• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur yaitu sosio dan linguistik, kata sosio berasal dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur yaitu sosio dan linguistik, kata sosio berasal dari"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Sosiolinguistik

Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur yaitu sosio dan linguistik, kata sosio berasal dari kata sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat dan aktifis kemasyarakatan, sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa, khususnya unsur bahasa (fonem, morfem, kata dan kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur (struktur) termasuk hakekat dan pembentukan unsur-unsur-unsur-unsur tersebut.

Dalam proses berbahasa kita dapat melihat latar belakang penutur bahasa tersebut, baik dari sudut pendidikan, maupun status sosialnya, karena dari bahasa yang digunakan akan tercermin semua karakter penutur bahasa tersebut (Mulyani, 2001).

Pendapat lain dikatakan oleh Nababan (1993 : 9) bahwa sosiolinguistik merupakan suatu aktifitas yang secara khusus diarahkan untuk penelitian tentang interaksi struktur bahasa dnegan struktur sosial, serta saling pengaruh antara tingkah laku kebahasaan dengan tingkah laku kemasyarakatan. Sedangkan Carol dalam Sanada (1992:9) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah :

社会言語学とは社会の中で生きる人間、その集団とのかかわりにおいて各言語現 像あるいは言語連用をとらえようとするがくもんである

(2)

Sosiolinguistik adalah ilmu yang membahas fenomena bahasa atau penggunaan bahasa yang berkaitan dengan manusia maupun kelompoknya yang berada di dalam masyrakat

Berdasarkan tiga teori tersebut maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sosiolinguistik merupakan suatu bidang yang memeplajari tentang hubungan bahasa dengan masyarakat penuturnya dan jelaslah bahwa sosiolinguistik memberi penekanan pada aspek pemakaian bahasa yang aktual di dalam masyarakat

2.2 Aimai

Davies (2002:9), mendefinisikan aimai sebagai keadaan dimana sesuatu dirasakan samar, karena memiliki arti lebih dari satu. Untuk memahami nuansa aimai (ambigu) adalah hal yang sulit terutama bagi orang asing selain Jepang. Asal kata aimai sendiri dijelaskan oleh Haga (1996:22) bahwa,『曖昧』は『曖』も『昧』『暗い』という意味, yang berarti Aimai berasal dari 曖 dan昧 yang sama-sama bermakna gelap.

Oleh karena bermakna gelap dan samar-samar maka kalimat yang terucap cenderung tidak jelas apa makna yang sebenarnya ingin disampaikan dan menjadikan pendengar sulit mengerti terutama bagi para pembelajar bahasa Jepang karena memiliki makna yang samar dan tidak jelas, sehingga tercipta suasana ambigu.

Davies (2002:9) lalu menjelaskan lebih jauh bahwa aimai ini tertanam tidak hanya pada saat penolakan diberikan, namun juga ketika , menyampaikan pendapat terhadap suatu masalah, bahkan ketika sedang membicarakan diri sendiri.

Kishie (2007) menyebutkan ada tiga alasan utama aimai sering digunakan oleh masyrakat Jepang ketika berkomunikasi, seperti yang disebutkan dibawah ini :

(3)

なんで『曖昧』言葉を使うんですか?友人関係が希薄なので、他人と余計なぶつ かりあいをさけたい、相手と距離をおきたい。傷つくことがこわいわけです。 Terjemahan :

Mengapa bahasa aimai dipergunakan? Alasannya adalah adanya keinginan untuk menghindari konflik-konflik yang tidak perlu terjadi dengan orang lain, keinginan untuk menciptakan jarak dengan lawan bicara dan adanya ketakutan akan disakiti orang lain yang disebabkan oleh hubungan pertemanan yang rendah.

Tsuji (1999) mengatakan bahwa secara garis besar, tujuan penggunaan aimai di dalam komunikasi adalah untuk memperhalus pernyataan penutur kepada petutur. Tsuji (1999) lalu membagi fungsi dari penggunaan aimai ketika seorang terlibat di dalam sebuah komunikasi. Fungsi-fungsi tersebut diumpamakan Tsuji sebagai sebuah siasat yang dapat memperlemah daya ikat hubungan antara individu, karena hubungan antara manusia bisa menetukan pikiran ucapan seseoran ketika berkomunikasi. Lebih jauh lagi ketiga fungsi tersebut adalah sperti tertulis dibawah ini :

“ここではひとまず①発話内容の不特定化、②発話主体のメ夕化、③聞き手の共犯 化、の三つに大別して説明していくことにしたい “

Terjemahan :

“Disini (saya) akan menjelaskan tentang fungsi tersebut dengan tiga bagian, pertama untuk merancukan isi pembicaraan, menjadikan subjek pembicaraan menjadi bentuk metalanguage, dan yang ketiga adalah melibatkan petutur sebagai rekan pelaku”.

