• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK MANDAR DENGAN BELANDA PADA 1862 THE CONFLICT OF MANDAR WITH THE DUTCH IN 1862

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONFLIK MANDAR DENGAN BELANDA PADA 1862 THE CONFLICT OF MANDAR WITH THE DUTCH IN 1862"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

THE CONFLICT OF MANDAR WITH THE DUTCH IN 1862

Muhammad Amir

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: muhabpnb@yahoo.co.id

Diterima: 12 Juli 2017; Direvisi: 18 September 2017; Disetujui: 24 November 2017 ABSTRACT

This article aims to reveal and explain the background and tidal of the conflict between Mandar and the Dutch colonial government. The method used in this study is the historical method that is explaining a problem based on historical perspective. The procedure goes through four stages, namely heuristics, source criticism, interpretation, and historiography in the form of story. The study results indicate that the conflict was from the demands for compensation of piracy acts committed by the people of Mandar. In addition, the conflict was also from the intervention of the Dutch colonial government to the internal affairs of kingdoms in Mandar, especially internal conflicts among ana’ pattola payung (the heirs to the throne). Therefore, the Dutch colonial government launched military aggression against to the kingdoms in Mandar in 1862. Although Mandar gave resistance to the military attack, they had to recognize the superiority of the Dutch military forces and accept the demands of the colonial government. To resolve the conflict, it wasa political contract renewal on 6 December 1862 which had a devastating effect to the kingdoms in Mandar.

Keywords: conflict, Mandar, and the Dutch.

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan latar belakang dan pasang surut konflik antara Mandar dengan pemerintah kolonial Belanda. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yakni menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya melalui empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi dalam bentuk kisah. Hasil kajian menunjukkan bahwa konflik dilatari oleh tuntutan ganti rugi atas sejumlah tindakan perompakan yang dilakukan oleh penduduk Mandar. Selain itu, konflik juga dilatari oleh campur tangan pemerintah kolonial Belanda terhadap urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Mandar, terutama konflik internal di kalangan ana’ pattola payung (para pewaris tahta). Hal inilah yang mendasari pemerintah kolonial Belanda melancarkan agresi militer terhadap kerajaan-kerajaan di Mandar pada 1862. Meskipun Mandar memberikan perlawanan atas serangan militer itu, mereka harus mengakui keunggulan pasukan militer Belanda dan menerima tuntutan pemerintah kolonial. Untuk meyelesaikan konflik tersebut dilakukan pembaruan kontrak politik pada tanggal 6 Desember 1862 yang dampaknya amat merugikan bagi kerajaan-kerajaan di Mandar.

Kata Kunci: konflik, Mandar, dan Belanda. PENDAHULUAN

Konflik antara Mandar dengan pemerintah Hindia Belanda merupakan salah satu gerakan perlawanan yang menarik untuk dikaji.Sebab, konflik itu tidak hanya dapat memberikan petunjuk tentang dinamika kesejarahan kerajaan-kerajaan di Mandar, melainkan juga merupakan suatu fakta bahwa upaya pemerintah

kolonial Belanda dalam memperluas hegemoni kekuasaan, senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat, termasuk di daerah Mandar.Selain itu, konflik itu juga merupakan suatu bukti bahwa perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda tidak hanya terjadi di daerah Bugis dan Makassar, tetapi juga di daerah Mandar. Kenyataan itulah yang mendasari pemerintah kolonial Belanda kemudian memberikan

(2)

julukan kepada jazirah selatan Sulawesi sebagai deonrust eiland, yang berarti“pulau keonaran” (Paeni,dkk.2002:2).

Selain itu, perlawanan rakyat Mandar juga tidak dapat diabaikan karena merupakan suatu fakta dari mata rantai gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda abad ke-19.Sebab, beberapa sejarawan menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan periode yang penting dalam lembaran sejarah Indonesia. Sartono Kartodirdjo misalnya, sejarawan yang banyak meneliti tentang gerakan sosial, menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan periode pergerakan sosial yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan (Kartodirdjo,1984:13). Sementara Adrian B. Lapian dalam disertasinya tentang kawasan Laut Sulawesi abad ke-19, menyatakan bahwa kurun waktu ini sangat berkaitan dengan keadaan sekarang (Lapian,1987:xvi). Pernyataan tersebut tidak meleset, sebab perluasan wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda misalnya, yang sekarang meliputi wilayah Republik Indonesia, mencapai bentuknya pada masa itu (Poelinggomang, 2002:4).1

Kenyataan itulah yang mendorong saya untuk mengkaji mengapa terjadi konflik antara Mandar dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1862. Batasan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa, Pemerintah Kolonial Belanda kembali melakukan tindakan militer terhadap Mandar 1862. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan mengungkap dan menjelaskan tentang dinamika kesejarahan yang berkaitan dengan konflik itu, baik menyangkut latar belakang maupun pasang surut dan penyelesaian konflik antara kedua belah pihak. Selain itu, kajian ini juga dapat memberikan pengetahuan yang berarti untuk meningkatkan kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terlebih-1Namun patut ditekankan bahwa, persatuan dan

pembentukan bangsa Indonesia sesungguhnya bukan karena latar kesejarahan dijajah oleh penjajah yang sama semata, tetapi berakar pada persaudaraan dan persatuan yang telah lama terjalin melalui perdagangan maritim. Sebab, tidak dapat disangkal bahwa melalui kegiatan perdagangan ini telah menciptakan difusi dan asimilasi budaya (trade diaspora).

lebih jika diperhatikan konflik yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini, yang mengarah pada gejala disintegrasi bangsa sehingga mengusik panorama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita (Nawir,2002:65-83).2

Berdasarkan studi kepustakaan bahwa terdapat sejumlah kajian tentang Mandar, antara lain karya Darmawan Mas’ud Rahman, tentang Puang dan Daeng Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar (1988). Karya ini merupakan salah satu sumber yang amat membantu dalam memahami kehidupan sosial dan budaya politik orang Balanipa Mandar. Hal ini penting, sebab berbagai peristiwa dalam dinamika kesejarahan Mandar, tampaknya amat sulit untuk dipahami tanpa mengetahui nilai-nilai budaya masyarakatnya. Karya lainnya adalah Sejarah Mandar oleh M.T. Azis Syah (1997). Karya yang berjumlah tiga jilid ini hanya menyajikan secara deskriptif sejarah kerajaan-kerajaan di daerah Mandar dan tidak sistematis. Sementara A. Saiful Sinrang menulis tentang Mengenal Mandar Sekilas Lintas (1994). Karya ini menyajikan secara singkat tentang berbagai peristiwa perjuangan rakyat Mandar dalam menentang Belanda. Selain itu, Saharuddin menulis tentang Mengenal Pitu Babana Binanga (Mandar) Dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan (1985). Meskipun karya ini menyajikan sejumlah data penting, antara lain hubungan Pitu Babana Binanga dengan kerajaan lainnya dan Belanda, susunan pemerintahan, dan sistem pengangkatan pejabat kerajaan, tetapi ia tidak menguraikan latar belakang dan dinamika konflik antara Mandar dengan pemeritah kolonial Belanda.

Deskripsi tentang budaya bahari orang Mandar dilakukan oleh Muhammad Ridwan 2Seperti konflik di Papua, Aceh, Ambon, dan

ATM (Aralle, Tabulahan, dan Mambi). Konflik yang terakhir disebutkan ini, bukan saja menunjukkan gejala disintegrasi bangsa, tetapi terjadinya konflik itu juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat yang kurang tepat dalam proses pembentukan Kabupaten Mamasa. Sebab, pemerintah pusat tampaknya mengabaikan aspirasi dari sebagian besar elemen masyarakat, dan kurang memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan sejarah

(3)

Alimuddin dalam karyanya yang berjudul Orang Mandar Orang Laut (2005). Karya ini selain menujukkan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung, juga tentang keunggulan budaya bahari Mandar pada daya cipta mereka untuk terus menerus menyesuaikan diri terhadap gelombang perubahan zaman. Sementara Edward L. Poelinggomang menulis tentang Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat (2012). Kedua karya yang terakhir disebutkan ini, selain mengungkap beberapa aspek budaya Mandar juga menguraikan sedikit tentang sejarah Mandar. Selain itu, terdapat pula sejumlah tulisan tentang Mandar dari aparat pemerintah kolonial Belanda, yaitu W.J. Leyds yang menulis Memori van Overgave Assistent Resident Mandar (1940). Tulisan ini tidak saja menceritakan secara umum tentang daerah itu selama ia bertugas di Mandar, tetapi juga menyajikaan sejumlah data penting yang berkaitan dengan keadaan geografis, penduduk, sejarah (1500-1900), keadaan sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan pribumi. Deskripsi singkat tentang sejarah Mandar juga terdapat dalam laporan Arsip Makassar No.354, Vervolg Geschiedkundig Oversig van het Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden van 1846-1865 (ANRI). Uraian secara singkat tentang kerajaan-kerajaan di Mandar juga terdapat dalam karya Nooteboom Nota van Toelichting Betreffende het Landschap Balangnipa (1912).Semua sumber tersebut, menjadi rujukan dalam penelitian ini. METODE

Untuk menjawab persoalan penelitian, diperlukan analisis berdasarkan metode sejarah. Sebuah metode yang merekonstruksi kembali masa lampau melalui tahapan kerja yang meliputi pengumpulan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan dalam bentuk narasi sejarah. Dua jenis sumber yang digunakan dalam kajian ini, yaitu manuskrip lokal yang disebut lontarak (manuskrip yang semula ditulis pada daun lontar) dan sumber tertulis lainnya. Sumber lontarak yang digunakan diperoleh dari Museum Daerah Mandar di Majene, yaitu Lontarak Pattodioloang Mandar,

