• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya (Sanjaya,2005).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya (Sanjaya,2005)."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

46 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Pendidikan merupakan proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu dan perkembangan masyarakat. Kemajuan suatu masyarakat dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya (Sanjaya,2005).

Fungsi pendidikan menurut Hamalik (2009) adalah mempersiapkan peserta didik, dimana peserta didik yang pada hakikatnya belum siap dan perlu untuk dipersiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri. Hal ini merujuk pada proses yang berlangsung sebelum peserta didik siap untuk melangkah pada kehidupan yang nyata.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian fungsi pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003).

Belajar dapat dilakukan di lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non formal. Pemisahan jenjang pendidikan ada dalam Undang-undang tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Undang-undang ini

(2)

47

merupakan pembaruan dari undang-undang sebelumnya, yakni undang-undang No.2 tahun 1989. Sedikitnya ada tiga komponen dalam pendidikan nasional kita meliputi jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan merupakan wahana yang dilalui peserta didik, dikenal ada jalur formal (sekolah) dan jalur informal (luar sekolah). Sedangkan jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan berdasarkan perkembangan peserta didik. Jenjang pendidikan formal terbagi atas pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Terakhir, jenis pendidikan merujuk pada pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Purnama,2010). Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Bagi siswa yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah sekolah yang dapat menjadi masa persiapan yang baik. Hal ini disebabkan program penjurusan biasanya dimulai di bangku Sekolah Menengah Atas (Purnama, 2010). Jika dilihat dari struktur kurikulumnya, kurikulum Sekolah Menengah Atas mencakup dua jenis yaitu struktur kurikulum program studi dan struktur kurikulum program pilihan. Struktur kurikulum program studi terdiri dari Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa. Sedangkan struktur kurikulum program pilihan adalah dimaksudkan untuk memberikan

(3)

48

kebebasan kepada peserta didik dalam memilih sejumlah mata pelajaran yang sesuai potensi, bakat, dan minat peserta didik (Sanjaya,2005).

Menurut Siswoyo (2010) keunggulan Sekolah Menengah Atas (SMA) khususnya adalah dalam penguasaan konsep, cara berpikir, performance sebagai bekal ke pendidikan berikutnya. Sekolah Menengah Atas (SMA) memang disiapkan untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu bangku perkuliahan.

Sekolah menengah kejuruan (SMK) adalah salah satu jenis pendidikan menengah di Indonesia. Sekolah kejuruan statusnya sama dengan Sekolah Menengah Atas. Sekolah kejuruan memiliki jurusan yang lebih bervariasi dibandingkan dengan Sekolah Menengah Atas dan pilihan jurusan itu nantinya akan berhubungan juga dengan jenis pekerjaan. Oleh karena itu, siswa yang memilih untuk langsung bekerja, Sekolah Menengah Kejuruan adalah pilihan yang tepat. Hal ini disebabkan karena muatan materinya memang dipersiapkan agar siswanya kelak siap memasuki dunia kerja/professional (Purnama,2010).

Sekolah Menengah Kejuruan memiliki struktur kurikulum yang dibagi menjadi komponen normatif, adaptif, dan produktif. Komponen normatif berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik menjadi warga masyarakat dan warga yang berperilaku sesuai nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Komponen adaptif berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu beradaptasi dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, budaya, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan perkembangan dunia kerja sesuai keahlian. Dan yang

(4)

49

terakhir komponen produktif berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu melaksanakan tugas di dunia kerja sesuai dengan program keahlian (Sanjaya,2005).

Siswoyo (2010) menambahkan bahwa siswa yang berada di bangku Sekolah Menengah Kejuruan, bukan hanya belajar tetapi dapat menyalurkan hobi siswa. Hal ini disebabkan karena Sekolah Menengah Kejuruan memiliki keunggulan khususnya dalam hal penguasaan skill atau keterampilan yang bisa langsung digunakan sebagai modal kerja. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan disiapkan untuk langsung menghadapi dunia kerja.

Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan bukan hanya berbeda dari struktur kurikulumnya saja, tetapi juga berbeda dalam metode belajar yang dipengaruhi oleh struktur kurikulum. Sirodjuddin (2008) membedakan metode belajar pada Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan yaitu diantaranya adalah pada Sekolah Menengah Atas lebih banyak diberikan teori daripada praktek sedangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan siswa diberikan lebih banyak praktek daripada teori. Hal lain yang membedakan dua jenis pendidikan ini adalah lingkungan belajar. Siswa Sekolah Menengah Kejuruan belajar bukan hanya di sekolah tetapi juga dunia kerja, sedangkan siswa Sekolah Menengah Atas tempat belajar hanya dilaksanakan di sekolah saja. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan lembaga pendidikan formal yang diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antara tenaga kerja (siswa/i) dengan dunia kerja.