Dari ketiga fungsi dari aimai yang telah disebutkan itu yang sejalan dengan majas eufemisme adalah fungsinya yang pertama yaitu untuk merancukan isi pembicaraan. Dalam fungsi ini Tsuji (1999) berkata bahwa kata seperti toka, nanka, demo, shi, dan sebagainya merupakan kata-kata yang dapat membuat makna utama dari suatu percakapan menjadi rancu atau tidak jelas. Ia lalu memberikan contoh dialog yang ia lakukan antara dirinya dan istrinya yang menunjukan

(4)

fungsi aimai. Istrinya berkata, “ヤナギワとか言う先生から電話があったよ“ yang berarti “ tadi ada telepon dari sensei yang sepertinya bernama Yanagiwa lho”. Sebenarnya yang menelpon bernama Yanagiba, tetapi karena terdapat kata とか, maka Tsuji tidak berkewajiban untuk memperbaiki kesalahan istrinya tersebut. Akan lain ceritanya apabila sang istri mengatakan “ヤナギワと言う先生から電話があったよ” maka Tsuji berkewajiban dan dapat memperbaiki kesalahan nama yang disebutkan oleh istrinya tersebut.

Tsuji (1999) mengatakan bahwa dengan cara seperti itu maka penutur telah menggeser fokus yang dapat terkena efek samping eratnya hubungan antara individu (yaitu mempertanggung jawabkan kata-kata) dari dirinya kepada petutur.

2.2.1 Honne dan Tatemae

Negara Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki unsur budaya yang cukup beragam dan mempengaruhi penggunaan bahasa dan cara berbicara orang Jepang terhadap lawan bicaranya. Salah satu budaya tersebut adalah tatemae. Menurut Ushiyama (2007:169), honne dan tatemae didefinisikan sebagai berikut :

本音は心の中で実際に考えていること。思ったことをそのまま口に出す

ことは、相手に対する配慮が足りないと考えられている。建前はTPOや社会的道

徳、話す相手によって変化する表向きの意味。社交辞令もこれいにあたる。 Terjemahan:

Honne adalah pemikiran jujur seseorang. Apabila kita mengatakan sesuatu dengan terang-terangan, maka hal itu dianggap akan menyinggung lawan bicara kita. Tatemae adalah sikap seseorang yang dapat berubah-ubah sesuai konteks sosial, lawan bicara serta tempat, waktu dan objek pembicaraan (atau TPO : time, place, object). Tanggpan diplomatis juga termasuk dalam prinsip tatemae.

Berbeda dengan orang barat yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan keterbukaan, orang Jepang lebih bersifat menutup diri dan berusaha untuk menutupi informasi sehingga hal ini

(5)

dirasakan cukup menyulitkan dan cenderung mengganggu bagi masyarakat barat. Kerbo (1998:26), mengemukakan bahwa bagi orang Jepang, bukanlah masalah untuk berkomunikasi dengan tatemae apabila situasinya mengharuskan untuk seperti itu. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang buruk, malah dianggap sebagai sebuah sikap positif, bahkan oleh orang Jepang yang mendapat sikap tatemae sebagai tanggapan pembicaraan. Hal ini diakibatkan karena prinsip honne dan tatemae yang sudah mengakar sejak lama tersebut memberikan sebuah pandangan bahwa orang tersebut melakukan tatemae karena ingin menjaga keharmonisan.

Ushiyama (2007:169) juga menjelaskan bahwa penggunaan honne mungkin saja menyinggung orang lain, maka penggunaan tatemae dianggap sebagai pilihan yang aman. Ushiyama lalu mengilustrasikan penerapan honne dan tatemae yang dituangkan melalui sebuah kisah. Ilustrasi tersebut menceritakan tentang seorang atasan mengajak bawahannya untuk pergi minum sepulang kerja. Walaupun sebenarnya ia segan untuk pergi minum dengan atasannya karena canggung (sikap honne), sang bawahan haruslah berpandai-pandai memeberi jawaban kepada atasan. Ia pada akhirnya memutuskan memeberikan jawaban “そのうちで、ご一緒にさせてください“ , yang artinya “ mari kita melakukannya bersama-sama kapan-kapan”. Jawaban tersebut merupakan sikap tatemae dari sang bawahan yang ia sesuaikan dengan konteks dan juga lawan bicaranya. Ini membuktikan bahwa orang Jepang pun dalam bicara sangat memperhatikan konteks dan lawan bicara selain itu mereka juga harus menempatkan diri sesuai pada tempatnya dan budaya tatemae yang sudah mengakar sejak lama itu sangat mempengaruhi kedalam pemakaian bahasa di dalam percakapan mereka sehari-hari.