Lontarak Pattappingan Mandar, dan Lontarak Balanipa Mandar. Meskipun ketiga lontarak ini tidak menggunakan penanggalan, tetapi dapat memberikan informasi yang amat penting tentang objek kajian. Sementara sumber tertulis lainnya, baik berupa dokumen dan sumber-sumber sejarah lainnya yang tersimpan pada lembaga kearsipan, maupun berupa buku, artikel, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan konflik merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam penelitian ini. Sumber yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis melalui tahapan kritik sumber, interpretasi, dan kemudian direkonstruksi menjadi narasi sejarah tentang konflik Mandar dengan pemerintah kolonial Belanda pada 1862. PEMBAHASAN

Sekilas Tentang Mandar

Daerah Mandar yang kini menjadi Provinsi Sulawesi Barat terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004.Undang-Undang-undang ini disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada 22 September 2004, dan pembentukan provinsi ini diresmikan pada 16 Oktober 2004. Jauh sebelumnya wilayah yang terdiri atas Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas), Majene, dan Mamuju merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga kabupaten yang sejak dahulu dikenal dengan daerah Mandar, terletak di pesisir barat bagian utara jazirah selatan Sulawesi. Jarak antara Makassar dengan Sulawesi Barat, kurang lebih 300 km di sebelah utara Kota Makassar. Terletak antara 118º dan 119º BT dan antara 1º dan 3º LS. Batas wilayah pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat pada bagian timur dan selatan berbatasan dengan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, pada bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar, dan pada bagian utara berbatasan dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Luas wilayah provinsi ini adalah 16.937,16 kilometer persegi (Poelinggomang, 2012:17; Syah,1997:15). Wilayah pemerintahan provinsi ini terdiri atas enam wilayah pemerintah kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mandar

(4)

(Polman), Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Utara,dan Mamuju Tengah.

Data keberadaan wilayah itu menunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Barat yang berada pada pesisir pantai jalur pelayaran dan perdagangan maritim Selat Makassar memiliki wilayah laut dan darat. Lima dari enam kabupaten memiliki wilayah pantai, mulai dari wilayah paling utara yaitu Kabupaten Mamuju Utara ke selatan Kabupaten Mamuju Tengah, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Polewali Mandar. Hanya Kabupaten Mamasa yang tidak memiliki wilayah pantai. Garis pantai yang panjang dari utara ke selatan ini telah melapangkan penduduknya yang mayoritas orang Mandar dikenal sebagai pelaut dan pedagang antarpulau yang ulung, di samping kegiatan sebagai nelayan dan petani tambak (Alimuddin,2005:4). Selain di provinsi ini, pemukiman orang Mandar dapat juga dijumpai pada sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti di Kabupaten Pinrang, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Selayar, dan Kota Makassar.

Perlu dikemukakan bahwa sebelum ter-bentuknya kabupaten-kabupaten tersebut, jauh sebelumnya telah terbentuk sejumlah kerajaan di daerah Mandar. Di antaranya Kerajaan Balanipa, Kerajaan Sendana, Kerajaan Banggae atau Majene, Kerajaan Pamboang, Kerajaan Tappalang, Kerajaan Mamuju, dan Kerajaan Binuang. Ketujuh kerajaan yang terletak di pesisir pantai ini kemudian melakukan perjanjian kerjasama yang dikenal dengan persekutuan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai atau pesisir pantai). Selain itu terdapat pula sejumlah kerajaan di daerah pedalaman Mandar, yaitu Tabulahan, Aralle, Mambi, Ranrebulahan, Tabang, Matanga, dan Tuqbi atau Bambang.Ketujuh kerajaan yang terletak di daerah pegunungan ini membentuk pula persatuan yang dikenal dengan persekutuan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai). Dalam perkembangannya, kedua persekutuan itu membentuk persatuan melalui pertemuan di Luyo pada abad ke-16. Pertemuan inilah yang melahirkan kesepakatan Allamungan Batu

di Luyo (Perjanjian Luyo) yang mendasari terbentuknya ikatan sipamandar, yang berarti saling memperkuat atau memperkokoh per-satuan dan keper-satuan (Sjariffudin,1989:358; Hamsah,1987:6; Saharuddin,1985:41).

Latar Belakang Konflik

Kebijakan tentang perdagangan dan pelabuhan bebas Makassar menjelang paruh kedua abad ke-19, mendorong pemerintah kolonial Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di jazirah selatan Sulawesi, termasuk di daerah Mandar untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan perdagangan bebas. Sebab, berdasarkan laporan pedagang Mandar bahwa antara Parepare, Mandar, dan Teluk Palu senantiasa terjadi perompakan yang dipimpin oleh raja laut. Ia adalah tokoh perompak yang terkenal di jalur pelayaran dan perdagangan Selat Makassar pada pertengahan abad ke-19 (Junarti, 2001:57; Anonim,1873:416). Aktivitas perompakan pada masa itu dapat dikatakan sangat luas dan besar. Di bagian utara Selat Makassar merajalela perompak yang terdiri atas orang-orang Ilanun, Balangingi, dan Mangindanau dari Filipina, sementara di sebelah selatan Selat Makassar terdiri atas para perompak Bugis, Makassar, Mandar, Buton, dan Borneo. Bahkan aktivitas mereka juga menyebar sampai Nusa Tenggara. Selain merompak barang dagangan, mereka juga menawan para awak kapal untuk selanjutnya dijual sebagai budak (Lapian,1987:214). Hal ini tentu tidak hanya mengancam kebijakan perdagangan bebas, tetapi juga dapat menimbulkan banyak kerugian bagi pelayaran dan perdagangan maritim pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu pemicu konflik misalnya, adalah kasus nakhoda Abdul Rachman yang meminta bantuan pemerintah kolonial Belanda untuk mendapatkan kembali perahu miliknya yang telah dibawa ke Mandar (Majene) oleh nakhoda muda Maiwa. Perahu itu diserahkan Abdul Rachman kepada Maiwa untuk mengawasinya selama singgah di Banjarmasin. Namun Maiwa membawa dan menjual perahu itu di Mandar.

(5)

Berulang kali komandan pangkalan militer Belanda dikirim ke Mandar untuk meminta ganti rugi bagi Abdul Rachman. Sebagian tuntutan itu dikabulkan dan Maiwa dipenjarakan. Akan tetapi ketika kapal perang tidak muncul di Majene selama beberapa bulan, Maiwa dibebaskan kembali karena mereka menduga bahwa persoalan itu tidak ditindaklanjuti dan diperhatikan lagi oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun ketika kapal perang kembali muncul di Mandar, Maiwa segera dipenjarakan kembali tetapi ia telah pergi dan meninggalkan Mandar (Arsip Makassar No.354:120).

Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga memperoleh berita bahwa kasus perompakan atau bajak laut senantiasa terjadi di Mandar selama tahun 1849 dan 1850. Itulah sebabnya gubernur Sulawesi memohon kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia, agar diberikan wewenang untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan sarana yang dimilikinya dalam mengatasi kasus perompakan di Mandar. Termasuk dalam hal ini juga tindakan yang perlu dilakukan terhadap kerajaan-kerajaan kecil di tepi pantai atau pesisir yang terlibat atau tidak mencegah perompakan, tanpa menunggu perintah lebih lanjut dari Batavia. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semua tindakan yang bertentangan dengan kontrak politik yang telah ditandatangani oleh kerajaan-kerajaan di Mandar (Arsip Makassar No.354:121).

Sambil menunggu jawaban dari gubernur jenderal, gubernur Sulawesi sebenarnya telah mengirimkan misi ke Mandar sebelumnya. Misi yang dipimpin oleh Kapten Noorduyn, komandan kapal Zwaliuw bersama Ajun Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen berhasil membuat kontrak politik dengan para penguasa Mandar. Kontrak politik dengan Kerajaan Balanipa, Majene, Binuang, Pambauang, dan Sendana dibuat di Balanipa pada 30 Mei 1850. Raja-raja atau para mara’dia dari empat kerajaan tersebut kemudian diwakili oleh anggota pemangku adat mereka masing-masing. Sementara kontrak politik dengan Kerajaan Mamuju dan Tapalang yang berada di bawah pemerintahan seorang mara’dia,

Abdul Malem Daeng Lotong, dilakukan di Mamuju pada 10 Juni 1950. Keberhasilan dari pengiriman misi ini tidak terlepas dari pengaruh Karaeng Katangka, saudara raja Sidenreng. Karaeng Katangka menyertai kapal perang itu dengan perahu-perahunya sendiri dan berhasil membujuk para penguasa Mandar untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi selama ini dan demi kepentingan penyelesaian kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No.354:122; Poelinggomang, 2002:80).

Kontrak-kontrak politik tersebut, kemu-dian disetujui oleh gubernur Sulawesi pada 1 Juli 1850, dan disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 18 Agustus 1850 (Arsip Makassar No.354:123). Meskipun tidak diuraikan secara rinci menyangkut isi kontrak politik yang membahas tentang pemberantasan bajak laut dalam sumber tersebut. Namun dalam sumber lain disebutkan bahwa jalinan kerjasama antara pemerintah kolonial Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Mandar menyangkut peningkatan perdagangan dan pemberantasan bajak laut, tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini tampak dalam kontrak politik itu, bahwa hanya diperbolehkan melakukan perdagangan dengan Belanda dan tidak dengan bangsa Eropa lainnya, serta tidak deperkenankan melakukan korespondensi dengan bangsa Eropa lainnya karena dikhawatirkan ikut campur tangan dalam bidang politik dan memperluas kekuasaannya pada kerajaan-kerajaan di Mandar. Selain itu, juga beberapa ketentuan lainnya dalam kontrak politik itu, yaitu kedua belah pihak bebas melakukan hubungan niaga, memajukan perdagangan dan bersama-sama giat melakukan pemberantasan bajak laut, serta berupaya mengembangkan dan meningkatkan produksi tanaman dagang, seperti kopi, tebu, kapas, kelapa dan coklat (Poelinggomang, 2005:280).

