• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2014"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada

Balita

di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

Tahun 2014

Diah Ayu Rianawati1, Sudijanto Kamso2

1. Peminatan Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 2. Departemen Biostatistik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

E-mail: diah.ayu.rianawati@gmail.com

ABSTRAK

Penumonia adalah salah satu penyebab mortalitas tertinggi pada balita sehingga penyakit ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari beberapa faktor resiko. Penelitian ini membahas tentang kejadian pneumonia pada balita serta faktor yang berhubungan dengannya. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional, jumlah sampel sebanyak 100 orang, dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2014. Analisa hubungan dengan menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil uji statistik multivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita adalah anggota keluarga yang merokok dengan nilai OR=10,304 (95% CI: 2,988 – 35,528), usia balita dengan nilai OR=7,411 (95% CI: 2,406 – 22,828), ASI eksklusif dengan nilai OR=3,390 (95% CI: 1,201 – 9,571) dan sosial ekonomi orang tua dengan nilai OR=3,227 (95% CI: 0,987 – 10,556). Oleh karena itu upaya promotif dan preventif tentang beberapa faktor tersebut harus lebih ditingkatkan untuk menhindari terjadinya pneumonia pada balita.

Kata Kunci: Pneumonia, balita, faktor resiko, puskesmas. ABSTRACT

Pneumonia is one of the causes of the highest mortality in infants so the desease gets more attention from the goverment.The high incidence of pneumonia was not apart of some risk factors. This study discusses the incidence of pneumonia in infants and factors associated with it. This study is a quantitative with cross sectional design, total sample of 100 people, performed in the public health center districts of Pancoran in 2014. Analysis of the relationship using the chi-square and regresi logistics. Multivariate statistical tests results showed that the variables related with incidence of pneumonia in infats is family members who smoke with OR=10,304 (95% CI: 2,988 – 35,528), age of infants with OR=7,411 (95% CI: 2,406 – 22,828), exclusive breastfeeding with OR=3,390 (95% CI: 1,201 – 9,571), and parental sosioeconomic with OR=3,227 (95% CI: 0,987 – 10,556). Therefore promotive and preventive efforts on several factors must be improved to avoid the occurrence of pneumonia in infants.

Keyword : Pneumonia, infants, risk factor, public health center.

Pendahuluan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di berbagai negara. Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa 20 – 30% kematian bayi dan anak balita di berbagai negara setiap tahun disebabkan karena menderita infeksi saluran nafas akut (ISPA). Dua per tiga dari kematian ini terjadi pada kelompok usia bayi, terutama bayi usia 2 bulan

(2)

pertama sejak kelahiran (Djaja, dkk. 2001). ISPA dibagi menjadi dua yaitu infeksi saluran pernafasan bagian atas dan infeksi saluran pernafasan Bagian Bawah. Pneumonia merupakan infeksi saluran pernafasan bawah akut. Hampir semua kematian ISPA pada anak – anak umumnya disebabkan karena infeksi saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia) (Nurjazuli, dkk. 2008).

Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya sangat tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi terdapat juga di negara maju seperti Amerika, Kanada dan negara-negara Eropa lainya. Di seluruh dunia terjadi 1,6 sampai 2,2 juta kematian anak balita karena pneumonia setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang, 70% terdapat di Afrika dan Asia Tenggara. WHO tahun 2005 melaporkan proporsi penyebab kematian anak balita di negara berkembang adalah pneumonia 19%, diare 17%, malaria 8% dan campak 4% . Data di atas menunjukkan bahwa pneumonia berkontribusi besar sebagai penyebab kematian anak balita. Penurunan Angka Kematian pneumonia anak balita menyebabkan penurunan Angka Kematian Anak-Balita keseluruhan yang merupakan sasaran MDG’s-4.

Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan insidens pneumonia anak balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di 6 negara, mencakup 44% populasi anak balita di dunia. Ke 6 negara tersebut adalah India 43 juta, China 21 juta, Pakistan, 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-masing 6 juta kasus per tahun (Rudan, 2008).

Indonesia merupakan salah satu diantara ke 15 negara tersebut dan menduduki tempat ke-6 dengan jumlah kasus sebanyak 6 juta. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari Departemen Kesehatan tahun 1992, 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai kontribusi besar terhadap kematian bayi dan anak. Sedangkan pada penelitian kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita (15,5%) setelah diare dan menduduki tempat ke-3 sebagai penyebab kematian pada neonatus. Pneumonia selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan.

Di Indonesia, insiden pneumonia anak cenderung meningkat tajam dari 5 per 10.000 penduduk tahun 1990 menjadi 212.6 per 10.000 penduduk pada tahun 1998 (Depkes, 2000). Hasil survei kesehatan nasional (Surkesnas) tahun 2001 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA masih terlalu tinggi yakni sebesar 28% dan 80% kasus kematian ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian balita akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 di Indonesia diperkirakan sekitar 4,9/1000 balita, berarti rata-rata 1 anak balita Indonesia meninggal akibat pneumonia setiap 5 menit (Depkes, 2004). Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia prevalensi Pneumonia Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007. Menurut data Riskesdas 2007, prevalens pneumonia (berdasarkan pengakuan pernah didiagnosis pneumonia oleh tenaga kesehatan dalam sebulan terakhir sebelum survei pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang antar provinsi sebesar 0-13,2%.

