• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN REKAMAN POLA INTERFERENSI SINAR LASER HELIUM NEON DENGAN PENGATURAN SHUTTER SPEED, APERTURE DAN ISO PADA KAMERA DIGITAL SINGLE LENS REFLEX SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Progr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "OPTIMALISASI PENCAHAYAAN REKAMAN POLA INTERFERENSI SINAR LASER HELIUM NEON DENGAN PENGATURAN SHUTTER SPEED, APERTURE DAN ISO PADA KAMERA DIGITAL SINGLE LENS REFLEX SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Progr"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN REKAMAN POLA INTERFERENSI SINAR LASER HELIUM NEON DENGAN PENGATURAN SHUTTER SPEED, APERTURE DAN ISO PADA KAMERA DIGITAL SINGLE LENS

REFLEX

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh:

Anton Wibisono NIM : 081424048

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

(2)

SKRIPSI

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN REKAMAN POLA INTERFERENSI SINAR LASER HELIUM NEON DENGAN PENGATURAN SHUTTER SPEED, APERTURE DAN ISO PADA KAMERA DIGITAL SINGLE LENS

REFLEX

Oleh:

Anton Wibisono NIM : 081424048

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

Ir. Sri Agustini Sulandari, M.Si Tanggal : 23 Agustus 2013

(3)

SKRIPSI

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN REKAMAN POLA INTERFERENSI SINAR LASER HELIUM NEON DENGAN PENGATURAN SHUTTER SPEED, APERTURE DAN ISO PADA KAMERA DIGITAL SINGLE LENS

REFLEX

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Anton Wibisono NIM : 081424048

Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal 30 Januari 2014

dan dinyatakan memenuhi syarat

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(Rohandi, Ph.D.)

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Januari 2014 Penulis

Anton Wibisono

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Anton Wibisono

Nomor Induk Mahasiswa : 081424048

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul :

OPTIMALISASI PENCAHAYAAN REKAMAN POLA INTERFERENSI SINAR LASER HELIUM NEON DENGAN PENGATURAN SHUTTER SPEED, APERTURE DAN ISO PADA KAMERA DIGITAL SINGLE LENS REFLEX

Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain, untuk kepentingan akademis tanpa perlu ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian ini pernyataan yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 30 Januari 2014 Yang menyatakan,

(Anton Wibisono)

(6)

ABSTRAK

Wibisono, Anton. 2013. Optimalisasi Pencahayaan Rekaman Pola Interferensi Sinar Laser Helium Neon dengan Pengaturan Shutter speed, Aperture dan ISO pada Kamera Digital Single Lens Reflex. Skripsi. Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan mengoptimalkan pencahayaan pola interferensi sinar laser Helium Neon, dengan pengaturan Shutter speed, Aperture dan ISO. Pada hasil rekaman berupa pola interferensi sinar laser helium neon yang melewati dua celah dengan pengaturan Aperture/perhentian-f(fstop), ISO dan Shutter Speed. Pengaturan ISO mempengaruhi kepekaan sensor, sedangkan pengaturan Shutter Speed berpengaruh pada intensitas hasil rekaman.

Telah diperoleh pengaturan untuk menghasilkan rekaman pola interferensi dengan intensitas maksimum yang merupakan nilai paling ideal/optimal untuk intensitas yang dapat diterima sensor. Pada kondisi dengan pengaturan Aperture/perhentian-f (fstop) f8, ISO 200 dengan pengaturan Shutter Speed 1, 0.8, 0.6, 0.5, 0.4, 0.33, 0.25, 0.2, 0.16, 0.126, 0.1, 0.076, 0.066, 0.05, dan 0.04 sekon, nilai intensitas maksimum yang dihasilkan dibawah nilai saturasi dengan menghasilkan grafik yang menunjukkan perubahan intensitas antara 9 a/u sampai 169 a/u. Pada pengaturan tersebut grafik dapat dianggap linear, pada kondisi ini sensor dapat digunakan sebagai sensor karena mampu mendeteksi setiap perubahan intensitas. Nilai yang paling ideal/optimal untuk hasil rekaman pola interferensi dan untuk intensitas yang dapat diterima sensor yaitu pada pengaturan Aperture/perhentian-f (fstop) f8, ISO 200, Shutter Speed 0.04 sekon.

(7)

ABSTRACT

Wibisono, Anton. 2013. Optimization of Lighting Recording Pattern Interference Helium Neon Laser Light with setting Shutter Speed, Aperture and ISO on Digital Single Lens Reflex Camera. Thesis. Physics Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This research aims to optimize the illumination pattern Helium Neon laser light interference, with setting Shutter Speed, Aperture and ISO. In recording the interference pattern in the form of a helium neon laser light passing through two slits with Aperture settings/fstop, ISO and Shutter Speed. ISO settings affect the sensor sensitivity, shutter speed settings while the effect on the intensity of the recording.

Have obtained the recording settings to produce an interference pattern with a maximum intensity value of the ideal/optimal for an acceptable intensity sensor. In conditions with Aperture settings/fstop f8, ISO 200 with a shutter speed setting 1, 0.8, 0.6, 0.5, 0.4, 0.33, 0.25, 0.2, 0.16, 0.126, 0.1, 0.076, 0.066, 0.05, and 0.04 second, the resulting maximum intensity value below the saturation value by generating a graph showing the change in intensity between 9 a/u to 169 a/u. In such an arrangement graph can be considered linear, in this condition the sensor can be used as a sensor because it is able to detect any change in the intensity. Value most ideal/optimal for recording the interference pattern and intensity acceptable for a sensor that is on the Aperture setting/(fstop) f8, ISO 200, Shutter Speed 0.04 second.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Alam, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari selama proses penyusunan skripsi ini banyak hambatan dan kesulitan yang ada. Akan tetapi, semua masalah itu dapat teratasi berkat bantuan, bimbingan, dan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA. 3. Ibu Ir. Sri Agustini Sulandari, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah

menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan dan nasehat dengan sabar, terima kasih atas segala saran, kritik dan motivasi yang telah diberikan.

4. Dosen penguji yang telah memberi saran dan masukkan demi perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik.

5. Bapak Dr. Ignatius Edi Santosa, M.S. selaku kepala Laboratorium Ruang Gelap Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin untuk peneliti melakukan penelitian.

6. Bapak Ngadiyono selaku petugas Laboratorium yang telah membantu dalam peneliti mempersiapkan alat.

7. Segenap dosen dan seluruh staf sekretariat Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Terima kasih atas segala informasi dan pelayanan yang diberikan.

8. Keluargaku tercinta, Bapak dan Ibu, kakak-kakaku Eka, Agung, Guruh, serta adik-adiku Novi, Intan, Juli, dan Sheila yang selalu setia mendoakan dan memberikan semangat serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

9. Untuk Redha yang telah setia membantu dalam penelitian ini mulai dari observasi hingga penyusunan skripsi ini selesai dan selalu memberikan semangat.

10.Keluarga baruku di Jogja, Bapak Antonio da Vespa dan Ibu Rina, serta adik-adikku Irma dan Lita yang memberikan motivasi dan membuatku tersenyum. 11.Teman-teman komunitas fotografi Alpharian Jogjakarta, komunitas Lensa

Manual reg Magelang, komunitas Jogja Punya Ninja serta Kawasaki Ninja se-Indonesia, teman-teman Jurnalis Foto Indonesia reg Jogjakarta. Terima kasih atas segala informasi dan pengalaman yang telah diberikan.

12.Teman-teman seangkatan dan seperjuangan Inosensius, Ganda, Rian, Arnold, Dimas, Alex, Edwin, Yoseph, Brian, Mas Feri, Mas heru, Buser, Hole, Sammy, yang menemani dikala suka dan duka serta untuk teman-teman seperjuangan di P.Fis‟08, semangat untuk menjadi yang terbaik.

