• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORIENTASI POLITIK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA KOTA PONTIANAK DALAM PENGUATAN KOMITMEN KEBANGSAAN : Studi Kasus di Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak Kalimantan Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ORIENTASI POLITIK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA KOTA PONTIANAK DALAM PENGUATAN KOMITMEN KEBANGSAAN : Studi Kasus di Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak Kalimantan Barat."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN TENTANG KEASLIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA-KASIH ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR………. ….……. xvi

DAFTAR DIAGRAM……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keterbatasan Penelitian………. 14

F. Defisini Konseptual……… .. 14

G. Metodelogi Penelitian ... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 23

A. Orientasi Politik ... 23

1. Pengertian Orientasi Politik ... 23

2. Konsep Politik………. 28

a. Klasik………. 29

(2)

xii

c. Kekuasaan... 32

d. Fungsionalisme……….. 33

e. Konflik……… ... 34

3. Aktor Politik ... 37

4. Konsep Pendidikan Kewarganegaraan dalam Politik ... 40

5. Hubunga Budaya Politik dengan Demokrasi………... 43

B. Masyarakat ………... ... 45

1. Kehidupan Masyarakat Sebagai Sistem Sosial dan Sistem Budaya……….. .. 45

2. Masyarakat dalam Budaya……….... 53

3. Partisipasi Masyarakat Sebagai Pilar Good Governance dalam Pembangunan……… . 60

c. Sejarah Kedatangan Imigran Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat ... 74

d. Penggunaan Istilah Cina dan Tionghoa………. 86

e. Pemikiran Politik Minoritas Entis Tionghoa di Indonesia.. ... 88

f. Partisipasi Politik Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. ... 98

D. Komitmen Kebangsaan ... 102

1. Pengertian dan Sejarah Kebangsaan-Nasionalisme…….. ... 102

2. Kebangsaan-Nasionalisme dalam Perspektif Global dan Lokal……….. 119

3. Komitmen Kebangsaan-Nasionalisme Etnis Tionghoa… ... 123

4. Karakteristik Kebangsaan-Nasionalisme... 137

5. Pembentukkan Kebangsaan-Nasionalisme ... 140

6. Kebangsaan-Nasionalisme dalam Benturan Peradaban ... 144

F. Komunikasi Politik ... 150

1. Pengertian Komunikasi Politik ... 150

2. Aktor: Komunikator Politik……… . 152

3. Proses Komunikasi Politik………. . 153

4. Saluran Komunikasi Politik………. 153

5. Pengertian Media Massa……….. 153

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN... 155

(3)

xiii

2. Transferability (Keteralihan) ... 182

3. Dependability (Keterkaitan) ... 183

4. Confirmability (Penegasan) ... 184

a. Survey Pendahuluan……… 184

b. Menyusun Rancangan Penelitian……… 184

c. Pengurusan Ijin Penelitian……….. 185

G. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian di Lapangan... 185

1. Tahap Orientasi ... 185

2. Tahap Eksplorasi ... 186

3. Tahap Member-Check ... 186

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 188

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian……….. 188

1. Sejarah Singkat Kota Pontianak……… 188

2. Gambaran Wilayah Kota Pontianak……… 189

3. Perdagangan……… .... 190

4. Gamaran Umum Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak Kalimantan Barat………. 191

B. Diskripsi Hasil Penelitian………... 198

1. Orientasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam Penguatan Komitmen Kebangsaan……… 198

2. Strategi Masyarakat Etnis Tionghoa dalam Melakukan Aktivitas Politik di Kota Pontianak……….. 215

3. Peran Aktor Masyarakat Etnis Tionghoa dalam Melakukan Aktivitas Politik……… 222

4. Faktor Apakah yang Mendorong Tumbuh dan Meluasnya Tingkat Orientasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam Penguatan Komitmen Kebangsaan………. 235

C. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 243

1. Orientasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam Penguatan Komitmen Kebangsaan….. 243

2. Strategi Masyarakat Etnis Tionghoa dalam Melakukan Aktivitas Politik di Kota Pontianak……….. 256

(4)

xiv

4. Faktor Apakah yang Mendorong Tumbuh Meluasnya Tingkat Orientasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam Penguatan

Komitmen Kebangsaan……….. 282

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……… 288

A. Kesimpulan Umum……… 288

B. Kesimpulan Khusus………... 290

C. Rekomendasi ………... ... 295

DAFTAR PUSTAKA ... 298

(5)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Simbol-Simbol Klarifikasi Dimensi Orientasi

Politik Masyarakat Etnis Tionghoa……… 213 Tabel 1.2 Orientasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak

Dalam Penguatan Komitmen Kebangsaan………. 214 Tabel 1.3 Strategi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak

Dalam Melakukan Aktivitas Politik………... 221 Tabel 1.4 Peran Aktor Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Kota

Pontianak dalam Melakukan aktivitas politik……… 234 Tabel 1.5 Faktor yang Mendorong Tumbuh dan Meluasnya Tingkat

Orientasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam Pennguatan Komitmen Kebangsaan………. 241

Tabel 1.6 Perbedaan Demokrasi Formal-Prosedural dan Substantif

Berkualitas (Almond Dan Verba, 1990)………. 272 Tabel 1.7 Norma Dan Prilaku Aktor Yang Menghambat Proses

(6)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Komponen-Komponen Analisis Data

(Miles dan Humberman, 1992)... 179 Gambar 1.2 Komunikasi Dengan Pemilihan Instrumen Exsternal

(Rainer Adam.2002) ………. 263 Gambar 1.3 Komunikasi dengan Pemilihan Instrumen Internal

(Rainer Adam, 2002) ………. 263 Gambar 1.4 Gambar Siklus Representasi Wakil Rakyat

(7)

xvii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1.1 Kebudayaan di Tinjau dari Sudut Struktur

Dan Tingkatnya (Jacobus Ranjabar, 2006)………. ... 56 Diagram 1.2 Kebudayaan, Kepribadian, dan Prilaku

(Jacobus Ranjabar, 2006)……….. 58 Diagram 1.3 Hubungan Empat Pokok Pikiran

Filsafat Pancasila Sebagai Ideologi Negara

(8)

(Studi Kasus di Masyarakat Etnis Tionghoa Kota Pontianak Kalimantan Barat)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun Oleh : DADA SUHAIDA

NIM. 0808777

SEKOLAH PASCASARJANA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kehidupan manusia didalam bermasyarakat memiliki peranan penting dalam

sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai mahluk sosial

senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya menunjukkan

kebutuhan hidupnya. Setiap warga negara dalam kesehariannya hampir selalu

bersentuhan dengan aspek-aspek politik baik yang bersimbol maupun tidak.

Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar

warga negara dengan pemerintah, dan intusi-intusi di luar pemerintahan (non-formal),

dan telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan

pengetahuan tentang praktek-praktek perilaku politik dalam semua sistem politik.

Aristoteles 384-322 SM mengatakan bahwa “man is by nature a political animal”,

atau yang lazim disebut dengan zoon politicon. Aristoteles mengatakan bahwa

manusia itu makhluk sosial tidak hanya bermaksud menegaskan ide tentang kewajiban

manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya, melainkan ide tentang makhluk sosial

terutama bermaksud menunjuk langsung pada kesempurnaan identitas dan jati diri manusia.

Mengapa demikian? sosialitas adalah kodrat manusia. Manusia tidak bisa hidup sendirian.