Pada tahun 2005 prevalensi balita di DKI Jakarta adalah 2,5 per 1000 balita. Angka ini meningkat pada tahun 2006 menjadi 6,8 per 1000 balita (Depkes RI 2007). Sementara itu, berdasarkan data profil kesehatan provinsi DKI Jakarta 2007, diketahui terdapat 20.474 penderita pneumonia dimana 45% adalah anak usia balita dengan prevalensi 13,4 per 1000 (Dinkes Prov. DKI Jakarta, 2008).

Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor resiko pneumonia. Faktor resiko yang sudah teridentifikasi meliputi : status gizi, berat lahir rendah (< 2.500 gram), kurangnya pemberian ASI eksklusif pada enam bulan pertama kehidupan, imunisasi campak, dan kepadatan rumah (lima atau lebih orang per kamar) (UNICEF-WHO, 2006). Pada tahun 2008, WHO menambahkan faktor risiko pneumonia lain yang berhubungan

(3)

dengan host, lingkungan dan Agent yang meliputi mal nutrisi (Berat Badan/ Usia dengan Z-Score <-2), Berat Badan Lahir Rendah (< 2.500 gram), ASI non-eksklusif, kurangnya imunisasi campak (dalam waktu 12 bulan pertama kehidupan), polusi udara didalam rumah dan kepadatan rumah. Kemungkinan faktor resiko lain adalah orang tua merokok, kekurangan zinc, pengalaman ibu sebagai pengasuh, penyakit penyerta lainnya, pendidikan ibu, penitipan anak, kelembapan udara, udara dingin, kekurangan vitamin A, urutan kelahiran dan polusi udara diluar rumah (Rudan, 2008).

Menurut Depkes RI 2004, faktor-faktor risiko pneumonia antara lain umur, jenis kelamin, gizi kurang, riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian ASI yang kurang memadai, defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara, kepadatan rumah tangga, ventilasi rumah dan pemberian makanan terlalu dini. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa faktor-faktor resiko yang dapat meningkatkan insiden pneumonia termasuk pendidikan ibu, status ekonomi, umur balita dan kepadatan hunian (Hananto, 2004). Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan faktor karakteristik anak balita, lingkungan dan perilaku terhadap kejadian pneumonia pada anak balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik anak balita (mencakup usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat pemberian ASI, status gizi, riwayat pemberian vitamin A, dan status imunisasi) di Puskesmas Kecamatan Pancoran, karakteristik lingkungan anak balita (mencakup tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, sosek orang tua, kepadatan hunian rumah, ventilasi udara rumah) di Puskesmas Kecamatan Pancoran, karakteristik perilaku anggota keluarga anak balita (perilaku merokok) di Puskesmas Kecamatan Pancoran. Mengetahui hubungan antara faktor karakteristik anak balita, faktor lingkungan anak balita, perilaku merokok dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran. Serta Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada anak balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran.

Tinjauan Teoritis Balita

Balita adalah anak umur 1 tahun tepat sampai umur 5 tahun kurang 1 hari. Anak umur 5 tahun tepat, tidak termasuk kelompok anak 1-5 tahun (Depkes, 2006). Masa lima tahun pertama kehidupan anak (balita), merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa balita disebut sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window of opportunity) dan “masa kritis” (critical period) (Kemenkes, 2010).

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa balita. Pada masa balita kecepatan pertumbuhn mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (gerak kasar dan gerak halus). Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Setiap anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dengan anak lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita. Faktor-faktor tersebut di antaranya Faktor-faktor internal (ras atau etnik, keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan genetik dan kelainan kromosom) dan faktor eksternal (faktor prenatal, faktor persalinan, dan faktor pascanatal) (Depkes RI, 2006).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti

(4)

sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2006). Berdasarkan Daftar Tabulasi Dasar (DTD), yang disusun menurut International Classification of Diseases (ICD), ISPA merupakan gabungan penggolongan anatomi dan etiologi, terdiri dari difteri, batuk rejan, radang tenggorok, tonsilitis akut, laringitis, faringitis, trakeitis akut, bronkitis, pneumonia dan influenza (Depkes RI, 2006). Penumonia adalah salah satu jenis penyakit ISPA dengan penyebab mortalitas tertinggi pada balita sehingga penyakit ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dalam Program Pengendalian Penyakit ISPA, penyakit ini dibagi menjadi ISPA bukan pneumonia, pneumonia tidak berat, pneumonia berat (Riskesdas 2007).

Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi terjadi lebih sering pada bayi dan awal masa kanak-anak-kanak-anak dan secara klinis pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut Hariadi, et al (2010) pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus yaitu unit fungsional paru-paru yang menjadi tempat pertukaran gas terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium dan secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan kimia, radiasi, obat-obatan dan lain-lain.

Menurut UNICEF/WHO (2006) pneumonia adalah sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru. Depkes RI (2007) mendefinisikan pneumonia sebagai salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan pneumonia adalah salah satu infeksi saluran pernafasan akut pada daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik merupakan peradangan pada parenkim paru yang lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-kanak. (Hartati, Susi. 2011).

Karakteristik Balita Usia

Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit (DepKes RI, 2004).

Jenis Kelamin

Dalam program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Penelitian di Uruguay dari tahun 1997-1998 terhadap pneumonia yang dirawat di Rumah Sakit menunjukkan 56% penderita adalah laki-laki (Pirez dalam Machmud, 2006). Menurut data statistik Rumah Sakit terdapat perbedaan proporsi antara pasien laki-laki dan perempuan yang menderita pneumonia. Pada tahun 2004-2006, dan 2008 proporsi penderita laki-laki lebih tinggi dari proporsi penderita perempuan sedangkan tahun 2007 proporsi laki-laki lebih rendah dari proporsi perempuan. (Kemenkes, 2010).