13.Berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis baik berupa bantuan nyata, dukungan, serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan di masa mendatang. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ... . i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ... v

ABSTRAK ... ... vi

D. Tujuan Penelitian... 4

E. Manfaat Penelitian ……… 4

BAB II DASAR TEORI ... 5

A. Kamera ... 5

B. Refleksi dan Refraksi... 9

C. Lensa ... 11

D. Penyimpangan pembentukan bayangan pada lensa ... 14

a. Aberrasi sferis... 14

b. Astigmatisme... 15

c. Kelengkungan bidang ... …… 15

d. Distorsi... ... 16

e. Aberrasi kromatik... 16

(11)

E. Elemen Lensa Kamera ……….. 17

D. Hubungan Shutter Speed dengan Intensitas Hasil Rekaman …... 53

BAB V PENUTUP ... 60

A. Kesimpulan ... 61

B. Keterbatasan Penelitian ... 61

C. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 64

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pilihan mode dial dengan cara kerja pada kamera ... 22

Tabel 2.2 Pilihan pre-set mode dial dengan cara kerja pada kamera ... 24

Tabel 3.1 Tabel data pada perhentian fstop f1.7... 34

Tabel 3.2 Tabel data pada perhentian fstop f2.8... 35

Tabel 3.3 Tabel data pada perhentian fstop f4... 35

Tabel 3.4 Tabel data pada perhentian fstop f5.6... 36

Tabel 3.5 Tabel data pada perhentian fstop f8... 36

Tabel 3.6 Tabel data pada perhentian fstop f11... 37

Tabel 3.7 Tabel data pada perhentian fstop f16... 37

Tabel 3.8 Tabel data pada setiap perhentian fstop... 38

Tabel 3.9 Tabel data perhentian fstop f1.7 dan intensitas... 40

Tabel 3.10 Tabel data pada setiap perhentian fstop shutter speed dan Iso... 41

Tabel 4.6 Tabel kode gambar untuk 2 celah denganf11... 49

Tabel 4.7 Tabel kode gambar untuk 2 celah dengan f16. ... 50

Tabel 4.8 Tabel data pada setiap perhentian fstop shutter speed dan Iso... 55

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Sensor pada kamera DSLR... 2

Gambar 2.1a Kamera obscura ... 6

Gambar 2.1.b pembentukan bayangan pada kamera obscura... 6

Gambar 2.2 Kamera dengan lensa tunggal... 6

Gambar 2.3 Kamera degan beberapa lensa gabungan... 7

Gambar 2.4a Kamera tampak depan... 8

Gambar 2.4b Kamera tampak belakang ... 8

Gambar 2.4c Kamera tampak atas ... 8

Gambar 2.9 Lintasan cahaya melalui lensa positif ... 12

Gambar 2.10 Lintasan cahaya melalui lensa negatif ... 12

Gambar 2.11 Tiga lintasan membentuk bayangan real ... 13

Gambar 2.12 Aberrasi sferis ... 15

Gambar 2.13 Kelengkungan bidang ... 16

Gambar 2.14 Distorsi ... ... 16

Gambar 2.15 Aberrasi kromatik ... ... 17

Gambar 2.16 Elemen lensa ... ... 17

Gambar 2.17 Sistem Metering Kamera DSLR ... 18

Gambar 2.18 Celah lensa ... 19

Gambar 2.19 Tiga jenis Transisi antara dua tingkat energi dalam atom ... 26

Gambar 3.1 Lensa Minolta AF 50mm f1.7... 30

Gambar 3.2 Susunan alat ... 31

Gambar 4.1 Grafik intensitas dengan fstop ... 51

Gambar 4.2 Rekaman pola interferensi yang terekam untuk setiap kondisi ISO... 52

(14)

Gambar 4.3 Rekaman pola interferensi yang terekam untuk setiap shutter speed... 53 Gambar 4.4 Pola intensitas Vs shutter speed, ISO 800 ... 56 Gambar 4.5 Pola intensitas Vs shutter speed, ISO 800 yang mencapai

nilai saturasi ... 56 Gambar 4.6 Grafik intensitas Vs shutter speed, ISO 800 yang mencapai

nilai saturasi ... 57 Gambar 4.7 Grafik intensitas Vs shutter speed, ISO 200... 57 Gambar 4.9 Kondisi f8, ISO 200, untuk setiap shutter speed... 59

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Kode Gambar

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f1.7 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 65

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f2.8 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 65

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f4 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 66

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f5.6 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 66

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f8 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 67

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f11 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 67

 Data hasil rekaman dalam bentuk kode gambar pada f16 untuk setiap shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 68

Pola Rekaman Interferensi

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk pada f1.7 untuk setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 69

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk pada f2.8 untuk setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 77

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk untuk f4 pada setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ……… 85

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk pada f5.6 untuk setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 93

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk pada f8 untuk setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 101

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk pada f11 untuk setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 109

(16)

 Rekaman pola interferensi yang terbentuk pada f16 untuk setiap

shutter speed dan setiap kondisi ISO ... 117

Tabel

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f1.7 ………... 125

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f2.8 ……….... 126

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f4 ………... 127

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f5.6 ……… 128

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f8 ……….. 129

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f11 ……….... 130

 Tabel nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai

waktu buka shutter pada f16 ……….... 131

Grafik

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f1.7... 132

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f2.8... 134

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f4 ... 136

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f5.6... 138

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f8 ... 140

(17)

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f11 ... 142

 Grafik nilai intensitas maksimal yang terukur pada pengubahan nilai waktu buka shutter pada bukaan f16 ... 144

 Gambar skema peralatan... 146

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi dewasa ini sangat pesat, termasuk juga dalam bidang fotografi. Perkembangan teknologi pada kamera membuat kualitas gambar yang dihasilkan semakin meningkat. Kamera diciptakan pertama kali pada sebelum abad X, yang disebut kamera obskura (obscura

camera), berasal dari bahasa Latin yang berarti “kamar digelapkan”.

Kamera ini berupa sebuah kamar kecil dengan sebuah lubang pada salah satu dindingnya. Lubang itu akan menyebarkan sinar cahaya yang berasal dari pantulan benda di luar kamar sehingga mengenai dinding di hadapan lubang dan membentuk bayangan benda yang terbalik pada film.

Dewasa ini, teknologi yang kaitannya dengan kamera semakin berkembang. Kamera dapat digunakan sebagai perekam citra dari sebuah objek yang dapat disimpan dalam sebuah media penyimpanan data. Kamera digital bekerja dengan prinsip dasar sama seperti kamera obskura tetapi sebagai pengganti bayangan yang dipantulkan pada dinding, bayangan tersebut direkam pada media perekam digital yaitu sensor gambar (sensor image) atau sensor Charge Coupled Device (CCD).

Elemen-elemen dasar sebuah kamera adalah sebuah lensa konvergen atau sering disebut lensa positif. Lensa positif dibuat dari kaca optik, yang membelokkan cahaya untuk membentuk bayangan. Bayangan itu difokuskan dengan cara menggerakkan ring lensa ke depan atau ke belakang relatif agar cahaya mengenai sensor gambar (image sensor) (Young and Freedman, 2001: 566).

(19)

Sensor gambar (Image sensor) digunakan untuk menerima cahaya yang difokuskan oleh lensa, kemudian cahaya itu membentuk citra yang direkam oleh sensor dalam data digit, yang selanjuutnya dikonversikan dengan teknologi ADC (analog to digital converters) sehingga dapat terbentuk gambar digital.

Gambar 1.1. Skema Sensor pada kamera DSLR

Penggunaan kamera sebagai pengolahan citra dalam media digital membutuhkan kemampuan untuk mengatur cahaya yang masuk dan pemfokusan yang tepat. Pengaturan cahaya yang masuk ke lensa kamera dapat kita lakukan dengan memperhatikan pengaturan shutter speed, pengaturan lebar celah lensa/diafragma (lens aperture) dan ISO

(International Organization for Standardization). Untuk menghasilkan

gambar yang baik diperlukan intensitas cahaya yang tepat, maka untuk mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang pemotret bisa mengatur pencahayaan tersebut dengan mengubah kombinasi, pembuka/penutup rana (shutter speed), diafragma/perhentian-f (lens aperture/fstop) dan ISO

(International Organization for Standardization). Kombinasi antara

Diafragma, Shutter dan ISO disebut sebagai pencahayaan (exposure) atau waktu pencahayaan (exposure time).

(20)

interferensi dua celah. Dengan dukungan software, seperti matlab7.0, proses perekaman pola interferensi dapat teramati dengan jelas.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti ingin melakukan perekaman percobaan optika fisis yaitu pola interferensi yang terbentuk dari berkas laser helium neon sebagai sumber cahaya dengan mengembangkan secara khusus sifat lensa pada kamera digital single lens reflex. Dari percobaan ini peneliti dapat menentukan apakah ada hubungan ISO dengan intensitas berkas laser yang tampak, menentukan hubungan setiap perhentian-f (fstop), serta hubungan pembuka/penutup (shutter) dengan intensitas pada perekaman percobaan optika fisis.

A. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin meneliti

 Bagaimana pola interferensi yang dihasilkan dari sinar laser Helium Neon (He-Ne) yang terekam oleh setiap fstop

 Apakah ISO berpengaruh pada intensitas spot berkas laser

 Apakah ada hubungan shutter dengan intensitas hasil rekaman

B. Batasan Masalah

Permasalahan yang diteliti dibatasi pada:

 Kamera yang digunakan Sony alpha 230 dengan lensa Minolta yang memiliki jarak fokus 50mm dan intensitas cahaya yang dihasilkan oleh berkas laser

 Intensitas yang masuk pada image sensor diatur oleh pengaturan

Shutter speed, aperture (fstop) dan ISO (International Organization

(21)

C. Tujuan

 Dapat menghasilkan rekaman pola interferensi yang dihasilkan sinar laser Helium Neon (He-Ne) yang melewati dua celah untuk setiap perhentian-f (fstop)

 Menyelidiki pengaruh ISO pada hasil rekaman

 Menyelidiki hubungan shutter speed terhadap intensitas hasil rekaman

D. Manfaat

Manfaat yang ingin dicapai dari penyusunan skripsi ini adalah:

 Bagi siswa/mahasiswa, supaya siswa/mahasiswa lebih termotivasi untuk belajar fisika

 Bagi guru, agar guru lebih terdorong untuk mengembangkan alat-alat sederhana dalam kaitanya dengan konsep fisika dan pembelajaran fisika

(22)

BAB II

DASAR TEORI

A. Kamera

Menurut Pujiastuti, 2005: 4, kamera diciptakan pertama kali pada sebelum abad X, yang disebut kamera obskura (obscura camera), berasal dari bahasa Latin yang berarti “kamar digelapkan”. Kamera ini berupa sebuah kamar kecil dengan sebuah lubang pada salah satu dindingnya (gambar 2.1a). Lubang itu akan menyebarkan sinar cahaya yang berasal dari pantulan benda di luar kamar sehingga mengenai dinding di hadapan lubang dan membentuk bayangan benda yang terbalik pada film (gambar 2.1b).

Kamera ini memerlukan pencahayaan yang cukup lama karena: 1. Lubang tidak cepat menyalurkan cahaya

2. Film yang digunakan tidak begitu peka terhadap cahaya

Kemudian lubang diganti dengan sebuah lensa tunggal (satu elemen) hingga penyaluran cahaya bertambah cepat, seperti pada gambar 2.2. Perkembangan selanjutnya menunjukkan dibuatnya lensa-lensa, yang terdiri dari beberapa komponen (gabungan lebih dari satu lensa tunggal) dan elemen (unsur-unsur lensa tunggal) lensa-lensa itu ada yang cekung-cembung, cekung-cekung, atau cembung-cekung-cembung, lihat gambar 2.3. (Soelarko 1975 : 1)

(23)

(diadaptasi dari http://www.chapelgallery.org/camera_obscura.htm)

(diadaptasi dari http://kaita91.wordpress.com/2011/11/22/alat-optik/)

Dengan berkembangnya kemajuan teknologi dalam media perekam bayangan, kamera saat ini bekerja dengan prinsip dasar sama seperti kamera obskura tetapi sebagai pengganti bayangan yang dipantulkan pada dinding (film), bayangan tersebut direkam pada media perekam digital yaitu sensor gambar (image sensor). Sensor gambar digunakan untuk menerima/menyerap cahaya yang difokuskan oleh lensa, kemudian cahaya itu membentuk citra yang direkam oleh sensor dalam data digit, kemudian dikonversikan dengan teknologi ADC (analog to digital converters) sehingga dapat terbentuk gambar digital, yang sekarang dikenal dengan digital single lens reflex camera (Camera DSLR).

Gambar 2.1 b. Pembentukan bayangan pada kamera obscura

Gambar 2.2. Kamera dengan lensa tunggal lubang

film

(24)

Gambar 2.3 kamera dengan beberapa lensa gabungan dan sensor

(diadaptasi dari

http://tukangmoto.files.wordpress.com/2010/11/0-7645-9803-1_0204.jpg)

Kamera film maupun kamera digital mempunyai bagian-bagian dasar yang sama, antara lain:

1. Sebuah kotak tertutup (body camera), untuk menjaga agar cahaya tidak dapat masuk

2. Lensa konvergen (lensa positif), untuk membentuk bayangan nyata dan diperkecil dari suatu objek

3. Celah lensa (lens aperture), untuk mengatur intensitas cahaya yang masuk

4. Jendela pembidik (viewfinder), untuk pemotret membidik dengan pandangan melalui lensa.

(25)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2.4. Kamera dilihat tampak depan (a), tampak belakang (b), tampak atas (c), tampak

samping (d) dan keterangannya

Keterangan:

1. Pengatur shutter speed, untuk mengatur kecepatan pembuka/penutup rana dan cermin

2. Konektor lensa AF, chip pada lensa agar suatu keterangan (exif) data pada lensa terbaca

3. Cermin

4. Pengatur AF (auto focus) / MF (manual focus), untuk mengatur lensa agar berkerja secara auto

focus atau manual fokus

5. Jendela bidik (viewfinder), untuk melihat gambar yang akan difoto/dibidik

6. Tombol fungsi , untuk mengatur fungsi didalam kamera

7. Tampilan pada LCD , menampilkan keterangan pada layar LCD

8. Pengatur flash on /off , untuk mengatur flash menyala dan mati

9. Tombol spot AF, untuk mengunci sasaran yang akan difokuskan

10. Pengatur ISO , untuk mengatur kepekaan sensor yang akan digunakan

11. Tombol timer shutter, untuk pengatur waktu shutter

12. Tombol penghapus gambar

13. Tombol penampil gambar (display picture)

14. LCD, untuk menampilkan pengaturan setiap mode yang dijalankan dan menampilkan hasil

(26)

15. Tombol shutter, untuk mengambil gambar

16. Pengatur on/off kamera, untuk mengidupkan dan mematikan kamera

17. Hot shoe, dudukan / tempat flash external

18. Tombol menu

19. Tombol mode, untuk memilih mode dial yang akan digunakan

20. Konektor usb, konektor dari usb ke computer

21. Tempat slot memory, untuk menyimpan mmc ke kamera

22. Slot kabel HDMI, konector dari usb ke computer/TV

B. Refleksi dan Refraksi

(Young and Feedman, 2001:498) Bila sebuah gelombang cahaya menumbuk sebuah antar muka (interface) halus yang memisahkan dua medium transparan (medium tembus cahaya, seperti udara, kaca atau air), maka pada umumnya sebagian gelombang itu direfleksikan dan sebagian lagi direfraksikan (ditransmisikan) kedalam medium kedua.

Refleksi adalah pemantulan cahaya ketika cahaya melewati batas antar medium, bagian dari sinar yang datang dipantulkan, berlaku hukum pemantulan cahaya, sudut datang (Ɵ1) = sudut pantul (Ɵ1‟), (ditunjukkan pada gambar 2.5).

Gambar 2.5. Pemantulan cahaya Ɵ1’

(27)

Pemantulan cahaya ada dua jenis yaitu pemantulan teratur / refleksi spekular (specular reflection) dan pemantulan baur / refleksi tersebar (diffuse reflection).

Pemantulan teratur terjadi jika suatu berkas cahaya sejajar datang pada permukaan yang rata seperti permukaan kaca, permukaan cermin datar atau permukaan air yang tenang, maka pemantulannya teratur (ditunjukkan pada gambar 2.6).

Gambar 2.6. Pemantulan teratur

Pemantulan baur terjadi jika suatu berkas cahaya sejajar datang pada permukaan yang kasar (tidak rata/bergelombang), berkas cahaya akan dipantulkan ke berbagai arah yang tidak menentu (ditunjukkan pada gambar 2.7).

Gambar 2.7. Pemantulan baur

(28)

perbandingan laju cahaya (c) dalam ruang hampa terhadap laju cahaya (v) dalam medium tersebut:

n = (1)

Indeks bias relatif merupakan perbandingan indeks bias dua medium berbeda. Indeks bias relative medium kedua terhadap medium pertama adalah perbandingan indeks bias antara medium kedua dengan indeks bias medium pertama. Berlaku hukum pembiasan cahaya,

sin Ɵ1 / sin Ɵ2 = n2 / n1 (2) atau

n1 sin Ɵ1 = n2 sin Ɵ2 (3)

Gambar 2.8. Pembiasan cahaya, refleksi dan refraksi dalam kasus dimana medium 2

mempunyai indeks refraksi yang lebih kecil dari pada medium 1, maka n2 < n1

C. Lensa

(Minto, 2008:7) Lensa adalah suatu bahan transparan yang dapat memfokuskan berkas cahaya sedemikian sehingga bayangan dapat dibentuk. Lensa biasanya terbuat dari kaca (gelas) atau plastik dengan indeks bias (n) tertentu.

(29)

tersebut akan melalui suatu titik pada jarak tertentu dari lensa positif. Titik tertentu tersebut dikenal sebagai titik fokus lensa. Jarak titik fokus dari pusat lensa disebut panjang fokus lensa (f) (ditunjukkan dalam gambar 2.9) untuk lensa positif. Karena lensa yang ditinjau adalah lensa yang mempunyai permukaan sferis (bola), maka permukaan lensa tersebut mempunyai jari-jari kelengkungan (r).

