BAB II
LANDASAN TEORI II.A. Kesepian
II.A.1 Definisi Kesepian
Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah merasakan dan mengalami kesepian. Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli untuk menjelaskan mengenai kesepian.
Peplau dan Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengartikan kesepian sebagai ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan bila hubungan-hubungan sosial yang dimiliki tidak memiliki arti penting, dimana kesiapan ini dapat bersifat kuantitatif (sedikit atau tidak memiliki teman dari yang diinginkan) dan kualitatif (merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau dirasa kurang memuaskan).
Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan emosional yang berasal dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal yang dekat, tetapi tidak bisa mendapatkannya.
Bruno (1997) mengatakan, kesepian lebih dari sekedar kata. Kesepian adalah suatu pengalaman personal yang sangat menekan. Hidup dalam kesepian sama halnya hidup dipadang gurun yang gersang, dimana kita haus secara emosional dan psikologis.
Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian tidak disebabkan karena sendiri, tetapi dikarenakan tidak memiliki seseorang yang berarti
dalam suatu hubungan. Kesepian nampak sebagai respon dari ketidakhadiran suatu hubungan.
Perlman dan Peplau (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan ketidakpuasan atau kehilangan yang dihasilkan dari adanya ketidakseimbangan antara hubungan sosial yang kita inginkan dengan hubungan sosial yang kita alami. Pernyataan ini didukung oleh Gierveld (1989) yang menyatakan bahwa kesepian merupakan suatu keadaan dimana hubungan yang ada lebih sedikit daripada hubungan yang diharapkan, sehingga keintiman yang diharapkan tidak tercapai.
Peplau dan Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat berkurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain, yang kemudian akan menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Wrightsman (1993) bahwa ada tiga definisi utama dari kesepian, pertama, kesepian merupakan pengalaman subjektif seseorang. Kedua, kesepian secara umum dihasilkan karena berkurangnya hubungan sosial seseorang. Ketiga, kesepian adalah keadaan yang tidak menyenangkan.
Taylor, Peplau dan Sears (2000) mengatakan bahwa kesepian dapat berkisar dari perasaan ketidaknyamanan yang ringan sampai yang berat, dan perasaan sedih yang intens dan menetap. Menurut Wrightsman (dalam Dane, Deux & Wrightsman, 1993) kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada bagaimana interpretasi individu pada suatu kejadian.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah perasaan tidak nyaman, dan tidak terpuaskan yang diakibatkan oleh sedikit atau tidak adanya ikatan emosional, hubungan sosial
dan hubungan yang berarti yang dimiliki individu daripada yang diinginkan oleh individu. Dengan kata lain kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.
II.A.2. Karakteristik Kesepian
Salah satu atau beberapa keadaan mental dan emosional yang berhubungan dengan kesepian yaitu (Bruno, 1997) :
1. Isolasi
Isolasi adalah keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuannya dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya isolasi yaitu : keterguncangan yang disebabkan oleh kepindahan, keyakinan bahwa seseorang lebih unggul dibanding rekan yang lainnya, serta pekerjaan seperti robot.
2. Penolakan
Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat diterima, diusir, ata dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah keramaian. Hal ini dialami oleh kebanyakan laki-laki dan perempuan homoseksual ketika berusaha untuk membuka diri dan menyatakan dirinya sebagai gay atau lesbian kepada keluarga,
3. Merasa disalah mengerti
Ini merupakan suatu keadaan dimana seseorang seakan-akan dirinya disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalah mengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk bertindak.
4. Tidak mempunyai sahabat
Tidak mempunyai sahabat diibaratkan tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan, tidak dapat berbagi. Orang yang paling tidak berharga adalah orang yang tidak memiliki sahabat.