Berat Badan Lahir

Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan di bawah 2,5 kg. Bayi BBLR dikatakan rentan terkena pneumonia sebab biasanya bayi

(5)

dalam kondisi seperti ini memiliki daya tahan tubuh yang sedikit lebih rentan. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai resiko untuk meningkatnya ISPA, dan perawatan di rumah sakit penting untuk mencegah BBLR (Kemenkes, 2010).

Riwayat Pemberian ASI

UU Kesehatan no 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 tentang ASI ekslusif menjelaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan kecuali ada indikasi medis. ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Depkes RI, 2003). Menyusui eksklusif adalah memberikan hanya ASI segera setelah lahir sampai bayi berusia 6 bulan dan memberikan kolostrum (Depkes RI, 2005). Bayi di bawah usia enam bulan yang tidak diberi ASI eksklusif 5 kali berisiko mengalami kematian akibat pneumonia dibanding bayi yang mendapat ASI eksklusif untuk enam bulan pertama kehidupan (UNICEF-WHO, 2006).

Status Gizi

Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB), tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB tersebut disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi secara umum, sedang indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis (akibat kondisi yang berlangsung dalam waktu lama) dan indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut (akibat keadaan yang berlangsung dalam waktu pendek) atau digunakan sebagai indikator kegemukan (Profil Kesehatan, 2008).

Pemberian Vitamin A

Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah dilaksanakan di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil penelitian Sutrisna di Indramayu (1993) menunjukkan peningkatan risiko kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan vitamin A. Namun, penelitian Kartasasmita (1993) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A.

Status Imunisasi

Dalam sejarah kedokteran imunisasi merupakan success-story program kesehatan masyarakat yang paling menarik. Pemberian imunisasi juga dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia. Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia adalah imunisasi pertusis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b), dan Pneumococcus (PVC). Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenzae tipe b (Hib). Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis).

Faktor Lingkungan Tingkat Pendidikan Ibu

Di negara-negara berkembang terdapat petunjuk yang jelas tentang adanya differensial tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu. Data dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia semuanya menunjukkan hubungan negatif antara

(6)

tingkat pendidikan ibu dan tingkat kematian anak (Ware dalam Machmud, 2006). Tingkat Pengetahuan Ibu

Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengertahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Teori Green (1991) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positip dengan perilaku.

Sosial Ekonomi Orang Tua

Kriteria kemiskinan yang digunakan oleh BPS, 2004 adalah dengan metode pendekatan kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang bersifat mendasar. BPS, Bappenas, UNDP, 2004 menentukan kriteria miskin dilihat dari garis kemiskinan. Dalam buku Indikator Kemiskinan menurut kabupaten terdapat garis kemiskinan yang nilainya berbeda-beda per kabupaten. (BPS, Bappenas UNDP dalam Machmud, 2006).

Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan hunian dalam Rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.

Ventilasi Udara Rumah

Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang tidak dilengakapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar dalam rumah menjadi sangat minimal. Kecukupan udara segar dalam rumah ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan bagi penghuninya, karena ketidakcukupan suplai udara akan berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya, terutama bagi bayi dan balita. (Nurjazuli, 2008).

Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga

Asap rokok dari orang tua atau orang lain yang tinggal di rumah, tidak saja merupakan bahan pencemar dalam ruangan yang serius, tetapi juga akan menambah resiko sakit dari bahan toksik yang lain. Pada anak-anak, paparan asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan fungsi paru pada waktu dewasanya nanti (Riyadina, 1995).

Polusi asap rokok merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada balita dibuktikan juga dengan hasil penelitian Heriyana dan kawan-kawan bahwa bayi yang tinggal di dalam rumah dengan anggota keluarga merokok mempunyai risiko menderita pneumonia 2,348 kali lebih besar dibanding bayi yang tinggal di dalam rumah yang tidak ada anggota keluarga merokok. Bayi dan anak balita mempunyai risiko yang lebih besar karena paru-paru bayi dan anak balita lebih kecil dibanding orang dewasa, sistem kekebalan tubuh mereka belum terbangun sempurna, akibatnya lebih mudah terkena radang paru-paru.

(7)

Metode Penelitian

Desain atau metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey, dengan pendekatan cross sectional. Analisis statistik yang digunakan adalah deskriptif analitik. Sebagai variabel independen adalah faktor resiko yang dimiliki balita dan variabel dependen adalah kejadian penyakit pneumonia pada balita. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan pada bulan Februari – Mei 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia 0-59 bulan yang datang untuk berobat ke poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas Kecamatan Pancoran tahun 2014.