(5)

50

Menurut Purnama (2010), Sekolah Menengah Kejuruan memiliki program magang atau praktik kerja lapangan (PKL). Biasanya program semacam ini dilakukan oleh mahasiswa menjelang akhir masa studi, dan Sekolah Menengah Kejuruan juga menerakan program magang atau praktik kerja lapangan (PKL). Tujuannya agar para siswa mengenal dunia kerja secara langsung serta dapat berlatih mempraktikkan ilmu yang selama ini dipelajari di sekolah. Dalam praktek ini, siswa mencari sendiri tempat magangnya atau dibantu oleh pihak sekolah. Intinya magang (PKL) adalah proses belajar pada perusahaan tersebut. Hal ini didukung oleh komunikasi personal peneliti dengan seorang guru SMK yang berada di Yayasan Dharma Bhakti Medan berinisial A. Beliau mengatakan bahwa:

“….proses belajar mengajar di SMK dan di SMA secara umum sama, tapi SMK ada belajar di dalam kelas, dan ada juga praktek di luar kelas yang tetap diawasi oleh kami guru-gurunya. Ada dua mata pelajaran untuk praktek, jadi setiap mata pelajaran itu, siswa tidak belajar di dalam kelas tapi di luar kelas. Dan nanti ketika kelas 3, siswa ditugaskan untuk praktek kerja lapangan (PKL) ke perusahaan sesuai dengan jurusan yang dipilih. Sedangkan SMA sama seperti sekolah pada umumnya, tidak ada praktek diluar kelas, jadi siswa hanya menunggu guru di dalam kelas untuk belajar….”

(Komunikasi Personal, 9 Oktober 2010) Kegiatan belajar mengajar yang diakhiri dengan praktek, dapat menciptakan lulusan siswa yang mandiri (Sirodjuddin, 2008). Donelly & Fitmaurice (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa praktek dalam belajar cenderung menekankan pada peran siswa secara langsung dibandingkan guru sehingga membutuhkan kemandirian belajar. Dalam proses belajar, perlu adanya kemandirian dalam belajar. Dimyati (dalam Indriani, 1998) mendefinisikan kemandirian belajar sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong

(6)

51

oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar. Surya (dalam, Astuti, 2003) menambahkan bahwa belajar mandiri adalah proses menggerakkan kekuatan atau dorongan dari dalam diri individu yang belajar untuk menggerakkan potensi dirinya mempelajari objek belajar tanpa ada tekanan atau pengaruh asing di luar dirinya. Dengan demikian belajar mandiri lebih mengarah pada pembentukan kemandirian dalam cara-cara belajar.

Kemandirian belajar dapat menghasilkan self directed learning dalam belajar, karena menurut Gibbons (2002), self directed learning dapat dibentuk melalui empat tahap yaitu, siswa berpikir secara mandiri artinya siswa yang sebelumnya tergantung pada pemikiran guru menjadi tergantung pada pemikiran sendiri, tahap kedua adalah belajar memanejemen diri sendiri, lalu siswa belajar perencanaan diri tentang bagaimana siswa akan mencapai program belajar yang sudah ditetapkan, lalu tahap terakhir adalah terbentuknya self directed learning

dimana siswa memutuskan sendiri apa yang akan dipelajari, dan bagaimana cara siswa mempelajarinya.

Menurut Gibbons (2002), self directed learning meliputi bagaimana siswa belajar setiap harinya, bagaimana siswa dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang cepat berubah, dan bagaimana siswa dapat mengambil inisiatif sendiri ketika suatu kesempatan tidak terjadi atau tidak muncul, sehingga diperlukan peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi, dan pengembangkan diri dimana individu menggunakan beberapa metode dalam banyak situasi dalam setiap

waktu. Self directed learning penting karena dapat memberikan murid

(7)

52

kemampuan dengan perkembangan karakter dan mempersiapkan murid untuk mempelajari seluruh kehidupan mereka, Self directed learning juga dapat mempersiapkan siswa menjadi pelajar yang aktif dan terbaik.