5. Bosan
Bosan merupakan suatu perasaan dimana seseorang merasa jenuh, tidak menyenangkan, tidak menarik, merasa lemah. Orang-orang yang mudah bosan biasanya orang-orang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada. 6. Merasa tidak dicintai
Merasa tidak dicintai adalah suatu keadaan dimana sesorang tidak mendapatkan kasih sayang, tidak diperlakukan secara lembut dan tidak dihormati. Merasa tidak dicintai menjauhkan seseorang dari persahabatan dan kerjasama.
7. Malas membuka diri
Malas membuka diri adalah suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut terluka, senantiasa merasa cemas dan takut, jangan-jangan orang lain akan melukainya. Savin dan Cohen (1996) mengatakan pria homoseksual
malas membuka diri ketika bertemu dengan orang yang baru dikenal dan selalu merasa cemas jika orang lain mengetahui bahwa dirinya gay.
8. Gelisah
Gelisah adalah sautu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan tentram didalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan perasaan galau dilanda cemas. Kondisi ini dialami sebagian besar pria homoseksual ketika berusaha untuk membuka diri atau memutuskan untuk tetap merahasiakan orientasi seksual mereka. (Savin & Cohen, 1996).
II.A.3. Jenis-jenis Kesepian
Weiss (dalam De jong Gierveld & Tillburg, 1999) mengemukakan bahwa di dalam perasaan kesepian terdapat dua komponen yaitu kesepian emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social loneliness) yaitu :
1. Kesepian Emosional (Emotional loneliness)
Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya ikatan yang dekat atau intim (intimate attachment) dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung
kepada siapapun. Hubungan yang ada kurang memuaskan, atau merasa lingkungan sosial kurang memahaminya.
2. Kesepian Sosial (social loneliness)
Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya teman, saudara atau orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan bisa saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan sosial.
Shaver, Furman & Buhrmeister (dalam Wrightsman, 1993), mengemukakan ada dua jenis tipe kesepian yang lain berdasarkan sifat kemenetapannya, yaitu :
1. Kesepian yang disebabkan oleh sifat (trait loneliness)
Merupakan kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit berubah,
dan biasanya dialami oleh orang yang memiliki harga diri (self esteem) yang
rendah, dan sedikit memiliki interaksi sosial yang berarti.
2. Kesepian yang disebabkan oleh keadaan tertentu (state loneliness)
Merupakan kesepian yang bersifat temporer, biasanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dramatis dalam kehidupan seseorang.
Berdasarkan penjelasan tipe-tipe kesepian diatas maka kesepian secara emosional dapat dihubungkan dengan kesepian yang disebabkan oleh trait loneliness,
kesepian disebabkan karena sedikit memiliki interaksi yang berarti. Sedangkan kesepian secara sosial dihubungkan dengan kesepian yang disebabkan state loneliness, kesepian disebabkan karena adanya keinginan untuk memiliki teman.
II.A.4. Penyebab Kesepian
Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu :
1. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang
Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang merasa tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan (relationship) yang tidak
adekuat. Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian sebagai berikut :
a. Being untouched : tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual,
berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.
b. Alienation : merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan
tidak memiliki teman dekat. Perasaan-perasaan seperti merasa berbeda, dan tidak memiliki teman dekat umumnya dialami oleh pria homoseksual dan membuat pria homoseksual merasa kesepian (Savin & Cohen, 1996).
c. Being alone : pulang kerumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. d. Forced isolation : dikurung dalam rumah, dirawat inap dirumah sakit, tidak
bisa kemana-mana.
e. Dislocation : jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah
baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan.
2. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Menurut Brehm (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi disaat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan, karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu :
a. Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika
sedang sedih. Bagi beberapa orang cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang, dan cenderung membutuhkan teman-temannya bila sedang sedih.
b. Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu (desire) terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup
memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak lagi memuaskan ketika orang tersebut berusia 25 tahun.
c. Perubahan situasi. Banyak orang yang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.
Menurut Brehm (2002) pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki seseorang tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang tersebut akan mengalami kesepian.
3. Self-esteem dan causal attribution.
Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko
secara sosial (misalnya berbiacara didepan umum dan berada dikerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus, akan mengalami kesepian.
Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002) bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepian (causal attribution) dapat membuat kesepian tersebut semakin
kuat (intens) dan menetap. Orang yang percaya bahwa kesepian yang dialaminya
berasal/disebabkan oleh dirinya sendiri akan membuat kesepian yang dialaminya semakin kuat dan cenderung menetap.
Atribusi internal seperti ini akan membuat orang tersebut mengalami depresi, menghambat orang tersebut untuk bertemu dengan orang lain dan menghambat orang tersebut untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini akan membuat kesepian orang tersebut semakin meningkat.
4. Perilaku interpersonal.
Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyulitkan orang tersebut untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan (hostile).
Orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami ksesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat didepan umum.
Orang yang kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, 1988).
II.A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesepian
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesepian pada seseorang, antara lain:
1. Usia
Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa kesepian, tetapi telah banyak yang membuktikan bahwa stereotip tersebut adalah keliru. Hasil penelitian oleh Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) menemukan bahwa kesepian lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orang-orang yang sudah tua. Pernyataan ini didukung oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) dimana menekankan bahwa masa dewasa dini adalah masa dimana terjadinya ‘krisis keterpencilan’ dan dalam masa inilah seseorang sering sekali merasa kesepian.
2. Status Perkawinan
Secara umum orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack, dalam Brehm, 2002).seperti yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, individu dihadapkan kepada tugas perkembangannya, yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Akan tetapi, ketika hal tersebut tidak terlaksana akan menyebabkan terjadilah kesepian pada individu tersebut. Brehm (2002) menyatakan bahwa kurangnya ataupun tidak adanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian yang bersifat emosional (emotional loneliness)
3. Gender
Menurut Borys dan Perlman (dalam Wrightman, 1993), laki-laki dan perempuan menunjukkan frekuensi yang sama saat mengalami kesepian. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi kesepian daripada laki-laki. Sebagian besar laki-laki yang mengalami kesepian menyangkal bahwa dirinya sedang merasa sepi. Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002) menyebutkan laki-laki juga lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami kesepian lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung di tolak dibanding dengan perempuan. Hal ini bukan berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami kesepian.
4. Karakteristik latar belakang yang lain
Hubungan antara orang tua dan anak dalam struktur keluarga erat kaitannya dengan kesepian. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu yang orang tuanya tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai, semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami saat dewasa. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuanya berpisah karena salah satunya meninggal.
5. Faktor sosial ekonomi
Weiss (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa pendapatan yang rendah dari individu cenderung membuat individu tersebut mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu yang memiliki pendapatan yang tinggi.
II.A.6. Perasaan Kesepian
Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyatakan ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang mengalami kesepian, antara lain adalah:
a. Desperation
Individu merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Adapun desperation ini ditandai
dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut, tidak adanya harapan, merasa dibuang, dan merasa di kecam.
b. Tertekan
Suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam ataupun dalam kondisi tertekan, sehingga bila tidak dapat mengatasi keadaan tersebut dapat mengarahkannya kedalam perasaan depresi. Depresi pada individu ditandai dengan rasa tidak sabar, membosankan, keinginan untuk berpindah-pindah ketempat lain, gelisah, marah, dan tidak mampu untuk berkonsentrasi.
c. Impatient boredom
Individu merasakan kebosanan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari ketidaksabarannya terhadap diri sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan
merasa diri tidak menarik, benci pada diri sendiri, merasa bodoh, memalukan, dan tidak nyaman.
d. Self-deprecation
Individu menyalahkan diri sendiri, mencela, dan mengutuk diri terhadap persitiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan perasaan
sedih, tertekan, kosong, terpencil, tidak memaafkan diri sendiri, melankolis, diasingkan, dan adanya keinginan untuk bersama seseorang yang spesial.
