• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemilik. Pada kenyataannya para pemegang saham tersebut ada yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemilik. Pada kenyataannya para pemegang saham tersebut ada yang"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori

2.1.1. Teori Agensi

Teori keagenan merupakan dasar yang digunakan dalam memahami

corporate governance (Anggit dan Shodiq, 2014). Sebuah perusahaan

merupakan organisasi yang dimiliki oleh beberapa pemegang saham sebagai pemilik. Pada kenyataannya para pemegang saham tersebut ada yang mengendalikan perusahaannya sendiri, namun ada juga yang mempercayakan perusahaannya kepada seorang manajer atau pengelola (agent). Para pemegang saham yang mengendalikan perusahaannya sendiri dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya melalui kinerjanya sendiri. Sebaliknya, ketika para pemegang saham tersebut mempercayakan perusahaannya kepada seorang manajer atau pengelola (agent) akan timbul masalah yang disebut konflik kepentingan (agency

problem).

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambil keputusan. Principal adalah pemegang saham atau investor, sedangkan agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan (Anggit dan Shodiq, 2014). Dasar hubungan keagenan ini adalah adanya pemisahan antara kepemilikan (principal atau investor) dan pengendalian (agent atau manajer), dimana pemisahan fungsi tersebut menimbulkan terjadinya konflik keagenan.

(2)

Konflik kepentingan ini terjadi ketika tujuan manajemen sebagai agent tidak selaras dengan tujuan perusahaan. Hal ini terjadi karena kedua belah pihak akan terlebih dahulu mementingkan kepentingan mereka sendiri. Agen sebagai pihak manajemen memiliki kecenderungan untuk meningkatkan kesejahteraan baik dari segi kebutuhan psikologis maupun ekonomis dengan biaya yang ditanggung pemilik. Pemilik menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal. Kecenderungan tersebut menyebabkan perbedaan informasi yang diterima antara agent dan principle.

Asimetri informasi merupakan kesenjangan informasi yang diterima oleh pemilik perusahaan dari agen sebagai pengelola perusahaan secara langsung. Hal tersebut menimbulkan keraguan bagi pemilik perusahaan untuk dapat menilai apakah usaha yang dilakukan sudah optimal atas modal yang dipercayakan oleh pemegang saham (Ikhsan dan Ishak, 2006). Untuk menyelesaikan agency problem tersebut berkembanglah corporate governance sebagai alat yang dapat mengurangi kesenjangan informasi antara kedua pihak. 2.1.2. Konsep Corporate Governance

Gagasan corporate governance muncul atas kegagalan dari tata kelola perusahaan, kegagalan tersebut terjadi dengan timbulnya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan besar. Beberapa perusahaan tersebut antara lain Enron, Sunbeam, Wordlcom, Adelphia, Tyco dan beberapa perusahaan minyak (Weston et al, 2004). Sebagai sebuah konsep, corporate governance memiliki banyak definisi, sehingga belum ada definisi yang pasti akan corporate

(3)

governance ini. Cadburry Committee, seperti dikutip oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mengartikan corporate governance sebagai

seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Organization of Economic

Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan corporate governance

sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, penguasa, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa konsep corporate

governance ini berkaitan dengan bagaimana tata kelola perusahaan sesuai

dengan tujuan dari perusahaan tersebut, yang menghubungkan antara pihak-pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan yang bertujuan untuk kepentingan pengambilan keputusan manajerial.

Keputusan terbaru Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-431/BL/2012 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik yang menggantikan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-134/BL/2006 tanggal 7 Desember 2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik, menyebutkan bahwa laporan tahunan wajib

(4)

memuat tata kelola perusahaan. PT Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011 juga menerbitkan Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate Governance). Menurut pedoman tersebut, Tata Kelola Perusahaan atau Good Corporate

Governance (selanjutnya disebut GCG) merupakan suatu sistem yang dirancang

untuk mengarahkan pengelolaan perusahaan secara profesional berlandaskan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independen serta kewajaran dan kesetaraan. Tujuan dilaksanakannya GCG adalah untuk mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya dalam jangka panjang.

Berdasarkan Pedoman Tata Kelola Perusahaan tersebut, GCG adalah suatu sistem atau struktur yang menerapkan prinsip-prinsip:

1. Transparansi (Transparency)

Yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan termasuk pelaksanaan pengambilan keputusan. Transparansi tersebut secara spesifik meliputi, namun tidak terbatas pada aspek-aspek berikut: a. Perseroan akan menyediakan informasi secara tepat waktu, jelas dan

akurat, termasuk di dalamnya adalah kinerja dan kondisi keuangan Perseroan.

b. Perseroan akan memberi kemudahan akses bagi pemegang saham maupun pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan kebijakan Perseroan. Informasi tersebut meliputi, namun tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi Perseroan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, sistem

(5)

manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, praktik GCG, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi Perseroan. c. Prinsip-prinsip transparansi tersebut di atas tidak mengurangi atau

menghilangkan kewajiban bagi Perseroan untuk merahasiakan informasi tertentu sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku atau atas dasar pertimbangan bisnis.

d. Perseroan secara tertulis dan proporsional mengkomunikasikan kebijkan Perseroan kepada stakeholders yang relevan.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Yaitu kejelasan fungsi, tugas dan tanggung jawab organ Perseroan sehingga Perseroan dapat berjalan dengan efektif. Akuntabilitas secara lebih spesifik meliputi, namun tidak terbatas pada aspek-aspek berikut:

a. Perseroan menjabarkan fungsi, tugas dan tanggung jawab tiap organ secara tertulis, jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai serta strategi Perseroan.

b. Perseroan memastikan pelaksanaan check and balance system dan pengendalian internal di masing-masing fungsi.

c. Perseroan meyakini bahwa semua organ Perseroan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

d. Perseroan menyusun satuan pengukuran kinerja tiap organ secara memadai dan seimbang.