Lensa divergen sering disebut juga lensa negatif akan membelokkan sinar (cahaya) yang melewatinya kearah yang menjauhi sumbu lensa (ditunjukkan pada gambar 2.10)

Permukaan lensa dapat cembung dan cekung atau datar. Permukaan lensa cembung mempunyai jari-jari kelengkungan positif, lensa yang permukaan cekung mempunyai jari-jari kelengkungan negatif, dan lensa yang permukaan datar mempunyai jari-jari kelengkungan tak berhingga.

f

Gambar 2.9. lintasan cahaya melalui lensa positif Sinar datang

f

(30)

Pembentukan bayangan suatu objek (benda) yang ditempatkan didepan permukaan lensa tipis dapat dijelaskan dengan meninjau hukum-hukum lensa berikut ini:

1. Sinar datang merambat sejajar sumbu lensa akan dibelokkan oleh lensa menuju titik fokus lensa.

2. Sinar berasal dari titik fokus setelah melewati lensa akan diteruskan sejajar dengan sumbu lensa.

3. Sinar yang merambat menuju titik pusat lensa tidak dibelokkan.

Ketiga aturan lintasan sinar oleh keberadaan lensa diperlihatkan secara grafis pada gambar 2.11. bayangan suatu benda (objek) terbentuk pada jarak tertentu dari lensa, yaitu

pada titik dimana ketiga sinar tersebut lewat. Bayangan dapat real (nyata) dan dapat juga imajiner (maya). Bayangan real adalah bayangan suatu objek yang dapat diamati pada layar yang ditempatkan pada jarak tertentu dari lensa sedangkan bayangan maya adalah bayangan yang tidak dapat diamati pada layar yang ditempatkan didaerah lintasan cahaya yang sudah melewati lensa.

(31)

Untuk melukiskan lintasan sinar yang melewati sebuah lensa secara skematis digunakan perjanjian berikut:

1. Sinar selalu berasal dari sebelah kiri gambar sistem optik menuju kekanan

2. Objek real berada sebelah kiri lensa dan bayangan real berada sebelah kanan lensa

3. Bayangan maya berada sebelah kiri lensa dan benda maya sebelah kanan lensa.

D. Penyimpangan Pembentukan Bayangan pada Lensa (Aberration Lens)

Bayangan-bayangan yang terjadi melalui lensa tunggal tidak selalu identik dengan bendanya, melainkan pada umumnya mengalami penyimpangan-penyimpangan atau kesalahan-kesalahan pembentukan bayangan yang sering disebut aberrasi lensa (aberration lens / cacat lensa)

Aberrasi (aberration) adalah kegagalan sebuah cermin atau lensa untuk berperilaku secara tepat. Bentuk bentuk penyimpangan Aberrasi meliputi

a. Aberrasi sferis

(32)

Penyimpangan pembentukan bayangan seperti aberrasi sferis ini dapat diatasi dengan memakai lensa gabungan aplanatis dan diafragma. Lensa gabungan aplanatis terdiri dari dua buah lensa yang berlainan. Diafragma berfungsi untuk memblok sinar-sinar tepi sehingga sinar yang melalui lensa hanya sinar-sinar paraksial (sinar dekat dengan pusat lensa). Benda yang tidak terletak disumbu utama lensa akibar aberrasi sferis akan membentuk bayangan seperti komet, penyimpangan ini disebut gejala koma.

b. Astigmatisme

Astigmatisme adalah aberrasi sferis yang menyebabkan sinar atau cahaya merambat melalui lensa membentuk lebih dari satu titik fokus pada sumbu utama (ditunjukkan dalam gambar 2.12).

c. Kelengkungan bidang

Kelengkungan bidang terjadi jika benda tidak terletak pada sumbu utama (jauh dari sumbu utama), bayangan dari suatu benda datar tidak lagi berbentuk datar tetapi melengkung (ditunjukkan dalam gambar 2.13).

f

fokus

fokus

Gambar 2.12. Sinar-sinar yang terletak jauh dari sumbu utama dibiaskan tidak tepat di fokus utama

(33)

Gambar 2-13. Kelengkungan bidang

d. Distorsi

Distorsi adalah aberrasi yang disebabkan oleh perbesaran bayangan yang tidak merata. Perbesaran pada bagian-bagian yang paling luar tidak sama. Benda-benda yang berupa garis-garis akan melengkung (ditunjukkan dalam gambar 2.14).

Distorsi barrel Distorsi pincushion

Gambar 2-14. Distorsi

e. Aberrasi kromatik (chromatic abberation)

(34)

Gambar 2.15. aberrasi kromatik

E. Elemen Lensa Kamera

Lensa pada kamera yang sebenarnya terdiri dari beberapa elemen lensa (ditunjukan dalam gambar 2.16). Lensa cembung berfungsi untuk membentuk bayangan benda, celah diafragma berfungsi untuk mengatur intensitas cahaya yang masuk, dan sensor berfungsi untuk menangkap bayangan yang dibentuk lensa. Masing-masing elemen mengarahkan jalan sinar cahaya untuk menciptakan gambar seakurat mungkin pada sensor digital. Tujuannya adalah untuk meminimalkan abberrasi (cacat) pada lensa.

(diadaptasi dari http://www.cambridgeincolour.com/tutorials/camera-lenses.htm)

Gambar 2.16. Elemen lensa

Aberrasi lensa (cacat lensa) terjadi ketika perubahan nilai indeks bias lensa untuk panjang gelombang yang berbeda-beda. Aberrasi lensa dapat diatasi dengan digunakannya lapisan permukaan lensa (lens

coating), lensa gabungan aplanatis dan diafragma. Lapisan permukaan

lensa (lens coating) mampu menangkal refleksi dari permukaan depan

(35)

lensa. Lensa gabungan aplanatis terdiri dari dua buah lensa yang berlainan (cembung-cekung, datar -cekung, cembung-datar) untuk memfokuskan dan membelokkan cahaya. Diafragma berfungsi untuk membatasi sinar-sinar tepi sehingga sinar-sinar yang melalui lensa hanya sinar-sinar-sinar-sinar paraksial (dekat dengan pusat lensa).

F. Pencahayaan (Exposure)

Menurut Ansel (1970: 69) setiap kamera DSLR dilengkapi dengan metering mode, exposure metering / pengukur pencahayaan (ditunjukkan dalam gambar 2.17). Metering dipakai untuk mengukur cahaya yang dilihat oleh kamera (cahaya yang masuk ke lensa). Saat kita melihat objek foto melalui viewfinder kamera, kondisi cahaya di objek foto akan diukur oleh sistem metering. Tujuan dari sistem metering kamera adalah menghasilkan foto yang optimal/pas pencahayaannya.

Diadaptasi dari: belajarfotografi.com

Gambar 2.17. Sistem metering kamera dslr

(36)

Pencahayaan pada kamera menentukan seberapa terang atau gelap gambar yang akan muncul ketika ditangkap oleh kamera. Pencahayaan kamera ditentukan dengan tiga pencahayaan pengaturan kamera: lens

aperture, ISO dan shutter speed atau sering disebut segitiga eksposure.

lens aperture, celah lensa, bukaan lensa, yang dimaksud adalah

sama. Yang disebut diafragma sebenarnya daun-daun (blade). Diafragma berfungsi menciutkan (mengecilkan) dan membuka lebar lensa, diafragma tidak pernah menutup lensa sepenuhnya, akan tetapi dalam bukaan lensa yang paling kecil dapat dilihat didalam lensa seperti sebuah lubang yang hampir berbentuk lingkaran berdiameter D. Celah lensa (lens aperture) (ditunjukan dalam gambar 2.18) yang dapat diatur biasanya mempunyai skala yang dapat ditandai dengan bilangan-bilangan yang berturutan yang tercetak pada gelang (ring) melingkar lensa, seringkali dinamakan perhentian-f (fstop), seperti:

f/1,8; f/2; f/2,8; f/4; f/5,6; f/8; f/11; f/16; f;22

nilai-nilai perhentian-f (fstop) ini dicapai dengan persamaan, Bilangan - f = =

(4)

(37)

Bukaan pada lensa kamera mengatur agar cahaya yang masuk dapat berjalan mengenai sensor gambar. Ukuran bukaan lensa diukur dalam fstop, dengan f1 bukaan terbesar atau lebar, sedangkan f32 bukaan terkecil atau sempit (Freeman, 2008:632).

(Soelarko, 1975:52) Bukaan lensa akan menentukan seberapa panjang ruang tajam yang ditangkap lensa. Ruang tajam biasa diistilahkan DoF (Depth of Field). Ruang tajam tergantung dari beberapa faktor:

1. Jarak fokus (focal lengh), makin panjang focal lengh, makin sempit ruang ketajaman.

2. Diafragma, makin kecil bukaan lensa (f angka besar), makin lebar Depth of Field , makin besar bukaan lensa (f angka kecil), makin sempit Depth of Field.

3. Jarak pemotretan, makin dekat jarak pemotretan, semakin sempit Depth of Field, semakin jauh jarak pemotretan, semakin lebar Depth of Field.

Shutter artinya “penutup” (to shut = menutup). Kata istilah ini sebenarnya salah karena tidak sesuai dengan apa yang terjadi, shutter diterjemahkan dengan “rana” atau mudahnya ”kedip”, karena dalam kedip mata, mata menutup dan membuka lagi (Soelarko, 1975:39). Pada waktu pemotret menekan tombol shutter release untuk mengambil foto, maka terjadi justru pembukaan lensa, hingga cahaya/sinar dapat masuk dan mengenai sensor.