(6)

Semantik merupakan suatu bidang ilmu yang memepelajari tentang makna. Aminuddin (1998 : 15), mengatakan bahwa semantik berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna signify atau memaknai.

Sedangkan pendapat lain mengenai semantik dikemukakan oleh Chaer (1994 :284), bahwa semantik merupakan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya adalah makna bahasa. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Verhaar (1996 :13), mengatakan bahwa semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang akan membahas arti atau makna.

Seorang ahli semantik modern bernama Hiejima (1991 : 1-3), mengatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase dan kalimat. Menurut Keraf (2007, 28-29), makna kata dalam suatu kalimat terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Makna denotatif adalah makna dari sebuah frasa atau kata yang tidak mengandung arti atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis hanya menyampaikan informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, akan cenderung menggunakan kata-kata yang denotatif. Tujuan utamanya untuk memberi penjelsan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pemabaca

2. Makna konotatif, adalah makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang pada umumnya. Makna tersebut sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan rasa setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar dengan orang lain, sebab itu bahasa manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya.

(7)

Kata-kata memiliki asosiasi antar sesamanya. Medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan similiaritas atau kesamaan, kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (Parera, 2004:138). Menurut Trier dalam Parera (2004 :139), setiap medan makna akan selalu tercocokan antar-sesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa.

Lebih lanjut Trier dalam Parera (2004:139), berpendapat bahwa pendekatan medan makna memandang bahasa sebagai satu keseluruhan yang tertata yang dapat dipenggal-penggal atas beberapa bagian yang saling berhubungan secara teratur. Perlu diketahui bahwa perbedaan makna tidak sama untuk setiap bahasa, misalanya :

Dala m baha sa Indo nesia med an Melirik Mengintip Memandang Melihat Menatap Meninjau Melotot

(8)

makna “melihat” dibedakan atas “melirik, mengintip, memandang, menatap, meninjau, melotot” dan lain sebagainya (parera, 2004 :140). Jadi dapat disimpulkan bahwa satu kata dapat memiliki arti yang berbeda tergantung pengucapan dan tujuan pengucapannya.

2.4 Majas

Menurut Zaimar (2002:45), majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, namun sebenarnya majas termasuk dalam gaya bahasa. Menurut Harimurti dalam Zaimar (2002) gaya bahasa mempunyai tiga pengertian, yaitu :

1. Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis

2. Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu 3. Keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra

Menurut Jacobson dalam Zaimar (2002) penggunaan gaya bahasa termasuk kedalam fungsi puitik yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka, bahkan mengganggu pembaca. Pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat.

Majas itu sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Menurut Moeliono (1989:173), majas diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu majas perbandingan, majas pertentangan dan majas pertautan, masng-masing majas ini terdiri dari beberapa sub majas. Majas perbandingan merupakan pandangan tertentu antara wilayah makna kedua kata (atau

(9)

bentuk lainnya) terdapat persamaan komponen makna, sehingga keduanya bisa dibandingkan, contoh : pada majas simile “wajah ibu dan anak itu bagaikan pinang dibelah dua” pinang dibelah dua menandakan kemiripan. Majas pertentangan adalah oposisi antara dua buah gagasan, dengan menggunakan dua kata (bentuk lain) yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua kata (bentuk lain) mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama. Contoh : pada majas antitese “besar kecil, tua muda, kaya miskin, semua berlomba-lomba ingin hidup senang” ketiga kata majemuk yang ditampilkan, mempunyai makna yang berlawanan satu sama lain. Dalam majas pertautan, majas didasarakan pada pertautan makna berkat kedekatan acuan. Beberapa ahli linguistik antara lain Tutsecu dalam Zaimar (2002) mengatakan bahwa penanda dapat ditransfer berkat adanya kedekatan acuan. Artinya penanda tertentu dapat digunakan untuk mengemukakan suatu petanda yang lain, berkat adanya kontiguitas ( kedekatan) acuan diantara kedua tanda. Contoh : pada maajs metonimi “gedung putih telah mengumumkan perang” kata gedung putih disini mengemukakan presiden Amerika.