Sampel dalam penelitian ini adalah anak balita usia 0-59 bulan yang datang untuk berobat ke poli MTBS di Puskesmas Kecamatan Pancoran dan terpilih menjadi sampel selama periode waktu penelitian. Karena keterbatasan waktu dan sumber daya yang ada pada penulis, maka besarnya sampel minimal yang menjadi objek penelitian dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda proporsi 2 kelompok. Sehingga diperoleh jumlah sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 37 sampel, dan jumlah sampel penelitian untuk kedua kelompok adalah 74 sampel. Untuk menghindari drop out responden, sampel ditambah menjadi 100 sampel. Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 100 balita.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cara

probability sampling jenis Simple Random Sampling yaitu pemilihan sampel yang dilakukan secara acak sehingga setiap kasus dalam populasi memiliki kesempatan yang sama besar untuk dipilih sebagai sampel penelitian. Cara pencarian sampel yaitu dengan memberikan kuesioner kepada orang tua balita yang sedang berobat di poli MTBS Puskesmas Kecamatan Pancoran khususnya yang memiliki balita yang menderita batuk atau pilek. Kemudian dilakukan penilaian kepada petugas untuk menentukan apakah balita tersebut menderita pneumonia atau tidak. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh petugas kesehatan di poli MTBS.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Tahapan dalam tekhnis analisis data meliputi tiga tahapan, yakni: analisa univariat yang bertujuan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel yang diteliti yaitu variabel dependen dan variabel independen, analisa bivariat yang bertujuan untuk melihat hubungan kemaknaan antara variable dependen dan variabel independen dengan menggunakan uji Chi Square dengan derajat kepercayaan 95%, dan analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi logistik, hal ini dikarenakan variabel dependen berbentuk variabel katagorik. Uji statistik regresi logistik yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen yang bersifat kategorik dengan menggunakan uji tingkat kepercayaan 95%.

Hasil Penelitian

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Kejadian Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2014

Pneumonia Pada Balita Jumlah

N %

Pneumonia 43 43

Bukan Pneumonia 57 57

(8)

Berdasarkan data diatas diketahui balita yang menderita pneumonia sebanyak 43 orang (43%), sedangkan jumlah balita yang bukan pneumonia sebanyak 57 orang (57%). Adapun yang tergolong dalam kasus bukan pneumonia disini adalah balita yang menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa balita yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (46%) dan balita yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 54 orang (54%). Usia balita dibagi menjadi dua kategori, yaitu usia ≤ 12 bulan dan usia 13 – 59 bulan. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa balita yang berusia ≤ 12 bulan sebanyak 36 orang (36%). Sedangkan balita usia 13 – 59 bulan merupakan usia responden terbanyak yaitu sebanyak 64 orang (64%). Berdasarkan variabel berat badan lahir, balita yang memiliki berat badan lahir < 2500 gram hanya sebanyak 9 orang (9%). Sedangkan balita yang berat badan lahirnya ≥ 2500 gram ada sebanyak 61 orang (61%).

Variabel status gizi balita dibagi menjadi dua kategori dan yang mempunyai status gizi kurang ada sebanyak 28 orang (28%), sedangkan balita yang status gizinya baik ada sebanyak 72 orang (72%). Berdasarkan variabel pemberian vitamin A diketahui bahwa balita yang tidak pernah mendapatkan vitamin A ada sebanyak 20 orang (20%). Sedangkan balita yang pernah diberikan vitamin A ada sebanyak 80 orang (80%). Sedangkan berdasarkan variabel status imunisasi DPT dan Campak diketahui bahwa yang status imunisasi DPT dan Campak nya tidak lengkap ada sebanyak 34 orang (34%) balita. Sisanya sebanyak 66 orang (66%) balita status imunisasi DPT dan Campak nya lengkap.

Dari 100 balita, yang tidak mendapatkan ASI ada sebanyak 8 orang (8%). Sedangkan yang diberi ASI sebanyak 92 orang (92%). Dari 92 balita yang diberikan ASI, terdapat 49 orang (53.3%) yang tidak mendapatkan ASI secara eksklusif. Sedangkan sisanya sebanyak 43 orang (46.7%) mendapatkan ASI eksklusif. Jenis makanan/ minuman yang diberikan kepada balita yang tidak diberikan ASI atau tidak mendapatkan ASI eksklusif berdasarkan data diatas diketahui sebanyak 31 orang (54.4%) balita diberikan susu formula, 18 orang (31.6%) balita diberikan bubur bayi, 7 orang (12.3%) balita diberikan buah, dan sisanya terdapat 1 orang (1.8%) balita yang diberikan selain jenis makanan/ minuman diatas.

Distribusi pendidikan ibu balita tidak merata. Ibu balita yang berpendidikan rendah ada sebanyak 22 orang (22%) sedangkan ibu balita yang berpendidikan tinggi ada sebanyak 78 orang (31.8%). Dari 22 orang (22%) ibu balita yang berpendidikan rendah, terdapat ibu balita yang tidak sekolah sebanyak 1 orang (1%) dan yang paling banyak adalah tamat SMP yaitu sebanyak 16 orang (16%). Sedangkan dari 78 ibu balita yang berpendidikan tinggi, terdapat responden yang tamat SMA sebanyak 67 orang (67%) dan yang tamat Perguruan tinggi sebanyak 11 orang (11%).

Berdasarkan data dari 100 ibu balita, yang memiliki pengetahuan kurang ada sebanyak 39 orang (39%). Sedangkan ibu balita yang memiliki pengetahuan yang baik ada sebanyak 61 orang (61%). Berdasarkan distribusi tingkat penghasilan orang tua balita doketahui paling banyak adalah orang tua balita yang berpenghasilan rendah yaitu sebanyak 71 orang (71%). Sedangkan sisanya sebanyak 29 orang (29%) balita memiliki orang tua yang berpenghasilan tinggi. Sedangkan berdasarkan kepadatan hunian rumah diketahui ada sebanyak 39 orang (39%) balita tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya tergolong padat. Sedangkan sisanya sebanyak 61 orang (61%) balita tinggal di rumah yang kepadatan huniannya tergolong tidak padat.