(6)

e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ Perseroan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.

3. Pertanggungjawaban (Responsibility)

Yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Perseroan yang sehat. Pertanggungjawaban secara lebih spesifik meliputi, namun tidak terbatas pada aspek-aspek berikut:

a. Tiap organ Perseroan dalam aktivitasnya selalu menjalankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan Perseroan.

b. Perseroan melaksanakan fungsi tanggung jawab sosial dengan didukung perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang memadai.

4. Independensi (Independency)

Yaitu pengelolaan Perseroan secara profesional tanpa pengaruh/ tekanan, intervensi dan benturan kepentingan (conflict of interest) dalam pengambilan keputusan penting Perseroan. Independensi secara lebih spesifik, meliputi, namun tidak terbatas pada aspek-aspek berikut:

a. Perseroan menghindari adanya dominasi tidak wajar dari pemegang saham.

b. Perseroan melaksanakan pengambilan keputusan secara objektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun.

(7)

5. Kewajaran dan kesetaraan (Fairness)

Yaitu kewajaran dan kesetaraan hak dan kewajiban pemegang saham dan

stakeholders. Kewajiban dan kesetaraan secara lebih spesifik, meliputi,

namun tidak terbatas pada aspek-aspek berikut:

a. Perseroan memberikan perlakuan yang wajar dan setara kepada pemegang saham dan stakeholders.

b. Perseroan memberikan kesempatan yang sama kepada pemegang saham dan stakeholders untuk memberikan masukan, menyampaikan pendapat serta mendapatkan akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi sesuai fungsi dan tanggung jawab yang dimiliki.

c. Perseroan memberikan kesempatan yang wajar dan setara dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, golongan, gender, dan kondisi fisik.

Kunci sukses dan berkesinambungan dari implementasi di BEI adalah berfungsinya organ-organ perseroan yaitu RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi secara efektif. Selanjutnya organ-organ ini yang merupakan organ utama GCG akan sangat terbantu bilamana terdapat organ-organ pendukung GCG yang juga berfungsi secara efektif. Untuk itu diperlukan suatu pedoman tata kelola perusahaan (code of corporate governance) yang merupakan himpunan pokok-pokok pengelolaan perseroan yang kemudian akan dijabarkan lebih lanjut dalam piagam, kebijakan dan Standard Operating Procedure (SOP) yang akan menjadi acuan implementasi GCG BEI.

(8)

2.1.3. Organ-organ Pendukung Good Corporate Governance 2.1.3.1. Komite Audit

Keberadaan Komite Audit diatur dalam Keputusan Ketua BAPEPAM dan LK Nomor: Kep-643/BL/2012. Mengingat semakin kompleksnya tugas dan fungsi Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap Emiten atau Perusahaan Publik, maka diperlukan Komite Audit yang dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Menurut Keputusan tersebut, Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsi Dewan Komisaris. Komite Audit bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Komite Audit minimal terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang berasal dari Komisaris Independen dan pihak luar Emiten atau Perusahaan Publik.

Pada Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang diterbitkan PT Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011, disebutkan bahwa Komite Audit bertugas membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa:

a. perseroan telah menyajikan laporan keuangan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

b. perseroan telah menerapkan pengendalian internal, manajemen risiko, dan GCG.

c. fungsi audit eksternal dan audit internal telah berjalan dengan baik.

Berdasarkan Keputusan BAPEPAM dan LK Nomor: Kep-643/BL/2012, selain tugas di atas Komite Audit juga memiliki wewenang sebagai berikut:

(9)

a. mengakses dokumen, data dan informasi Emiten atau Perusahaan Publik tentang karyawan, dana, aset, dan sumber daya perusahaan yang diperlakukan;

b. berkomunikasi langsung dengan karyawan, termasuk Direksi dan pihak yang

menjalankan fungsi audit internal, manajemen risiko dan Akuntan terkait tugas dan tanggung jawab Komite Audit;

c. melibatkan pihak independen di luar anggota Komite Audit yang diperlukan

untuk membantu pelaksanaan tugasnya (jika diperlukan); dan

d. melakukan kewenangan lain yang diberikan oleh Dewan Komisaris.

2.1.3.2. Komite Remunerasi

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.04/2014 tentang Komite Nominasi dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik mendefinisikan remunerasi sebagai imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada nggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran yang diberikan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris.Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang diterbitkan oleh PT. Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011 mendefinisikan Komite Remunerasi sebagai komite yang dibentuk untuk membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji dan memberikan masukan terhadap remunerasi Direksi dan Komisaris, termasuk metode penentuannya. Komite Remunerasi juga membantu Dewan Komisaris dalam me-review dan memberikan masukan terhadap hal-hal yang terkait dengan remunerasi di tingkat manajemen yang diajukan oleh Direksi.

(10)

Di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.04/2014 tentang Komite Nominasi dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik, tugas dari Komite Nominasi dan Remunerasi yang berkaitan dengan fungsi remunerasi adalah:

1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai:

a. Struktur Remunerasi;

b. Kebijakan atas Remunerasi; dan c. Besaran atas Remunerasi;

2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja dengan

kesesuaian Remunerasi yang diterima masing-masing anggota Direksi dan/ atau Dewan Komisaris.

Terkait dengan fungsi tersebut, prosedur yang wajib dilakukan adalah sebagai berikut:

1. menyusun struktur Remunerasi bagi anggota Direksi dan/ atau anggota Dewan Komisaris;

2. menyusun kebijakan atas Remunerasi bagi anggota Direksi dan/ atau

anggota Dewan Komisaris; dan

3. menyusun besaran atas Remunerasi bagi anggota Direksi dan/ atau anggota

Dewan Komisaris.