II.A.7. Dampak Kesepian
Kesepian pada umumnya akan menimbulkan berbagai dampak pada orang yang mengalaminya, antara lain :
1. Tingkat perasaan kesepian yang mendalam akan berhubungan dengan berbagai masalah personal seperti depresi, pemakaian alkohol dan obat-obatan, penyakit fisik dan bahkan berisiko kematian (Taylor, Peplau & Sears, 2000). 2. Kesepian disertai oleh berbagai emosi negatif, seperti depresi, kekhawatiran, ketidakpuasan, dan menyalahkan diri sendiri (Anderson, dalam Baron & Byrne, 2000).
3. Orang yang mengalami kesepian dapat tenggelam dalam kepasifan yang menyedihkan, menangis, tidur, minum, makan, memakai obat penenang dan menonton televisi tanpa tujuan (Deux, Dane& Wrightsman, 1993).
II.B. Homoseksual
Sebelum membahas tentang homoseksual, penting sekali diketahui beberapa konsep yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu identitas jenis kelamin, peranjenis kelamin, dan orientasi jenis kelamin.
II.B.1 Identitas Jenis Kelamin
Pentingnya peranan identitas jenis kelamin seseorang dalam kehidupan sudah tampak ketika seorang ibu melahirkan bayinya (Sarwono, 1999). Umumnya, pertanyaan pertama yang dilontarkan setelah proses persalinan adalah tentang jenis kelamin anak (Musen, Conger & Huston, 1992). Sejak saat itu perlakuan yang diberikan ayah, ibu, keluarga, tetangga dan sebagainya disesuaikan dengan jenis kelamin anak tersebut. Untuk anak laki-laki ia diberi baju biru, selimut biru dan mobil-mobilan. Begitu pula sebaliknya jika anak perempuan ia akan diberi baju serta selimut merah jambu dan boneka (Musen, Conger & Huston, 1992) .
Pola perlakuan orang tua ini berpengaruh pada perilaku anak (Sarwono, 1999). Oleh karena perlakuan tersebut, anak memiliki kesadaran dan penerimaan akan sifat biologis dasar seseorang sebagai laki-laki atau perempuan yang dikenal dengan istilah identitas jenis kelamin. (Musen, Conger & Huston, 1992).
Identitas jenis kelamin ini sudah berkembang pada saat individu berusia 3 tahun (Hoffman, Paris & Hall, 1997). Pada usia itu umumnya anak sudah mampu menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kohlberg (dalam Berk, 1989) bahwa anak usia 2 tahun mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan dengan benar. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut anak telah menjalani kategorisasi diri secara kognitif, yaitu mengenal diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan.
Myers (1996) menjelaskan ciri-ciri ideal bagi pria adalah sifat maskulin, seperti perkasa,mandiri, melindungi dan menguasai (wanita). Sedangkan ciri-ciri ideal bagi wanita adalah sifat feminin seperti tampil menari, cantik dan seksi.
Dengan adanya dua sifat yang dibentuk dan dipercayai oleh budaya tersebut, yaitu maskulin dan feminin maka Bem (dalam Sarwono, 1999) menjelaskan bahwa
secara psikologi ada empat kemungkinan tipe jenis kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki yaitu :
1. Tipe maskulin, dimana individu mempunyai banyak sifat maskulin dan sedikit sifat
feminin,
Tipe feminin, dimana individu mempunyai banyak sifat feminin, dan sedikit sifat
maskulin,
Tipe androgin, dimana individu mempunyai banyak sifat maskulin dan feminin
secara berimbang,
Tipe tidak tergolongkan, dimana individu mempunyai sedikit sifat feminin dan maskulin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas jenis kelamin : 1. Reaksi dari significant others
Dalam usahanya untuk membentuk identitas jenis kelamin, individu terus menerus mendapatkan reaksi dari orang-orang disekitarnya (Kelly, 2001). Apabila individu terus menerus mendapatkan reaksi negatif, ia tidak dapat mengembangkan identitasnya ke tahap-tahap selanjutnya. Sebagai contoh, anak laki-laki oleh masyarakat diharapkan untuk bermain mobil-mobilan karena dianggap mewakili ciri maskulin. Akan tetapi ketika anak laki-laki senang bermain masak-masakan yang cenderung diasosiasikan dengan sifat feminin, maka anak tersebut dimarahi oleh keluarganya terus menerus. Dengan begitu anak tersebut terhambat mengembangkan identitas feminin dan terdorong untuk mengembangkan identitas maskulin.