Berdasarkan ada atau tidaknya ventilasi udara diketahui bahwa ada sebanyak 4 orang (4%) balita yang rumahnya tidak ada ventilasi udara dan sebanyak 96 orang (96%) balita yang rumahnya ada ventilasi udara. Sebanyak 24 orang (24%) ventilasi udara dirumahnya tidak selalu terbuka dan sebanyak 76 orang (76%) yang ventilasi udara dirumahnya selalu terbuka. Sedangkan berdasarkan kondisi ventilasi udara menurut responden terdapat 8 orang (8%) yang ventilasi rumahnya sangat kurang, sebanyak 44 orang (44%) yang ventilasi

(9)

rumahnya kurang, dan sebanyak 34 orang (34%) yang ventilasi udara rumahnya cukup, sisanya sebanyak 14 orang (14%) ventilasi udara rumahnya baik.

Selain itu dari 100 orang balita diketahui bahwa balita yang mempunyai anggota keluarga yang merokok ada 66 orang (66%). Sedangkan balita yang anggota keluarganya tidak ada yang merokok ada 34 orang (34%). Dari 66 orang balita yang mempunyai anggota keluarga yang merokok, diketahui paling banyak anggota keluarga yang merokok di teras rumah yaitu sebanyak 27 orang (40.9%), dan yang paling sedikit yang merokok di dalam rumah yaitu sebanyak 19 orang (28.8%), anggota keluarganya yang merokok

Sedangkan berdasarkan hubungan anggota keluarga balita yang merokok, yang terbanyak adalah yang ayahnya merokok yaitu sebanyak 47 orang (71.2%) balita. Selain itu berdasarkan jumlah rokok yang dihabiskan dalam satu hari diketahui paling banyak yang menghabiskan antara 4 – 6 batang rokok per hari (46,9%). Sedangkan berdasarkan jenis rokok diketahui yang terbanyak adalah yang menghisap jenis rokok filter (86.4%).

Analisis Bivariat

Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, yaitu hubungan signifikan atau bermakna antara kejadian pneumonia dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti usia, pemberian ASI eksklusif, status gizi, status imunisasi, tingkat pengetahuan ibu, sosial ekonomi, kepadatan hunian rumah, dan kebiasaan merokok anggota keluarga.

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2014

Variabel Independen Diagnosa Medis Jumlah OR (95% CI) P value Pneumonia Bukan Pneumonia N % N % N % Usia Balita ≤ 12 Bulan 24 66.7 12 33.3 36 100 4.737 0.001 13 – 59 Bulan 19 29.7 45 70.3 64 100 1.972 – 11.377 ASI Eksklusif Tidak 30 52.6 27 47.4 57 100 2.564 0.042 Ya 13 30.2 30 69.8 43 100 1.115 - 5.898 Status Gizi Gizi Kurang 18 64.3 10 35.7 28 100 3.384 1.359 – 8.429 0.014 Gizi Baik 25 34.7 47 65.3 72 100

Imunisasi DPT dan Campak

Tidak Lengkap 21 61.8 13 38.2 34 100 3.231 1.367 – 7.638 0.012 Lengkap 22 33.3 44 66.7 66 100 Pengetahuan Ibu Pengetahuan Kurang 21 53.8 18 46.2 39 100 2.068 0.938 – 4.687 0.122 Pengetahuan Baik 22 36.1 39 63.9 61 100 Sosial Ekonomi Pendapatan Rendah 36 50.7 35 49.3 71 100 3.233 1.226 – 8.523 0.027 Pendapatan Tinggi 7 24.1 22 75.9 29 100

(10)

Analisis Multivariat

Untuk mendapatkan faktor yang paling dominan terhadap kejadian pneumonia, maka dilakukan tahap pemilihan kandidat multivariat. Masing-masing variabel independen dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji regresi logistik sederhana. Apabila hasil bivariat menghasilkan p value < 0.25 maka variabel tersebut langsung masuk tahap multivariat, akan tetapi jika dihasilkan > 0.25 maka variabel tersebut tidak dapat masuk ke dalam tahap analisis multivariat. Hasil bivariat dari variabel independen dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Hasil Analisis Seleksi Bivariat antara Variabel Independen dengan Variabel Dependen

No Variabel P value Kandidat Multivariat

1. Usia Balita 0.000 Ya 2. ASI Eksklusif 0.016 Ya 3. Status Gizi 0.007 Ya 4. Status Imunisasi 0.006 Ya 5. Pengetahuan Ibu 0.080 Ya 6. Sosial Ekonomi 0.013 Ya

7. Kepadatan Hunian Rumah 0.181 Ya

8. Anggota Keluarga Yang Merokok 0.000 Ya

Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa semua variabel Independen memiliki nilai p value < 0.25, sehingga semua variabel masuk ke dalam model multivariat. Pembuatan model multivariat dilakukan dengan cara semua variabel kandidat diujicobakan secara bersama-sama dengan menggunakan uji regresi logistik. Penyusunan model awal multivariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Model Awal Analisis Multivariat Regresi Logistik

Variabel Independen B S.E. Wald P value OR 95% CI

Usia Balita 2,036 0,817 6,207 0,013 7,658 1,544 37,989 ASI Eksklusif 0,998 0,607 2,703 0,100 2,713 0,826 8,914 Status Gizi 0,746 0,696 1,150 0,284 2,108 0,539 8,240 Status Imunisasi 0,302 0,794 0,145 0,703 0,739 0,156 3,502 Pengetahuan Ibu 0,805 0,568 2,008 0,156 2,237 0,735 6,809 Sosial Ekonomi 1,226 0,645 3,610 0,057 3,407 0,962 12,064

