metriil dan atau immateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya. 38

Tindak pidana di bidang perbankan menurut UU No. 10 Tahun 1998.

Tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank

36 Nelson Tampubolon, Pahami dan Hindari, Tindak Pidana Perbankan, (Jakarta:

Otoritas Jasa Keuangan, 2018), hlm 6

37 Nelson Tampubolon, Loc.Cit

38 Anwar Salim, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 2001), hlm 14

(26)

sebagai sarana (crime against the bank).39Tindak pidana perbankan melibatkan dana masyarakat yang disimpan di bank, oleh karenanya tindak pidana perbankan merugikan kepentingan berbagai pihak, baik bank itu sendiri selaku badan usaha maupun nasabah penyimpan dana, sistem perbankan, otoritas perbankan, pemerintah dan masyarakat luas.40

5. Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Pemalsuan surat menurut KUHPidana diatur dalam Bab XII, Buku II tentang Kejahatan. Perbuatan pemalsuan surat tersebut merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur dimasyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat karenanya perbuatan pemalsuan surat dapat mengancam bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.41

Adami Chazawi mengemukakan bahwa tindak pemalsuan surat adalah berupa kejahatan yang di dalam mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu atas sesuatu, yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.42

Perbuatan pemalsuan dapat dikategorikan pertama-tama dalam kelompok kejahatan penipuan, tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan.

Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang

39 Hermansyah, Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 149

40 Nelson Tampubolon, Op.Cit, hlm 10

41 Eko Adi Susanto, Pertanggungjawaban Pidana Yang Memakai Surat Palsu Ditinjau Dari Pasal 263 Ayat (2) KUHP, Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret 2018, hlm 3

42 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1 Stesel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm 3

(27)

memberikan gambaran tentang suatu keadaan atas sesuatu barang seakan-akan itu asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain menjadi terpedaya dan mempercayai bahwan keadaan yang digambarkan atas barang (surat) tersebut adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap tulisan terjadi apabila isinya atas surat itu yang tidak benar digambarkan benar.43

Jenis tindak pidana asal secara limitatif diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan narkoba atau tindak pidana lain yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.44

F. Metode Penulisan 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Metode penelitian normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.45 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan doktrin yang berkaitan dengan penelitian.46

2. Sifat penelitian

43 Eko Adi Susanto, Loc,Cit.

44 Barda Nawawi Arief., Kapita selekta hukum pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm 44

45Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hlm, 57.

46Mukti Fajar Achamd dan Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 34.

(28)

Sifat penelitian dalan penulisan skripsi ini penelitian deskripstif analisis, yaitu penelitian bersifat pemaparan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau peristiwa hukum yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.47

3. Sumber data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat berupa pendapat para ahli, jurnal ilmiah, surat kabar dan berita internet.

3. Bahan hukum tersier, yautu bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.48

47 Soerjono Soekanto, PengantarPenelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2010), hlm. 9.

48Ibid, hlm. 157-158

(29)

4. Teknik pengumpulan data

Teknik penelitian hukum normatif atau kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersierdan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan maupun sekarang banyak dilakukan bahan hukum tersebut dengan melalui media internet.

5. Analisa data

Penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan cara mesistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarati membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.49

Setelah keseluruhan data terkumpul dan diolah secara sistematis, maka selanjutnya diadakan suatu analisis secara kualitatif yaitu analisis yang tidak menggunakan model statistik dan ekonometrik atau model-model tertentu lainnya.

Analisis ini terbatas pada teknik pengolahan datanya.50 Analisis melalui pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia, atau polapola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh pola-poa yang berlaku.51 Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan

49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 251-252

50Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:

Ghalia IKAPI, 2002), hlm. 89

51 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 21

(30)

yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.52

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan ini dibuat dalam 5 (lima) bab gunanya mempermudah dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu ditentukan sistematika penulisan yang baik.Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang. Rumusan Masalah. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Keaslian Kepustakaan. Tinjauan Kepustakaan.

Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II KETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG, TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN

TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA.

Bab ini berisikan pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdiri atas latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan

52Lexy J. Moleong, Metodologi Penulisan Kualitatf, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 248

(31)

Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdiri dari tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan pencucian uang. Penyidikan Tindak Pidana Perbankan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia

BAB III KETERKAITAN HUKUM DAN SANKSI PIDANA ANTARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN TINDAK

PIDANA PERBANKAN SERTA TINDAK PIDANA

PEMALSUAN SURAT

Bab ini menguraikan tentang Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat.Tahap-tahap tindak pidana pencucian uang, penyidikan dan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN PEMALSUAN SURAT (STUDI PUTUSAN NOMOR 43 /PID.SUS/2016/JKT-PST)

Bab ini membahas kasus yang terdiri dari kronologi, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hakim dan putusan. Analisis putusan No. 43/Pid.Sus/2016/PN-Mdn.