2. Self-Acceptance
Derajat penerimaan diri merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembentukan identitas jenis kelamin (Kelly, 2001). Bila individu dapat menerima dirinya secara utuh dan merasa nyaman dengan dirinya sendiri, ia akan dapat mengembangkan
kepribadian dengan maksimal. Sebagai contoh, Oetomo (2003) mencatat ketika seorang pria menyadari dirinya menyukai sesama jenis, ia di sarankan temannya pergi ke psikolog untuk konsultasi. Akan tetapi ketika mendapati penjelasan bahwa homoseksual bukan penyakit dan tidak perlu diubah, akhirnya ia dapat menerima dirinya sebagai homoseks dan menjalankan hidup dengan baik.
Identitas jenis kelamin terkait pula dengan peran jenis kelamin. Misalnya, ketika seorang anak laki-laki tumbuh besar, ia diperbolehkan untuk memanjat pohon atau bermain layang-layang. Begitu pula sebaliknya, ketika anak perempuan tumbuh besar diperbolehkan untuk menjahit atau membantu ibu memasak didapur (Sarwono, 1999). Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai peran jenis kelamin.
II.B.2. Peran Jenis Kelamin.
Peran jenis kelamin merupakan pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan harapan masyarakat. Nauly (1993) mengatakan sejak seorang anak dilahirkan, lingkungan mulai mempersiapkan anak tersebut untuk berperilaku yang dianggap sesuai bagi jenis kelaminnya oleh lingkungan.
Menurut Carroll (2005) peran jenis kelamin merupakan sekumpulan atribut sikap, trait, kepribadian, dan perilaku yang dianggap sesuai oleh masyarakat untuk masing-masing jenis kelamin.
Peran jenis kelamin inilah yang kemudian membentuk seseorang menjadi seorang laki-laki maupun perempuan dan yang membedakan seseorang berdasarkan aspek fisiologis dan non fisiologis. Ketika perbedaan itu mulai dirasakan oleh
individu, maka dalam dirinya akan terbentuk konsep diri secara keseluruhan, sebagai seorang laki-laki maupun perempuan secara biologis maupun secara psikologis (Subroto, 2005).
Ketika seseorang sudah dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, ia dihadapkan pada peran jenis kelamin yang terbentuk dalam masyarakat (Carroll, 2005).
Adapun peran jenis kelamin seorang laki-laki yang diharapkan oleh masyarakat adalah sebagai kepala keluarga atau sebagai seorang ayah, dan peran jenis kelamin perempuan yang dianggap wajar oleh masyarakat adalah menjadi seorang istri ataupun ibu. Hal ini berhubungan dengan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erickson, dimana menurut Erickson pada tahap perkembangan ke-enam (intimacy vs isolation) individu mulai membina kelekatan dengan lawan jenisnya. Hingga akhirnya hubungan tersebut berlanjut ke tahap pernikahan (Erickson, dalam Monks, 2002).
Untuk dapat menjadi seorang ayah ataupun kepala keluarga, seorang laki-laki sewajarnya memilih perempuan menjadi pasangannya. Sedangkan seorang perempuan untuk dapat menjadi seorang ibu ataupun istri sewajarnya memilih laki-laki menjadi pasangannya. Dengan begitu peran jenis kelamin dalam masyarakat berpengaruh didalam pembentukan orientasi jenis kelamin seseorang (Sadli, 2004).