Bersamaan dengan pengesahan kontrak politik tersebut, gubernur jenderal dalam keputusan rahasia pemerintah pada 18 Agustus 1850, menyampaikan bahwa suatu wewenang

(6)

seperti yang dimaksudkan dalam surat gubernur Sulawesi pada 5 Juni 1850 Nomor 149, tidak dapat diberikan. Akan tetapi tindakan untuk mempertahankan dengan sarana yang ada dan diterapkan dengan penuh kebijakan, tidak akan dilarang (Arsip Makassar No.354:123). Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen kembali dikirim ke Mandar untuk menyampaikan kontrak politik yang dibuat pada 1850 dan disahkan oleh gubernur jenderal tersebut, kepada raja-raja atau para penguasa Mandar. Pengiriman Wijnmalen ke Mandar ini, juga terkait dengan meninggalnya Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge Tomatindo Di Lekopadis pada 1951. Meskipun sebagian anggota dewan pemangku adat sappulo sokko menghendaki putra Tomatindo Di Lekopadis yang bernama Baso Saunang bergelar Tokeppa menggantikan ayahnya sebagai mara’dia Balanipa. Namun atas kesepakatan dewan ada’ kaiyang (hadat besar) yang berwewenang dalam pemilihan dan pengangkatan mara’dia di Balanipa, ternyata memilih dan mengangkat Ammana Ibali (Maulana Passaleppa) menjadi mara’dia Balanipa menggantikan Tomatindo Di Lekopadis. Berdasarkan pasal 20 kontrak politik tahun 1850, bahwa mara’dia Balanipa yang baru dilantik diharuskan menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Kontrak politik yang ditandatangani oleh Mara’dia Balanipa Ammana Ibali pada 29 Juni 1951 tersebut, kemudian disetujui oleh gubernur Sulawesi pada 18 Juli 1851 dan disahkan oleh gubernur jenderal pada 14 September 1851 (Arsip Makassar No.354:124; Syah,1992:94).

Mara’dia Balanipa Ammana Ibali mendapat tugas untuk menyampaikan dan menyerahkan kontrak-kontrak yang telah disahkan kepada para penguasa Mandar lainnya. Oleh karena wabah penyakit kolera sedang melanda Mandar, sehingga Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen merasa tidak tepat untuk mengunjungi daerah-daerah lain. Namun dalam perkembangannya, ternyata maradia Balanipa diketahui tidak mengirimkan atau menyampaikan kontrak politik yang dibawa oleh Wijnmalen tersebut kepada

raja-raja lainnya di Mandar (Arsip Makassar No. 354:130).3 Selain itu, melalui sekretaris urusan

pribumi tersebut, gubernur Sulawesi juga memerintahkan penghentian permusuhan antara mara’dia Balanipa dan mara’dia Pambauang. Sesungguhnya, permusuhan ini antara lain dipicu oleh perselisihan antara mara’dia Mosso (daerah bawahan Kerajaan Sendana) dengan mara’dia Pambauang. Perselisihan antara kedua belah pihak itu berkembang menjadi permusuhan atau perang kecil pada Oktober 1853. Atas bantuan dari mara’dia Balanipa, mara’dia Mosso berhasil menduduki sebagian daerah Pambauang serta penduduknya ditawan dan dijual sebagai budak kepada para saudagar Makassar. Pada peristiwa itu, sekitar tiga ratus orang penduduk yang menjadi tawanan dari kedua belah pihak. Dari jumlah itu sekitar seratus orang diangkut ke pantai timur Kalimantan dan sebagian lagi dibawa ke Pulau Bali untuk dijadikan komoditas dagangan sebagai budak belian (Zwager,1866:89; Sulistyo,1993:45).

Gubernur Sulawesi kemudian mengirim juga surat kepada mara’dia Mamuju pada 30 Agustus 1855, sehubungan dengan informasi yang dapat dipercaya bahwa perompak Tuan Lolo telah meninggalkan Palu dan berangkat menuju Karama di Mamuju. Oleh karena itu, mara’dia Mamuju dituntut untuk menangkap dan menyerahkan perompak Tuan Lolo kepada pemerintah kolonial Belanda. Selain kepada mara’dia Mamuju, gubernur Sulawesi juga mengirimkan surat kepada Mayor Kalangkangan pada tanggal yang sama (Berg,1936: MvO;

3Menurut laporan utusan yang bernama Jaya pada

18 Mei 1856, bahwa hadat Tappalang mengaku tidak memiliki sebuah kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No. 354:125). Demikian pula dengan mara’dia Binuang menyatakan tidak tahu sama sekali tentang kontrak yang dibuat dengan pemerintah, karena mara’dia Balanipa tidak mengirimkan kontrak yang ditujukan bagi Binuang (Laporan Asisten Residen Wijnmalen pada 20 Mei 1860).

(7)

Junarti, 2001:56-59),4 agar memberikan

bantuannya untuk menangkap perompak Tuan Lolo. Akan tetapi dengan kedatangan kapal Ambon yang membawa surat-surat itu, perompak Tuan Lolo segera meninggalkan Mamuju setelah beberapa minggu berada di daerah itu. Beberapa orang penduduk Mamuju yang telah dirompak 4Mayor Kalangkangan adalah pimpinan orang

Bugis yang bernama Daeng Matona, berpangkat Kapten dan berkedudukan di Kalangkangan, Sulawesi Tengah. Orang-orang Bugis di daerah itu, memegang peranan penting dalam aktivitas ekonomi dan keramaian. Mereka menjadi penampung hasil hutan dari daerah pedalaman dan mengekspornya. Bahkan mereka juga sering terlibat dalam perompakan terhadap kapal-kapal dagang asing yang melewati perairan setempat. Pemberian pangkat kepada pimpinan suatu komunitas memberikan petunjuk bahwa komunitas itu memiliki peranan yang sangat penting dan sering digunakan jasanya baik oleh pemerintah kolonial Belanda maupun penguasa lokal untuk memperkuat kedudukan kekuasaannya. Daeng Matona dianugerahi medali emas melalui Besluit tanggal 17 Agustus 1824 No. 7. Ia kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Resolutie tanggal 19 Juni 1835 No. 11, dengan wewenang seluruh wilayah Sulawesi Tengah bagian barat. Daeng Matona meninggal pada tahun 1844, dan atas persetujuan pemerintah kolonial, ia digantikan putranya yang bernama Lapatigo. Lapatigo diakui sebagai Kapten Bugis Kalangkangan melalui Surat Keputusan tanggal 3 Oktober 1874, sementara putranya yang bernama Laraga diangkat sebagai pembantunya dengan pangkat Letnan. Seorang anggota keluarganya bernama Lamatupuang Patona Labendo diangkat menjadi pembantunya dengan pangkat Letnan. Sesungguhya pemberian jabatan-jabatan dengan pangkat Letanan, Kapten, dan Mayor disesuaikan dengan luas wilayah yang menjadi wewenangnya. Mereka bertugas sebagai pemimpin suatu kelompok masyarakat tertentu berdasarkan etnis seperti Cina, Arab, Melayu, Bugis, dan sebagainya yang tinggal di daerah lain. Tugas mereka adalah menyampaikan perintah dari pemerintah kolonial Belanda kepada penduduk lokal dan menjadi perantara bagi kepentingan penduduk lokal dengan pemerintah kolonial Belanda. Mereka yang diangkat pada jabatan tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, misalnya

Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1835 No. 37, yang mengatur pemukiman dan wewenang atas orang-orang Melayu, Bugis, dan Cina yang tinggal di luar daerah asalnya. Setelah Lapatigo meninggal, Lamatupuang Patona Labendo diangkat menjadi Kapten dan dibantu oleh Laraga Haji Muhammad Saleh dan Haji Amir dengan pangkat Letnan yang memimpin orang-orang Bugis di Sulawesi Tengah sampai tahun 1880.

oleh Tuan Lolo dibawa serta dari Mamuju (Arsip Makassar No.354:125; Sinrang,1994:73).

Sementara itu, penduduk Tanjung Kait dan Tapalang melakukan perompakan terhadap kapal milik Abdul Rachman. Pada 14 Maret 1856 kapal tersebut berangkat meninggalkan Makassar menuju Kutai, Kalimantan Timur. Namun kapal itu kandas di karang dekat Tanjung Kait pada 25 Maret 1856. Pejabat pemerintah kolonial segera berangkat ke Tapalang untuk meminta bantuan. Akan tetapi penduduk Tapalang dan Tanjung Kait, bukannya memberikan pertolongan malahan perompak seluruh muatan kapal dan membakar bangkai kapal yang kadas itu. Nahkoda kapal yang bernama Clyde dan beberapa awak lainnya berhasil meloloskan diri dengan perahu ke Makassar dan mengadukan perompakan itu kepada pemerintah kolonial Belanda. Kapal uap Admiraal Kingsbergen segera berangkat ke Mamuju menuju tempat tinggal mara’dia Mamuju dan Tapalang Abdul Malem Daeng Lotong untuk menyampaikan surat gubernur Sulawesi tertanggal 6 April 1856, yang antara lain berisi tuntutan ganti rugi atas perompakan yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar tersebut (Arsip Makassar No.1/10; Arsip Makassar No.354:125).

Atas tuntutan itu mara’dia Mamuju dan Tapalang berjanji untuk menyelidiki persoalan perompakan itu. Demikian pula dengan barang-barang yang dicuri atau dirompak sejauh masih bisa ditemukan akan dikirim ke Makassar. Bahkan mara’dia Mamuju dan Tapalang berjanji dan bersedia menggantikan atas nilai barang-barang yang hilang kepada korban perompakan tersebut. Namun, dalam perkembangannya mara’dia Mamuju dan Tapalang ternyata tidak dapat memenuhi janjinya. Sebab, pemangku adat Tapalang menolak tuntutan itu karena mereka mengaku tidak memiliki kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, mara’dia Balanipa dipersalahkan karena tidak mengirimkan kontrak politik yang dibawa oleh Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen yang dititipkan padanya untuk disampaikan kepada Kerajaan Tapalang dan Mamuju (Arsip Makassar No.354:125).