Sesuai apa yang telah diungkapkan oleh Jacobson dalam Zaimar (2002), bahwa salah satu fungsi majas adalah unutk memberikan rasa puitik sehingga sebuah karya sastra dapat lebih memiliki bobot. Dalam bahasa Jepang pun demikian, fungsi puitik tersebut akan sering kita temui dalam puisi dan karya-karya sastra Jepang lainnya, dan yang paling umum dikenal adalah majas metafora. Metafora selalu menjadi majas yang paling sering digunakan, seperti yang diungkapkan oleh Sato (1992 : 113), bahwa :

古代から、現喩はつねにレ卜リックの中心的な関心のまとである。―九世紀後半 に古典レトリックがすっかり見捨てられたのちも、隠喩だけはいつも哲学者、時 人たちの興味を引き続けている。数えてみることなどとても不司研究され書かれ てきた隠喩書かれてきた論の書物や論文は、何百、いや何千科、数知れず、隠喩 にかかわる問題はもう出つくしているのではないかとさえ思われるありまだ。

(10)

Terjemahan :

Sejak zaman dahulu, bahkan samapai sekarang, metafora selalu menjadi titik perhatian dalam retorika. Pada paruh kedua abad kesimbelan belas, retorika klasik telah benar-benar ditinggalkan, namun hanya metafora yang terus menarik minat para filsuf dan penyair. Jika dihitung, memang tidak mungkin, namun, telah terdapat ratusan, ribuan, bahkan tidak terhitung mengenai buku-buku dan disertasi tentang metafora yang telah diteliti. Pertanyaan mengenai metafora pun telah muncul, bahkan masih dipikirakan hingga sekarang.

Berdasarkan dari teori yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa majas merupakan bagian dan termasuk kedalam gaya bahasa dan memiliki beberapa fungsi dalam penggunaannya. Salah satunya adalah untuk memperoleh efek tertentu ketika penggunaan majas tersebut dipakai pada saat berbicara maupun penulisan. Selain itu majas juga masuk kedalam fungsi puitik yang yang dapat memberikan bobot pada pesan yang akan disampaikan, pemakaian gaya bahasa di waktu yang tepat pun dapat membuat pembicaraan menjadi menarik terutama kepada lawan bicara, akan tetapi bila penggunaanya kurang tepat maka penggunaan gaya bahasa akan menjadi sia-sia belaka. Selain itu pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang ingin dikemukakan di dalam teks karena memiliki gagasan yang penuh makna dan singkat.

2.4.1 Eufemisme

Penggunaan bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Indonesia akhir-akhir ini semakin banyak digunakan. Hal ini sejalan dengan tuntutan masyarakat yang menghendaki penggunaan bahasa yang sopan dan keinginan masyarakat untuk tidak berterus terang. Padahal pada awalnya eufemisme haya dipakai unutk mengganti bentuk-bentuk kebahasaan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat tabu atau yang umumnya berupa barang, perbuatan, keadaan, sifat yang

(11)

memiliki konotasi buruk, sehingga pantang untuk diucapkan secara langsung (Ariatmi dalam Mardikantoro, 1997:67 ).

Eufemisme dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan sinonim dari kata yang diganti. Akan tetapi, kesinoniman itu tidak mutlak, artinya meskipun bersinonim, kata-kata itu tetap berbeda (Mardikantoro, 2000)

Pendapat lain mengenai eufemisme diungkap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Berbahasa Indonesia dalam Mardikantoro (2000), eufemisme adalah ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya meninggal dunia untuk menghalusakan kata mati. Kata-kata kasar yang perlu diganti tersebut merupakan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang dalam tuturan bersifat terlalu tajam, menghina dan karena itu tidak dapat ditolerir. Pada umumnya kata-kata tersebut dapat digolongkan ke dalam bahasa kasar leksikal dan stilistik (Suhardi 1995:172).

Eufemisme merupakan bagian dari gaya bahasa yang mengandung majas yang termasuk kedalam majas pertautan. Tando (1990) mengatakan bahwa Eufemisme yang dikenal dan dipergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris, Euphemism yang berarti ungkapan pelembut atau pelembutan. Departemen Pendidikan melalui Pusbinbangsa dalam Tando (1990:74) memberikan makna kepada eufemisme sebagai ungkapan yang lebih halus untuk mengganti kata-kata yang dirasa kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Dalam eufemisme perasaan pun dapat mempengaruhi, pembicara atau penulis akan menggunakan kata atau ungkapan alternatif yang menurut perasaannya lebih dapat diterima oleh lawan bicaranya. Pembicara atau penulis mengganti kata yang diperkirakan akan menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu. Sementara itu pendapat lain mengenai eufemisme

(12)

diungkapkan oleh Wardhaugh (1988), mengatakan bahwa kata atau ungkapan eufemisme memungkinkan pemakai bahasa untuk mengatakan dan menetralkan sesuatu yang tidak menyenangakan dengan cara memberi nama baru atau mengemasnya kembali sehingga kata itu terdengar lebih menyenangkan.