II.B.3 Orientasi Jenis Kelamin
Orientasi jenis kelamin adalah minat atau ketertarikan seseorang kepada lawan jenis kelamin yang sama, berbeda, ataupun keduanya. Oleh Carroll (2005) orientasi jenis kelamin dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
Heteroseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan
hubungan romantis dengan individu yang memiliki jenis kelamin berbeda, dimana hal ini dianggap sesuai dengan norma masyarakat,
Homoseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan
hubungan romantis dengan individu yang memiliki jenis kelamin yang sama,
Biseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan
hubungan romantis dengan individu dari jenis kelamin yang sama maupun berbeda sekaligus.
Secara umum laki-laki memang punya kecenderungan untuk lebih menyukai perempuan, dan perempuan lebih menyukai laki-laki sebagai pasangannya, sehingga golongan yang umum ditemui adalah golongan yang berorientasi heteroseksual (Carroll, 2005). Akan tetapi dalam masyarakat mana pun ada sebagian kecil yang berorientasi homoseksual (Oetomo, 2003). Menurut penelitian Beal (dalam Sarwono, 1999) di amerika serikat terdapat 4 – 10% penduduk berorientasi homoseksual.
Orientasi seksual dapat berubah setelah mengalami beberapa pengalaman dengan orang lain dalam konteks hubungan sesama orang dewasa. Sebagai contoh, homoseksual dan biseksual dapat mengalami perubahan orientasi seksual menjadi heteroseksual, jika dituntut untuk menyesuaikan diri dengan norma psikologis yang lebih diinginkan oleh masyarakat (Garnets & Kimmel, dalam Greene, 1994).
Menurut Negara (2005) ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan orientasi tersebut, antara lain :
Semakin terbukanya informasi seksualitas
Hal-hal yang berbau seksual, dahulu dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu, tabu dan misterius. Akan tetapi dengan adanya media yang membuka informasi tentang seksualitas, membuat hal-hal yang berbau seksual tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu, tabu dan misterius.
Perubahan peran jenis kelamin
Secara tradisional, perempuan diperlukan sebagai mahluk yang pasif dan tidak responsif secara seksual, sedangkan laki-laki dianggap sebagai agressor seksual. Dalam budaya dan adat perempuan hanya dianggap sebagai pihak yang lemah dan hanya menerima saja, sedangkan laki-laki lebih dominan dalam urusan seks dan menentukan segala sesuatu tentang urusan seks. Pandangan ini telah diganti dengan konsep partisipasi, dimana laki-laki dan perempuan saling berpartisipasi dalam membentuk suatu hubungan.
II.B.4 Gay
Keberadaan homoseksual di Indonesia memang tidak terbuka jika dibandingkan dengan negara lain. Berbicara tentang homoseksual sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena homoseksual sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala (Spencer, 2004).
Menurut Spencer (2004) sejak jaman prasejarah homoseksual sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman dikepulauan Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya untuk mendapatkan penetrasi di anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritus heteroseksual, tetapi kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada anak-anaknya.
Dalam konteks homoseksual, istilah gay mengacu pada laki-laki yang
mempunyai orientasi seksual kepada laki-laki, sedangkan lesbian mengacu pada
perempuan yang mempunyai orientasi seksual kepada perempuan (Kelly, 2001). Pada tahun 1969 sempat terjadi kerusuhan Stonewall, di New York. Kejadian yang diawali penangkapan oleh polisi di gay bar ini menyebabkan para homoseksual
melakukan pemberontakan melawan polisi dan menimbulkan kerusuhan besar. Pemberontakan yang pertama ini menginspirasikan gerakan homoseksual, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Kemudian pada tahun 1978, Asosiasi Internasional Gay dan Lesbian didirikan di Belgia, dan tahun 1996 Afrika Selatan
merupakan negara yang pertama melindungi hak-hak para gay (Spencer, 2004).