(8)

Sehubungan dengan persoalan perom-pakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda dalam keputusannya pada 16 Mei 1856 No. 2, memberikan wewenang kepada gubernur Sulawesi untuk melakukan tindakan tegas apabila mara’dia Tapalang dan Mamuju tidak mengabulkan semua tuntutan yang diminta. Gubernur Sulawesi diharapkan dapat menggunakan sarana yang ada untuk memaksakan mereka memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan dan menghukum raja-raja itu atau menjatuhkan hukuman terhadap kampung-kampung yang bersalah. Oleh karena hingga awal Juni 1856, tuntutan tersebut masih belum dikabulkan semuanya, hanya sebagian kecil dari barang-barang yang dirompak dapat ditemukan kembali, maka dikirim sebuah pasukan ekspedisi ke Tapalang dan Mamuju pada 10 Juni 1856. Pasukan ekspedisi ini merupakan gabungan dari kekuatan angkatan laut dan darat yang terdiri atas kapal perang (fregat) Palembang, kapal uap Admiraal van Kingsbergen, dan kapal penjelajah Nomor 18 serta 50 di samping satu kesatuan yang diangkut dengan sebuah kapal perang berkekuatan seorang perwira dan 25 orang serdadu. Setelah pasukan ekspedisi tiba di tempat, segera menyampaikan tuntutan ganti rugi dalam waktu 36 jam tidak dikabulkan, maka kedua kampung tersebut akan dibakar dan dihancurkan. Meskipun demikian, pemangku adat Mamuju dan putra mara’dia Mamuju yang bernama Nae Sukur menyatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi yang dituntut. Oleh karena tuntutan tersebut tidak dipenuhi dan seiring dengan berlalunya batas waktu yang ditentukan, maka penghancuran Tapalang dan Tanjung Kait dilakukan tanpa ada perlawanan yang berarti. Penghancuran Tapalang dilakukan pada 19 Juni sementara Tanjung Kait dilakukan pada 20 Juni 1856 (Arsip Makassar No.1/10; Arsip Makassar No.354:126).

Pasukan ekspedisi tersebut tiba kembali di pelabuhan Makassar pada 30 Juni 1856, setelah kapal uap Admiraal Kingsbergen menyinggahi beberapa kerajaan lainnya di Mandar. Pada Juli 1856, sekali lagi terjadi tindakan perompakan di

wilayah Mandar lainnya yakni Majene. Namun kerugiannya tidak begitu besar. Oleh karena itu, kapal uap Surinama berangkat ke Majene untuk meminta ganti rugi pada 16 Agustus 1856. Ganti rugi yang diminta dapat dibayar, sehingga nasib mereka lebih beruntung daripada Tapalang. Bahkan seorang utusan tiba di Makassar untuk mengungkapkan penyesalannya kepada gubernur Sulawesi. Kerajaan-kerajaan di Mandar lainnya, termasuk Kerajaan Balanipa selama bulan Agustus dikunjungi oleh kapal layar Sijlph untuk menyampaikan instruksi dalam keputusan pemerintah kolonial Belanda, antara lain menyangkut pemberantasan perompakan masih sering terjadi di pantai Mandar (Arsip Makassar No.1/10).

Sementara itu, gubernur Sulawesi kembali menuntut mara’dia Mamuju supaya menyerahkan perompak Tuan Lolo. Sebab, berdasarkan berita yang dapat dipercaya bahwa Tuan Lolo kembali ke Mamuju. Namun, mara’dia Mamuju menyatakan tidak dapat menyerahkan Tuan Lolo. Oleh karena Tuan Lolo sedang berada di daerah Kalumpang dan mendapat perlindungan dari saudara mara’dia yang memerintah. Saudara mara’dia Mamaju tersebut, bernama La Matupuang yang digelar Tomasuri Lembang yang dahulu telah diturunkan sebagai mara’dia Mamuju dan kini bermusuhan dengan mara’dia yang berkuasa. Bahkan mantan mara’dia Mamuju itu dan Tuan Lolo bersama mara’dia Sendana dan Pambauang melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap negeri-negeri Soreang dan Paboborang yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majene. Gubernur Sulawesi meminta penjelasan kepada mara’dia Balanipa tentang persoalan tersebut, tetapi mara’dia Balanipa tidak menjawabnya (Arsip Makassar No.354:127-128).

Suatu konflik terkadang hanya dipicu oleh persoalan sepele. Umpamanya, suatu pembunuhan menjadi alasan bagi perselisihan atau permusuhan dan dengan kematian pembunuhnya sikap permusuhan itu dapat diakhiri. Selain itu, juga berdasarkan laporan yang diterima oleh pemerintah kolonial Belanda

(9)

bahwa berkali-kali kasus perompakan terjadi di pantai Mandar antara tahun 1858-1859. La Kapere, putra mara’dia Pambauang, dengan dibantu oleh La Matupuang Tomasuri Lembang, mantan mara’dia Mamuju dan saudara mara’dia yang memerintah di kerajaan itu, merompak sebuah perahu milik Pajala di Kodingaring. Atas bantuan Mayor Kalangkangan, awak perahu itu berhasil dikirim ke Makassar, juga dengan laporan bahwa dia mencoba menyerahkan kembali barang-barang dan perahu yang telah dirampok. Namun, La Kapere dan Tomasuri Lebang tidak bersedia datang ke Lembang dan menyerahkan diri (Arsip Makassar No.354:129).

Pemerintah kolonial Belanda mengirim kapal uap Reinier Claassen ke Mamuju dan Pamboang untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Oleh karena tuntutan sebanyak f 1.614 yang menurut nahkoda perahu I Tarawe ditetapkan terlalu tinggi bagi nilai perahu dan barang-barang yang dirompak, sehingga hanya f 800 yang ditetapkan sebagai ganti rugi dari Pambauang. Penguasa kerajaan ini memenuhi tuntutan itu, tetapi menuntut kembali setelah kepergian kapal uap ini dari Mamuju agar uang sebanyak f 400 dikembalikan. Gubernur Sulawesi menyampaikan kepada penguasa Pambauang bahwa Mamuju tidak mau membayar tuntutan karena tidak merasa berhutang. Oleh karena Tomasuri Lembang meskipun menjadi kawula Mamuju dan bermukim di Bawang Karama wilayah kerajaan itu, tetapi bermusuhan dengan penguasanya sehingga tidak dapat dituntut bagi tindakan Tomasuri Lembang. Bahkan Pambauang sebaliknya dapat dituntut sebagian ganti rugi yang dibayarkan karena ternyata La Kapere dinyatakan bersalah (Arsip Makassar No.354:130).

Meskipun demikian, Mamuju tetap dituntut wajib membayar, dan Pambauang ikut membantu dalam menerima uang itu. Kerajaan Pambauang akan dijatuhi hukuman apabila tidak melaksanakan keinginan pemerintah untuk tidak memerangi Mamuju atau terlibat dalam tindakan tersebut. Namun Mayor Kalangkangan segera setelah itu atas nama penguasa Mamuju

mengeluh tentang tuntutan Pambauang untuk membayarkan kembali 200 real. Pemerintah dalam surat pada 23 Januari 1861 Nomor 62 masih mendorong untuk menjaga perdamaian dengan Mamuju. Sementara pada saat yang sama dalam surat pada 23 Januari 1861 No. 63 I/Z pemerintah memberikan nasehat kepada penguasa Kerajaan Pambauang untuk mencoba menyelesaikan sengketa yang muncul dan tidak menggunakan senjata selama kerajaan ini tidak diserang (Arsip Makassar No.354:131).

Kapal uap Reinier Claasen dikirim kembali ke Mandar untuk menyelesaikan konflik atau perselihan antara mara’dia Pambauang dan mara’dia Mamuju. Termasuk persoalan yang menyangkut keterlibatan mara’dia Sendana yang merupakan menantu dari Tomasuri Lembang. Tampaknya sebagian dari ganti rugi f 800 yang dituntut telah diserahkan kepada Pamboang. Sebab, Kerajaan Mamuju diancam dengan perang jika tetap menolak untuk menyerahkan f 400 yang diminta kepada Pamboang. Mara’dia dan sebagian besar anggota pemangku adat Pamboang tidak hadir dalam pertemuan dengan para utusan pemerintah kolonial Belanda. Padahal komandan Stort dalam kunjungan sebelumnya pada Maret 1861, telah meminta raja atau mara’dia untuk menyampaikan rencana kedatangan mereka kepada anggota pemangku adat Pamboang, tetapi hanya sebagian kecil yang hadir untuk mengikuti pertemuan dengan utusan pemerintah kolonial Belanda, sehingga kapal uap itu harus berangkat meninggalkan Pamboang tanpa hasil keputusan yang berarti untuk mengakhiri konflik antara kedua belah pihak (Arsip Makassar No.354:132).

Sementara itu, arung Binuang menyatakan tidak tahu sama sekali tentang kontrak politik yang dibuat dengan pemerintah kolonial Belanda, karena mara’dia Balanipa tidak mengirimkan kontrak politik yang telah disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditujukan kepada Kerajaan Binuang. Mara’dia Balanipa mengemukakan alasan mengenai persoalan itu karena menduga bahwa kontrak politik ini akan dikirim oleh komandan Raders

(10)

ke Binuang. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengirimkan sebuah tembusan kontrak politik yang telah disahkan gubernur jenderal kepada arung Binuang. Di samping itu, persoalan lainnya di Kerajaan Binuang adalah arung Tonyamang diketahui telah menguasai barang-barang milik orang Arab yang berasal dari Parepare. Atas permohonan karaeng Mangeppe, arung Binuang dan arung Buku menyerang arung Tonyamang sampai dia menyerah atas tuntutan yang diajukan kepadanya. Arung Buku mengirimkan seorang wanita bebas ke Makassar yang telah dijual orang di Tonyamang, tetapi olehnya tetap ditahan untuk dikembalikan ke Makassar (Arsip Makassar No.354:132-134).