(10)

kecenderungan untuk hidup dalam kebersamaan dengan yang lain untuk belajar hidup

sebagai manusia.

Sebagaimana Almond dan Verba (2009:16), mendifinisikan budaya politik

sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan

aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam

sistem itu. Dengan kata lain bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju

tujuan di antara bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan bahwa warga negara

senantiasa mengindentifikasi diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga

kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.

Berkaitan dengan hal diatas dapat diartikan setiap berbicara budaya politik

maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik, hal-hal yang di orientasikan

dalam sistem politik, yaitu setiap komponen yang terdiri dari

komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki

orientasi yang berbeda terhadap sistem politik dengan melihat fokus yang di

orientasikan, apakah dalam tatanan struktur politik struktur dari fungsi politik atau

gabungan dari keduanya. Contohnya orientasi politik terhadap lembaga politik,

politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya. Dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara keanekaragaman memerlukan suatu perekat agar bangsa

yang bersangkutan dapat bersatu guna memelihara keutuhan negerinnya.

Suatu bangsa dalam menyelengarakan kehidupannya tidak terlepas dari

pengaruh lingkungannya, yang didasarkan atas hubungan timbal balik atau

(11)

kondisi sosial masyarakat, budaya, dan tradisi, keadaan alam dan wilayah serta

pengalaman sejarahnya.

Semenjak berabad-abad lalu, etnis Tionghoa berada di Indonesia dengan jumlah

yang cukup besar. Tetapi, karena persoalan menyangkut etnis masih dianggap peka,

sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnis di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke

dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Perhitungan jumlah etnik Tionghoa ditaksir

berdasarkan sensus tahun 1930. Pada waktu itu, jumlah etnik Tionghoa hanya 1,2

juta, kira-kira 2,03% penduduk Indonesia. Menurut pendapat lain, jumlah etnik

Tionghoa di antara 2,5% dan 3% atau bahkan lebih besar, yaitu berkisar antara 4-5%.

Sensus 2000 tidak memberikan jumlah etnik Tionghoa yang lengkap.

Hasil perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86%. Jika

ditambah dengan etnik Tionghoa asing, jumlahnya kira-kira 1,8 juta, yaitu 0,91%.

Tetapi menurut perhitungan berdasarkan sensus 2000, jumlah penduduk Tionghoa

Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing (WNI dan WNA) kira-kira 3 juta

orang, yaitu sekitar 1,5% (Suryadinata, Arifin, dan Ananta 2003). Jumlahnya lebih

besar daripada sensus 1930, namun angka dalam persen lebih rendah dibandingkan

sensus 1930. Menurunnya persentasi etnik Tionghoa mungkin disebabkan oleh tiga

faktor utama: angka kelahiran yang menurun, imigrasi ke luar negeri akibat gejolak

politik dan sosial, dan kebijakan asimilasi selama orde baru. Faktor yang terakhir ini

ada hubungannya dengan tema khusus Antropologi Indonesia kali ini, yaitu kebijakan

(12)

Leo Suryadinata membahas kebijakan pemerintah Indonesia menyangkut

persoalan etnis Tionghoa dari masa ke masa, terutama masa orde baru dengan proyek

kebijakan asimilasi dan masa pasca rezim pemerintahan Presiden Soeharto.

Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa

(termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnik Tionghoa dan

pemberedelan mass media Tionghoa) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnis

Tionghoa. Dalam keadaan demikian, sejumlah orang Tionghoa telah dibaur dan tidak

merasa sebagai Tionghoa lagi. Leo menegaskan bahwa kelompok etnis Tionghoa

tidak lenyap dan jumlahnya masih sangat besar di Indonesia. Dengan berubahnya

kebijakan pemerintah menjadi lebih akomodatif, kebangkitan identitas diri etnik

Tionghoa bukan hal yang tidak mungkin.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2002, tentang Penetapan Tahun

Baru Imlek, tahun baru Imlek telah di akui sebagai salah satu hari besar nasional.

Bahkan sejak pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid, warga Tionghoa

memperoleh hak-hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya, disamping

itu semakin pudarnya tabu perbedaan suku, ras dan agama.

Di dalam ruang demokrasi yang ada sekarang ini masih ada persoalan yang

dirasakan masyarakat etnis Tionghoa, salah satunya yang penting adalah keterlibatan

mereka di kancah politik. Beredar berbagai hipotesis tentang bentuk partisipasi politik

kelompok masyarakat ini setelah selama zaman kepemimpinan Presiden Soeharto

dipaksa agar selalu menjauhi politik, ada yang berpendapat bahwa etnis Tionghoa di

(13)

bergerak di bidang bisnis dan perdagangan, tetap ingin memihak ke partai besar dan

yang sedang berkuasa, yaitu Partai Golongan Karya dan Partai Demokrat Indonesia

Perjuangan, sementara pendapat lain mengatakan etnis Tionghoa memilih partai yang

terbuka yang menjanjikan keberagaman. Ada juga keinginan sebagian etnis Tionghoa di

Indonesia untuk membangun kekuatan politik sendiri atau partai politik sendiri, tetapi ada

juga yang menganggap mereka apatis terhadap politik, keapatisan ini di buktikan bahwa di

dalam lingkungan administrasi pemerintahan masih terdapat pemberlakuan diskriminatif

terhadap komunitas warga negara Indonesia (WNI) Tionghoa/Cina, dalam kenyataannya

memang pemerintah Kota tidak memberlakukan Surat Bukti Kewarganegaraan

Republik Indonesia (SKBRI), namun masih banyak oknum yang mencari keuntungan

dari hal itu. (Jawa Pos, 16/06/04).

Berkaitan dengan uraian di atas, jika selama pemilihan umum 1999,

komunitas etnis Tionghoa masih tampak malu-malu dan agak canggung dalam

berpolitik, namun di dalam pemilu 2004 partispasi politik komunitas Tionghoa

terlihat semakin dinamis dan asertif. Sebutan “ekonomi” dan “apolitis” adalah dua

stigma populer yang sudah melekat bagi etnis Tionghoa, persepsi mayoritas elite

politik Indonesia tampaknya masih berkutat di situ, karena menilai partisipasi warga

etnis Tionghoa sebatas keuntungan ekonomis saja. Persepsi ini adalah buah dari

asumsi yang tidak mendasar bahwa komunitas warga etnis Tionghoa yang hanya 2%

dari populasi menguasai 70% perekonomian nasional. Citra kekuatan ekonomi

komunitas etnis Tionghoa memang sudah ada sejauh sejarah kolonial, tetapi label 2%

(14)

melanda Indonesia, dikarenakan tendensi bombastis sejumlah jurnalis masa lalu yang

salah mengutip penelitian Michael Backman (1995), tentang kapitalisasi pasar 300

konglomerat Indonesia. Backman menemukan 73% total kapitalisasi pasar dimiliki

oleh warga etnis Tionghoa. Akan tetapi kapitalisme bukan perekonomian nasional,

kapitalisasi pasar tidak mengikutsertakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),

perusahaan asing dan multinasional, serta aspek lainnya yang berkontribusi lebih

besar untuk perhitungan perekonomian nasional (Aditjondro, 2000).