Secara umum, masyarakat sering sekali salah dalam mengartikan istilah homoseksual, homoseksualitas, dan homoseks. Mereka beranggapan bahwa ketiga hal tersebut adalah sama. Istilah homoseksual merujuk pada orientasi seksual yaitu minat atau ketertarikan untuk mengembangkan hubungan yang romantis dengan individu
yang berjenis kelamin sama. Sementara homoseksualitas adalah aktivitas seksual yang melibatkan pilihan atas individu yang berjenis kelamin sama (Zanden, dalam Subroto, 2005). Seseorang dikatakan sebagai homoseks apabila birahinya untuk melakukan aktivitas seksual bangkit dengan melihat atau berkhayal tentang sesama jenis.
II.B.5 Faktor-faktor yang menyebabkan indvidu menjadi gay.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi seorang homoseksual, adalah:
Faktor sosial
Seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan atau sosial. Seorang
individu yang awalnya heteroseksual bisa menjadi gay jika ia merasa sensasi yang
berbeda dan menyenangkan saat melakukan hubungan homoseksual (Masters, 1992). Menurut Feldmen dan MacCulloch (dalam Masters,1992) jika seseorang mengalami pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian mendapatkan pengalaman homoseksualitas yang menyenangkan, ada kemungkinan individu tersebut akan menjadi gay.
Faktor trauma pada masa kecil
Cameron (dalam Savin-Williams, 1996) menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi gay disebabkan trauma pada masa kanak, dimana selama masa
kanak-kanak tersebut individu mendapatkan penyiksaan dari saudara kandung, teman bermain maupun orang dewasa.
Faktor herediter atau genetik
Kallman (dalam Masters, 1992) mencatat bahwa kondisi homoseksualitas adalah kondisi yang disebabkan oleh genetika. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik dan kembar fraternal. Penelitian menemukan jika salah satu saudara kembarnya adalah seorang gay, kemungkinan
saudara kembarnya adalah seorang gay juga. National Center Institute (dalam Kelly,
2001) melakukan penelitian terhadap 40 gay yang juga memiliki saudara laki-laki
gay. Penelitian tersebut menemukan dari 40 gay bersaudara tersebut, ditemukan 33 gay bersaudara memiliki 5 tanda yang sama pada kromosom x.
II.B.6 Masalah-masalah yang dialami kaum Gay.
Secara umum, kaum gay mengalami masalah-masalah seperti mendapat
penolakan dari keluarga dan lingkungan, adanya penyiksaan fisik yang terjadi dirumah, mendapatkan pelecehan secara verbal (Centre Population Options, dalam
Savin & Cohen, 1996). Budijanto (2001) mengatakan bahwa secara psikis kaum homoseksual sering merasa tidak disukai, merasa bersalah dan merasa malu.
Dari beberapa literatur ditemukan ada beberapa dampak dari masalah-masalah yang dihadapi kaum gay terhadap kondisi kesehatan mental dari kaum gay, yaitu :
Keinginan untuk bunuh diri
Keinginan untuk bunuh diri dan perilaku self-destructive adalah masalah
serius diantara kaum gay. Gibson (dalam Savin & Cohen, 1996) menyatakan
bahwa 30% gay lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri dibandingkan
2003) menjelaskan bahwa gay cenderung melakukan bunuh diri karena mereka
mendapatkan pengalaman buruk dari orang lain ketika membuka diri sebagai seorang gay.
Penyalahgunaan Obat-obatan
Remafedi (dalam Savin & Cohen, 1996) menemukan bahwa lebih dari 80% kaum gay yang berusia lebih dari 15-19 tahun belajar menggunakan obat-obatan
terlarang, dan sebanyak 60% dari mereka memenuhi kriteria sebagai pecandu. Savin & Cohen (1996) mencatat bahwa individu gay menggunakan obat-obatan
terlarang dan menyalahgunakan pemakaiannya sebagai pelarian dari masalah-masalah yang mereka hadapi.