Struktur Remunerasi sebagaimana dimaksud diatas dapat berupa: 1. gaji;

2. honorarium; 3. insentif; dan/ atau

(11)

4. tunjangan yang bersifat tetap dan/ atau variabel.

Penyusunan struktur, kebijakan, dan besaran remunerasi sebagaimana yang dimaksud diatas harus memperhatikan:

1. remunerasi yang berlaku pada industri sesuai dengan kegiatan usaha Emiten

atau Perusahaan Publik sejenis dan skala usaha dari Emiten atau Perusahaan Publik dalam industrinya;

2. tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan/ atau anggota dewan Komisaris dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan kinerja Emiten atau Perusahaan Publik;

3. target kinerja atau kinerja masing-masing anggota Direksi dan/ atau anggota Dewan Komisaris; dan

4. keseimbangan tunjangan antara yang bersifat tetap dan bersifat variabel. Mengingat bahwa tujuan Komite Remunerasi adalah untuk merancang paket reward yang cocok, keberadaannya akan terkait dengan struktur dan keanggotaan. Melalui Komite Remunerasi, perusahaan dapat mengukur tingkat kompensasi yang sesuai agar mampu menstimulasi manajemen meningkatkan kinerja perusahaan melalui manajemen pajak (Irawan dan Farahmita, 2012). Sebuah perusahaan yang memiliki Komite Remunerasi akan mengungguli perusahaan lain (Singhchawla et al, 2011).

2.1.3.3. Eksternal Audit

Eksternal Audit adalah proses audit yang dilakukan oleh pihak luar perusahaan yang independen. Orang yang melakukan Eksternal Audit ini bernama Auditor Eksternal. Auditor Eksternal adalah akuntan publik

(12)

bersertifikat yang meneliti catatan keuangan dan transaksi bisnis dari perusahaan dimana dia tidak berafiliasi dengan perusahaan tersebut (Maharani, 2015). Audit eksternal atau disebut juga auditor independen biasanya digunakan untuk menghindari konflik kepentingan dan untuk menjamin integritas proses audit. Memastikan laporan keuangan sesuai dengan kondisi sebenarnya merupakan tujuan dari audit eksternal. Kegiatan Audit Eksternal merupakan persyaratan perusahaan yang go public untuk memberikan bukti akan kebenaran laporan keuangan kepada investor dan juga bisa dimaksudkan untuk melakukan tugas khusus seperti penyelidikan.

Tanggung jawab utama Auditor Eksternal adalah memberikan opini atas kewajaran pelaporan keuangan organisasi, terutama dalam penyajian posisi keuangan dalam suatu periode. Auditor Eksternal juga menilai apakah laporan keuangan organisasi disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum dan diterapkan secara konsisten dari periode ke periode. Opini ini akan digunakan para pengguna laporan keuangan, baik di dalam organisasi terlebih di luar organisasi karena laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang digunakan oleh para pemakai laporan yang berkepentingan terhadap perusahaan baik pihak eksternal maupun pihak internal. Auditor Eksternal disini merupakan pihak ketiga, dengan kata lain Auditor Eksternal bukan bagian dari organisasi atau perusahaan yang terkait (Maharani, 2015). Secara independen, para Auditor Eksternal melakukan penugasan berdasarkan kontrak yang diatur dengan ketentuan perundang-undangan maupun standar profesional yang berlaku.

(13)

2.1.3.4. Komite Manajemen Risiko

Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang diterbitkan oleh PT Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011 mendefinisikan risiko sebagai segala kejadian dalam setiap aktivitas Perseroan yang timbul karena faktor eksternal maupun internal yang mengandung potensi menghambat pencapaian tujuan Perseroan. Pendekatan pengelolaan risiko organisasi sering disebut dengan Manajemen Risiko (Meizaroh dan Lucyanda, 2011). Manajemen Risiko Perusahaan atau

Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu strategi yang digunakan

untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko dalam perusahaan (Meizaroh dan Lucyanda, 2011). Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang diterbitkan oleh PT Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011 menyebutkan bahwa manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan operasional perusahaan. Berkembangnya lingkungan usaha dan industri pasar modal yang dinamis menyebabkan semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perseroan. Meningkatnya kompleksitas risiko tersebut menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan praktik good corporate governance yang sehat dan fungsi manajemen risiko yang dapat diandalkan sehingga dapat mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko Perseroan.

Perseroan wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan perseroan. Tujuan utama penerapan Manajemen Risiko adalah

(14)

agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh perseroan tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan perseroan atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha perseroan, disamping itu penerapan Manajemen Risiko yang baik dapat membantu perseroan dalam menyusun rencana strategis serta mengoptimalkan peluang bisnis dan pengalokasian sumber daya yang dimilikinya. Beberapa perusahaan masih mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya. Tugas pengawasan Manajemen Risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait, seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan sebagainya (Bates dan Leclerc, 2009). Alasan tersebut menjadi landasan beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada suatu komite pengawas manajemen terpisah dari audit dan berdiri sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen risiko perusahaan, atau disebut dengan Risk

Management Committee (RMC) (Andarini dan Januarti, 2010).

Di Indonesia sendiri perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada industri perbankan (Andarini dan Januarti, 2010). Namun, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di Indonesia masih bersifat sukarela (Andarini dan Januarti, 2010). Hingga saat ini penelitian yang membahas pembentukan RMC secara khusus masih sangat jarang. Salah satu sebab yang mendasari hal ini adalah sedikitnya bukti empiris mengenai formasi dan struktur dari RMC.