Sejumlah persoalan yang terjadi di daerah Mandar tersebut, mendorong pemerintah kolonial Belanda memerintahkan komandan kapal Etna Palm melakukan perjalanan menuju Mandar. Meskipun Kerajaan Mamuju masih tetap dapat menahan diri dan mempertahankan perdamaian, dan uang f 400 yang diminta untuk dibayarkan kepada Sendana tetap tidak diberikan sehingga kerajaan ini diancam dengan perang. Sementara itu, surat-surat gubernur Sulawesi kepada raja-raja Balanipa, Sendana, Majene, Pamboang, dan Binuang yang disinggahi oleh komandan kapal Etna Palm dalam kunjungannya kepada penguasa Mamuju untuk dikirimkan sesuai tujuannya, dikirim kembali ke Mamuju karena para mara’dia itu tidak mau menerima surat lewat perantaraan mara’dia Mamuju. Penguasa Mamuju dan Mayor Kalangkangan meminta bantuan kepada gubernur Sulawesi untuk mengusir Tomasuri Lembang dan putranya Dakke dari Mamuju. Selain itu, juga untuk menghancurkan Bawana dan Karama karena merupakan tempat-tempat persembunyian para perompak dan pemberontak lainnya (Arsip Makassar No.354:134).

Gambaran ringkas tersebut, menunjukkan bahwa meskipun kerajaan-kerajaan di Mandar telah menandatangani kontrak politik pada 1850, yang antara lain menyangkut tentang pemberantasan bajak laut atau perompakan, namun tindakan perompakan masih sering

terjadi di pantai Mandar. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda belum berhasil sepenuhnya mencipatakan kondisi kondusif bagi pelaksanaan kebijakan perdagangan bebas. Demikian pula sejumlah persoalan atas tindakan perompakan tersebut, yang tidak hanya mengakibatkan penghancuran sejumlah kampung, tetapi juga semakin menyengsarakan penduduk di pantai Mandar, serta tuntutan ganti rugi yang belum terselesaikan hingga tahun 1860. Semua ini tentu tidak dapat dinafikan bahwa hal itu akan semakin memicu sifat pembangkangan atau antipati rakyat Mandar terhadap pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, tindakan perompakan yang dilakukan penduduk di pantai Mandar, tidak semata-mata karena alasan ekonomi belaka, tetapi juga tidak lepas dari persoalan politik, sehingga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik atau perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Mandar.

Konflik Tahun 1862

Ketidakpatuhan kerajaan-kerajaan di Mandar atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak politik yang telah ditandatangani, menjadi salah satu penyebab pemerintah kolonial Belanda melancarkan agresi militer atau penyerangan terhadap Mandar pada 1862. Penyebab lainnya adalah penolakan mereka membayar tuntutan ganti rugi kepada pemerintah kolonial Belanda atas sejumlah perompakan di Mandar

(11)

(Lapian,1987:215).5 Penyerangan inilah yang

memicu terjadinya konflik berupa perang antara Mandar dengan pemerintah kolonial Belanda pada 1862. Meskipun serangan itu mendapat perlawanan dari Mandar, tetapi untuk kesekian kalinya pula mereka harus mengalami kekalahan.

Sesungguhnya perompakan dan perdagangan budak merupakan persoalan mendasar yang melatari terjadinya konflik antara Mandar dengan pemerintah kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19 (Resink, 1987:18; Resingk, 1973:7; Adam, 2007:2).6 Hal

ini jelas dinyatakan dalam laporan pemerintah kolonial Belanda, bahwa perompakan dan perdagangan budak masih banyak berlangsung di pantai Mandar. Bahkan pantai Mandar menjadi tempat perompakan paling banyak

5Menurut A. B. Lapian, bahwa bajak laut atau

perompak adalah orang melakukan kekerasan di laut tanpa mendapat wewenang dari pemerintahannya untuk melakukan tindakan itu. Dalam hukum internasional dirumuskan bahwa yang disebut tindakan bajak laut atau perompakan adalah suatu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu, yang tindakan itu dilakukan di perairan bebas, yakni di laut yang terletak di luar yuridiksi suatu negara tertentu. Lebih lanjut menurutnya bahwa bajak laut bukan hanya sebagai refleksi dari kemerosotan kekuatan laut pribumi yang tidak mampu bersaing dengan kekuatan kolonial, tetapi juga dijadikan alasan oleh pemerintah kolonial untuk melakukan intervensi dalam pemerintahan kerajaan pribumi.Selain itu, kegiatan bajak laut juga dapat dilihat sebagai manifestasi dinamika masyarakat bahari setempat, khususnya untuk memperoleh budak yang pada waktu itu merupakan sumber tenaga kerja.

6Salah satu contoh kasus yang menarik dalam

hal ini adalah ketika pengadilan pemerintah kolonial di Makassar tidak dapat berbuat apa-apa, karena kasus perdagangan budak yang dibawa ke hadapannya terjadi di daerah Mandar yang terletak di luar wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1888 Pengadilan Tinggi di Makassar menimbang dalam keputusan, diperkuat oleh Mahkamah Agung, tentang tersangka didakwa memperdagangkan budak belian, bahwa ia seorang penduduk Hindia Belanda telah melakukan perbuatan itu “di luar wilayah Hindia Belanda sendiri, ialah dalam kerajaan sekutu Binuwang (Binuang), salah satu dari tujuh negara di Mandar di Pulau Sulawesi, dimana masih merajalela perbudakan dan perniagaan budak belian diperkenankan” dan bahwa ia dalam arti Pasal 32 ketentuan Umum Perundangan-undangan harus dipandang sebagai berstatus “orang asing”.

dilakukan dibandingkan dengan tempat lainnya di Kepulauan Nusantara. Ketika tindakan itu terdengar atau diketahui oleh pemerintah kolonial Belanda di Makassar, maka segera dituntut ganti rugi dan apabila tidak dipenuhi, kampung yang dianggap bersalah akan ditembaki dan sering kali dibakar. Namun tindakan penembakan atau penghacuran itu belum banyak membawa perbaikan, bahkan aturan-aturan dalam kontrak atau perjanjian yang dibuat dengan kerajaan-kerajaan di Mandar tidak dipatuhi (Arnas, Politik Verslag 1855-1865; Arsip Makassar, No.354; Nooteboom,1912:503-535).

Sementara Asisten Residen Mandar, W.J. Leyds melukiskan bahwa setelah terjadi beberapa kali perompakan di pantai dan laut serta tidak taat menjawab surat menyurat, maka pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan tindakan tegas terhadap kerajaan-kerajaan di Mandar. Namun efeknya tidak seberapa dan tidak membawa perbaikan, karena hanya dilakukan tekanan dan tembakan dari kapal-kapal angkatan laut (Leyds,1940:35). Hal ini menunjukkan bahwa perompakan dan ketidakpatuhan Mandar, merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik antara Mandar dengan pemerintah kolonial Belanda pada 1862.

Selain itu, konflik antara Mandar dengan pemerintah kolonial Belanda, tampaknya juga tidak terlepas dari konflik internal di kalangan ana’ pattola payung (pewaris tahta) di Mandar, terutama di Balanipa. Sebab, konflik internal ini bukan hanya menjadi pintu masuk bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Mandar. Akan tetapi konflik internal ini juga membuat Balanipa tidak mampu melakukan perannya sebagai “ayah atau bapak” (ketua) dari persekutuan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai atau pesisir pantai). Oleh karena itu, Balanipa dianggap tidak berdaya “memadamkan api yang berkobar di Mandar” atau menyelesaikan sejumlah persoalan yang terjadi di Mandar( Lopa, 1982:22-23 dan

(12)

145-146; Mandra,1987:37).7 Bahkan kerajaan ini

dianggap sebagai “biang keladi” dari sejumlah persoalan dan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Mandar. Salah satu diantara konflik internal yang dimaksudkan adalah konflik antara Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dengan mara’dia matowa (koordinator pemangku ada’ sappulo sokko) Balanipa yang bernama Tokeppa.

Tokeppa yang biasa juga disebut dengan KeppangE, adalah salah seorang putra dari mantan Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge Tomatindo Di Lekopadis dan kemenakan penguasa Balanipa saat itu (Ammana Ibali yang biasa juga disebut dengan Maulana Passaleppa), bangkit menentang dan melawan Mara’dia Balanipa Ammana Ibali. Gerakan perlawanan Tokeppa bersama para pendukungnya mencapai puncaknya pada 1861. Tokeppa dibantu oleh mertuanya mara’dia Pamboang, dan sebagian rakyat Balanipa mengangkatnya sebagai mara’dia Balanipa. Demikian pula dengan mara’dia Sendana, putra mara’dia Pamboang saat itu, juga ikut mendukung dan bahkan membantu gerakan perlawanan Tokeppa (Arsip Makassar:354:134).

Sesungguhnya konflik antara Tokeppa dengan Ammana Ibali mulai muncul ketika Mara’dia Balanipa Tomatindo Di Lekopadis 7Padahal dalam lontarak antara lain dikisahkan

bahwa “Kalau terjadi perselisihan di antara mereka baik yang ditimbulkan oleh Kerajaan Banggae (Majene), ataukah Binuang, ataukah Pamboang, ataukah Sendana, ataukah Tappalang, ataukah Mamuju, maka dipedomani di mana api menyala di situ juga api dipadamkan. Apabila api tak dapat dipadamkan di antara mereka, maka Kerajaan Balanipa-lah yang memadamkan... Apabila berselisih dengan orang Bone dan api menyala di sini (Mandar), maka di Mandar pulalah dipadamkan. Dan apabila berselisih dua anggota Pitu Babana Binanga, maka tinggal lima yang akan memberbaiki, dan apabila berselisih empat tinggal tiga yang harus memperbaiki, dan apabila enam anggota

Pitu Babana Binanga berselisih dan pada saat itu datang Kerajaan Balanipa memperbaiki (memadamkan), maka berakhirlah perselisihan dan terwujudlah perdamaian. Namun kenyataannya, Kerajaan Balanipa terkadang tidak netral atau tidak dapat memerankan fungsinya sebagaimana yang diharapkan, misalnya dalam kasus Perang Mosso pada 1853 dan berbagai persoalan lainnya.

meninggal pada 1851. Konflik mereka itu antara lain disebabkan karena Tokeppa yang juga berhak menduduki tahta Kerajaan Balanipa dan atas dukungan dari sebagian anggota pemangku adatsappulo sokko (sepuluh pejabat atau pemangku adat) menginginkan dan berupaya agar Tokeppa diangkat menjadi mara’dia Balanipa. Namun ketika itu dewan ada’ kaiyang (adat besar) yang terdiri atas empat negeri besar (appe banua kaiyang) ternyata memilih dan mengangkat Ammana Ibali menjadi mara’dia Balanipa. Untuk meredam konflik di kalangan adat pattola payung Balanipa tersebut, maka atas persetujuan anggota pemangku ada’sappulo sokko, Mara’dia Balanipa Ammana Ibali kemudian mengangkat Tokeppa menjadi mara’dia matowa Kerajaan Balanipa. Tokeppa diangkat menjadi mara’dia matowa pada 1853, menggantikan mara’dia matowa Balanipa sebelumnya yang bernama Tomusuq Dimanyamang (Mandra,1992:122; Syah,1992:93).