(32)

BAB V PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dari serangkaian pembahasan skripsi berdasarkan analisis yag telah dilakukan serta saran-saran untuk disampaikan kepada objek penelitian atau bagi penelitian selanjutnya

(33)

BAB II

KETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIANUANG, TINDAK PIDANA PERBANKAN

DAN TINDAK PIDANAPEMALSUAN SURAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian

1. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Sampai tahun 2014 Indonesia sendiri sudah melakukan tiga kali perubahan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Terakhir adalah UU No. 8 tahun 2010.

Undang-Undang inilah yang berlaku sampai saat ini. Bila dilacak sejarahnya, semangat pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dimulai pada 1988 ketika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara. Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Kemudian pada 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan- perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri.53

Lewat peraturan ini bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your- Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia

53 Supriyadi, dkk, Mengurai Implementasi dan Tantangan Anti-Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm 10

(34)

Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.54

Istilah money laundering sebenarnya belum lama digunakan dimana untuk pertama kalinya dipakai oleh surat kabar dalam memberitakan skandal Watergate yang melibatkan Presiden Nixon di Amerika Serikat pada tahun 1973. Istilah hukum untuk pertama kalinya tahun 1982 dipakai dalam perkara US vs

$4,255,625.39. (1982) 551 F Supp 314. Sejak tahun itulah menurut Billy Steel istilah ini dipakai secara resmi di seluruh dunia. Sebagai istilah hukum, yang dipersoalkan dalam money loundering yaitu legalitas dari sumber uang, pendapatan atau kekayaan yang berasal dari aktivitas/kegiatan illegal. Money loundering dapat dinyatakan sebagai suatu cara atau proses untuk mengubah uang yang sebenarnya dihasilkan dari kegiatan illegal menjadi seolah-olah berasal dari hasil kegiatan yang halal.55

Setelah dilakukannya review yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), pada bulan Juni tahun 2001 untuk pertama kalinya Indonesia termasuk dalam Non-Coorperative Countries and Territories (NCCTs). Predikat sebagai NCCTs ini diberikan kepada negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerjasama dalam melakukan upaya global untuk memerangi kejahatan pencucian uang.

Predikat tersebut menempel pada Indonesia sampai dengan 2005.56

54 Ibid

55 Mas Ahmad Yani. E-Journal Widya Yustisia. Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013, hlm 21

56 Widiyanto, Mengurai Implementasi dan Tantangan Anti-Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm 15

(35)

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998. Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya. Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun penerapannya kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi pencucian uang. Antara lain karena menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, korupsi yang merajalela, maraknya kejahatan narkotik, dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian Indonesia dalam keadaan yang tidak baik, sehingga ada kecenderungan akan menerima dana dari mana pun untuk keperluan pemulihan ekonomi.57

Keberadaan Indonesia berada pada daftar NCCT’s dari Financial Actions Task Force on Money Laundering. Bahwa setiap transaksi dengan perorangan maupun badan hukum yang berasal dari negara NCCT‟s harus dilakukan dengan penelitian seksama. Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan mengesahkan UU No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional, akhirnya membuahkan hasil. Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s setelah dilakukan formal monitoring selama satu tahun.58

57 Nurmalawaty. Jurnal Equality. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dan Upaya Pencegahannya, Vol.11 No.1 Februari 2006, Medan, USU, 2006, hlm. 2

58Ibid

(36)

Langkah awal yang dilakukannya Indonesia dimulai sejak April 2002 dengan disahkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan pokok-pokok pemikiran:

a. Secara tegas Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan sebagai suatu tindak pidana/ kejahatan;

b. Mendirikan PPATK sebagai focal point d dengan tugas pokok mengkoordinasikan langkah-langkah pemberantasan kejahatan pencucian uang;

c. Kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan batasan-batasan Rp. 500.000.000,- dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepasda PPATK dalam jangka waktu 14 hari;

d. Pengecualian pelaksanaan kerahasiaan bank dalam rangka penerapan UU TPPU.59

Pemerintah Indonesia mengamandemen UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi UU No. 25 Tahun 2003. Alasan perubahan Undang-Undang tersebut, karena untuk menyesuaikan perkembangan hukum pidana khususnya tindak pidana pencucian uang, yang sebagaimana dikutip oleh Harmadi mengatakan, bahwa dalam UU No. 25 Tahun 2003 ini disebutkan mengapa UU No. 15 tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana pencucian uang dan standar internasional, yaitu agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dapat berjalan secara efektif.60

59Widiyanto, Op..Cit., hlm 17

60 Harmadi, Kejahatan Pencucian Uang, Modus-modus pencucian uang di Indonesia (Money Laundring), (Malang: Setara Press, Malang, 2011), hlm.1

(37)

Berdasarkan adanya penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Namun demikian, upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbedabeda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.61