Berkaitan dengan hal di atas tersebut, beberapa publikasi media sepanjang

pemilu eksekutif dan legislatif telah mencatat beberapa perkembangan. Selama

pemilu, dimana sejumlah media mencatat setidaknya 150 calon legeslatif Tionghoa,

meskipun pada akhirnya hanya sebagian kecil yang berhasil mendapatkan kursi. Di

berbagai daerah muncul berbagai kreasi partisipasi politik yang dulu terasa minim

sekali, mulai dari peningkatan keanggotaan Partai politik, inisiatif debat/diskusi

politik oleh asosiasi Tionghoa, kampanye partai politik, sampai sosialisasi proses

pemilu. Di lihat selama kampanye pemilihan Presiden, terlihat kemunculan perbagai

represintasi etnis Tionghoa baik untuk bersilahturahmi kepada Presiden Megawati

Soekarno Putri maupun Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Tim sukses calon Presiden-pun bergerak dengan dinamika yang berbeda,

tetapi relatif lebih asertif ketimbang masa-masa pemilu sebelumnya, penyelengaraan

diskusi publikpun meningkat intensitasnya. Bagi mereka yang merasa partisipasi

(15)

jumlah mungkin memiliki makna yang cukup besar bagi perhitungan suara pemilu,

tetapi memang kecil bagi proses demokratisasi secara komprehensif.

Terlepas dari kekurangan yang ada, perkembangan hingga pemilu 2004 cukup

sesuai dengan harapan. Mayoritas warga masyarakat etnis Tionghoa akan memilih

kandidat yang menjamin tidak ada atau lebih sedikit diskriminasi dan stabilitas

ekonomi, agak sempit memang tetapi bisa dimengerti mengingat rekonstruksi

mindset apolitis selama tiga dekade orde baru. Namun setelah runtuhnya rezim orde

baru lebih dari enam tahun reformasi, argumen tersebut lama-lama akan luntur.

Nantinya komunitas Tionghoa tidak lagi bisa bersembunyi dibalik argumen tersebut.

Roda demokratisasi di Indonesia sedang berputar, pilihan harus dibuat dan tindakan

harus diambil untuk memaknai eksistensi warga etnis Tionghoa di Indonesia.

Sejak reformasi politik digulirkan pada tahun 1998, sistem politik Indonesia

telah membuka ruang bagi seluruh warga negara Indonesia untuk ikut serta dalam

berpolitik, termasuk bagi warga negara keturunan etnis Tionghoa. Lahirnya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008, tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan

Etnis adalah merupakan pencerminan dari komitmen pemerintah untuk memberikan

perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan didalam hukum pada semua warga

negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis. Negara menyadari bahwa

memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan

pada ras dan etnis, mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan,

(16)

kesastraan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, tindakan

diskriminasi berdasarkan atas ras dan etnis menunjukkan kebencian atau rasa benci

kepada orang karena perbedaan ras dan etnis. Padahal ras dan etnis itu bersifat given

(memberi), yaitu suatu pemberian rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan tidak

ada satupun makhluk yang dapat meminta atau memilih.

Kini negara tidak lagi mau lengah dan terhayut dalam trauma sejarah yang

telah memberlakukan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan atas ras dan

etnis. Sudah saatnya perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan

diskriminatif berdasarkan atas ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah serta masyarakat, dan melibatkan partisipasi seluruh warga

negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi warga etnis Tionghoa, perubahan atmosfir politik dari otoritarian ke

demokrasi yang memberikan kebebasan kepada warga negara untuk mengekspresikan

gagasan, hak, dan kepentingan politik melalui kebijakan yang bersifat otoritatif yaitu

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008,

merupakan suatu berkah yang patut disyukuri, diperjuangan serta dipertahankan.

Untuk itu perlu ada benteng yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam bidang politik

dan Pemerintahan. Inilah saatnya untuk melibatkan diri dalam aktivitas politik mulai

dari ranah lokal maupun nasional, melalui sarana partai politik dan pemilihan umum

untuk menunjukkan rasa komitmen kebangsaan yang tinggi sebagai warga negara

(17)

Orientasi politik dan kesadaran berbangsa warga negara etnis Tionghoa

secara perlahan semakin berkembang, tidak hanya dalam hal pengurusan identitas

kewarganegaraan yang sifatnya pasif tetapi juga dalam bidang pemerintahan,

khususnya keterlibatan dalam partai politik. Sebelumnya dimasa pemerintahan orde

baru, bagi warga negara keturunan etnis Tionghoa tidak tersedia ruang untuk

berpartisipasi dalam politik. Apalagi pada masa itu, pengakuan terhadap

kewarganegaraan merekapun masih setengah hati dengan pemberlakuan Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) yang cukup ketat oleh pemerintah.

Orientasi politik warga negara etnis Tionghoa terhadap politik cenderung

apatis, karena “pengakuan” terhadap eksistensi mereka sebagai warga negara

Indonesia masih belum jelas. Di sisi lain, warga etnis Tionghoa sebelum bergulirnya

reformasi cenderung takut (underpressure) apabila melibatkan diri dalam berpolitik

karena keterkaitan sejarah hubungan RRC dan RI saat ideologi komunis berkembang

di Indonesia. Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak adalah daerah yang

populasi etnis Tionghoa cukup besar atau urutan kedua setelah etnis melayu yang

merupakan etnis asli Kota Pontianak. Selama ini aktivitas warga etnis Tionghoa lebih

fokus pada kegiatan perdagangan (ekonomi). Hampir semua sektor perdagangan di

Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak boleh dikatakan “dikuasai” oleh

warga etnis Tionghoa. Namun kini, sejak pemilu legislatif Tahun 2004 dan Tahun

2009 ini, kesadaran warga negara etnis Tionghoa dalam kegiatan politik semakin

meningkat, seiring dengan dihapuskannya kebijakan tentang status kewarganegaraan

(18)

Warga negara etnis Tionghoa mengetahui dan menyadari bahwa

pengekanggan terhadap kebebasan menentukan haluan politik (political right) adalah

sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Di sisi haluan orientasi terhadap

kebangsaan adalah suatu kewajiban sekaligus hak yang tidak dapat dibatasi oleh

agama, geografis, status sosial, status ekonomi, ideologi politik, dan etnisitas.

Di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrachman Wahid dan dilanjutkan

oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, warga negara etnis Tionghoa semakin

mendapatkan perhatian dari negara yang menyebabkan mereka semakin “percaya diri”

bahwa tidak ada lagi diskriminasi dalam hal hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Sebagai pembuktian dari kepercayaan diri warga negara etnis Tionghoa tersebut,

dalam beberapa kali pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah dan

wakil daerah provinsi dan kabupaten/kota, selalu saja ada kompetitor dari kalangan

etnis Tionghoa. Bahkan di antaranya ada yang berhasil sebagai pemenang, seperti

Walikota Singkawang, Wakil Gubernur Kalimantan Barat, dan Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah ( DPRD) Kota Pontianak.

Data dari Sekretariat DPRD Kota Pontianak menunjukkan bahwa hasil

pemilu 2004 terdapat 4 (empat) orang warga etnis Tionghoa yang terpilih sebagai

anggota DPRD Kota Pontianak yang berasal dari etnis Tionghoa. Pada pemilu2009

meningkat menjadi 8 (delapan) orang yang berasal dari partai politik yang berbeda.