Self directed learning penting dalam proses pembelajaran. Menurut

Knowles (1975) pentingnya self directed learning dalam proses pembelajaran didasarkan pada dua hal yaitu orang-orang yang memiliki inisiatif sendiri dalam belajar akan terus belajar dan akan lebih baik dalam belajar bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki inisiatif dalam belajar, lalu mereka juga akan belajar secara lebih mendalam dan menetap. Self directed learning juga dapat membantu siswa untuk mengerti konsep belajar dan penilaian belajar yang baik, dan sebaliknya siswa yang memiliki self directed learning yang rendah, tidak akan mendapat manfaat dalam belajar dan memiliki kemampuan kognitif yang lemah(Bath & Kamath, 2007).

Self directed learning bermanfaat bagi siswa SLTA yakni siswa SMA dan

SMK yaitu dalam melatih pengembangan kemampuan belajar sendiri yang

diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran selanjutnya selepas masa

pendidikan formal. Selain itu self directed juga bermanfaat dalam menggugah motivasi belajar siswa (Mudjiman, 2008). Tujuan self directed learning bagi siswa SMA maupun SMK adalah untuk membekali siswa dengan keterampilan yang dibutuhkan agar termotivasi untuk belajar hari ini dan seterusnya disepanjang hidupnya (life long learners).

Self directed learning pada siswa dapat terlihat dari kemampuan siswa

(8)

53

keahlian, siswa mampu merubah diri pada kinerja yang paling baik, siswa mampu memanajemen diri sendiri serta siswa mampu memotivasi dan menilai apa yang telah dikerjakan (Gibbons, 2002). Pada siswa SMK, mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi dapat terlihat ketika siswa dapat membentuk pendapat sendiri dan bertanggungjawab dalam melaksanakan aktivitas sendiri terutama ketika memasuki dunia kerja (PKL). Menurut Purnama (2010) program ini bertujuan agar siswa mengenal dunia kerja secara langsung dan dapat berlatih menerapkan ilmu yang dipelajari di sekolah. Sedangkan pada siswa SMA umumnya hal ini tidak dapat terlihat karena tidak adanya program PKL untuk memasuki dunia kerja sehingga siswa SMA kurang dapat mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi.

Siswa SMK dalam proses pembelajaran dilatih untuk mengembangkan keahlian lewat praktek belajar, karena menurut Siswoyo (2010) keunggulan SMK adalah penguasaan keahlian atau keterampilan yang bisa langsung digunakan sebagai modal kerja. Sedangkan di SMA, kesempatan untuk praktek terbatas karena menurut Sirodjuddin (2008) metode belajar di SMA lebih banyak diberikan teori daripada praktek belajar.

Siswa SMK juga dapat merubah diri mereka pada kinerja yang paling baik. Seperti halnya struktur kurikulum produktif SMK yang berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu melaksanakan tugas di dunia kerja sesuai dengan program keahlian (Sanjaya, 2005). Struktur kurikulum inilah yang mendukung siswa SMK untuk dapat merubah diri sehingga mampu melaksanakan tugas sesuai dengan keahlian untuk dipakai di dunia kerja. Berbeda dengan SMA,

(9)

54

menurut Sanjaya (2005), struktur kurikulum yang diterapkan berupa struktur kurikulum program studi dan program pilihan yang tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberikan kinerja yang terbaik di dunia kerja.

Self directed learning juga dapat terlihat dari siswa SMK maupun siswa SMA yang mampu mengatur diri sendiri. Program magang (PKL) ke dunia kerja yang diterapkan pada siswa SMK kelas XII merupakan praktek belajar yang membutuhkan peran siswa secara langsung sehingga siswa harus dapat mengatur diri sendiri. Menurut Donelly & Fitmaurice (dalam Nugraheni, 2005) praktek belajar cenderung menekankan pada peran siswa secara langsung dibandingkan dengan guru sehingga membutuhkan kemandirian belajar. Sedangkan di SMA, dengan tidak adanya program magang (PKL) tersebut membuat siswa masih tergantung pada guru dan tidak dapat berperan secara langsung dalam belajar.