Depresi dan Kecemasan
D’Augelli (dalam Savin & Cohen, 1996) meneliti mengenai mahasiswa
gay,lebih dari 60% melaporkan bahwa memiliki masalah dengan emosi mereka dan
mengekspresikan depresi, dan tercatat 77% dari mereka juga mengalami kecemasan. Griffin & Krowinski (dalam Robin dkk, 2003) mengatakan bahwa gay
menjadi mudah cemas dan depresi disebabkan oleh internaliasasi homophobia, dan keinginan untuk membuka orientasi seksual mereka atau tidak kepada orang lain.
II.B.7 Gambaran Kesepian Gay dikota Medan
Perkembangan dan pertumbuhan gay dikota Medan belum seperti yang dapat
kita temui dan didapati seperti di beberapa kota besar di Indonesia, misalnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya dimana pada kota-kota tersebut ditemui dan didapati kelompok-kelompok yang didirikan dan ditujukan untuk menampung dan tempat
untuk berkeluh-kesah bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan berorientasi homoseksual.
Akan tetapi, menurut sumber Aplaus (edisi 21 Juli – 03 Agustus 2007) seperti yang diungkapkan Roy (salah satu gay dikota Medan – bukan nama sebenarnya)
bahwa sekitar tahun 1997 dikawasan Gatot Subroto Medan ditemukan sebuah diskotik dimana para pengunjungnya adalah gay dan lesbian. Namun karena masyarakat
sekitar kurang senang dengan keberadaan diskotik tersebut, akhirnya diskotik tersebut terpaksa ditutup.
Adanya diskriminasi terhadapa kaum gay di Indonesia secara umum
memberikan rasa ketidaknyamanan secara langsung kepada kaum gay. Ditambah
dengan adanya kasus-kasus yang bermunculan seperti mutilasi yang dilakukan oleh Ryan atau pembunuhan terhadap karyawan BPPN oleh dua bersaudara yang juga gay
menambah rentetan panjang akan buruknya pandangan masyarakat terhadap kaum
gay serta semakin menimbulkan perasaan cemas, malu, merasa tidak disukai,
bersalah, depresi dan takut.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Ridho dalam kutipan pada harian sinar harapan “Akibatnya, kaum gay semakin kehilangan ketenangan dan kedamaian menjalani kehidupannya. Dia menjelaskan banyak laki-laki pencinta sesama jenis harus mengalami ketakutan. Bukan hanya takut teror melalui SMS, mereka juga takut pada razia atau penggerebekan oleh masyarakat, aparat kepolisian, dan kelompok agama tertentu”(Harian Sinar Harapan, 08 juli 2008).
Tidak adanya tempat-tempat yang dapat menampung keluh-kesah untuk orang-orang yang memiliki kencenderungan berorientasi homoseksual, sulit untuk mendapatkan teman-teman yang memiliki orientasi seksual sejenis, serta sering mengalami penolakan, merasa berbeda dari orang lain, takut membuka diri, merasa tidak disukai, cemas, merasa tidak disukai orang lain, malu dan depresi menyebabkan
gay dikota Medan rentan terhadap kesepian. Isolasi, alienasi, penolakan, merasa
disalah mengerti, merasa tidak dicintai, depresi, tidak memiliki sahabat, takut membuka diri, merupakan beberapa keadaan mental dan emosional yang diasosiasikan dengan kesepian (Bruno, 1997) dimana kaum homoseksual sulit untuk membina hubungan-hubungan sosial yang bersifat kuantitatif dan kualitatif sehingga membuat kaum homoseksual mengalami kesepian.
Skema : Gambaran Kesepian pada Gay di Kota Medan SOSIAL Emosional -Isolasi -Malas membuka diri -Gelisah -Tidak memiliki sahabat KESEPIAN
Kurangnya Hub. Sosial dan Emosional yang bersifat kuantitatif dan
kualitatif
- Hub.yang tidak adekuat
- Perubahan akan suatu hubungan - Self esteem - Perilaku interpersonal HOMOSEKSUAL -STIGMA -DISKRIMINASI -PENOLAKAN