Meskipun Tokeppa telah diangkat menjadi mara’dia matowa, tidak berarti bahwa konflik antara kedua belah pihak telah berakhir. Bahkan konflik itu berlanjut terus hingga tahun 1860-an, karena para pendukung mara’dia matowa tetap berupaya untuk menurunkan Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan mengangkat Tokeppa menjadi mara’dia Balanipa. Salah satu sebabnya karena perbedaan sikap terhadap hubungan Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda. Tokeppa dan para pendukungnya tidak hanya menentang dengan keras terhadap Belanda, tetapi juga terhadap sikap Mara’dia Ammana Ibali yang bersedia menerima dan menandatangani kontrak politik yang amat merugikan bagi Balanipa. Ammana Ibali dianggap terlalu lemah karena bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial tersebut. Atas perlawanan itu, Tokeppa kemudian diberhentikan sebagai mara’dia matowa oleh Mara’dia Ammana Ibali pada 1861. Ia kemudian digantikan saudaranya yang bernama Tokape (mara’dia malolo atau paglima perang Balanipa) menjadi mara’dia matowa Balanipa (Arsip Makassar No.354:140). Sesuai dengan ada’ assimemangan (adat dan kebiasaan)

(13)

di Balanipa, bahwa mara’dia Balanipa hanya dapat mengangkat atau memberhentikan seorang mara’dia matowa apabila mendapat persetujuan dari dewan pemangku adat sappulo sokko atau dewan ada’ kaiyang (adat besar).

Pada mulanya Mara’dia Matowa Tokape tidak menunjukkan sikap pertentangan atau konflik dengan Mara’dia Ammana Ibali, tetapi lama kelamaan benih-benih konflik itu juga terkuak ke permukaan. Oleh karena Tokape secara diam-diam mendukung pendahulunya Tokeppa, yang senantiasa melakukan perlawanan dan merupakan penentang yang gigih terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dalam lontara Mandar antara lain dikisahkan bahwa Tokeppa tidak sudi kepada Belanda dan terus mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial itu di Mandar (Mandra,1992:125). Sikap keras Tokeppa dan para pendukunganya terhadap Belanda tersebut, menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya konflik dengan pemerintah kolonial Belanda. Itulah sebabnya pemerintah kolonial Belanda dalam perkembangannya memutuskan untuk melancarkan serangan militer terhadap Mandar. Namun, sebelum serangan militer itu dilancarkan, pemerintah kolonial terlebih dahulu mengajukan tuntutan kepada Balanipa, yaitu sebagai berikut:

a. Pemulihan atas segala keluhan yang ada; b. Ganti rugi atas tuntutan yang diajukan atau

ditimbulkan karena perompakan pantai; c. Segera mengirimkan seorang utusan

yang merupakan anggota pemangku adat, dengan tujuan untuk meminta maaf atas apa yang terjadi dan juga untuk membuat sebuah kontrak baru, yang berlandaskan pada apa yang belakangan ini dibuat bersama semua kerajaan lain. Oleh karena itu, gubernur Sulawesi diberi wewenang ketika tuntutan itu tidak ditanggapi atau dipatuhi, dengan sarana yang ada di bawahnya, baik kekuatan maritim maupun militer untuk memenuhi tuntutan itu atau dengan pendudukan (Arsip Makassar No.354:137).

Tindakan tegas tersebut dilakukan dengan ketentuan bahwa setelah penaklukan terhadap Mandar, terutama Balanipa segera ditinggalkan, dan tidak segera dilakukan penghancuran. Akan tetapi kepada raja-raja dan pemangku adat diberikan batas waktu beberapa hari untuk menyerahkan diri. Apabila raja serta pemangku adat dalam batas waktu yang ditetapkan tidak mau menyerahkan diri, maka penghancuran terhadap kekayaan mereka akan dilakukan. Namun sedapat mungkin hak milik rakyat atau warganya akan diselamatkan (Arsip Makassar No.354:137). Untuk melaksanakan keputusan pemerintah kolonial Belanda tersebut, maka dikirimlah suatu ekspedisi militer di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Daalen ke Mandar. Ekspedisi militer ini bertujuan untuk melakukan tindakan tegas terhadap kerajaan-kerajaan di Mandar yang telah melakukan pelanggaran terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani sebelumnya, terutama terhadap Balanipa apabila tidak memenuhi semua tuntutan yang ajukan (Nooteboom,1912:503-535).

Asisten Residen Noorderdistricten (Distrik-distrik Bagian Utara) menyertai ekspedisi militer yang dikirim ke Mandar untuk menyampaikan atau menyerahkan tuntutan kepada Mara’dia Balanipa Ammana Ibali pada 4 Agustus 1862. Demikian juga terhadap arung Binuang yang tidak hanya dituntut agar raja membayar seluruh hutangnya, tetapi juga mengembalikan sebuah perahu yang telah ditahan oleh arung Binuang, karena orang-orang Salemo telah berhutang uang kepadanya. Sementara terhadap Kerajaan Pamboang dan Sendana diserahkan ultimatum yang menuntut agar mara’dia Pamboang dan mara’dia Sendana segera meninggalkan sikap permusuhannya kepada Mamuju dan menghentikan atau mengakhiri semua pertentangan yang terjadi selama ini. Selain itu, mara’dia Pamboang juga masih dituntut agar mengembalikan uang f 400 yang dituntut dan diperoleh dari Mamuju, karena tindakan itu tidak sesuai dengan keinginan gubernur Sulawesi (Arsip Makassar No.354:138).

(14)

Sesungguhnya sikap permusuhan Pamboang dan Sendana terhadap Mamuju dan tuntutan atas ganti rugi tersebut, bukanlah persoalan baru sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Bahkan penguasa Mamuju dan Mayor Kalangkangan berkali-kali mengeluhkan tentang sikap permusuhan dari para penguasa Mandar, terutama dari Pamboang dan Sendana. Atas dasar keluhan itu, maka gubernur Sulawesi mengirimkan surat kepada penguasa Pamboang yang berisi tuntutan sebagai berikut:

1. Penghentian semua sikap permusuhan terhadap Kerajaan Mamuju;

2. Pengembalian kepada Kerajaan Mamuju dana sebanyak f 400 yang telah dibayarkan; 3. Segera bersepakat dengan pemangku adat

Pamboang untuk berangkat ke Makassar, dengan tujuan atas nama raja meminta maaf atas tindakan tidak sopan di mana dalam perkara ini mereka terlibat (Arsip Makassar No.354:136).

Meskipun demikian, Mamuju tetap mendapat ancaman dari Sendana. Oleh karena mara’dia Sendana menikahi seorang putri Tomasuri Lembang, yang bermusuhan dengan mara’dia Mamuju (Arsip Makassar No.354:137).

Tampaknya ekspedisi militer yang dikirim ke Mandar tersebut, tidak menemui perlawanan yang berarti. Mantan Mara’dia Matowa Balanipa Tokeppa yang sangat menentang pemerintah kolonial Belanda, melarikan diri atau mengungsi ke pedalaman bersama para pendukungnya seiring dengan semakin mendekatnya kapal ekspedisi militer Belanda. Dengan adanya ancaman serangan militer itu, para penguasa Mandar segera meminta maaf dan memenuhi sebagian tuntutan yang diajukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Umpamanya, mara’dia Pamboang membayar ganti rugi f 400 yang diminta itu. Demikian pula dengan mara’dia Balanipa membayar sebagian ganti rugi yang diminta dari sejumlah f 3.246,50 atas berbagai kasus perompakan pantai dan laut yang dilakukan oleh penduduk Balanipa. Oleh karena itu, maradia Balanipa terpaksa menjaminkan

keris pusaka Balanipa dengan janji akan segera menebusnya kembali (Nooteboom,1912:529; Arsip Makassar No.354:139).

Sebagian besar anggota pemangku adat tidak mematuhi perintah panggilan untuk berkumpul dan berangkat ke Balanipa. Demikian pula penghasilan dari Balanipa, sebagian besar dikuasai oleh mara’dia Pamboang dan mantan Mara’dia Matowa Balanipa Tokeppa. Pemangku adat Pamboang, Sendana, dan Binuang berangkat ke Makassar, sehingga semua kerajaan ini dianggap telah memenuhi kewajibannya. Sementara mara’dia Balanipa tidak berhasil mengumpulkan seluruh anggota pemangku adat Balanipa, sehingga hanya tiga orang anggota pemangku adat yang dapat berangkat ke Makassar. Namun tidak jelas nama ketiga anggota pemangku adat Balanipa yang masih setia kepada Mara’dia Balanipa Ammana Ibali. Anggota lainnya yang memihak kepada Tokeppa dan saudaranya Tokape (mara’dia matowa Balanipa) tidak mematuhi panggilan mara’dia Balanipa untuk berkumpul dan segera berangkat ke Makassar (Arsip Makassar No.354:140.