(15)

Implementasi ERM erat kaitannya dengan penerapan Good Corporate Governance (Meizaroh dan Lucyanda, 2011). Hal ini karena aspek pengawasan

yang dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, dan eksternal auditor merupakan kunci penting terlaksananya sistem good corporate

governance yang efektif.

RMC menjadi populer sebagai mekanisme pengawas risiko yang penting bagi perusahaan, dan secara umum area tugas dan wewenang RMC adalah (Subramaniam et al, 2009):

1. mempertimbangkan strategi manajemen risiko organisasi

2. mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi

3. menaksir pelaporan keuangan organisasi

4. memastikan bahwa organisasi dalam prakteknya memenuhi hukum dan

peraturan yang berlaku.

Penerapan sistem Manajemen Risiko secara formal dan terstruktur merupakan suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem Manajemen Risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan Good

Corporate Governance perusahaan.

2.1.4. Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Angka 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dijelaskan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

(16)

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Suandy (2011) mendefinisikan pajak sebagai pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik. Menurut Rochmat Sumitro dalam Suandy (2011), pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran

rutin dan -nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber

utama dalam membiayai public investment. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib dari masyarakat kepada negara yang dipungut berdasarkan undang-undang untuk membiayai pengeluaran negara bagi kemakmuran rakyat.

Beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak (Suandy, 2011) adalah:

1. pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.

2. pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

3. dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontaprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.

4. pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

5. pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public

(17)

6. pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.

7. pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pajak, berikut adalah fungsi dari pajak (Waluyo, 2013):

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan

pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Dalam upaya meningkatkan

penerimaan perpajakan, pemerintah secara konsisten melakukan berbagai upaya pembenahan baik aspek kebijakan maupun aspek sistem dan administrasi perpajakan melalui hal-hal berikut ini (Suandy, 2011):

a. Amandemen undang-undang perpajakan.

b. Modernisasi kantor pajak. c. Ekstensifikasi dan intensifikasi.

d. Extra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak.

e. Pembangunan data base terintegrasi.

f. Penyediaan layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi.

g. Penegakan kode etik pegawai untuk meningkatkan kedisiplinan dan

good governance aparatur pajak.

2. Fungsi Mengatur (Reguler)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh (Suandy, 2011):

(18)

a. Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing.

b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri.

c. Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.

2.1.5. Perlawanan Pajak

Perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-hambatan yang ada atau terjadi dalam upaya pemungutan pajak. Perlawanan pajak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (Suandy, 2011):

1. Perlawanan Pasif

Perlawanan secara pasif berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Misalnya: kebiasaan masyarakat desa yang menyimpan uang di rumah atau dibelikan emas bukanlah mereka menghindari Pajak Penghasilan dari bunga tetapi karena belum terbiasa dengan perbankan.

(19)

2. Perlawanan Aktif

Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Perlawanan secara aktif dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah suatu pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal seperti, pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun manfaat hal-hal yang belum diatur dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

b. Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Penggelapan pajak (tax evasion)adalah merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan perpajakan seperti memberi data-data palsu atau menyembunyikan data. Dengan demikian pajak dapat dikenakan sanksi pidana.

2.1.6. Tax Avoidance

Undang-undang perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment, yaitu sistem pemungutan yang memberikan keleluasaan penuh kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya (Brian dan Martani, 2014). Penerapan sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia seakan memberikan kesempatan

(20)

bagi wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Wajib Pajak, dalam hal ini adalah perusahaan, tentu saja ingin menekan biaya perusahaan, termasuk di dalamnya beban pajak. Dalam upayanya memperkecil jumlah pajak yang harus dibayar, perusahaan dapat menggunakan dua cara, yaitu memperkecil nilai pajak dengan tetap mengikuti peraturan pajak yang berlaku (penghindaran pajak) atau memperkecil nilai pajak dengan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang (penggelapan pajak) (Brian dan Martani, 2014).

Penghindaran pajak didefinisikan oleh Dyreng et al (2008) sebagai segala sesuatu yang dilakukan perusahaan dan berakibat pengurangan terhadap pajak perusahaan. Pengertian lebih rinci tentang penghindaran pajak dikemukakan oleh Xynas (2011). Xynas (2011) membedakan definisi antara penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion). Menurut Xynas (2011), penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan suatu usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat legal (lawful), sedangkan penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal. Tax avoidance merupakan bagian dari tax planning yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan pembayaran pajak (Masri dan Martani, 2010). Tax avoidance merupakan tindakan penghematan pajak yang masih dalam koridor perundang-undangan (Chasbiandani dan Martani, 2012). Dalam perspektif administrasi perpajakan, penghindaran pajak atau tax

avoidance adalah upaya memanfaatkan peluang loopholes dalam aturan pajak

(21)

adalah upaya Wajib Pajak dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak lebih rendah (Brian dan Martani, 2014). Tax avoidance merupakan bagian dari tax planning yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan pembayaran pajak. Penghindaran pajak adalah penggunaan aturan sah untuk memodifikasi situasi keuangan dalam rangka untuk menurunkan jumlah pajak penghasilan terutang (Maharani, 2015).