(38)

akan membuka selama sekon, kemudian menutup kembali. Kalau kita pilih 1 sekon, shutter akan membuka selama 1 sekon, kemudian menutup kembali. Shutter yang dapat diatur dan pilih biasanya mempunyai skala yang dinamakan shutter speed yang dapat ditandai dengan bilangan (biasanya ditulis dengan pecahan atau penyebut pecahan), seperti:

Bulb; 1; ; ; ; ; ; ; ; ; ; sekon (Ansel adam, 1970:111).

Jika kita atur kecepatan shutter (shutter speed) lambat mulai sekon kebawah misal 1, maka kamera harus dipasang tripod, karena sangat mungkin bahwa getaran kamera pada waktu menekan tombol shutter release, akan tampak pada gambar (kabur atau kamera-shake).

Bulb artinya jika menekan tombol shutter release, maka shutter akan terbuka, dan pada waktu kita lepaskan tekanan, shutter menutup (Soelarko, 1975 : 39).

(39)

Dengan nilai ISO yang lebih tinggi juga memungkinkan pemotretan dengan shutter speed yang lebih cepat. Hal ini dikarenakan ISO tinggi memberikan sensitivitas tinggi sehingga kamera tidak memerlukan banyak cahaya untuk mendapat pencahayaan (exposure) yang tepat. Shutter speed cepat bermanfaat untuk membuat objek yang bergerak jadi nampak diam, seperti membekukan objek. Penggunaan ISO rendah (misalnya ISO 100) akan membuat shutter speed kurang cepat (misal 1/20 detik) untuk mampu menangkap objek bergerak. Dengan menaikkan ISO (misal ISO 800), didapat nilai shutter speed yang lebih cepat (misal 1/200 detik) sehingga objek yang bergerak jadi nampak diam.

G. Mode pencahayaan Kamera

Sebagian besar kamera digital memiliki standart mode pencahayaan, seperti:

(40)

Tabel 2.1. Pilihan mode dial dengan cara kerja pada kamera

Exposure Mode How it work

Auto Allows easy shooting without worrying about the subject and environment. Most setting preselected by the camera

Program Auto (P) Automatically sets aperture and shutter speed, iso sensitivity, creative style. Can be set as desired Aperture Priority

(A)

Adjust aperture change range that is in focus and background blur

Shutter Priority (S) Adjust shutter speed to change the expression of a moving subject

Manual Eksposure (M)

Adjust aperture and shutter speed manually.

(diadaptasi dari buku Instruksi manual DSLR A-230)

Setiap mode pencahayaan pada kamera mempunyai cara kerja seperti yang sudah dijelaskan dalam tabel 2.1, seperti:

a. Mode auto (otomatis, auto), Memungkinkan pengambilan gambar yang mudah tanpa khawatir tentang subjek dan lingkungan. Sebagian besar pengaturan terpilih oleh kamera secara otomatis, b. Mode Program Auto (program otomatis, P), pengaturan diafragma

(aperture) dan shutter speed diatur secara terpilih oleh kamera secara otomatis, dan ISO dapat diatur sesuai yang diinginkan, c. Mode Aperture Priority (Prioritas diafragma, A), pengaturan

(41)

otomatis, diafragma (aperture) dapat diatur sesuai yang dinginkan untuk mendapat fokus dan blur pada background (latar),

d. Mode Shutter Priority (Prioritas Shutter, S), pengaturan diafragma (aperture) dan ISO diatur secara terpilih oleh kamera secara otomatis, shutter speed dapat diatur sesuai yang kita inginkan untuk mengubah ekspresi objek yang bergerak,

e. Mode Manual Eksposure (Pencahayaan Manual, M), diafragma (aperture), shutter speed dan ISO dapat diatur secara manual untuk mendapat pencahayaan yang diinginkan

Selain itu, kamera juga mungkin memiliki beberapa mode pre-set, meliputi mode Night, Sunset, Sport Action, Macro, Landscape, Portrait. Symbol yang digunakan untuk setiap mode sedikit berbeda dari kamera ke kamera (ditunjukkan dalam tabel 2.2).

Tabel 2.2. Pilihan pre-set mode dial dengan cara kerja pada kamera

Exposure Mode How it work

Night Shoots portraits in night scenes with the flash. Set flash off for night scanes without people.

Sunset Vividly exresses and dramatically captures the redness of dusk and dawn

Sport action Shoots fast motion at higher shutter speed, hold down shutter button for continuous shooting.

(42)

Landscape Shoots the entire range of scenery in sharp focus with vivid colors.

Potrait Emphasize subject by luring away background. Reproduces soft skin tone.

Flash off No flash.

Similar to auto mode, use this for shooting where use of a flash is restricted.

(diadaptasi dari buku Instruksi manual DSLR A-230)

Setiap pre-set mode pencahayaan pada kamera mempunyai cara kerja seperti yang sudah dijelaskan dalam tabel 2.2, seperti:

a. Mode Night (malam), memotret pada malam hari dengan menggunakan lampu kilat, mengatur lampu kilat tidak ada (mati) untuk melakukan pemotretan tanpa orang

b. Mode Sunset (matahari terbenam), mengekspresikan jelas dan menangkap secara dramatis kemerahan senja dan fajar

c. Mode Sport action (olahraga), memotret gerak cepat dengan kecepatan shutter yang lebih tinggi tahan tombol shutter untuk pengambilan gambar terus menerus

d. Mode Macro (makro), memotret close-up (muka) dan subjek kecil seperti bunga dan makanan di fokus yang jelas dan tajam

e. Mode Landscape (pemandangan), memotret seluruh rentang pemandangan dalam fokus yang tajam dengan warna yang hidup f. Mode Potrait (potret), menekankan subjek dengan latar belakang

(43)

g. Mode Flash off (lampu kilat tidak ada), tidak ada lampu kilat, mirip dengan pengaturan otomatis, menggunakan pilihan ini untuk memotret dimana penggunaan lampu kilat dibatasi

Beberapa mode diatas juga dapat mengontrol pengaturan kamera yang tidak berhubungan dengan pencahayaan, karena pada pengaturan bervariasi dari kamera ke kamera, seperti pengaturan tambahan auto fokus point, mode metering, dan mode auto focus.

Kamera yang peneliti gunakan adalah Kamera DSLR Sony Alpha 230 dengan Lensa Minolta AF 50mm f1.7.

H. Laser

Laser yang merupakan singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation (Bellis, Jeanette, 1980: 1), yang artinya adalah penguatan cahaya karena emisi terstimulasi radiasi. Cahaya yang dihasilkan laser memiliki sifat yang sangat istimewa, yaitu koheren, hampir ekawarna, tidak menyebar, dan mempunyai intensitas yang sangat besar (Andrianto, 2008:7). Laser dapat bersumber dari atom-atom, ion-ion , molekul-molekul gas, cairan, benda padat, gelas, nyala api, plastic, dan semikonduktor (Andrianto 2008:1). Laser bekerja di berbagai panjang gelombang, dari panjang gelombang ultraviolet sampai daerah frekuensi radio (Andrianto, 2008:1).

(44)

I. Matlab

(Deomedes, 2012:69) Matlab adalah sebuah bahasa pemrograman dengan unjuk kerja tinggi untuk komputasi teknis, yang mengintergrasikan komputasi, visualiasai, dan pemrograman didalam lingkungan yang memudahkan penggunaya untuk memecahkan persoalan dengan solusinya yang dinyatakan dengan notasi matematik. Matlab adalah sebuah sistem interaktif yang elemen data dasarnya menggunakan array yang tidak membutuhkan dimensi. Dalam proses analisis gambar matlab menentukan nilai-nilai pixel dan statistiknya, matlab menyediakan fungsi yang menghasilkan informasi tentang nilai-nilai data yang membentuk gambar. Informasi yang dihasilkan dari fungsi-fungsi tersebut menyangkut gambar dengan berbagai bentuk, yaitu:

 Nilai-nilai data untuk pixel yang dipilih (nama fungsi: pixval, impixel)

 Nilai-nilai data sepanjang lintasan dalam sebuah gambar (nama fungsi: improfil)

 Plot konur dari data gambar (nama fungsi: imcontour)

 Histogram dari data gambar (nama fungsi: imhist)

 Rangkuman statistik untuk data gambar (nama fungsi: mean2, std2, corr2)

 Pengukuran fitur untuk area gambar (nama fungsi: imfeture)

Ada 2 fungsi yang menyediakan informasi tentang nilai-nilai data warna dari pixel gambar yang diterapkan yaitu:

(45)

 Fungsi pixval secara interaktif menampilkan nilai-nilai data untuk pixel

 Fungsi impixel menghasilkan nilai-nilai data untuk sebuah pixel atau sekumpulan pixel

(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT PENELITIAN Alat yang dipakai

1. Laser helium neon (He-Ne) dengan λ = 632.8 nm 2. Kamera Sony Alpha 230

3. Lensa Minolta AF 50mm f1.7 4. Celah

5. Kertas kalkir 6. Statip

7. Meja 8. Meja optik 9. Penggaris kayu 10. Tripod

11. Baterai kamera 12. Kartu memori

13. Komputer yang telah terinstal program matlab7.0

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian berlangsung pada Mei 2013, penelitian dan pengambilan data dilakukan diruang gelap Kampus III Paingan Universitas Sanata Dharma.