Kepadatan Hunian Rumah 0,384 0,614 0,392 0,531 0,681 0,205 2,267 Anggota Keluarga Yang

Merokok 2,564 0,683 14,079 0,000 12,988 3,403 49,568

Kepadatan Hunian Rumah

Padat 20 51.3 19 48.7 39 100 1.739

0.771 – 3.925 0.258

Tidak Padat 23 37.7 38 62.3 61 100

Anggota Keluarga Merokok

Ada 38 57.6 28 42.2 66 100 7.871 0.000

(11)

Proses analisis multivariat yang dilakukan selajutnya adalah mengeluarkan satu persatu variabel independen yang memiliki nilai p > 0,05 dan dimulai dari variabel yang nilai

P nya paling besar. Analisis dilakukan secara bertahap dan didapat nilai P yang paling besar di setiap tahapnya adalah variabel status imunisasi, kepadatan hunian rumah, status gizi, dan pengetahuan ibu. Setelah semua variabel tersebut dikeluarkan satu persatu maka diketahui model akhir yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Hasil Akhir Analisis Multivariat Regresi Logistik

Variabel Independen B S.E. Wald P value OR 95% CI

Usia Balita 2,003 0,574 12,179 0,000 7,411 2,406 22,828

ASI Eksklusif 1,221 0,530 5,313 0,021 3,390 1,201 9,571

Sosial Ekonomi 1,172 0,605 3,755 0,053 3,227 0,987 10,556

Anggota Keluarga Yang

Merokok 2,332 0,632 13,640 0,000 10,304 2,988 35,528

Dari analisis multivariat ternyata variabel yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita adalah variabel usia balita, ASI eksklusif, sosial ekonomi dan anggota keluarga yang merokok. Sedangkan variabel lainnya diketahui tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian pneumonia pada balita.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan Odds Ratio (OR) paling besar adalah dari variabel anggota keluarga yang merokok yaitu 10.304 (95% CI: 2,988 – 35,528), artinya balita yang mempunyai anggota keluarga yang merokok memiliki resiko 10,3 kali menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang anggota keluarganya tidak ada yang merokok. Pembahasan

Gambaran Karakteristik Balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran

Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya sangat tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi terdapat juga di negara maju. WHO memperkirakan insidens pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah 0,29 episode per anak-tahun atau 151,8 juta kasus pneumonia/ tahun. Hasil survei kesehatan nasional (Surkesnas) tahun 2001 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA masih terlalu tinggi yakni sebesar 28% dan 80% kasus kematian ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian balita akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 di Indonesia diperkirakan sekitar 4,9/1000 balita, berarti rata-rata 1 anak balita Indonesia meninggal akibat pneumonia setiap 5 menit (Depkes, 2004). Berdasarkan data kunjungan poli MTBS tahun 2013, dari 7.353 kunjungan balita sakit ke poli MTBS terdapat 1.018 balita yang menderita pneumonia.

Berdasarkan hasil penelitian dari 100 responden anak balita diketahui balita yang menderita pneumonia sebanyak 43 orang (43%), sedangkan jumlah balita yang bukan pneumonia sebanyak 57 orang (57%). Adapun yang tergolong dalam kasus bukan pneumonia disini adalah balita yang menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). Responden yang terbanyak adalah balita yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 54 orang (54%) dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (46%).

Dari 43 balita yang menderita pneumonia diketahui paling banyak yang berusia ≤ 12 bulan yaitu sebanyak 24 orang (66,7%) dan sebagian besar balita yang menderita pneumonia tidak diberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 30 orang (52,6%). Namun rata-rata balita yang menderita pneumonia tersebut memiliki status gizi baik dan status imunisasinya (DPT dan

(12)

Campak) juga lengkap. Pengetahuan ibu balita yang menderita pneumonia pun sebagian besar memiliki pengetahuan yang baik.

Namun berdasarkan status sosial ekonomi orang tua balita yang menderita pneumonia sebagian besar memiliki pendapatan yang tergolong rendah yaitu sebanyak 36 orang (50,7%). Rata-rata balita yang menderita pneumonia tinggal di hunian yang tergolong tidak padat. Tapi sebagian besar dari mereka tinggal dengan anggota keluarga yang merokok yaitu sebanyak 38 orang (57,6%) balita dan hubungan keluarga yang paling banyak merokok adalah ayah.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian tentang pneumonia yang dilakukan oleh Hartati (2010), Hananto (2004), Herman (2002), dan Machmud (2006) bahwa usia rata-rata balita yang beresiko terkena pneumonia adalah usia ≤ 12 bulan dan tidak diberikan ASI eksklusif. Selain itu berdasarkan status gizi dan pengetahuan ibu diketahui juga hal tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sebagian besar balita yang menderita pneumonia ternyata status gizinya baik dan ibunya memiliki pengetahuan yang baik. Selain itu anak balita yang menderita pneumonia rata-rata memiliki anggota keluarga yang merokok dan hal tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Asap rokok dari orang tua atau orang lain yang tinggal di rumah, tidak saja merupakan bahan pencemar dalam ruangan yang serius, tetapi juga akan menambah resiko sakit dari bahan toksik yang lain. Pada anak-anak, paparan asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan fungsi paru pada waktu dewasanya nanti (Riyadina, 1995). Perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru dan penyakit jantung. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asma (Amstrong dalam Nurzajuli, 2012).

Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa ada hubungan signifikan antara anggota keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia pada balita dengan nilai p value

= 0.000 (p value < 0.05). Hasil analisis multivariate juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara adanya anggota keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia. Berdasarkan hasil analisis didapatkan Odds Ratio (OR) dari variabel anggota keluarga yang merokok yaitu 10,118 (95% CI: 3,033 – 33,749),artinya adanya anggota keluarga balita yang merokok mempunyai resiko sebesar 10,1 kali lebih tinggi menderita pneumonia dibandingkan dengan tidak adanya anggota keluarga balita yang merokok.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian di wilayah puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam yang membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara keberadaan anggota keluarga merokok dalam rumah dengan kejadian pneumonia. Hasil analisis regresi logistik diperoleh nilai OR = 5,743, ini berarti balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga merokok dalam rumah berisiko 5,743 kali lebih besar dibanding dengan Balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang tidak merokok (Nurjazuli, 2012).

Polusi asap rokok merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada balita. Bayi dan anak balita mempunyai risiko yang lebih besar karena paru-paru bayi dan anak balita lebih kecil dibanding orang dewasa, sistem kekebalan tubuh mereka belum terbangun sempurna, akibatnya lebih mudah terkena radang paruparu.

Hubungan Usia dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang

(13)

berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit (DepKes RI, 2004).

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara usia dengan kejadian pneumonia pada balita diperoleh nilai p value = 0.001 (p value < 0.05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian pneumonia pada balita. Sedangkan hasil analisis multivariat juga menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara usia balita dengan kejadian pneumonia. Odds Ratio (OR) dari variabel usia balita yaitu 7,097 (95% CI: 2,388 – 21,088), artinya usia balita ≤ 12 bulan berisiko 7,1 kali menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang berusia 13 – 59 bulan.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hananto (2004) bahwa bahwa anak usia ≤ 12 bulan mempunyai resiko pneumonia sebesar 2,30 kali (95% CI : 1,59 – 3,33) dibanding responden yang berusia > 12 bulan dan juga hasil penelitian Hartati (2011) yang menyebutkan bahwa balita berusia ≤ 12 bulan mempunyai peluang 3,24 kali untuk menderita pneumonia dibanding balita yang berusia > 12 bulan - < 60 bulan dengan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara usia balita dengan kejadian pneumonia (p value = 0,002 ; α = 0,05).

Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian di indramayu terhadap mortalitas balita, yaitu makin tua usia bayi atau anak balita yang sedang menderita pneumonia makin kecil resiko meninggal karena pneumonia (Sutrisna, 1993).

Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

UU Kesehatan no 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 tentang ASI ekslusif menjelaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan kecuali ada indikasi medis. ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Depkes RI, 2003).

Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa ada hubungan signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian pneumonia pada balita dengan nilai p value = 0.042 (p value < 0.05). Hasil analisis multivariat juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI secara eksklusif dengan kejadian pneumonia. Nilai Odds Ratio (OR) dari variabel ASI eksklusif yaitu 3,250 (95% CI: 1,189 – 8,881), artinya balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berisiko sebesar 3.2 kali lebih tinggi menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang diberikan ASI eksklusif.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nurjazuli (2012) di wilayah kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara riwayat pemberian ASI dengan kejadian pneumonia. Hasil analisis regresi logistik diperoleh nilai OR = 8,958, ini berarti Balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya kurang enam bulan berisiko 8,958 kali lebih besar dibanding dengan Balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya lebih atau sama dengan enam bulan dan CI (2,843 – 23,232) menunjukkan bahwa riwayat pemberian ASI 2,843 – 23,232 kali dapat menyebabkan pneumonia. Analisis nilai p (0,000) < 0,05, dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara riwayat pemberian ASI dengan kejadian pneumonia pada Balita.

Hubungan Sosial Ekonomi dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui distribusi tingkat penghasilan orang tua balita tidak merata. Paling banyak adalah orang tua balita yang berpenghasilan rendah yaitu sebanyak 71 orang (71%). Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui ada hubungan signifikan antara sosial ekonomi dengan kejadian pneumonia pada balita dengan nilai p value

(14)

hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR = 3,227 (95% CI: 0,987 – 10,556), artinya balita yang sosial ekonomi orang tuanya rendah beresiko 3,2 kali menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang sosial ekonomi orang tuanya tinggi.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hananto (2004) yang menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pneumonia dengan p = 0,0005. Anak yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko pneumonia sebesar 2, 39 kali (95% CI : 1,39-4,09) dibanding anak yang berasal dari keluarga status sosial ekonomi tinggi. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga status sosial ekonomi sedang mempunyai risiko pneumonia sebesar 2,15 kali (95% CI : 1,25 – 3,70) dibanding dengan anak yang berasal dari keluarga status sosial ekonomi tinggi.

Sosial ekonomi rumah tangga berperan secara bermakna terhadap kejadian pneumonia balita, yang berarti rumah tangga miskin akan lebih besar terkena pneumonia. Kemiskinan merupakan pangkal dari timbulnya proporsi yang lebih besar terhadap kejadian pneumonia balita pada level rumah tangga. Balita bergizi baik maupun buruk, jika berada dalam rumah tangga miskin berisiko lebih besar terserang pneumonia. Dan proporsi ini akan bertambah besar jika pendidikan ibu balita tersebut rendah, pengetahuan tentang pneumonia rendah, dan kondisi lingkungan yang buruk akibat kemiskinan (Machmud, 2006).