Berdasarkan hal tersebut, maka disusun UU No. 8 tahun 2010 sebagai pengganti UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2010, antara lain: (1) redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang, (2) penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang, (3) pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative, (4) pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (5) perluasan pihak pelapor, (6) penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya, (7) penataan mengenai pengawasan kepatuhan, (8) pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi, (9) perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan

61 Mas Ahmad Yani, Op.Cit, hlm 20

(38)

uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean, (10) pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang, (11) perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, (12) penataan kembali kelembagaan PPATK, (13) penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi, (14) penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan (15) pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.62

Tindak pidana pencucian uang merupakan hasil tindak pidana yang berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan beberapa tindak pidana lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya termasuk di dalamnya korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime). Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri, karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).63

2. Tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Latar belakang pencucian uang di Indonesia

Asal muasal money laundry dilakukan oleh organisasi kriminal yang sering dikenal dengan sebutan mafia. Money laundry biasanya dilakukan atas

62Ibid, hlm 20-21

63 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 182

(39)

beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak, dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus

“dicuci” atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterima kembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal.64

Hasil kejahatan pada tahun 1980-an uang semakin berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran rupiah, karenanya kemudian muncul istilah “narco dollar” yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik.65 Indonesia lebih mengenal mengenai “pencucian uang” sejak dimasukkannya Indonesia untuk pertama kali dalam NCCTs pada tahun 2001 oleh FATF, bersama 14 negara lainnya, yang pada akhirnya mendorong otoritas moneter dan hukum di Indonesia untuk segera bereaksi positif.66

Upaya pemberantasan pencucian uang (money laudering) di Indonesia berawal dari bulan Juni 2001. Indonesia pada bulan Juni 2001 untuk pertama kalinya dimasukkan ke dalam NCCTs. Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering. “Vonis” FATF kepada Indonesia itu didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu belum adanya peraturan perundang- undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana, loopholes dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-

64Azharziva, Loc.Cit.

65 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 1

66 Edi Waluyo, Jurnal Dinamika Hukum, Upaya Memerangi Tindakan Pencucian Uang (Money Laundring) Di Indonesia, Vol. 9 No. 3 September 2009, hlm 240

(40)

bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang.67

Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dibuktikan dengan dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002, namun pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Sebagaimana disebutkan diatas Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang dikategorikan sebagai NCTTs Adapun ancaman sanksi yang diberikan oleh FATF diantaranya adalah Bank-bank internasional akan memutuskan hubungan dengan bank-bank Indonesia, Negara-negara lain akan menolak Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh Indonesia dan lembaga- lembaga keuangan Indonesia akan dikenakan biaya tinggi (risk premium) terhadap setiap transaksi yang dilakukan dengan lembagalembaga keuangan luar negeri.68

Indonesia dalam keikutsertaannya pada kegiatan internasional ini dianggap tidak serius makanya masuk daftar hitam tersebut. UU No. 15 Tahun 2002 yang diterbitkan dimaksudkan untuk mengikuti keinginan negara internasional dianggap banyak kelemahannya. Setiap tahun FATF mengevaluasinya tidak saja kepada anggotanya berdasarkan kepatuhannya terhadap kebijakan yang digariskan untuk memerangi kegiatan pencucian uang, tetapi juga kepada negara berkembang (termasuk Indonesia) yang bukan negara anggota yang telah memperoleh label NCCT dari TATF.69

67 Yunushusein.files.wordpress.com, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia, diakses tanggal 2 April 2020

68 Hibnu Nugroho, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Upaya Penarikan Asset, Vol. 16 No. 1, Maret 2016, hlm 4

69 Soewarsono, Jurnal Legaslasi Indonesia, Peran Kejaksaan Dalam Melawan Praktek Pencucian UangVol. 1 No. 3 - November 2004, hlm 58

Referensi

Dokumen terkait

Ketersediaan terabyte informasi yang lahir dari revolusi digital 4.0 membuat semua orang dapat mengakses ilmu pengetahuan tanpa dibatasi ruang dan waktu, karena

(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Pacitan. embina Utama Muda ^

Tujuan menciptakan sistem perencanaan pembangunan yang terpadu, dengan sasaran terciptanya sistem perencanaan yg terintegrasi antar daerah, antar ruang, antar waktu,

Setelah mengalami proses pembelajaran dengan metode HOTS peserta didik diharapkan dapat memahami pengetahuan tentang prinsip perancangan, pembuatan, penyajian, dan pengemasan hasil

Melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi yaitu pasca sarjana untuk mendapatkan gelar magister (S-2). Tujuan PPAk adalah untuk menghasilkan akuntan professional dengan

Hasil evaluasi kuantitas penggunaan antibiotik pada pengobatan pasien demam tifoid di Instalasi rawat inap RSUD Kraton Pekalongan tahun 2019 yaitu antibiotik yang sering

Analisis deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka

Hal ini berarti bahwa likuiditas (CR), leverage (DER) dan ukuran perusahaan (Total Aktiva) tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu penyajian