(47)

1. Laser Helium Neon (He-Ne)

Laser yang digunakan untuk penelitian ini adalah laser Helium Neon (He-Ne) dengan λ = 632,8 nm sebagai sumber cahaya. Pancaran sinar yang dihasilkan laser terbentuk setelah melewati celah dan ditangkap oleh layar.

2. Kamera Sony Alpha 230

Kamera Sony Alpha 230 digunakan untuk merekam pola yang ditangkap oleh layar dari belakang celah. Untuk mendapatkan perekaman pola yang terbentuk dari sinar laser helium neon pada viewfinder digunakan pengaturan pada kamera. Pengaturan yang dilakukan antara lain mengatur kecepatan shutter (shutter speed) dan ISO. Kecepatan shutter (shutter speed) mempunyai beberapa skala yang ditandai dengan bilangan 1 sampai dengan 1/4000 untuk mengatur pencahayaan yang diterima sensor, sedangkan ISO mempunyai beberapa pilihan yang ditandai dengan bilangan 100 hingga 3200 untuk pilihan kepekaan sensor.

3. Lensa Minolta AF 50mm f1.7

Lensa Minolta AF 50mm f1.7 buatan jepang, terdiri dari lensa gabungan, gelang pemfokus (focusing ring), celah difragma dan bodi lensa terbuat dari bahan besi metal, dengan panjang fokus lensa 50mm dan pembuka celah diafragma terbesar f1.7. Pembuka celah diafragma mempunyai beberapa pilihan yang ditandai dengan bilangan pembuka celah terbesar f1.7 hingga pembuka celah terkecil f16. Pembuka celah diafragma digunakan untuk menentukan seberapa panjang ruang tajam yang ditangkap lensa. lensa gabungan dibuat dari kaca optik, yang membelokkan cahaya untuk membentuk bayangan, bayangan itu difokuskan dengan cara menggerakkan ring lensa kedepan atau kebelakang relatif untuk mengenai sensor gambar

(48)

Gambar 3.1. Lensa AF 50mm f1.7

4. Komputer

Komputer yang sudah terinstal program matlab7.0 dan program Microsoft excel berfungsi sebagai bantuan untuk peneliti mengolah hasil data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.

5. Tripod

Tripod adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menahan getaran pada kamera. Tripod digunakan untuk mengantisipasi pada saat pengambilan gambar pola yang terbentuk, gambar yang dihasilkan tidak kabur (blur) akibat guncangan (shake) atau pengaturan kecepatan shutter yang lambat. Dengan menggunakan Tripod maka kamera terhindar dari guncangan / goyangan yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti goyang karena getaran tangan atau goyang karena tarikan nafas, fotopun akan tetap tajam walau menggunakan speed yang lambat

(49)

1. Persiapan

a) Meja sebagai tempat laser Helium Neon, celah dan layar. b) Laser Helium Neon yang dihubungkan dengan tegangan listrik. c) Pemasangan celah didepan laser Helium Neon.

d) Pemasangan layar di belakang celah. e) Pemasangan baterai pada bodi kamera. f) Pemasangan kartu memori pada bodi kamera. g) Pemasangan lensa pada kamera.

h) Pemasangan kamera diatas tripod pada sisi belakang layar i) Menyalakan kamera, setelah itu pengambilan data dimulai.

j) Langkah pendahuluan sebelum melakukan pemotretan/perekaman pola adalah mengatur kamera pada mode M (manual) untuk mengatur pengatur Shutter, ISO, dan Diafragma (fstop) secara manual. k) Mengatur format data gambar pada kamera dengan format data

RAW.

l) Mengatur variabel diafragma pada lensa setiap fstop sebanyak 7 pilihan, f1.7, f2.8, f4, f5.6, f8, f11 dan f16.

m) Pemotretan dilakukan dengan bervariasi shutter speed sebanyak 15 kali dengan setiap pengaturan Shutter 1, 0.8, 0.6, 0.5, 0.4, 0.33, 0.25, 0.2, 0.16, 0.126, 0.1, 0.076, 0.066, 0.05, 0.04 dan setiap pengaturan ISO kamera sebanyak 6 pilihan, 100, 200, 400, 800, 1600 dan 3200. n) Setelah pemotretan selesai diperoleh 90 kondisi untuk setiap

(50)

o) Setelah proses pengambilan data semua variabel selesai, hasil data berupa kode gambar dan gambar kemudian disimpan pada folder didalam komputer untuk pengamatan kondisi dari masing-masing variabel (ditunjukan dalam tabel 3.1 sampai tabel 3.7).

2. Pengambilan Data

A. Mencari pola interferensi yang dihasilkan sinar laser Helium Neon yang melewati celah ganda untuk setiap perhentian-f (fstop).

Langkah Kerja :

1. Menyusun peralatan (ditunjukkan dalam gambar 3.2). 2. Mengatur format gambar menggunakan format data gambar

RAW.

3. Mengatur kamera pada ISO dan shutter dengan nilai tetap, misalkan pada ISO 100 dan Shutter 1 sekon.

4. Melakukan pengambilan gambar dengan pengaturan diafragma untuk setiap perhentian-f (fstop) dimulai dari bukaan diafragma terbesar (f1.7) sampai terkecil (f16). 5. Diperoleh data dalam bentuk gambar dengan format

RAW&JPEG.

6. Untuk setiap nilai fstop yang digunakan, dihitung diameter lubang pembuka lensa, dari persamaan :

D = (5)

B. Menyelidiki pengaruh ISO pada hasil rekaman Langkah Kerja :

1. Menyusun peralatan (ditunjukkan dalam gambar 3.2).

(51)

3. Mengatur kamera pada fstop dan shutter dengan nilai tetap, misalkan pada fstop f1.7 dan Shutter 1 sekon.

4. Melakukan pengambilan gambar dengan pengaturan ISO untuk setiap ISO dimulai dari kepekaan ISO 100 hingga 3200.

5. Diperoleh data dalam bentuk gambar dengan format RAW&JPEG.

C. Menyelidiki hubungan shutter speed dengan intensitas berkas laser

Langkah Kerja :

1. Menyusun peralatan (ditunjukan dalam gambar 3.2). 2. Format gambar menggunakan format data gambar RAW.

3. Kamera diatur pada fstop dan ISO dengan nilai tetap, misalkan pada fstop f1.7 dan ISO100.

4. Pengambilan gambar dilakukan dengan variasi Shutter speed dimulai dari Shutter speed 1 sekon hingga 1/25 sekon.

5. Diperoleh data dalam bentuk gambar dengan format RAW&JPEG.

E. METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang diperoleh dari hasil pemotretan dalam bentuk gambar dengan format data RAW&JPEG. Gambar dianalisis dengan menggunakan program matlab untuk mendapatkan nilai dari setiap variabel, kemudian data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel untuk mendapat grafik nilai intensitas terhadap variabel yang diukur.

Data kondisi fisik dari masing-masing variabel dicatat dalam tabel Tabel 3.1. Tabel Data pada Perhentian-f (fstop) f1.7

No. Shutter

ISO

(52)
(53)
(54)

Tabel 3.6. Tabel Data pada Perhentian-f (fstop) f11

Tabel 3.7. Tabel Data pada Perhentian-f (fstop) f16

(55)

F. METODE ANALISIS HASIL

Data yang diperoleh dari hasil pemotretan dalam bentuk data kode gambar (DSC xxx) dengan format data RAW&JPEG (ditunjukan pada tabel 3.8)

Tabel 3.8. Tabel data pada setiap perhentian-f (fstop)

(56)

Dari setiap data gambar dianalisis dengan menggunakan program matlab7 untuk mendapatkan nilai intensitas maksimum pada setiap variabel, Untuk membuat grafik dari data gambar dengan menggunakan software program Matlab7.0, Langkah-langkahnya sebagai berikut:

1) Buka program matlab7.0, pilih menu, file, new, Mfile, pada mfile ketik perintah untuk membuat grafik, sebagai berikut:

xyfile=input('=>Masukkan nama file gambar: ','s');

curvefile1=input('=>Masukkan nama file data yang akan disimpan: ','s');

dataA=imread (xyfile);

(57)

disp(['Plot horizontal selesai dengan sukses!']);

2) Simpan dalam bin dan dalam „work‟ pada Matlab7.0 dengan nama file ‟analisiscontoh.