Tax avoidance secara hukum pajak tidak dilarang meskipun seringkali

mendapat sorotan yang kurang baik dari kantor pajak karena dianggap memiliki konotasi negatif. Tax avoidance sangat mungkin terjadi karena aturan atau undang-undang mengenai pajak dapat menimbulkan berbagai macam penafsiran yang disebabkan oleh kompleksitas hukum pajak (Maharani, 2015). Kompleksnya aturan pajak memungkinkan timbulnya penafsiran yang menguntungkan Wajib Pajak, yang kemudian memicu lahirnya tax avoidance. 2.1.7. Book Tax Gap

Penelitian mengenai penghindaran pajak kebanyakan menggunakan sumber data laporan keuangan karena keterbatasan data laporan pajak yang

dipublikasikan perusahaan. Book-Tax Gap merupakan kesenjangan atau

perbedaan antara laba komersial yang dilaporkan dalam laporan laba rugi atau laba yang dilaporkan dalam laporan laba rugi menurut peraturan akuntansi dengan laba fiskal atau laba yang dilaporkan dalam laporan laba rugi berdasarkan peraturan perpajakan negara yang bersangkutan (Bovi, 2005). Besarnya perbedaan laba akuntansi dengan laba pajak dianggap sebagai sinyal kualitas laba (Wiryandari dan Yulianti, 2009). Semakin besar perbedaan yang

(22)

terjadi, semakin rendah kualitas laba yang artinya akan semakin rendah presistensinya (Wiryandari dan Yulianti, 2009). Nilai BTD yang lebih besar menunjukkan tingkat penghindaran pajak yang lebih tinggi (McGuire et al, 2012).

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai corporate governance dan tax avoidance sudah mulai banyak dilakukan, termasuk di Indonesia. Namun penelitian yang menghubungkan organ-organ pendukung good corporate governance terhadap

tax avoidance belum pernah dilakukan. Berikut adalah beberapa penelitian

mengenai corporate governance dan tax avoidance yanng pernah dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Sari dan Martani (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh kepemilikan keluarga, corporate governance, terhadap tindakan pajak agresif. Dalam penelitian tersebut, tindakan pajak agresif diukur dengan menggunakan

effective tax rate, cash effective tax rate, book-tax difference, residual book-tax difference, dan rata-rata tingkat perencaanaan pajak perusahaan. Corporate governance diukur menggunakan indeks CG yang dikeluarkan oleh IICD

(Indonesian Institute for Corporate Directorship). Meskipun gagal menemukan hubungan signifikan antara kepemilikan keluarga, tata kelola perusahaan dan agresivitas pajak, penelitian ini telah memberikan gambaran awal bahwa perusahaan keluarga di Indonesia memiliki agresivitas pajak yang lebih tinggi daripada perusahaan non-keluarga. Tata kelola perusahaan memiliki hubungan

(23)

negatif dengan agresivitas pajak. Hubungan antara kepemilikan keluarga dan agresivitas pajak dimediasi oleh tata kelola perusahaan yang efek dari mediasinya adalah negatif.

Timothy (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh Corporate

Governance terhadap Tax Aggressiveness. Agresivitas pajak dalam penelitian ini

diukur menggunakan ETR. Tata kelola perusahaan diproksikan dengan menggunakan kepemilikan saham oleh direktur, direktur independen, persentase pemegang saham terbesar, persentase pemegang saham minoritas, dan tarif pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan saham oleh direktur, direktur independen, dan persentase pemegang saham terbesar (sebagai proksi untuk kekuatan pemegang saham) memiliki hubungan yang signifikan dengan agresivitas pajak perusahaan.

Annisa dan Kurniasih (2012) menguji pengaruh tata kelola perusahaan terhadap penghindaran pajak di perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur tata kelola perusahaan yang terdiri dari kualitas audit dan komite audit berpengaruh signifikan terhadap aktivitas penghindaran pajak yang diukur menggunakan proksi Book Tax Gap. Hasil lainnya menunjukkan bahwa kepemilikan institusional dan dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas penghindaran pajak yang diukur dengan proksi

Book Tax Gap.

Irawan dan Farahmita (2012) menguji pengaruh kompensasi manajemen dan corporate governance terhadap manajemen pajak perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besarnya kompensasi kepada direksi tidak

(24)

dapat dijadikan suatu insentif untuk meminimalisasi pajak. Hal ini didukung karena penerapan corporate governance oleh perusahaan dirasakan cukup untuk mencegah manajer untuk melakukan usaha manajemen pajak yang agresif untuk mengurangi pembayaran pajak.

Budiman dan Setiyono (2012) meneliti pengaruh karakteristik eksekutif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksekutif yang memiliki karakter risk taker memiliki efek positif yang signifikan pada penghindaran pajak. Chasbiandani dan Martani (2012) meneliti pengaruh tax avoidance jangka panjang terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghindaran pajak jangka panjang dipengaruhi oleh penghindaran pajak jangka pendek, penghindaran pajak jangka pendek memiliki pengaruh positif pada penghindaran pajak jangka panjang. Hasil regresi menunjukkan bahwa penghindaran pajak jangka panjang memiliki pengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.

Septiani dan Martani (2014) menganalisis corporate governance dan reformasi perpajakan terhadap manajemen laba dan manajemen pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan melakukan manajemen pajak sekaligus manajemen laba pada saat penurunan tarif pajak, manajemen pajak yang dilakukan perusahaan dipengaruhi oleh fasilitas perpajakan yaitu dengan tarif pajak lebih rendah 5% untuk perusahaan yang 40% atau lebih sahamnya dimiliki oleh publik, manajemen laba dipengaruhi oleh kondisi perusahaan mengalami kerugian atau memperoleh laba, dan peran dewan komisaris dan direksi secara efektif dapat meminimalkan beban pajak perusahaan.