Tentu bukan tanpa alasan, keterlibatan dan partisipasi warga negara etnis Tionghoa di

bidang pemerintahan, khususnya aktivitas mereka dalam suatu partai politik yang

(19)

Dari sisi ilmu kewarganegaraan, tentunya aktivitas mereka dalam kancah politik di

ranah lokal, antara lain disebabkan perubahan orientasi politik dalam penguatan

komitmen kebangsaan yang semakin meningkat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan

pemahaman wawasan kebangsaan bagi setiap warga negara, di mana masalah negara

dan wawasan kebangsaan adalah masalah visi, misi, dan tujuan, sebab tanpa

ketiganya tidak ada bangsa yang sanggup bertahan dan menjadi bangsa besar di muka

bumi ini.

Berangkat dari perkembangan kesadaran politik warga masyarakat etnis

Tionghoa yang cukup tinggi sebagaimana dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk

meneliti tentang orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam

penguatan komitmen kebangsaan, khususnya di Kota Pontianak.

B. Rumusan Masalah

Beranjak dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi masalah umu

penelitian yakni: Bagaimana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa dalam

penguatan komitmen kebangsaan secara rinci? Bedasarkan masalah penelitian di atas

tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak

dalam penguatan komitmen kebangsaan?

2. Bagaimana strategi masyarakat etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas

(20)

3. Bagaimana peran aktor politik masyarakat etnis Tionghoa dalam melakukan

aktivitas politik di Kota Pontianak?

4. Faktor apakah yang mendorong tumbuh dan meluasnya tingkat orientasi

politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam penguatan

komitmen kebangsaan?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran dan

melakukan pengkajian, menggali, menganalisis tentang bagaimana orientasi politik

etnis Tionghoa dalam penguatan komitmen kebangsaan. Secara khusus penelitian ini

untuk mengetahui tentang :

1. Orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam

penguatan komitmen kebangsaan.

2. Strategi warga etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik di Kota

Pontianak.

3. Peran aktor politik warga etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik di

Kota Pontianak.

4. Faktor yang mendorong tumbuh dan meluasnya tingkat orientasi politik

masyarakat etnis Tionghoa dalam penguatan komitmen kebangsaan di Kota

(21)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat baik secara

keilmuan (teoritik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik penelitian ini

akan mengkaji sejauh mana tingkat orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota

Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan. Dari temuan penelitian ini di

harapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana

diuraikan sebagai berikut:

1. Para akademis atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang pendidikan

kewarganegaraan sebagai bahan kontribusi ke arah sejauh mana keterlibatan

warga negara etnis Tionghoa pada orientasi politik etnis Tionghoa dalam

penguatan komitmen kebangsaan di Kota Pontianak Kalimantan Barat

khususnya.

2. Bagi warga negara etnis Tionghoa hendaknya lebih memanfatkan

sebaik-baiknya kesempatan yang telah diberikan oleh pemerintah untuk terlibat

dalam kegiatan politik khususnya di Kota Pontianak Kalimatan Barat.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pemerintah

maupun partai politik agar senantiasa memberikan pendidikan politik khususnya

kepada pemilih pemula sehingga perilaku politik dari pemilih pemula didasarkan

(22)

E. Keterbatasan Penelitian

Sebagaimana hasil laporan penelitian studi kasus yang dilakukan masih ada

sisi kekurangan dan kelemahannya, oleh karena itu perlu penelitian selanjutnya, baik

oleh peneliti sendiri maupun peneliti lainnya.

F. Difinisi Konseptual

Dalam judul penelitian ini, terdapat beberapa lima konsep utama yakni; pendidikan

kewarganegraan, orientasi politik, masyarakat, aktor politik, nasionalisme-kebangsaan.

1. Pendidikan Kewarganegraan

Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) adalah pendidikan yang

memfokuskan pada pembentukan sikap, perilaku, dan moral tentang beragam segi

kehidupan warga negara meliputi segi agama, sosio-kultural bahasa, suku, bangsa serta

wawasan nasional dan kebangsaan agar setiap orang dapat menjadi warga negara yang

cerdas, terampil, dan berkarater sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Depdiknas, 2003:7).

2. Orientasi Politik

Orientasi politik adalah persepsi, pola sikap, dan budaya politik seseorang atau

kelompok masyarakat terhadap berbagai masalah politik dan pristiwa politik serta

pembentukkan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan.

(23)

penolakkan, serta penilaian terhadap obyek kekuasaan aturan dan wewenang dalam sistem

politik dan Pemerintahan yang sedang berlangsung.

Politik itu sendiri bisa dikatakan cerdik, dan bijakasana yang dalam pembicaraan

sehari-hari kita seakan-akan mengartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk

mewujudkan tujuan (Syafie dan Azhari 2009:6). Sementara itu Almod dan Verba

(2009:16), mendifinisikan orientasi politik juga dapat dikatakan sebagai budaya politik

dimana sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan

aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam

sistem itu.

Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju politik

di antara masyarakat itu bangsa itu, mereka menyatakan bahwa warga negara senantiasa

mengindentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan

berdasarkan orientasi yang mereka miliki, dengan orientasi itu pula mereka memiliki serta

mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Selanjutnya menurut

Almod. (1966:16), budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik

di antara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni:

a. Orientasi kognitif, meliputi aspek pengetahuan, dan keyakinan

b. Orientasi afektif, meliputi aspek perasaan terkait, keterlibatan, penolakkan, dan sejenisnya tentang obyek politik

c. Orientasi evaluasi, meliputi aspek penilaian dan opini tentang objek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.

Dari beberapa komponen di atas dapat diartikan orientasi individu terhadap

(24)

akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya, dan masalah-masalah

dari kebijakan nya. Inilah yang di sebut dimensi kognitif.

Namun mereka mungkin memiliki alinasi atau penolakkan terhadap sistem. Bisa

saja faktor keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Atau mungkin saja ia

tidak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang disebut dimensi afketif.

Akhirnya mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Barangkali norma-norma

etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme. Dimensi-dimensi ini

saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara, inilah yang disebut

dimensi evaluasi.

3. Masyarakat

Menelaah kehidupan masyarakat sebagai sistem sosial dan sistem budaya, maka

terlebih dahulu kita perlu mengkaji pengertian masyarakat dan budaya agar dapat

memperoleh suatu gambaran awal. Dalam sehari-hari, orang tidak mungkin tidak

berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat, mempergunakan, bahkan

terkadang merusak kebudayaan. Masyarakat adalah orang atau manusia yang hidup

bersama yang menghasilkan kebudayaan, keduanya tak dapat pisahkan dan selamanya

merupakan dwitunggal, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan

sebaliknya, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya

walaupun secara teoritis dan kepentingan analistis pengertian kedua istilah tersebut dapat

dibedakan dan dipelajari secara terpisah (Jacobus Ranjabar, 200:6). Pertanyaan yang tepat

(25)

masyarakat petani, masyarakat agama, dan sebagainya. Kata masyarakat juga

dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kumpulan

individu atau sebagai penjumlahan dari individu-idividu semata. Masyarakat merupakan

suatu pergaulan hidup. Definisi masyarakat (society), misalnya seperti berikut ini: Mac Iver

dan Page (dalam Jacobus Ranjabar, 2006:10) yang mengatakan bahwa masyarakat ialah

suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan penggolongan, dari

pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Pemerintahan yang kuat

adalah pemerintahan mampu menjalankan tugasnya untuk mengorganisasikan dan

mengintegrasikan kegiatan rakyatnya dan golongan-golongan ke arah tercapainya

tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Sebagaimana dikatakan Laski dalam Miriam Budiarjo

(2005), masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan berkerja sama

untuk mencapai keinginan-keinginan mereka bersama (a society is a group of human

beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants).