3) Untuk membuat grafik dari gambar hasil rekaman, buka „Matlab Command Window‟, kemudian ketik „analisiscontoh‟, tekan Enter, kemudian ketik lokasi data yang akan dianalisa „F:\skripsigambar\celah2\celah 2 f1.7\_DSC2759.jpg, tekan Enter . kemudian pilih lokasi penyimpanan data dalam format (x,y), „F:\cont\a6.txt‟, tekan Enter.

4) Grafik dari gambar akan muncul, simpan gambar dengan cara, pilih Menu, File, Save As, pilih pada „Work‟ dari program Matlab7.0, beri nama „a1‟ dengan format JPG.

kemudian data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel untuk mendapat grafik nilai intensitas terhadap variabel yang diukur. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

a) Untuk membuat grafik intensitas terhadap setiap perhentian-f (fstop) dengan shutter speed tetap dan ISO tetap (ditunjukan pada tabel 3.9).

(58)

fstop intensitas (a/u)

b) Untuk membuat grafik Intensitas terhadap shutter speed, dengan perhentian-f (fstop) tetap dan ISO tetap (ditunjukan pada tabel 3.10).

(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 di Ruang Gelap Laboratorium Fisika Dasar Universitas Sanata Dharma Paingan. Persiapan penelitian dilakukan sejak awal bulan Mei 2013 dan uji coba peralatan dilaksanakan pada tanggal 21 dan 23 Mei 2013. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 28, 30, dan 31 Mei 2013.

Pada tanggal 28 Mei 2013 dilakukan pengamatan pola Interferensi sinar laser Helium Neon yang melalui 5 celah dengan lebar celah 0.04 mm dan jarak antar celah 0.125 mm dengan nomor seri 9165-D. Jarak antara sumber cahaya (laser) dengan celah sebesar 20.8cm, jarak celah ke layar sebesar 60.2cm, jarak layar dengan lensa kamera sebesar 41mm.

(60)

seperti pada perhentian-f (fstop) f1.7 untuk perubahan ISO pada setiap shutter speed.

Pada tanggal 30 Mei 2013 dilakukan pengamatan pola Interferensi sinar laser Helium Neon yang melalui 4 celah dan 3 celah. Celah yang digunakan masih sama dengan celah yang digunakan pada pengambilan

data tanggal 28 Mei 2013 yakni dengan lebar celah 0.04 mm dan jarak antar celah 0.125 mm dengan nomor seri 9165-D. Variabel jarak sumber cahaya-celah, jarak-celah-layar, jarak layar kamera masih tetap sama, yakni jarak antara sumber cahaya (laser) dengan celah sebesar 20.8cm, jarak celah ke layar sebesar 60.2cm, jarak layar dengan lensa kamera sebesar 41mm.

Pola yang terbentuk dilayar direkam menggunakan Kamera DSLR Sony Alpha 230 dengan Lensa Minolta AF 50mm f1.7. Perekaman dimulai dari perhentian-f (fstop) f1.7, pada shutter speed 1 untuk setiap perubahan ISO 100, 200, 400, 800, 1600, dan 3200. Kemudian pada fstop yang sama dilakukan pada shutter speed 0.8 untuk setiap perubahan ISO. Demikian selanjutnya perekaman dilakukan pada shutter speed 0.6 sampai 0.04. Untuk perhentian-f (fstop) f2.8, f4, f5.6, f8, f11, dan f16 juga dilakukan seperti pada perhentian-f (fstop) f1.7 untuk perubahan ISO pada setiap shutter speed.

Pada tanggal 31 Mei 2013 dilakukan pengamatan pola Interferensi sinar laser Helium Neon yang melalui 2 celah dengan lebar celah 0.04 mm dan jarak antar celah 0.125 mm dengan nomor seri 9165-D. Jarak antara sumber cahaya (laser) dengan celah sebesar 20.8cm, jarak celah ke layar sebesar 60.2cm, jarak layar dengan lensa kamera sebesar 41mm.

Pola yang terbentuk dilayar direkam menggunakan Kamera DSLR Sony Alpha 230 dengan Lensa Minolta AF 50mm f1.7. Perekaman dimulai

(61)

dari perhentian-f (fstop) f1.7, pada shutter speed 1 untuk setiap perubahan ISO 100, 200, 400, 800, 1600, dan 3200. Kemudian Pada fstop yang sama dilakukan pada shutter speed 0.8 untuk setiap perubahan ISO. Demikian selanjutnya perekaman dilakukan pada shutter speed 0.6 sampai 1/25. Untuk perhentian-f (fstop) f2.8, f4, f5.6, f8, f11, dan f16 juga dilakukan seperti pada perhentian-f (fstop) f1.7 untuk perubahan ISO pada setiap shutter speed.

B. Data Penelitian

Data yang diperoleh dari hasil rekaman adalah data gambar dan untuk mempermudah peneliti menganalisis peneliti menggunakan kode gambar sebagai data dalam tabel untuk setiap kondisi.

Tabel 4.1. Tabel kode gambar dengan dua celah pada f1.7

(62)

Dari lensa yang digunakan dapat dihitung diameter lubang pembuka lensa pada setiap perhentian-f (fstop) f1.7, jarak fokus pemotretan 50mm, sehingga didapatkan diameter lubang pembuka lensa, dengan D adalah diameter pembuka lensa (mm), f adalah jarak fokus lensa (mm), fstop adalah nilai perhentian diafragma.

= 29.41mm

Tabel 4.2. Tabel kode gambar dengan dua celah pada f2.8

No. Shutter 10 0.125 DSC2869 DSC2868 DSC2867 DSC2866 DSC2865 DSC2864 11 0.1 DSC2870 DSC2871 DSC2872 DSC2873 DSC2874 DSC2875 12 0.076 DSC2881 DSC2880 DSC2879 DSC2878 DSC2877 DSC2876 13 0.066 DSC2882 DSC2883 DSC2884 DSC2885 DSC2886 DSC2887 14 0.05 DSC2893 DSC2892 DSC2891 DSC2890 DSC2889 DSC2888 15 0.04 DSC2894 DSC2895 DSC2896 DSC2897 DSC2898 DSC2899

(63)

50mm, sehingga didapatkan diameter lubang pembuka lensa, dengan D adalah diameter pembuka lensa (mm), f adalah jarak fokus lensa (mm), fstop adalah nilai perhentian diafragma.

= 17.85 mm

Tabel 4.3. Tabel kode gambar dengan dua celah pada f4

No. Shutter Speed ISO 10 0.125 DSC2959 DSC2958 DSC2957 DSC2956 DSC2955 DSC2954 11 0.1 DSC2960 DSC2961 DSC2962 DSC2963 DSC2964 DSC2965 12 0.076 DSC2971 DSC2970 DSC2969 DSC2968 DSC2967 DSC2966 13 0.066 DSC2972 DSC2973 DSC2974 DSC2975 DSC2976 DSC2977 14 0.05 DSC2983 DSC2982 DSC2981 DSC2980 DSC2979 DSC2978 15 0.04 DSC2984 DSC2985 DSC2986 DSC2987 DSC2988 DSC2989

(64)

adalah diameter pembuka lensa (mm), f adalah jarak fokus lensa (mm), fstop adalah nilai perhentian diafragma.

= 12.5 mm

Tabel 4.4. Tabel kode gambar dengan celah pada f5.6

No. Shutter Speed ISO 10 0.125 DSC3049 DSC3048 DSC3047 DSC3046 DSC3045 DSC3044 11 0.1 DSC3050 DSC3051 DSC3052 DSC3053 DSC3054 DSC3055 12 0.076 DSC3061 DSC3060 DSC3059 DSC3058 DSC3057 DSC3056 13 0.066 DSC3062 DSC3063 DSC3064 DSC3065 DSC3066 DSC3067 14 0.05 DSC3073 DSC3072 DSC3071 DSC3070 DSC3069 DSC3068 15 0.04 DSC3074 DSC3075 DSC3076 DSC3077 DSC3078 DSC3079

(65)

= 8.92 mm

Tabel 4.5. Tabel kode gambar dengan dua celah pada f8

No. Shutter 10 0.125 DSC3139 DSC3138 DSC3137 DSC3136 DSC3135 DSC3134 11 0.1 DSC3140 DSC3141 DSC3142 DSC3143 DSC3144 DSC3145 12 0.076 DSC3151 DSC3150 DSC3149 DSC3148 DSC3147 DSC3146 13 0.066 DSC3152 DSC3153 DSC3154 DSC3155 DSC3156 DSC3157 14 0.05 DSC3163 DSC3162 DSC3161 DSC3160 DSC3159 DSC3158 15 0.04 DSC3164 DSC3165 DSC3166 DSC3167 DSC3168 DSC3169

(66)