(25)

Ridha dan Martani (2014) menganalisis agresivitas pajak, agresivitas pelaporan keuangan, kepemilikan, dan tata kelola perusahaan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara agresivitas pajak dan agresivitas pelaporan keuangan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak senantiasa menghadapi trade off dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan laba serta pajak perusahaan. Kepemilikan keluarga terbukti berpengaruh positif terhadap agresivitas pajak namun tidak berpengaruh terhadap agresivitas pelaporan keuangan. Sementara tata kelola perusahaan tidak berpengaruh baik terhadap agresivitas pelaporan keuangan maupun agresivitas pajak. Skor tata kelola perusahaan yang baik belum mampu mencerminkan mekanisme tata kelola perusahaan yang efektif dalam membatasi perilaku menyimpang manajer dalam hal perpajakan maupun pengelolaan laba.

Rusyadi dan Martani (2014) menguji secara empiris pengaruh struktur kepemilikan (keluarga, asing, dan pemerintah) terhadap penghindaran pajak agresif di Indonesia. Tindakan pajak agresif dalam penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yaitu, Effective Tax Rate, Cash Effective Tax Rate, dan

Book-Tax Difference. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan

keluarga terkonsentrasi memiliki efek positif pada penghindaran pajak yang agresif di Indonesia, yang berarti bahwa kepemilikan keluarga mendorong perusahaan di Indonesia untuk tidak melakukan melakukan penghindaran pajak.

Winarsih et al (2014) menguji pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility terhadap agresivitas pajak perusahaan.

(26)

Good Corporate Governance diproksikan dengan menggunakan ukuran dewan

komisaris, ukuran direksi, dan ukuran komite audit. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris mempengaruhi agresivitas pajak perusahaan. Sedangkan ukuran dewan direksi, ukuran komite audit, dan

Corporate Social Responsibility perusahaan tidak mempengaruhi agresivitas

pajak perusahaan.

Darmawan dan Sukartha (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh penerapan Corporate Governance, Leverage, Return On Assets, dan ukuran perusahaan terhadap Penghindaran Pajak. Corporate Governance dalam penelitian ini diukur menggunakan skor penilaian dalam CGPI yang dikembangkan oleh IICG. Pengukuran aktivitas penghindaran pajak diukur dengan selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal dibagi dengan total aset perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara

Corporate Governance, ROA, dan ukuran perusahaan dengan penghindaran

pajak. Variabel leverage dalam penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh pada penghindaran pajak.

Simanjuntak dan Sari (2014) meneliti peran penghindaran pajak dalam mengurangi biaya utang dengan efektifitas komite audit sebagai variabel pemoderasi. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif signifikan antara penghindaran pajak dan biaya hutang dimana terdapat hubungan substitusi antara penghindaran pajak dan biaya hutang. Efektifitas komite audit terbukti tidak berpengaruh signifikan dalam mempengaruhi hubungan negatif antara penghindaran pajak dan biaya hutang.

(27)

Prakosa (2014) menganalisis pengaruh profitabilitas, kepemilikan keluarga, dan Corporate Governance terhadap Tax Avoidance. Tax Avoidance diukur dengan Cash Effective Tax Rate (CETR). Corporate Governance dalam penelitian ini diproksikan dengan Komisaris Independen dan Komite Audit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profitabilitas, kepemilikan keluarga dan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak.

2.3. Pengembangan Hipotesis

Tindakan penghematan pajak yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan di Indonesia dimaksudkan bukan untuk menggelapkan pajak, tapi lebih pada tujuan penghematan besarnya beban pajak yang dibayar oleh perusahaan dengan cara memanfaatkan celah pada peraturan perpajakan yang ada di Indonesia. Sistem tata kelola perusahaan dan budaya di sebuah perusahaan akan memiliki pengaruh pada cara perusahaan menangani urusan pajaknya.

2.3.1. Pengaruh Komite Audit terhadap Tax Avoidance

Penghindaran pajak merupakan aktivitas yang secara umum meningkatkan laba setelah pajak perusahaan, sehingga dipandang sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Berdasarkan teori agensi, manajer dan eksekutif lainnya dalam perusahaan sebagai agen diharapkan oleh pemegang saham agarmengurangi beban pajak perusahaan. Komite Audit merupakan bagian dari manajer yang berpengaruh signifikan dalam penentuan kebijakan perusahaan (Puspita, 2014).

(28)

Komite Audit adalah organ pendukung dalam Good Corporate

Governance yang bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan

fungsinya. Keberadaan Komite Audit diatur dalam Keputusan Ketua BAPEPAM dan LK Nomor Kep-643/BL/2012. Komite Audit bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Komite Audit minimal terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang berasal dari Komisaris Independen dan pihak luar emiten atau perusahaan publik.

Komite Audit merupakan alat yang efektif untuk melakukan mekanisme pengawasan, sehingga dapat mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas pengungkapan perusahaan. Pengungkapan perusahaan yang dilakukan oleh Komite Audit menunjukkan bahwa perusahaan telah bekerja berdasarkan aturan yang telah ditetapkan dan tidak melanggar hukum yang berlaku. Komite Audit berfungsi memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan pengendalian internal perusahaan (Mayangsari, 2003).

Melalui fungsinya, Komite Audit tentunya dapat melakukan pengawasan dan pengendalian pada perusahaan supaya tidak melakukan tindakan perpajakan yang ilegal. Contohnya saja, Komite Audit dapat memastikan bahwa perusahaan menggunakan metode penyusutan yang tepat sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku (metode garis lurus dan metode saldo menurun), sehingga menghasilkan beban yang bisa dibiayakan dengan optimal.