Motivasi diri penting dalam belajar. Sirodjuddin (2008) membedakan siswa SMA dan siswa SMK berdasarkan lingkungan belajar. Lingkungan belajar siswa SMK bukan hanya di sekolah melainkan juga di dunia kerja, sedangkan siswa SMA hanya di sekolah saja. Motivasi diri pada siswa SMK dapat terbentuk pada saat siswa melakukan magang (PKL) di dunia kerja. Lingkungan di dunia kerja tanpa pengawasan guru dapat menyebabkan siswa SMK mau tak mau lebih memiliki motivasi yang lebih agar berhasil. Sedangkan pada siswa SMA dengan lingkungan belajar yang masih diawasi oleh guru kurang memiliki motivasi sendiri sehingga motivasi dan penilaian diri pada siswa SMA kurang dapat berkembang.

(10)

55

Lulusan pendidikan kejuruan akan dilatih untuk bekerja sehingga mempunyai perbedaan dengan sekolah lanjutan umum yang memberikan teori ilmu untuk dikembangkan secara murni. Siswa SMK dengan metode belajar yang lebih menekankan praktek di dalam maupun luar sekolah dibekali keterampilan yang nantinya setelah lulus, keterampilan tersebut akan digunakan didalam dunia kerja (Siswoyo, 2010). Evans (dalam Suandi, 1978) menyatakan bahwa pendidikan kejuruan diharapkan mampu menjembatani akan kebutuhan tenaga kerja yang terampil untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

Menurut Djojonegoro (dalam Suandi, 1999) penekanan pada penyiapan lulusan SMK untuk dapat bekerja mempunyai makna keahlian khusus yang lebih spesifik dibandingkan pendidikan menengah umum. Peserta didik dibekali keterampilan yang sifatnya aplikatif dengan berbagai jenis pekerjaan yang ada di dunia usaha atau industri, atau bahkan kesempatan berwirausaha dengan keterampilannya itu. Praktek yang dilakukan oleh siswa SMK menuntut siswa untuk dapat mengembangkan keahlian dengan keterampilan khusus yang dipraktekkan, pengetahuan yang dipelajari siswa, prestasi yang dapat diraih siswa melalui skill yang didapatkan dan menuntut siswa untuk mengembangkan diri sendiri. Hal tersebut mempengaruhi self directed learning, dimana self directed learning menurut Gibbons (2002) merupakan peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi, dan pengembangkan diri individu.

Lulusan pendidikan kejuruan lebih condong kepada ilmu-ilmu yang sifatnya terapan dan beberapa program keahlian menekankan kepada aspek

(11)

56

pengetahuan psikomotorik (Evans, dalam Suandi, 1978). Berbeda dengan SMK, metode belajar di SMA lebih menekankan pada teori yang diberikan oleh guru, dan praktek yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Di SMA, siswa masih harus mencari pilihan yang akan dikembangkan dan tentunya, setelah masuk ke Perguruan Tinggi, barulah menemukan pilihan keterampilan yang ingin dikembangkan. lulusan SMA itu memang disiapkan untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu bangku perkuliahan (Siswoyo, 2010). Lulusan SMA juga diharapkan memiliki kompetensi yaitu menguasai konsep dan cara berpikir tentang pelajaran, yang akan digunakan untuk jenjang perkuliahan (Siswoyo, 2010). Siswa SMA ketika lulus dari pendidikannya diharapkan mampu mengembangkan kemampuan belajar di pendidikan selanjutnya. Pengembangan kemampuan ini dapat mempengaruhi self directed learning bagi siswa SMA. Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa siswa SMA memiliki self directed learning yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa SMK.

Peneliti memilih melakukan penelitian di Yayasan Dharma Bhakti Medan karena yayasan ini merupakan sebuah yayasan sekolah yang memiliki jenis pendidikan yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Yayasan ini menerapkan kurikulum dengan metode belajar dan cara mengajar yang sama di setiap jenis pendidikan (SMA dan SMK), hanya saja pada Sekolah Menengah Kejuruan di yayasan ini terdapat praktek di dalam dan luar sekolah. Kegiatan belajar yang diakhiri dengan praktek dapat menghasilkan

self directed learning. Menurut Gibbons (2002) Self directed learning diakhiri bukan dengan tugas tetapi dengan tindakan (praktek), dan itu biasanya terjadi di

(12)