= 6.25 mm

Tabel 4.6. Tabel kode gambar dengan dua celah pada f11

No. Shutter 10 0.125 DSC3229 DSC3228 DSC3227 DSC3226 DSC3225 DSC3224 11 0.1 DSC3230 DSC3231 DSC3232 DSC3233 DSC3234 DSC3235 12 0.076 DSC3241 DSC3240 DSC3239 DSC3238 DSC3237 DSC3236 13 0.066 DSC3242 DSC3243 DSC3244 DSC3245 DSC3246 DSC3247 14 0.05 DSC3253 DSC3252 DSC3251 DSC3250 DSC3249 DSC3248 15 0.04 DSC3254 DSC3255 DSC3256 DSC3257 DSC3258 DSC3259

(67)

= 4.54 mm

Tabel 4.7. Tabel kode gambar dengan dua celah pada f16

No. Shutter 10 0.125 DSC3319 DSC3318 DSC3317 DSC3316 DSC3315 DSC3314 11 0.1 DSC3320 DSC3321 DSC3322 DSC3323 DSC3324 DSC3325 12 0.076 DSC3331 DSC3330 DSC3329 DSC3328 DSC3327 DSC3326 13 0.066 DSC3332 DSC3333 DSC3334 DSC3335 DSC3336 DSC3337 14 0.05 DSC3343 DSC3342 DSC3341 DSC3340 DSC3339 DSC3338 15 0.04 DSC3344 DSC3345 DSC3346 DSC3347 DSC3348 DSC3349

(68)

= 3.12 mm

Pengaruh perhentian-f (fstop) dengan intensitas dapat diamati pada grafik nilai intensitas maksimum terhadap setiap perhentian-f (fstop), yang sebelumnya telah dianalisis menggunakan software matlab7 (tabel intensitas maksimum pada lampiran hal 126-132). Berikut (Grafik 4.1) sebagai sampel / contoh dari data untuk mengetahui pengaruh perhentian-f (fstop) dengan intensitas pada pola interferensi dua celah yang terbentuk dari sinar laser Helium Neon yang terekam pada kamera dengan ISO 100, shutter shutter speed 1/3 sekon (0,33 sekon), pada berbagai kondisi untuk setiap perhentian- f (fstop) f1.7, f2.8, f4, f5.6, f8, f11, dan f16.

Pada fstop f1.7 dan jarak fokus 50mm, diameter pembuka lensa akan terbuka dengan diameter lubang celah 29.41 mm. Dengan dimeter sebesar 29.41mm maka intensitas cahaya yang akan mengenai sensor lebih banyak / besar. Dengan diameter pembuka lensa besar, maka nilai intensitas yang paling besar dicapai pada perhentian-f (fstop) f1.7. Pada fstop f16 dan jarak fokus 50mm, diameter pembuka lensa akan terbuka dengan diameter lubang celah 3.12 mm. Dengan dimeter sebesar 3.12 mm maka intensitas

(69)

yang akan mengenai sensor sedikit / kecil. Dengan diameter pembuka lensa kecil, maka nilai intensitas yang paling rendah dicapai pada perhentian-f (fstop) f16.

C. Pengaruh ISO terhadap pola hasil rekaman

ISO menyatakan kepekaan cahaya pada suatu sensor, pada hasil penelitian pola Interferensi yang terekam pada kamera mempunyai beberapa kondisi yang berbeda pada setiap ISO. Berikut sebagai sample / contoh data pola interferensi dua celah yang terbentuk dari sinar laser Helium Neon yang terekam pada perhentian-f (fstop) f16, shutter speed 1/3 sekon (0,33 sekon) pada berbagai kondisi pada setiap nilai ISO (ditunjukan pada gambar 4.2).

Pada kondisi dengan nilai ISO 3200 tampak intensitas cahaya yang terekam sangat terang dan tampak bercak banyak pada gambar, pada kondisi dengan nilai ISO 1600 intensitas cahaya terang dan masih tampak bercak, pada kondisi dengan nilai ISO 800 intensitas cahaya terang dan bercak berkurang, pada kondisi ISO 400 intensitas cahaya yang terekam

ISO 100 ISO 200 ISO 400

ISO 800 ISO 1600 ISO 3200

(70)

terang dan bercak berkurang, pada kondisi ISO 200 intensitas cahaya yang terekam berkurang (redup) dan bercak tampak sangat tipis, pada kondisi ISO 100 intensitas cahaya yang terekam berkurang (redup) jelas dan tidak menghasilkan bercak.

Pada kondisi hasil rekaman bercak yang tampak banyak terlihat pada gambar yang menggunakan nilai ISO 3200, dengan nilai ISO tinggi maka sensor akan lebih peka terhadap cahaya, pada kondisi dengan nilai ISO 100, gambar yang dihasilkan tidak ada bercak. Dengan kondisi nilai ISO semakin kecil maka kepekaan sensor terhadap cahaya akan berkurang. D. Hubungan shutter speed dengan intensitas hasil rekaman

Untuk menunjukan hubungan shutter speed dengan intensitas digunakan sampel / contoh data pada hasil rekaman pola interferensi dua celah yang terbentuk dari sinar laser Helium Neon yang terekam pada perhentian (fstop) f16, ISO 100, untuk berbagai kondisi pengaturan shutter speed 1, 0.8, 0.6, 0.5, 0.4, 0.33, 0.25, 0.2, 0.16, 0.126, 0.1, 0.076, 0.066, 0.05, 0.04 (ditunjukan pada gambar 4.3).

1 0.8 0.6

0.5 0.4 0.33

(71)

Gambar 4.3. Rekaman pola interferensi yang terekam untuk setiap pengaturan

shutter speed

Dari hasil rekaman pola interferensi menyatakan hubungan shutter speed dengan intensitas, Pada kondisi shutter speed cepat 0.04 sekon intensitas cahaya yang diterima sensor sangat rendah sehingga menyebabkan pola interferensi yang terekam redup. Pada kondisi shutter speed lambat 1 sekon, intensitas cahaya yang diterima sensor semakin banyak sehingga menyebabkan pola interferensi yang terekam lebih terang.

0.125 0.1 0.0076

(72)

Perubahan pengaturan kondisi shutter speed juga mempengaruhi intensitas yang diterima sensor. Dengan melakukan analisis data menggunakan software matlab7, maka akan mendapatkan intensitas maksimum yang terukur pada setiap kondisi pengaturan shutter speed (tabel intensitas maksimum pada halaman 126-132)

Pada kondisi f1.7, pengaturan ISO 800 dengan berbagai kondisi pengaturan shutter speed 1, 0.8, 0.6, 0.5, 0.4, 0.33, 0.25, 0.2, 0.16, 0.126, 0.1, 0.076, 0.066, 0.05, dan 0.04 sekon (ditunjukan pada tabel 4.8).

Tabel 4.8. Tabel data pada setiap perhentian-f (fstop), Shutter speed dan ISO F1.7

(73)

dengan nilai intensitas maksimum yang cukup bervariasi (tabel intensitas maksimum pada halaman 126-132).

Pada kondisi f1.7, pengaturan ISO 800 dengan kondisi pengaturan shutter speed 1/3 (0.33) sekon didapat intensitas maksimum sebesar 242 a/u (ditunjukkan pada gambar 4.4).

Sedangkan untuk kondisi f1.7, pengaturan ISO 800 dengan kondisi pengaturan shutter speed 0.8 sekon didapat intensitas maksimum sebesar 255 a/u (ditunjukkan pada gambar 4.5).

Gambar 4.5. Pola yang menunjukan intensitas dan shutter speed yang mencapai nilai saturasi.

Gambar

Gambar 2.1 b. Pembentukan bayangan pada kamera obscura
Gambar 2.5. Pemantulan cahaya
Gambar 2.6. Pemantulan teratur
Gambar 2.8. Pembiasan cahaya, refleksi dan refraksi dalam kasus dimana medium 2  mempunyai indeks refraksi yang lebih kecil dari pada medium 1, maka n 2  &lt; n 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 10 menunjukkan grafik kuesioner yang menyatakan bahwa aplikasi mudah untuk digunakan, gambar 11 menunjukkan grafik kuesioner yang menyatakan bahwa tampilan

Atas rahmat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Iklan pada Tabloid Genie ” sebagai salah satu syarat.. yang harus dipenuhi

Kalau nilai residual tidak mengikuti distribusi normal, uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sample kecil (Ghozali, 2013:160) Salah satu cara termudah untuk

K= 4 dari data parameter calon siswa yang dapat dilihat pada Gambar 4.23. Sedangkan centroid akhir bisa dilihat pada

Perancangan robot lengan pemindah barang ini ini dilakukan dengan beberapa kali pengujian untuk menganalisa putaran motor servo dan sensor photodiode sebagai

Yang dimaksud oleh peneliti keluarga bahagia dalam penelitian ini adalah berfungsinya seluruh keluarga merasa ketentraman, penuh dengan kasih sayang,

Diabetes melitus merupakan sebuah penyakit yang dipelajari pada materi sistem peredaran manusia yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi batas normal..

Kita sudah melihat segala peristiwa dalam bab itu bahwa ketika Abu Bakr wafat pasukan Muslimin sedang berada di Yarmuk, dan bahwa pasukan Muslimin mendapat kemenangan di Yarmuk