(29)

Komite Audit yang beranggotakan sedikit cenderung dapat bertindak lebih efisien, namun juga memiliki kelemahan, yakni minimnya ragam pengalaman anggota, sehingga anggota Komite Audit seharusnya memiliki pemahaman memadai tentang pembuatan laporan keuangan dan prinsip-prinsip pengawasan internal (Annisa dan Kurniasih, 2012). Berbeda dengan Winarsih et

al (2014), semakin besar ukuran Komite Audit, monitoring terhadap tindakan

pajak agresif yang dilakukan oleh pihak manajemen bisa diminimalisir, sehingga dapat meningkatkan keandalan laporan keuangan yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan dengan baik. Komite Audit dengan ukuran yang lebih besar akan dapat memecahkan masalah-masalah dalam proses pelaporan keuangan karena mempunyai pengetahuan luas dan memiliki sumber daya lebih baik daripada Komite Audit lebih kecil.

Berjalannya fungsi Komite Audit secara efektif memungkinkan pengendalian pada perusahaan dan laporan keuangan yang lebih baik serta mendukung Good Corporate Governance. Fungsi Komite Audit yang berjalan dengan efektif akan dapat mencegah konflik keagenan, meningkatkan fungsi pengawasan perusahaan yang lebih baik, dan dapat meningkatkan kinerja keuangan (Hasanah dan Handayani, 2014).Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1: Komite Audit yang diproksikan dengan Jumlah Komite Audit berpengaruh signifikan terhadap Tax Avoidance.

(30)

2.3.2. Pengaruh Komite Remunerasi terhadap Tax Avoidance

Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang diterbitkan oleh PT Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011 mendefinisikan Komite Remunerasi sebagai komite yang dibentuk untuk membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji dan memberikan masukan terhadap remunerasi Direksi dan Komisaris, termasuk metode penentuannya. Selain itu, komite ini juga membantu Dewan Komisaris dalam me-review dan memberikan masukan terhadap hal-hal yang terkait dengan remunerasi di tingkatan manajemen yang diajukan oleh Direksi. Tidak adanya Komite Remunerasi dalam sebuah perusahaan memungkinkan adanya kesempatan bagi eksekutif untuk memberikan penghargaan terhadap dirinya sendiri dengan membayarkan kenaikan gaji, sehingga melawan kepentingan pemegang saham (Yatim, 2013).

Pembentukan Komite Remunerasi oleh perusahaan merupakan sarana untuk meningkatkan efektivitas tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan yang berjalan dengan efektif akan berpengaruh meningkatkan nilai perusahaan. Komite Remunerasi yang berjalan efektif akan meminimalkan kesempatan bagi eksekutif untuk memberikan penghargaan terhadap dirinya sendiri dengan membayarkan kenaikan gaji, honorarium, insentif dan/ atau tunjangan yang melawan kepentingan pemegang saham. Adanya Komite Remunerasi tentu juga akan berpengaruh dalam mengurangi tindakan penghindaran pajak, karena dengan adanya Komite Remunerasi beban gaji, honorarium, insentif dan/ atau tunjangan perusahaan juga dapat dikontrol, sehingga eksekutif tidak bisa seenaknya melakukan kenaikan gaji, honorarium, insentif, dan/ atau tunjangan

(31)

yang akan menyebabkan kenaikan beban gaji, honorarium, insentif dan/ atau tunjangan perusahaan. Kenaikan beban gaji, honorarium, insentif dan/ atau tunjangan perusahaan tersebut akan menyebabkan penurunan laba, yang kemudian akan berpengaruh kepada penurunan jumlah pajak yang dibayarkan perusahaan.

H2 : Komite Remunerasi yang diproksikan dengan Jumlah Komite Remunerasi berpengaruh signifikan terhadap Tax Avoidance.

2.3.3. Pengaruh Eksternal Audit terhadap Tax Avoidance

Salah satu elemen penting dalam corporate governance adalah transparansi. Transparansi terhadap pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada pasar modal dan pertemuan para pemegang saham (Annisa dan Kurniasih, 2012). Peningkatan transparansi terhadap pemegang saham dalam hal pajak semakin dituntut oleh otoritas publik. Alasannya adalah adanya asumsi bahwa implikasi dari perilaku pajak yang agresif, pemegang saham tidak ingin perusahaan mereka mengambil posisi agresif dalam hal pajak dan akan mencegah tindakan tersebut jika mereka mengetahui sebelumnya.

Audit berkualitas tinggi (high-quality auditing) seharusnya dapat bertindak sebagai penekan bahkan mungkin mencegah tindakan menguntungkan diri sendiri pihak-pihak tertentu. Auditor berkualitas tinggi sering diasumsikan mampu mencegah dan mengurangi praktik-praktik akuntansi yang dipertanyakan dan melaporkan kesalahan-kesalahan serta ketidakteraturan yang material daripada auditor berkualitas rendah (Nastiti dan Gumanti, 2011). Perusahaan

(32)

dengan mekanisme tata kelola internal yang lemah cenderung memilih auditor dengan kualitas yang rendah. Hal ini dilakukan agar pemilik utama perusahaan mampu mempertahankan keuntungan yang didapatkan melalui lemahnya transparansi keuangan perusahaan. Disisi lain, dengan perbaikan tata kelola perusahaan, perusahaan akan memiliki kemungkinan yang lebih besar menunjuk auditor eksternal yang besar dengan asumsi mereka mampu memberikan kualitas jasa audit yang tinggi. Pemilihan auditor eksternal yang berkualitas akan menjamin kredibilitas dan transparansi pelaporan keuangan perusahaan (Maharani, 2012).

Ali dan Hartono (2003) menyatakan bahwa kualitas audit tidak dapat diobservasi, sehingga auditor berusaha untuk mengkomunikasikan kualitas mereka melalui sinyal seperti reputasi atau brand names. Penunjukkan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berafiliasi dengan KAP Big Four merupakan sinyal bagi publik bahwa laporan keuangan yang dilaporkan memiliki reliabilitas yang tinggi. KAP yang berafiliasi dengan KAP Big Four dianggap lebih berkualitas karena auditor dibekali dengan serangkaian pelatihan dan prosedur serta memiliki program audit yang lebih akurat dibandingkan dengan KAP yang tidak berafiliasi dengan KAP Big Four.