Oleh karena itu dibutuhkan hubungan yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat agar

tujuan- tujuan dari pembangunan bisa tercapai. Hubungan tersebut dapat dijalankan melalui

koordinasi, integrasi, simplifikasi dan sinkronisasi yang baik. Sehingga program dan

kegiatan antara pemerintah pusat dan lokal, atau pemerintah lokal dengan masyarakat tidak

tumpang tindih atau berseberangan.

4. Aktor politik

Aktor politik adalah orang atau lembaga yang memiliki pengaruh dan kekuasaan

(26)

pemerintahan sesuai dengan kapasitas masing-masing (Siti Zuhro, 2009). Peran aktor atau

elite politik lokal pada dasarnya sangat berpengaruh pada kelangsungan birokrasi daerah

tersebut. Selain itu peran-peran aktor tersebut sangat berpengaruh pada dinamika politik

dan penguatan politik lokal. Namun sebenarnya hal itu bisa dimaanfatkan untuk percepatan

demokrasi jika para aktor tersebut serius dalam menjalankan roda kepengurusan birokrasi.

Oleh karena itu, peran aktor sangat menentukan demokratisasi, ada kalanya bisa

mendukung proses demokratisasi, namun adakalanya justru malah menghambatnya. Itu

semua kembali dan tergantung bagaimana peran para aktor tersebut. Pada era orde baru,

para aktor lokal tidak mampu berperan banyak karena sentralisasi ke-pemerintahan yang

hanya terfokus pada pemerintah nasional Presiden Soeharto. Sementara itu pakar aktor

cukup “diam di tempat” dan menunggu perintah dari otoritas pemerintah nasional (pusat).

Sentralisasi seperti itu sebenarnya sangat menghambat proses deokratisasi. Apalagi pada

era kepimpinan Presiden Soeharto sesuatunya berasal dari pemerintah pusat dan

seolah-olah absolut. Setelah gerbang reformasi terbuka pada 21 Mei 1998, pada saat itu Presiden

Soeharto menyatakan pengunduran dirinya. Runtuh sudah otoritas ke- pemerintahan orde

baru, dan mulailah perombakan-perombakan pada politik dan birokrasi kenegaraan.

Perubahan-perubahanpun terjadi disana-sini, Sentralisasi ke-pemerintahanpun bergeser

pada disentralisasi. Oleh karena itu, aktor lokalpun mulai menampakkan aksi dan perannya

di kancah politik lokal.

Pasca orde baru peran aktor lokal semakin kentara, hal ini tampak pada

gejala-gejala politiknya, salah satunya dalah pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah yang pada

(27)

banyak dilakukan oleh daerah-daerah yang mempunyai aktor lokal kuat. Namun tidak

dapat dipungkiri juga bahwa ternyata aksi pemekaran daerah tersebut ada kalanya

ditumpangi oleh kepentingan politik dengan tujuan-tujuan pragmatis yang mendominasi.

5. Nasionalisme-Kebangsaan

Adalah suatu keadaan jiwa yang berupa keinsyafan dan kesadaran berbangsa

sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena kesamaan sejarah, kebersamaan

kepentingan, rasa senasib, dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu, masa kini,

dan masa yang akan datang. Nasionalisme-kebangsaan juga diwarnai dengan kesamaan

pandangan, harapan, tujuan, budaya, bahasa, cita-cita dan kecintaan kepada tanah air yang

dapat memperekat jati diri untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan berbangsa dan

bernegara. Senada dengan apa yang di sampaikan oleh Poespawardojo, (1995:116),

nasionalisme adalah faham kebangsaan yang menyatakan loyalitas tertinggi terhadap

masalah-masalah duniawi dari setiap negara yang ditujukan kepada negara dan bangsa.

Berkaitan dengan hal di atas, maka kebangsaan atau nasionalisme lebih menitik

beratkan kepada keadaan jiwa yang berupa keinsyafan dan kesadaran berbangsa sebagai

suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena kesamaan sejarah, kebersamaan kepentingan,

rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu, kini dan yang akan datang.

Nasionalisme-kebangsaan berkaitan dengan apa yang dinamankan wawasan kebangsaan

pada setiap warga negara Indonesia, karna di dalam konteks Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI), makna dan hakekat serta wawasan kebangsaan tersebut sangat penting

untuk dipahami oleh setiap warga negara Indonesia. Dengan kata lain wawasan

(28)

keberadaan jati diri dan lingkungannya pada dasarnya merupakan penjabaran dari filsafah

bangsa itu sesuai dengan keadaan wilayah suatu negara dan sejahtera yang dialaminya.

Wawasan kebangsaan inilah yang mentukan cara pandang bangsa memanfaatkan kondisi

geografis, sejarah, sosial-budayanya dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan

nasionalnya serta bagaimana bangsa itu memandang diri dan lingkungannya baik ke dalam

maupun lingkungan yang lebih luas lagi.

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan metode Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk

mendekati masalah dan mencari jawaban. Mendasarkan diri pada pengertian ini, pada

rencana penelitian tesis yang hendak dilakukan oleh penulis pendekatan yang digunakan

kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Creswell

(1998), mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut.

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses

penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan

cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks

bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para

(29)

Penelitian kualitatif menurut Nasution (1996:18), disebut juga dengan

penelitian naturalistik. Disebut kualitatif karena sifat dan data yang dikumpulkan

bercorak kualitatif, bukan kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur.

Disebut naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar,

sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes.

Oleh karena data yang hendak diperoleh dari rencana penelitian tesis bersifat

kualitatif berupa deskripsi analitik tentang suatu peristiwa yang diambil dari situasi

yang wajar, maka dibutuhkan ketelitian dari peneliti untuk dapat mengamati secermat

mungkin aspek-aspek yang diteliti, dari hal tersebut terlihat disini bahwa peranan

peneliti sangat menentukan sebagai alat penelitian utama (key instrumen) yang

mengadakan sendiri pengamatan atau wawancara berstruktur. Dalam kaitan ini

Nasution, (1996:9), berpendapat bahwa:

Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera peneliti tetap memegang peran utama sebagai alat penelitian.

Begitu pula dalam rencana penelitian tesis, penulis sebagai instrumen utama

yang berusaha mengungkapkan data secara mendalam dengan dibantu oleh beberapa

tehnik pengumpulan data. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moleong, (2005:9),

bahwa :

(30)

Disamping menekankan pada faktor peneliti sebagai alat penelitian utama,

rencana penelitian tesis inipun memperhatikan pula metode yang digunakan agar

hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian kualitatif dengan metode studi

kasus dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang

terjadi di lapangan sebagaimana adanya. Melalui pendekatan kualitatif dengan

metode studi kasus akan lebih luas dan mendalam mengungkapkan kajian tentang

orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam penguatan

komitmen kebangsaan. Menurut S. Nasution, (1996:55):

Studi kasus atau case study adalah untuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu, kelompok atau suatu golongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial.