Meskipun demikian, sebuah kontrak baru dapat dibuat bersama dengan tiga anggota pemangku adat Balanipa yang hadir di Makassar. Namun sebelum kontrak itu dibuat, Letnan Melayu Tajoedin dikirim ke Balanipa untuk meminta suatu kesepakatan dengan maradia Balanipa atas nama pemangku adat. Akan tetapi usaha ini juga tetap tidak berhasil. Sementara itu, gubernur Sulawesi memperkenankan pemangku adat Binuang, Pamboang, dan Sendana yang telah hadir dan berkumpul di Makassar untuk mengajukan permohonan maaf atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terhadap pemerintah kolonial Belanda, terutama terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani sebelumnya. Pada saat yang bersamaan kontrak baru diajukan dan dibuat dengan Kerajaan Majene, Binuang, Pamboang, dan Sendana pada 14 Oktober 1862. Kontrak ini antara lain membahas tentang penolakan pengaruh asing di Mandar (pasal 3). Sementara pasal 20 menguraikan tentang memberikan

(15)

hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih pemerintahan atas Mandar dalam kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ketentuan dalam pasal 13 dalam kontrak dengan Mandar juga diperluas hingga mencakup orang Timur Asing (Arsip Makassar, No. 354:140-141).8

Kontrak politik tersebut ditandatangani oleh para anggota pemangku adat dari masing-masing kerajaan. Kerajaan Majene diwakili oleh Jerami pabbicara Pangaliali sebagai pengganti dan kuasa dari mara’dia Majene, Massiara pabbicara Totoli, Hasang pabbicara Banggai, dan Kajang papuangan Totoli sebagai anggota pemangku adat. Kerajaan Binuang diwakili oleh Magga Daeng Silasa sebagai pengganti mara’dia (arung) Binuang bersama J. Mangatie pabbicara kerajaan. Kerajaan Pamboang diwakili oleh Jerino Daeng Malaba papuangan Pamboang sebagai wakil pengganti mara’dia Pamboang bersama pemangku adat Pamboang. Kerajaan Sendana diwakili oleh Matto Ambo Cetto papuangan Puttada sebagai pengganti mara’dia Sendana dan pemangku adatnya (Pemda,1991:183,189,191, dan 196).

Kemudian menyusul pula dilakukan kontrak politik dengan Kerajaan Mamuju dan Tappalang, yang bertepatan dengan pengukuhan Nae Sukur sebagai mara’dia Mamuju pada 31 Oktober 1862(Arsip Makassar, No. 354:135).9

Nae Sukur, menantu Mayor Kalangkangan dipilih dan diangkat menjadi mara’dia Mamuju oleh pemangku adat Mamuju untuk menggantikan ayahnya Mara’dia Mamuju Abdul Malem Daeng Lotong. Bersama Mamuju dan Tapalang kontrak baru dibuat dan ditandatangani

8Kontrak politik ini pada dasarnya sama dengan

kontrak politik yang dilakukan terhadap Sanrabone pada 11 Juli 1860. Sangat disayangkan karena saya tidak berhasil mendapatkan secara lengkap isi kontrak tersebut.

9Surat pemberitahuan dan permohonan persetujuan

pemangku adat Mamuju kepada Gubernur Sulawesi tertanggal 25 Januari 1862, dan surat persetujuan Gubernur Sulawesi kepada pemangku adat Mamuju tertanggal 13 Perbruari 1862 Nomor 129 I/Z. Kontrak politik itu bunyinya sama seperti kontrak politik tanggal 14 Oktober 1862 dengan Kerajaan Majene, Binuang, Pambauang dan Sendana.

oleh masing-masing kerajaan, yaitu Kerajaan Mamuju oleh Nae Sukur mara’dia Mamuju dan pemangku adatnya, dan Kerajaan Tapalang oleh Cakeo Daeng Mariba pabbicara Tapalang sebagai pengganti mara’dia Tapalang dan pemangku adatnya (Pemda,1991:90 dan 95; Saharuddin,1985:58).

Setelah melakukan kontrak politik dengan kerajaan-kerajaan tersebut, pemerintah kolonial Belanda kini memusatkan perhatiannya pada Balanipa. Oleh karena itu, Gubernur Sulawesi Kroesen berangkat bersama pasukan menuju Mandar pada pertengahan Nopember 1862. Dua hari setelah itu rombongan ini tiba di Balanipa. Gubernur Sulawesi segera mengirim utusan untuk menemui Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan meminta pemangku adat Balanipa bersama mara’dia Balanipa menghadap gubernur. Mara’dia Balanipa bersama anggota pemangku adatnya memenuhi perintah itu dan meminta maaf pada gubernur. Semua persoalan antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda yang terjadi selama ini karena perbuatan mantan Mara’dia Matowa Tokeppa (Arsip Makassar No.354:142; Nooteboom,1912:530).

Berhubung karena Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dianggap tidak layak lagi untuk memerintah akibat faktor usia, maka pergantian mara’dia dibicarakan bersama para anggota inti pemangku adat Balanipa (pabbicara kaiyang, pabbicarakenje, papuangan Limboro, dan papuangan Biring Lembang). Atas kesepakatan anggota inti pemangku adat Balanipa, putra sulung Mara’dia Balanipa Ammana Ibali yang benama Mararabali (La Tonrabali) yang juga sebagai mara’dia Majene dipilih dan diangkat menjadi pelaksana tugas mara’dia Balanipa. Padahal yang berhak dalam pemilihan dan pengangkatan seorang mara’dia di Balanipa adalah dewan ada’ kaiyang (adat besar). Meskipun demikian, pilihan itu tetap diterima dan Mara’dia Mararabali berjanji akan segera mengakhiri segala persoalan atau konflik antara Balanipa dengan pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, Mara’dia Mararabali bersama anggota pemangku adat Balanipa diharapkan

(16)

dalam waktu dekat berangkat ke Makassar untuk menandatangani atau membuat kontrak baru dengan pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar No.354:143).

Mara’dia Mararabali mengajukan permohonan penundaan keberangkatan ke Makassar, dengan alasan untuk terlebih dahulu menebus keris pusaka Balanipa yang telah dijaminkan. Permohonan penundaan dikabulkan, tetapi uang tebusan itu tidak diberikan. Sementara itu, Mara’dia Tokeppa yang melarikan diri ke pedalaman bersama sebagian pendukungnya menyerahkan diri pada 20 November 1862. Gubernur Sulawesi kembali ke Makasar pada 29 November 1862. Para anggota pemangku adat Balanipa berangkat dengan kapal Berkel ke Makasar, untuk meminta maaf dan membuat sebuah kontrak baru dengan gubernur. Pemangku adat Balanipa diterima oleh gubernur Sulawesi pada 6 Desember 1862. Mereka meminta maaf atas sejumlah pelanggaran terhadap kontrak yang dilakukan oleh penguasa Balanipa (Nooteboom,1912:535; Saharuddin,1985:57).

Saat itu, kontrak baru dibuat pula bersama anggota pemangku adat Balanipa yang biasa disebut dengan adat sappulo sokko. Mereka itu terdiri atas Mannang (Pabbicara Kaiyang), Muhammad (Pabbicara Kenje), Loppus (Papuangan Limboro), Ahmad (Papuangan Biring Lembang), Caca (Papuangankoyang), Dullah (Papuangan Lambe), Mallu (Papuangan Tenggeleng), Labaco-baco (Papuangan Luyo), dan Paju (Papuangan rui) sebagai duta mara’dia Balanipa (Pemda,1991:181; Rahman,1988:293). Kontrak politik dengan Balanipa tersebut, berbunyi sama seperti kontrak politik yang dibuat dengan Binuang, Majene, Pamboang, dan Sendana pada 14 Oktober 1862, serta kontrak politik dengan Tappalang dan Mamuju pada 31 Oktober 1862. Ketujuh kontrak politik itu kemudian disahkan dengan keputusan

pemerintah kolonial Belanda pada 24 Maret 1863 (Pemda, 1991:181-196; Arsip Makassar, No. 354:143-144).10

Bersamaan dengan penandatanganan kontrak politik oleh pemangku adat Balanipa tersebut, mereka juga menyampaikan kepada gubernur bahwa Mara’dia Balanipa Ammana Ibali telah menyatakan mengundurkan diri secara resmi dan menyerahkan tahta pemerintahan kepada putranya La Tonrabali (Mararabali), yang juga sebagai mara’dia Majene. Pemangku adat Balanipa tidak merasa keberatan dan meminta persetujuan gubernur Sulawesi atas pilihan tersebut. Oleh karena itu, gubernur Sulawesi memberikan persetujuannya pada 8 Desember 1862. Persetujuan gubernur Sulawesi dalam persoalan ini kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Keputusan Pemerintah pada 24 Maret 1863 (Arsip Makassar No. 354:144).

Persetujuan dan pengesahan Pemerintah Kolonial Belanda atas pengangkatan Mararabali menjadi mara’dia Balanipa tersebut, tampaknya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan (Arfah dan Amir, 1993:82).11 Oleh karena

pemilihan Mararabali sebagai pelaksana tugas atau calon mara’dia Balanipa hanya dilakukan oleh anggota pemangku adat Balanipa (ada’ 10Ketujuh kontrak politik itu masing-masing

disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 24 Maret 1863 No.8, kemudian dimuat dalam lampiran dari buku-buku pembahasan Tweede Kamer

pada Staten General masa sidang 1864-1865, tahun perihal XXI: No. 18 (Sendana), No. 19 (Binuang), No. 20 (Majene), No. 21 (Pambauang), No. 22 (Tapalang), No. 23 (Mamuju), dan No. 25 (Balanipa).