Annisa dan Kurniasih (2012) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa terbukti terdapat pengaruh yang signifikan kualitas audit terhadap tax avoidance. Dewi dan Jati (2014) menemukan bahwa kualitas audit berpengaruh terhadap tax

avoidance. Maharani dan Suardana (2014) dalam penelitiannya mendapatkan

(33)

audit yang tinggi dapat mempengaruhi praktik penghindaran pajak. Perusahaan yang diaudit oleh KAP besar terbukti tidak melakukan penghindaran pajak, karena auditor yang termasuk dalam The Big Four lebih kompeten dan profesional dibandingkan dengan auditor yang termasuk dalam Non The Big

Four, sehingga ia memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang cara

mendeteksi dan memanipulasi laporan keuangan yang mungkin dilakukan oleh perusahaan (Asfiyati, 2012). Perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four akan semakin sulit melakukan praktik penghindaran pajak (Maharani dan Suardana, 2014). Kategori KAP Big Fourdi Indonesia adalah sebagai berikut:

1. KAP Price Waterhouse Coopers, yang bekerja sama dengan KAP Drs. Hadi

Susanto dan rekan, KAP Haryanto Sahari, KAP Tanuredja, Wibisana dan rekan.

2. KAP KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) yang bekerja sama dengan

KAP Sidharta-Sidharta dan Wijaya.

3. KAP Ernst and Young yang bekerja sama dengan KAP Drs. Sarwoko dan Sanjoyo, Prasetyo Purwantono.

4. KAP Deloitte Touche Thomatsu yang bekerja sama dengan KAP Drs. Hans

Tuanakota dan Osman Bing Satrio.

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H3 : Eksternal Audit yang diproksikan dengan kualitas

(34)

2.3.4. Pengaruh Komite Manajemen Risiko terhadap Tax Avoidance

Keinginan untuk memberikan kontribusi laba yang besar pada para pemegang saham dihadapkan pada pajak yang merupakan beban sebagai pengurang laba, sehingga tidak jarang perusahaan juga melakukan manajemen pajak, baik yang bersifat avoidance maupun evasion guna meminimalkan kewajiban pajak perusahaan tersebut. Tindakan manajemen pajak yang bersifat

avoidance adalah tindakan manajemen pajak yang dilakukan secara legal,

tindakan sementara manajemen pajak yang bersifat evasion adalah tindakan manajemen pajak yang bersifat ilegal karena mengarah pada penggelapan pajak. Tindakantax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan tentu tidak terlepas dari risiko yang harus dihadapi oleh perusahaan.

Melihat fungsi pajak sebagai pendistribusi pendapatan, masyarakat membutuhkan suatu indikator dalam melihat tingkat partisipasi perusahaan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembayaran pajak. Perusahaan yang melakukan penghindaran pajak memberi kesan yang buruk karena masyarakat memandang bahwa aktivitas ini akan membatasi transfer pendapatan kepada masyarakat luas. Padahal menurut masyarakat, semestinya perusahaan berpartisipasi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembayaran pajak. Salah satu bentuk pengawasan bagi tindakan manajerial dalam bidang pajak adalah membentuk tata kelola perusahaan yang baik (Maharani, 2015). Calon investor tentunya akan memilih perusahaan yang bebas risiko.

(35)

Manajemen risiko atau Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko dalam perusahaan. Risk Management Committee (RMC) merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan manajemen risiko perusahaan (Meizaroh dan Lucyanda, 2011). Perusahaan yang memiliki RMC dapat lebih banyak mencurahkan waktu, dan kemampuan untuk mengevaluasi pengendalian internal dan menyelesaikan berbagai risiko yang mungkin dihadapi perusahaan (Andarini dan Januarti, 2010). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H4: Komite Manajemen Risiko yang diproksikan dengan Jumlah Risk

Management Committee berpengaruh signifikan terhadap Tax

(36)

2.4. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penjelasan di atas dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Pemikian Variabel Independen

Organ-organ Pendukung

Good Corporate Governance

Komite Audit Komite Remunerasi Eksternal Audit Komite Manajemen Risiko Variabel Kontrol Ukuran Perusahaan Variabel Dependen Tax Avoidance

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka PemikianVariabel Independen

Referensi

Dokumen terkait

Pada penderita yang mengalami gangguan fungsi tiroid, AIT atau hipotiroid, selama mendapatkan terapi amiodaron, dapat diberikan alternatif obat anti aritmia lain,

Berdasarkan hal tersebut, sudah sepantasnya seorang guru Pendidikan Agama Islam tidak hanya sekedar menjadi guru yang mengajar materi-materi keagamaan secara konvensional dan

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Merupakan suatu perubahan laporan atau mutasi laba yang ditahan yang merupakan bagian dari pemilik perusahaan untuk suatu periode tertentu. Dalam laporan laba ditahan ditunjukan

HASIL PENILAIAN SEJAWAT SEBIDANGATAU PEER REVIEW KARYA ILMIAH : PROSIDING.

Berdasarkan analisis trend dengan menggunkan tahun dasar terhadap komponen-komponen laporan neraca yang mencerminkan solvabilitas perusahaan menunjukkan kecenderungan yang

Hasil desalting minyak mentah dan dewatering oleh proses bersatu ultrasonik-listrik dibandingkan dengan proses listrik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar.. 0,72% setelah

dengan Tema Pendidikan Yang terjangkau Bagi Kaum Miskin.