Sedangkan Menurut Maxfield (dalam Nazir, 1983:66) studi kasus atau case study

adalah:

(31)

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaa ini adalah pendekatan penelitian kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan upaya kuantifikasi atau perhitungan-perhitungan statistik, melainkan lebih menekankan kepada kajian interpretatif. Vernon van Dyke (1965: 114) memaknai pendekatan dalam penelitian sebagai ”An approach consists or criteria of selection-criteria employed in selecting the problems or questions to consider and in selecting the data to bring to bear; it consists of standards

governing the inclusion of questions and data”, atau suatu pendekatan terdiri dari ukuran-ukuran pemilihan, adapun ukuran yang dipergunakan dalam memilih masalah-masalah atau pernyataan-pernyataan untuk dipertimbangkan dalam memilih data yang perlu diadakan: ini terdiri dari ukuran-ukuran baku yang menetapkan pemasukan atau pengeluaran pernyataan-pernyataan dan data.

(32)

penggunaan ukuran-ukuran kualitatif secara konsisten, maksudnya dalam pengolahan data, dari mereduksi, menyajikan dan memverifikasi dan menyimpulkan data tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif.

Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut: Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Pendapat di atas dapat dijelaskan penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi yang alamiah.

(33)

inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening, speaing, reading, and the like”. Dari pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena alat ini bisa melihat, mendengar, membaca, merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia pada umumnya.

Penelitian kualitatif sering juga disebut sebagai metode etnografik, metode fenomenologis, atau metode impresionistik (Cresswell. 1998: 7; Sudjana dan Ibrahim. 1989: 195). Karena metode penelitian kualitatif sering digunakan untuk menghasilkan teori berdasarkan data dari lapangan (grounded theory), maka teori yang dihasilkannya disebut sebagai generating theory. Karena itu, ketepatan interpretasinya sangat bergantung pada ketajaman analisis, obyektivitas, sistematik dan sitemik.

Pendekatan penelitian kualitatif disebut juga pendekatan naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural atau alamiah, apa adanya, dan tidak dimanipulasi (Cresswell, 1998; Nasution, 1992:18). Pendapat Bogdan dan Biklen (1982:27), pengumpulan data dalam penelitian kualitatif hendaknya dilakukan sendiri oleh peneliti dan mendatangi sumbernya secara langsung.

Terkait dengan hal tersebut, Lincoln & Guba (1985:189) menegaskan bahwa:

(34)

Pendekatan naturalistik-kualitatif dipandang sesuai dengan masalah penelitian ini dengan beberapa alasan:

1. Penelitian mencoba mengungkap dokumen proses sejauh mana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan. Beberapa alasan menggunakan dokumen tersebut sebagaimana dikemukakan Guba & Lincoln dalam A. Chaedar Alwasilah (2003:156):

a. Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari.

b. Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruan interfrestasi. c. Dokumen itu sumber data alami, bukan hanya muncul dari konteknya,

tetapi juga menjelaskan konteks itu sendiri. d. Dokumen itu relatif mudah dan murah. e. Dokumen itu sumber data yang non-reaktif.

f. Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi informasi yang diperoleh lewat interview atau observasi.

(35)

dapat memperoleh gambaran dan informasi berupa kejadian-kejadian mengenai bagaimana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa dalam penguatan komitmen kabangsaan, strategi masyarakat etnis Tionghoa dalam aktivitas politik di Kota Pontianak, peran aktor warga etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik, faktor yang mendorong tumbuh dan meluasnya tingkat orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan.

Pendekatan naturalistik-kualitatif yang digunakan dalam model studi kasus, yang satuan kajiannya dilakukan dalam lingkup yang terbatas. Bodgan dan Biklen (1982:58) mengatakan: “... a detailed examinitaion of one setting, or one single subject, or one single despositiry or document, or one particular event". Dalam hal yang lebih khusus, model studi kasus seperti digambarkan di atas, pada prinsipnya adalah model studi kasus tunggal (single case study). Penggunaan model studi kasus dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitiannya dilakukan pada satu fokus yaitu dimasyarakat. Di samping itu, studi kasus mempunyai kelebihan dibanding studi lainnya yaitu peneliti dapat mempelajari sasaran penelitian secara mendalam dan menyeluruh.

(36)

masyarakat etnis Tionghoa dalam penguatan komitmen kebangsaan, maka aspek-aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah yang berhubungan dengan kondisi orientasi politik yang aktual dimasyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dan aktivitas politik mereka di Kota Pontianak (dalam hal ini pemerintah eksekutif dan legisatif, tokoh budaya tionghoa, rumah ibadah, dan pengusaha serta pedagang) dan khususnya yang terkait dengan sikap, perilaku, pemahaman, pengetahuan dan pandangan mereka terhadap politik.

Dengan melakukan pendekatan penelitian kualitatif, peneliti dapat lebih leluasa mengetahui sejauh mana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan. Selain itu peneliti ingin dapat mengungkapkan perilaku persons, pengetahuan, gagasan dan pikirannya, sebab penelitian kualitatif pada hakekatnya juga merupakan pengamatan kepada orang-orang tertentu dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka dan berusaha memahami bahasa mereka serta menafsirkannya sesuai dengan dunianya (Nasution, 1992:5; Bogdan & Biklen, 1992:49; dan Lincoln & Guba, 1985:3).

(37)

awal dan selama melakukan penelitian, dan desain penelitian muncul selama proses penelitian (emergent, evolving dan developing).

B. Metode Penelitian

Disamping menekankan pada faktor peneliti sebagai alat penelitian utama, penelitian inipun memperhatikan pula metode yang digunakan agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Burgess (dalam Nasution, 1996:17) mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatif sebenarnya meliputi sejumlah metode penelitian, antara lain kerja lapangan, penelitian lapangan, studi kasus, ethnografi, prosedur interpretatif dan lain-lain.

Hal diatas sedana dengan apa yang di kemukakan oleh Suharsimi Arikunto (1989:120), yang menyatakan bahwa:

Penelitian kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari lingkup wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit. Tetapi ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam dan membicarakan kemungkinan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan mengumpulkan data, menyusun dan mengaflikasikannya dan menginterprestasikannya.

Sebagai suatu metode kualitatif, studi kasus mempunyai beberapa keuntungan. Lincoln dan Guba (dalam Deddy Mulyana, 2002:201) mengemukakan bahwa keistimewaan studi kasus meliputi hal-hal berikut :

1. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti.

2. Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan informan.

(38)

5. Studi kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atau transferabilitas.

6. Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.

Dari pendapat diatas digambarkan bahwa metode studi kasus lebih menitik beratkan pada suatu kasus, adapun kasus yang dimaksud dalam penelitian ini orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan. Kasus tersebut dibatasi dalam suatu ruang lingkup masyarakat etnis Tionghoa yang berada di Kota Pontianak. Penggunaan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus diharapkan mampu mengungkap aspek-aspek yang diteliti terutama, mengetahui bagaimana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan, untuk mengetahui bagaimana strategi warga etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik di Kota Pontianak, peran aktor politik warga etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik di Kota Pontianak, serta mengetahui faktor yang mendorong tumbuh dan meluasnya tingkat orientasi politik etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan.

(39)

demikian diharapkan peneliti dapat lebih leluasa mencari informasi dan mendapatkan data yang lebih terperinci tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian. Selain juga berusaha mendapatkan pandangan dari orang diluar sistem dari subjek penelitian, atau dari pengamat, untuk menjaga obyektifitas hasil penelitian.

C. Subjek Penelitian dan Sumber Data 1. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan subjek penelitian dimaksudkan agar peneliti dapat sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala kompleksitas yang berkaitan dengan orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan yang diperlukan. Meskipun demikian, pemilihan subjek penelitian tidak dimaksudkan untuk mencari persamaan yang mengarah pada pengembangan generalisasi, melainkan untuk mencari informasi-informasi secara rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan data yang dibutuhkan dalam proses penelitian.