Eufemisme adalah ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung, bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar. Pemakaian majas ini termasuk dalam pilihan ragam bahasa. Dalam eufemisme pemakaian kata tertentu dihindari dan digantikan oleh sinonimnya (Zaimar, 2002). Penggantian bentuk-bentuk tabu dengan bentuk eufemisme menggunakan kata yang bersinonim. Menurut Verhaar (1992:132), sinonim adalah ungkapan (biasanya sebuah kata, tetapi dapat pula berupa frase atau kalimat) yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan lain, relasi sinonim tidak mengandung kesamaan makna yang sempurna.

Wasono dalam Sam Tando (1990), mengungkapkan bahwa penyebab utama lahirnya eufemisme adalah perasaan atau kesopanan dan rasa takut. Kuasa pun dapat mempengaruhi penggunaan eufemisme, Tando (1990) mengatakan lebih lanjut bahwa eufemisme sering pula disebabkan oleh “kuasa”. Pembicara merasa bahwa kuasa yang dimilikinya berada dalam kekuasaan atau kuasa yang lebih tinggi, sebagai contoh seorang bawahan atau mahasiswa tidak akan pernah mengucap kata “anda” atau “saudara” kepada direktur atau dosennya. Ia pasti mengucapkan kata “bapak” atau “tuan” walaupun ia lebih tua. Saking hormat dan takutnya, maka seorang bawahan tidak akan mau mengatakan bahwa tuannya melaukan tindak korupsi (ketidak jelasan informasi). Walaupun ia tahu, namun pasti lebih suka mengatakan “saya kurang tahu”.

(13)

Lebih lanjut, Lubis dalam Tando (1990:79), mengatakan bahwa :

Eufemisme merupakan bentuk paling sederhana dari ketidakjujuran informasi. Penggunaannya akan menghalangi kita intuk melihat dengan jernih dan tajam. Kita

terbawa untuk menghindari fakta-fakta yang menyakitkan dan menjadi tidak realistis melihat kenyataan. Ini menipu diri sendiri dan lebih buruk lagi menipu orang lain.

Penggunaan eufemisme bukan hanya untuk menghaluskan ungkapan yang dianggap kasar saja. Bukan juga hanya untuk mengganti kata-kata yang dianggap tabu atau memiliki konotasi buruk. Sehingga kita menggantikannya atau menetralkannya dengan cara memberi nama baru atau mengemasnya kembali sehingga terdengar menyenangkan, tetapi juga digunakan untuk memberikan pengaburan informasi yang dikarenakan rasa takut. Rasa takut tersebut disebabkan oleh hubungan kekuasaan atau agar tidak menyinggung perasaan orang lain karena kenyataan yang menyakitkan.

Berdasarkan data-data yang sudah dikumpulkan dan dibaca maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa majas eufemisme memiliki beberapa fungsi, antara lain :

1. Menggantikan kata-kata yang dianggap tabu dan digantikan oleh sinonimnya.

2. Untuk menunjukan kesopanan yang didasari oleh perasaan takut akan sesuatu

3. Untuk mengaburkan informasi atau membuat suatu inforamsi menjadi tidak jelas hingga memiliki kesan ambigu agar tidak menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Garansi Terbatas ini tidak mencakup pedoman penggunaan atau piranti lunak, pengaturan, isi, data atau sambungan pihak ketiga, baik yang dimasukkan/download ke dalam Produk, baik

Pada saat proses belajar terjadi itulah dapat diperoleh informasi bahwa proses belajar yang positif semakin meningkat seiring dengan berkurangnya hal- hal sebagai

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh efektivitas penggunaan sistem informasi akuntansi, kepercayaan, kemampuan teknik personal, dukungan manajemen dan

Pada Bab II ini akan dijabarkan mengenai kajian pustaka dan kerangka berpikir. Kajian pustaka tersebut berkaitan dengan variabel penelitian yang diteliti, yaitu

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa nilai Adjusted R 2 sebesar 0.233 atau 23.3% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel profitabilitas, risiko bisnis,

Adapun faktor-faktor yang dapat menimbulkan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal pada peserta didik adalah: (1) peserta didik duduk pasif dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah populasi bakteri yang berada di perkebunan kelapa sawit lahan gambut pada tingkat kedalaman tanah 0 cm (permukaan

Visi dan Misi Program Studi Akuntansi juga telah disosialisasikan baik ke pihak internal maupun eksternal melalui berbagai cara seperti on-line melalui website Program