57

luar ruangan kelas. Namun, hal ini tidak sesuai dengan siswa SMK yang ada di Yayasan Dharma Bhakti Medan. Siswa SMK pada yayasan ini belum mampu meningkatkan pengetahuan sendiri, keahlian dan prestasi sendiri, serta pengembangan diri sendiri melalui praktek yang dilakukan di sekolah yang dapat membentuk self directed learning karena siswa SMK di yayasan Dharma Bhakti Medan masih harus diawasi oleh guru dalam belajar baik itu dalam praktek di luar ruangan kelas maupun proses pembelajaran di dalam ruangan kelas. Sama halnya dengan siswa SMA di yayasan ini yang lebih banyak diberikan teori di dalam ruangan kelas daripada praktek di luar ruangan kelas secara umum memang masih diawasi oleh guru dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat dikatakan belum mampu meningkatkan pengetahuan, keahlian, prestasi, maupun pengembangan diri sendiri dalam belajar.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa proses pembelajaran di sekolah pada siswa SMK maupun siswa SMA di Yayasan Dharma Bhakti Medanmasih harus diawasi oleh guru. Siswa SMK maupun siswa SMA di yayasan ini masih belum mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, prestasi serta pengembangan diri secara sendiri. Hal inilah yang merupakan kesenjangan pada siswa SMK di Yayasan Dharma Bhakti Medan. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat fenomena self directed learning bukan hanya dari siswa SMK yang ada di Yayasan Dharma Bhakti Medan tetapi juga dari siswa SMA di yayasan ini, agar dapat dibandingan self directed learning antara keduanya karena dua jenis pendidikan ini berada dalam satu yayasan dan memiliki kurikulum yang sama.

(13)

58

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan sebelumnya, maka peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan self directed learning siswa Sekolah Menengah Atas dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Yayasan Dharma Bakti Medan.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan self directed learning siswa sekolah menengah atas dengan siswa sekolah menengah kejuruan di Yayasan Dharma Bakti Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat apakah ada perbedaan self directed learning siswa sekolah menengah atas dengan siswa sekolah menengah kejuruan di Yayasan Dharma Bhakti Medan.

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi di bidang Psikologi Pendidikan dalam hal perbedaan self directed learning siswa sekolah menengah atas dengan siswa sekolah menengah kejuruan.

(14)

59 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Dapat memberikan sumbangan informasi pada siswa tentang self directed learning sehingga siswa dapat lebih meningkatkan self directed learning dalam proses belajar.

b. Bagi Sekolah

Bagi sekolah dapat memberikan sumbangan informasi tentang self directed

learning siswa Sekolah Menengah Atas dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan

sebagai bahan pertimbangan pihak sekolah khususnya guru dalam mengupayakan mengoptimalkan hasil belajar siswa dengan pembentukan self directed learning

pada siswa melalui metode belajar yang diakhiri dengan tindakan (praktek) nyata di lapangan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisikan inti sari dari : Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teoritis

Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian.

(15)

60 Bab III : Metodologi Penelitian

Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan prosedur penelitian.

Bab IV Analisis Data dan Pembahasan

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai analisis data dan pembahasan yaitu gambaran umum subjek penelitian, hasil

penelitian, analisis tambahan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pelaksanaan penelitian ini, benda uji dibuat sebanyak 30 buah berbentuk kubus yang dibagi menjadi enam kelompok. Masing-masing kelompok dibagi menjadi lima

Panas bumi menghasilkan energi yang bersih (dari polusi) dan berkesinambungan atau dapat diperbarui. Sumberdaya energi panas bumi dapat ditemukan pada air dan

Perilaku menyimpang karyawan adalah perilaku yang bertujuan untuk merugikan organisasi atau anggotanya (Golparvar et al., 2014). Data kuantitatif adalah data yang

Usaha yang dilakukan dalam mengatasi hambatan bimbingan keagamaan para tokoh agama adalah melaksanakan bimbingan keagamaan atau upaya untuk lebih meningkatkan bimbingan

Terdapat perbedaan bermakna skor apgar pada bayi yang lahir dengan bedah sesar yang penggunaan tehnik anestesi umum dan analgesi spinal dimana skor apgar bayi

Berpendoman pada kandungan protein yang dapat diharapkan sama dengan kandungan gizi pakan dari insdustri makanan ternak sehingga biaya pakan dapat ditekan maka keuntungan

upaya membantu memecahkan permasalahan pengrajin jamu tradisional komunitas Gajah Mungkur dengan memberikan pelatihan pengelolaan usaha (manajemen usaha), kemudian

Temuan dalam penelitian ini yakni mengenai konotasi penggunaan disfemia yang dibagi menjadi empat jenis yakni konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar dan