11Persoalan itu amat jarang terjadi bahwa suatu

persetujuan dari gubernur dan pengesahan dari gubernur jenderal dianulir oleh dewan adat suatu kerajaan lokal. Biasanya yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa suatu keputusan dewan adat kerajaan lokal yang justru dibatalkan atau dianulir oleh pemerintah kolonial Belanda.Salah satu contoh misalnya adalah ketika Raja Bone I Banri Gau Arung Timurung wafat tahun 1893, Dewan Ade’ Pitu

(Hadat Tujuh) Kerajaan Bone memilih I Bunga Sutera Daeng Bau Arung Apala menjadi Raja Bone. Namun, Gubernur Sulawesi Bram Borris tidak dapat menyetujuinya dan membatalkan pilihan Dewan Hadat Kerajaan Bone, kemudian mengangkat La Pawawoi Karaeng Segeri

(17)

sappulo sokko), dan bukan oleh anggota dewan Ada’ Kaiyang (adat besar) yang berhak memilih dan mengangkat atau melantik serta memecat seorang mara’dia di Kerajaan Balanipa. Selain itu, juga karena berdasarkan ada’ assimemangan (adat dan kebiasaan) di Balanipa bahwa seorang ana’ pattola payung yang telah terpilih menjadi calon mara’dia diwajibkan mencari atau memperkaya pengalamannya di masyarakat, terutama ia harus memperlihatkan tingkah laku yang terpuji di masyarakat. Itulah sebabnya selama masa pencalonan atau sebelum pelantikan secara defenitif, calon mara’dia tetap terus menerus diamati tingkah lakunya oleh rakyat melalui kejadian-kejadian alam yang ada hubungannya dengan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Kejadian atau peristiwa yang dianggap baik akan membawa calon mara’dia pada pelantikan defenitif.Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka calon mara’dia tidak dapat dilantik dan dewan adat yang berwenang dalam hal ini akan mencari calon lain (Rahman, 1988:223-225).12 Oleh

karena situasi keamanan dan ketertiban dalam kerajaan saat itu tidak stabil atau kurang kondusif sehingga Mararabali tidak pernah dilantik menjadi mara’dia Balanipa. Itulah sebabnya jika dicermati silsilah raja-raja Balanipa, nama Mararabali tidak tercantum dalam daftar atau susunan sebagai mara’dia Balanipa.

PENUTUP

Gambaran singkat menyangkut konflik antara Mandar dengan pemerintah kolonial

12Kejadian-kejadian alam yang dianggap baik

tersebut, antara lain seperti makanan melimpah, ikan di laut dan di tambak banyak, tidak ada keributan yang akan menggelisahkan rakyat, dan tidak ada penyakit epidemi. Sedangkan kejadian-kejadian alam yang dianggap kurang baik antara lain seperti loppa lita’ (tanah akan panas atau musim kemarau yang panjang), lelei sai (penyakit merajalela), tanang-tanang tammenjari (gagal panen), rupu penjai olo’-olo’ (ternak akan musnah), dan bau nasoro’i wai (ikan akan ditinggalkan air). Hal ini sering dihubungkan dengan sifat atau tingkah laku calon mara’dia atau pemangku adat dalam arti baik atau tidak, yang konsekuensinya adalah dapat atau tidak dilakukan pelantikan terhadap calon tersebut.

Belanda pada 1862, menunjukkan bahwa konflik itu dilatari oleh tuntutan ganti rugi atas sejumlah tindakan perompakan yang dilakukan oleh penduduk Mandar. Oleh karena tuntutan ganti rugi itu tidak semua dapat dipenuhi, sehingga pemerintah kolonial Belanda melancarkan tindakan militer terhadap kerajaan-kerajaan di Mandar. Tindakan militer inilah yang menjadi pemicu terjadi konflik antara kedua belah pihak. Pemicu konflik lainnya adalan campur tangan pemerintah kolonial Belanda terhadap urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Mandar, terutama konflik internal di kalangan ana’ pattola payung (para pewaris tahta). Untuk meyelesaikan konflik itu, dilakukan pembaharuan kontrak politik pada 6 Desember 1862. Namun karena pembaharuan kontrak politik itu lebih banyak merugikan pihak Mandar sehingga konflik antara kedua belah pihak bukannya berakhir, tetapi tetap belanjut hingga tahun-tahun berikutnya. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (editor). 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Amir, Muhammad. 2011. Konflik Balanipa – Belanda di Mandar 1862-1872. Makassar: Tesis (belum diterbitkan) Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Anonim.1873.Korte Verslag van het Gouvernement Celebes en Onder-hoorigheden over de maand April 1873.Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.

Arfah, Muhammad dan Muhammad Amir, 1993.

Biografi Pahlawan Andi Mappanyukki

Sultan Ibrahim. Ujung Pandang: Depdikbud.

Arnas, Politiek Verslag vanGouvernement Celebes en Onderhoorigheden van

(18)

1855-1865. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.

Arsip Makassar No. 1/10.Politiek Verslag van Residentie Celebes en Onderhoorigheden over het jaar 1855-1865. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.

Arsip Makassar No. 354.Vervog Geschiedkundig Overzig van het Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden van 1846-1865. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.

Berg, B.J. van den. 1936.Memori van Overgave (MvO).Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.

Hamsah, M. Darwis. 1987. Hakekat Budaya Mandar. Makalah yang disampaikan pada Seminar Kebudayaan Mandar, di Polewali tanggal 26-27 November 1987.

Junarti. 2001. Elite dan Konflik Politik di Kerajaan Banawa, Sulawesi Tengah 1888-1942. Yogyakarta: Tesis (belum diterbitkan) Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: LP3ES. Lapian, Adrian B. 1987. Orang Laut – Bajak

Laut – Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Yogyakarta: Disertasi (belum diterbitkan) Universitas Gadjah Mada.

Leyds, W.J. 1940. Memori van Overgave, Assistant Reident Mandar.Diterjemahkan oleh Hanoch Luhukay dan B. E. Tuwanakotta (2006), Makassar: Yayasan Kaitupa.

Lontarak Pattodioloang Mandar. Koleksi Museum Daerah Mandar di Majene. Lontarak Pattappingan Mandar. Koleksi

Museum Daerah Mandar di Majene. Lontarak Balanipa Mandar. Koleksi Museum

Daerah Mandar di Majene.

Lopa, Baharuddin. 1982. Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan. Bandung: Alumni.

Mandra, A.M. 1987. Beberapa Perjanjian dan

Hukum Tradisi Mandar. Sendana-Majene: Yayasan Saq-adawang.

Mandra, A.M. dkk. 1992. Lontar Mandar (Terjemahan dan Transliterasi). Jakarta: Depdikbud.

Nawir. 2002. Konflik di Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) Kabupaten Polmas Pasca UU No.11Tahun 2002, dalam Jurnal Sejarah Sulesana Vol.1, No.1. Makassar: Balai Kajian Sejaran dan Nilai Tradisional. Nooteboom, C. 1912. “Nota van Toelichting

Betreffende het Landschap Balangnipa”, dalam Tijscriff voor Indische Taal-, Land, en Volkenkunde. Batavia: Alberecht M. Nijhoff: 503-535.

Paeni, Mukhlis, dkk. 2002. Batara Gowa, Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Makassar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pemda.1991. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Provinsi Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Pemda Tk. I Sulawesi Selatan. Poeleinggomang, Edward L. 2002. Makassar

Abad XIX, Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Poeleinggomang, Edward L. 2005. Sejarah

Sulawesi Selatan Jilid I. Makassar: Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan. Poeleinggomang, Edward L. 2012. Sejarah dan

Budaya Sulawesi Barat. Makassar: de la macca.

Rahman, Darmawan Mas’ud. 1988. Puang dan Daeng Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar. Ujung Pandang: Disertasi (belum diterbitkan) Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Resink, G.J. 1987. Raja dan Kerajaan yang

Merdeka di Indonesia 1850-1910. Jakarta: Djambatan.

Resink, G.J. 1973. Negara-Negara Pribumi di Kepulauan Timur. Jakarta: Bhratara.

Saharuddin.1985. Mengenal Pitu Babana Binanga (Mandar) Dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi

(19)

Selatan. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Sinrang, A. Saiful. 1994. Mengenal Mandar Sekilas Lintas. Ujung Pandang: Pemda Majene.

Sjariffudin, Amier. 1989. Perjanjian Antarkerajaan Menurut Lontarak. Ujung Pandang: Disertasi (belum diterbitkan) Fakultas Pacasarjana Universitas Hasanuddin.

Sulistyo, Bambang. 1993. Konflik Antarkerajaan dan Dampaknya di Sulawesi Selatan. Makalah pada Seminar Sejarah Regional Indonesia Timur.

Syah, M.T. Azis.1997. Sejarah Mandar Jilid I, II, dan III. Ujung Pandang: Yayasan Al Azis.

Syah, M.T. Azis. 1992.Lontara Pattodioloang di Mandar (Terjemahan dan Traliterasi). Ujung Pandang: Yayasan Taruna Remaja. Swager, J. 1866. Kerajaan Kutai di Pesisir

Timur Kalimantan dan Hal-ihwalnya Dalam Tahn 1853, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Seri 4, II dan dalam Taufik Abdullah (editor), 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang dimaksudkan suami tidak mampu di sini adalah ketidakmampuan seorang suami untuk memenuhi kebutuhan isterinya, baik berupa nafkah lahir maupun nafkah batin

Dari tabel diatas menginformasikan bahwa pencapaian peserta KB baru Pra S dan KS I terhadap KKP PB Pra S dan KS I pada sampai dengan bulan ini telah tercapai sebesar 5.89%,

Variabel yang paling dominan mempengaruhi kinerja karyawan adalah rekrutmen, hal ini dapat dilihat dari nilai rekrutmen yang memiliki standar koefisien regresi tersebesar

Lipa Saqbe Mandar (Sarung Sutra Mandar) adalah pakaian adat Sulawesi Barat yang sepintas memiliki persamaan dengan kain sutra daerah lain, tapi di setiap jenis dan nama

Melalui demontrasi peserta didik dapat menentukan kerusakan pada Sistem Pengapian elektronik sesuai dengan SOP yang berlaku dan cermat 4.2.3 8. Melalui demontrasi peserta

Inkubator adalah alat untuk Inkubator adalah alat untuk menginkubasi atau memeram mikroba pada menginkubasi atau memeram mikroba pada suhu yang terkontrol(umumnya diatas

Bertanam kacang hijau pada kondisi kering di musim kemarau dapat memberikan hasil tinggi bila teknologi diterapkan dengan tepat terutama penggunaan varietas unggul yang berumur