(40)

masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak, serta banyak berpartisipasi dan melibatkan diri terhadap politik. Kriteria ketiga: adalah peristiwa yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan penilaian tentang politik dalam penguatan komitmen kebangsaan di Kota Pontianak yang disampaikan secara individual baik dalam pengetahuan dan evaluasi dalam proses sistem politik itu sendiri. Kriteria keempat: adalah proses, yang dimaksud wawancara peneliti dengan subjek penelitian berkenaan dengan pendapat dan pandangannya terhadap fokus masalah dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Informasi dalam bentuk lisan dan tulisan dalam penelitian kualitatif berturut-turut menjadi data primer dan sekunder penelitian. Data primer yang dikumpulkan mencakup persepsi dan pemahaman person serta deskripsi lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian: sedangkan data sekunder adalah data mengenai jumlah person dan kualifikasinya serta berkas kertas kerja yang dapat mengungkapkan informasi, tentang orentasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan. Sesuai dengan bentuk-bentuk data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, maka sumber-sumber data penelitian ini meliputi manusia, benda, dan peristiwa. Manusia dalam penelitian kualitatif merupakan sumber data, berstatus sebagai informan mengenai fenomena atau masalah sesuai fokus penelitian.

(41)

serta dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang relevan dengan fokus penelitian.

D. Teknik-Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan hakekat penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan data. Karena itu, peneliti memiliki peranan yang fleksibel dan adaptif. Artinya, peneliti dapat menggunakan seluruh alat indera yang dimilikinya untuk memahami fenomena sesuai dengan fokus penelitian (Cresswell, 1998; Lincoln dan Guba, 1985: 4; Bogdan dan Biklen, 1992: 28). Sehubungan dengan hal itu, maka dalam penelitian ini peneliti sendiri terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan seluruh data sesuai dengan fokus penelitian.

Tahapan-tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tahap orientasi, tahap eksplorasi, dan tahap member-chek. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pertama adalah pra-survei atau survei pendahuluan ke lokasi penelitian untuk mendapatkan gambaran tentang masalah yang akan diteliti. Dalam tahap yang kedua dilakukan pengumpulan data sesuai dengan fokus penelitian.

(42)

dan peneliti juga diharapkan dapat menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dari ucapan atau perbuatan informan penelitian. Erickson dalam melakukan penelitian lapangan (Erickson, 1986:21), peneliti dituntut untuk melakukan (1) interaksi secara intensif dan jangka panjang dilokasi penelitian: (2) melakukan pencatatan (recording) tentang apa yang terjadi dilokasi penelitian, membuat catatan-catatan lapangan, dan mengumpulkan dokumen-dokumen lainnya (seperti memo, catatan-catatan, dan catatan-catatan wakil kepala daerah, ketua DPRD, anggota DPRD, tokoh masyarakat Tionghoa, tokoh agama Tionghoa, pengusaha, pedagang, dan lain-lain); dan (3) refleksi analitik berikutnya pada catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang dikumpulkan dari lapangan dan dilaporkan dengan cara mendeskripsikannya secara detil, antara lain dengan membuat sketsa-sketsa naratif dan kutipan langsung dari interview maupun dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk-bentuk yang lebih umum.

1. Wawancara

(43)

yang dipilih dalam penelitian ini dikarenakan informan beretnis Tionghoa.

Wawancara sebagaimana dikemukakan Dexter (dalam Lincoln dan Guba, 1985:268), adalah percakapan dengan suatu tujuan. Tujuan yang dimaksud dalam wawancara bisa meliputi hal-hal diluar diri yang diwawancarai, capaian yang sedang dijalani subjek penelitian saat ini, suatu peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan dan berbagai macam lainnya. Wawancara juga boleh menyangkut projeksi tentang masa depan subjek penelitian baik menyangkut keinginannya maupun pengalaman masa depannya, verifikasi dan perluasan informasi.

Menurut Patton (1990:280) (dalam Sapriya, 2007), pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian naturalistik dapat mengikuti tiga macam pilihan sebagai berikut: Pertama, Wawancara percakapan informal (the informal conversation interview), ialah wawancara yang sepenuhnya didasarkan pada susunan pertanyaan spontan ketika interaksi berlangsung khususnya pada proses observasi partisipatif dilapangan. Pada saat wawancara melalui percakapan informasi berlangsung terkadang orang yang diwawancarai tidak diberitahu bahwa mereka sedang diwawancarai.

(44)

yang sesuai telah terakomodasi. Peneliti menyesuaikan baik urutan pertanyaan maupun kata-kata untuk informan tertentu.

Ketiga, wawancara terbuka yang baku (the standardized open-ended interview), meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan maksud untuk menjaring informasi mengenai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kata yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Fleksibilitas dalam menggali informasi dibatasi, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti.

Lebih lanjut mengenai apa yang perlu ditanyakan kepada subjek penelitian, Patton (1989:198), memberikan kiatnya. (a) pertanyaan berkaitan dengan pengalaman dan perilaku; (b) pertanyaan berkaitan dengan pendapat atau nilai; (c) pertanyaan berkaitan dengan perasaan; (d) pertanyaan berkaitan dengan pengetahuan; (e) pertanyaan berkaiatan dengan indera; (f) pertanyaan berkaitan dengan latar belakang atau demografi.

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak-berstruktur. Sesuai dengan bentuk wawancara ini, peneliti tidak terikat secara ketat pada pedoman wawancara. Pelaksanaannya bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja selama berhubungan dengan fenomena dan fokus penelitian. Tipe wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara luas dan mendalam atau indepthinterview (Patton, 1980).

(45)

dilakukan dalam penelitian ini adalah yang diharapkan dapat memberi keuntungan dimana informan yang diwawancarai bisa merekonstruksi dan menafsirkan ide-idenya. Dalam pelaksanaannya, penelitian menggunakan alat bantu berupa catatan-catatan lapangan. Tujuannya adalah untuk memudahkan mengingat data yang dikumpulkan, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Selain itu, penggunaan alat bantu tersebut sangat penting untuk mengimbangi keterbatasan daya ingat peneliti mengenai informasi yang diperoleh dengan cara wawancara secara terbuka atau open-ended interview.

2. Observasi

Jenis-jenis observasi yang dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif, antara lain observasi non-interaktif dan observasi interaktif (Bogdan & Biklen, 1994). Dalam observasi non-interaktif berarti tidak ada observasi secara langsung, atau tidak melibatkan pengamatan secara langsung: sedangkan dalam observasi interaktif, berarti dalam pengumpulan data dilakukan dengan partisipan dan melibatkan pengamatan. Dalam pengamatan ini, peneliti menggunakan secara dominan bentuk partisipasi interaktif dan observasi nonpartisipatif (observasi secara tidak langsung atau tidak secara terang-terangan).

(46)

sekalipun.

Kedua, berperan serta sebagai pengamat (participant as observer). Dalam peran ini, peneliti masuk ke dalam kelompok subjek penelitian tidak sepenuhnya, melainkan sekadar sebagai pengamat, sehingga keberadaannya dalam kelompok tersebut berpura-pura. Peran yang demikian konsekuensinya sering terbatas untuk mendapatkan seluruh informasi yang ada, terutama yang bersifat rahasia.

Ketiga, peneliti berperan sebagai pengamat yang berperan serta (observer as participant). Peran ini dilakukan peneliti, karena peneliti secara umum memang diketahui pekerjaannya sebagai peneliti, atau bahkan ia disponsori oleh para subjek penelitian. Peran ini memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, termasuk informasi yang rahasia sekalipun.

Keempat, peneliti berperan sebagai pengamat penuh (complete observer). Peran ini dilakukan peneliti secara bersembunyi dan tidak langsung dalam arti terjun ke lapangan tapi bukan sebagai identitas peneliti melainkan dengan cara sebagai warga masyarakat juga, dengan cara seperti ini pengamat dengan leluasa melihat setiap aktivitas dan prilaku yang diteliti. Hampir dapat dikatakan, tidak ada rahasia yang dapat diamati.

(47)

pengalaman yang menyuluruh tentang fokus penelitian. Selain itu, peneliti juga dapat memperoleh data dari tangan pertama, mencatat segala kejadian yang ditemukan dilapangan sebagaimana adanya atau yang dilakukan secara alamiah.

Setelah melakukan pengamatan, peneliti segera melakukan pencatatan data. Sebagaimana disarankan Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 1995:130-132). Peneliti yang murni menjadi pengamat sangat memungkinkan membuat catatan di lapangan, karena saat mengamati ia bebas membuat catatan. Namun yang berperan lain, harus segera dicatat setelah melakukan pengamatan. Catatan berupa laporan langkah-langkah peristiwa yang dibuat dalam bentuk kategori sewaktu dicatat, atau dapat pula berupa catatan tentang gambaran umum yang singkat tentang orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan.

Kegiatan observasi ini dilakukan berulang kali sampai diperoleh semua data yang diperlukan. Pelaksanaan yang berulang ini memiliki keuntungan dimana informan yang diamati akan terbiasa dengan kehadiran peneliti sehingga informan berperilaku apa adanya (tidak dibuat-buat).

3. Studi Dokumentasi

Dokumen dan catatan (dokumen dan record) merupakan sumber informasi yang sangat berguna. Ada beberapa alasan menggunakan dokumen dan catatan, seperti dikemukakan oleh Lincoln dan Guba, (1989:276-277) antara lain sebagai berikut:

a. Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah diperoleh dan relatif mudah;

(48)

tanpa melalui perubahan di dalamnya;

c. dokumen dan catatan merupakan informasi yang kaya;

d. keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang menggambarkan formal, dan;

e. tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non-reactive, tidak member reaksi/respon atas perlakuan peneliti. Meskipun istilah dokumen dan catatan seringkali digunakan untuk menunjukan satu arti, tetapi pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda bila ditinjau dari tujuan dan analisis yang digunakan.

Menurut Lincoln dan Guba (1985:276-277), catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban. Untuk keperluan penelitian ini, peneliti mengumpulkan catatan dan dokumen yang dipandang perlu untuk membantu analisis dengan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa buku teks, makalah, jurnal, dokumen kurikulum, hasil penelitian, dokumen negara. Kajian dokumen difokuskan pada aspek materi atau substansi yang ada kaitannya dengan bagaimana orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa dalam penguatan komitmen kabangsaan, bagaimana strategi warga ertnis tionghoa dalam aktivitas politik di Kota Pontianak, bagaimana peran aktor politik etnis Tionghoa dalam aktivitas politik di Kota Pontianak, dan apa faktor yang mendorong tumbuh dan meluasnya tingkat orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak.

(49)

Ketiga teknik diatas yakni wawancara, observasi dan studi dokumentasi adalah cara kerja yang digunakan oleh peneliti sendiri untuk menjaring data penelitian. Hal ini sejalan dengan tuntutan penelitian naturalistik-kualitatif, dimana salah satu cirinya adalah peneliti berperan sebagai instrumen. Nana Sudjana & Ibrahim menyatakan:

Peneliti dan obyek yang diteliti saling berinteraksi, yang proses penelitiannya dilakukan di luar maupun dari dalam dengan banyak melibatkan judgment. Dalam pelaksanaannya, peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat penelitian yang tentunya tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari unsur subjektivitas.

Berdasarkan pandangan diatas, peneliti berperan sebagai ”human instrument”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bogdan dan Biklen (1982:27) bahwa ”Qualitative research has the natural setting as the direct source of data and the researcher is the key instrument”. Peneliti yang berperan sebagai instrumen utama dalam proses pengumpulan data merupakan aspek penting dalam proses penelitian secara keseluruhan. Ia dapat memanfaatkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya untuk memperoleh data dan informasi yang akurat. Peneliti yang berperan sebagai intrumen terjun langsung ke lapangan, menjaring data melalui tehnik wawancara, observasi dan studi dokumentasi dengan melakukan judgment selama tahap pengumpulan data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian.

4. Studi Literatur (Literature of Study)

(50)

digunakan adalah mempelajari sejumlah literatur yang berupa buku, jurnal, surat kabar dan sumber-sumber kepustakaan lainnya guna mendapatkan informasi-informasi yang menunjang tentang orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan, strategi warga entis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik di Kota Pontianak, peran aktor politik warga etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas politik di Kota Pontianak, dan faktor apakah yang mendorong tumbuh dan meluasnya tingkat orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Kota Pontianak dalam penguatan komitmen kebangsaan

Alasan metode penelitian studi kasus dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Metode penelitian studi kasus merupakan salah satu bentuk metode yang tercakup didalam metodologi penelitian kualitatif.

2. Melalui metode penelitian studi kasus diharapkan dapat memberikan keleluasaan dalam menggunakan beragam teknik pengumpulan data sebagai sarana untuk menjangkau demensi otentik dari topik yang diteliti.

3. Penggunaan metode penelitian studi kasus dalam penelitian ini memungkinkan peneliti meneliti proses orientasi politik masyarakat etnis Tionghoa dalam penguatan komitmen kebangsaan.

Gambar

Tabel 1.1 Simbol-Simbol Klarifikasi Dimensi Orientasi
Gambar  1.1 Komponen-Komponen Analisis Data
Gambar. 1.1 Komponen-komponen Analisis Data  (Miles dan Huberman, 1992:20)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya yang tiada terkira, sehingga pada akhirnya penulis dapat

Untuk melakukan audit yang baik, saya membutuhkan pengetahuan yang diperoleh dari tingkat pendidikan formal.. Selain pendidikan formal, untuk melakukan audit, saya tidak

Interpretative is the label for a very usable category of thinking skills, which should be emphasized in reading. This term could be used in a sense broad enough to

BANI JAYA BERSAUDARA Ruko Duren Sawit Center no.. Duren Sawit

Susu merupakan minuman yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap sehingga susu merupakan medium pertumbuhan yang baik bagi mikroba. Pertumbuhan mikroba yang tidak

Untuk menyamakan jumlah responden antara kelompok kasus dan kontrol, 1 responden pada kelompok kehamilan normal juga dikeluarkan, sehingga jumlah sampel yang

Hasil pengukuran terhadap panjang kerang simping yang ditemukan di Perairan Genuk Semarang dapat dikelompokkan menjadi 7 kelas ukuran yang mengacu pada hasil

Dengan data sebesar itu, waktu yang diperlukan oleh Scibun untuk menggambar peta sangat lama, bisa lebih dari 10 detik.Oleh karena itu, perlu dilakukan