Orang tua yang mempunyai penghasilan tinggi diharapkan dapat memberikan pemenuhan kebutuhan terhadap anaknya dengan lebih baik, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan terhindar dari penyakit.

Hubungan Status Gizi, Status Imunisasi, Pengetahuan Ibu, Sosial Ekonomi, dan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

Keadaan gizi balita dinilai berdasarkan indeks berat badan terhadap umur (BB/U), dengan mengukur skor simpang baku (Z-score) sesuai standar WHO. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian pneumonia pada balita dengan nilai p value = 0.014 (p value < 0.05). Namun berdasarkan hasil analisis multivariat, status gizi balita tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita.

Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian di RSUD Pasar Rebo yang menjelaskan ada hubungan yang signifikan antara status gizi balita kurang dengan kejadian pneumonia, responden yang memiliki status gizi kurang berpeluang untuk terjadinya pneumonia sebesar 6,52 kali (95% CI: 2,28-18,63) dibanding responden yang berstatus gizi baik (Hartati, 2011).

Selain itu berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh hubungan yang signifikan antara status imunisasi DPT dan Campak dengan kejadian pneumonia pada balita (p value = 0.012, p value < 0.05). Namun hasil analisis multivariat menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita.

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Hananto (2004) yang menyebutkan tidak ada hubungan yang bermakna antara anak yang status imunisasi DPT dan Campak tidak lengkap dengan anak yang status imunisasinya lengkap (p value = 0,529) dan peluang untuk terjadi pneumonia pada anak yang status imunisasi DPT dan Campak tidak lengkap sebesar 1,16 kali (95% CI 0,73 – 1,84) dibanding dengan anak yang imunisasi DPT dan Campak lengkap.

Hasil penelitian berikutnya diperoleh hasil uji chi square nilai p value = 0.122 (p

value > 0.05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan ibu dengan kejadian pneumonia pada balita. Hasil analisis multivariat juga menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian pneumonia pada balita.

(15)

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herman (2002) yang menyebutkan bahwa pengetahuan ibu tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai p = 0,83.

Tingkat pengetahuan biasanya berkaitan erat dengan pendidikan ibu, hal tersebut juga berdampak besar dalam kejadian pneumonia, namun tingginya angka kesakitan dan kematian bukan karena ibunya tidak sekolah, melainkan karena anak-anak tersebut mendapatkan makanan yang kurang memadai, ataupun terlambat di bawa ke pelayanan kesehatan (Machmud, 2006).

Disamping itu berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa ada hubungan signifikan antara sosial ekonomi dengan kejadian pneumonia pada balita dengan nilai p value

= 0.027 (p value < 0.05). Namun hasil analisis multivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sosial ekonomi dengan kejadian pneumonia pada balita.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2011) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat penghasilan orang tua dengan kejadian pneumonia. Tingkat penghasilan dalam penelitian ini diukur berdasarkan besarnya UMR di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Hasil penelitian berikutnya yang menghubungkan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian pneumonia diketahui bahwa tidak ada hubungan signifikan dengan nilai p

value = 0.258 (p value > 0.05). Hasil analisis multivariat juga menunjukkan hal serupa bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian pneumonia pada balita.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Listyowati (2013) yang dilakukan di Tegal, hasil uji statistik Chi Square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian pneumonia pada balita (p value = 0,497).

Kepadatan hunian dalam Rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.

Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran tahun 2014 yaitu dari 100 anak balita yang diambil sebagai sampel penelitian mempunyai beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui bahwa adanya anggota keluarga yang merokok merupakan faktor yang mempunyai hubungan paling bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita. Balita yang mempunyai anggota keluarga yang merokok beresiko 10,3 kali menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang anggota keluarganya tidak ada yang merokok.

2. Variabel lainnya yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumonia adalah usia balita, sosial ekonomi, dan pemberian ASI eksklusif. Balita yang berusia ≤ 12 bulan beresiko 7,4 kali menderita pneumonia, balita yang sosial ekonominya rendah beresiko 3,2 kali menderita pneumonia dan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif beresiko 3,4 kali menderita pneumonia.

3. Berdasarkan hasil analisa bivariat diketahui dari 8 variabel independen yang diteliti terhadap kejadian pneumonia pada balita, terdapat 6 variabel yang berhubungan secara bermakna, ditandai dengan nilai p value < 0.05, yaitu pada variabel usia balita, ASI eksklusif, status gizi, status imunisasi DPT dan Campak, sosial ekonomi, dan anggota

(16)

keluarga yang merokok. Sedangkan pada 2 variabel seperti pengetahuan ibu dan kepadatan hunian rumah tidak memiliki hubungan signifikasi yang bermakna.

Saran

Bagi Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada anak balita di Puskesmas Kecamatan Pancoran, maka perlu ditingkatkan :

1. Kegiatan edukasi melalui konseling dan penyuluhan kepada orang tua yang mempunyai anak balita mengenai pentingnya pencegahan pneumonia diantaranya dengan pemberian ASI eksklusif dan menjauhkan balita dari orang yang merokok.

2. Memberitahukan kepada orang tua balita bahwa balita berumur ≤ 12 bulan lebih beresiko menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang berumur 13 – 59 bulan. Serta memberitahukan ibu tanda-tanda terjadi pneumonia pada balita sehingga orang tua balita harus lebih waspada apabila anaknya sakit dan menderita batuk pilek.

Bagi Peneliti Lainnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam tentang faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada anak balita. Penelitian mengenai perilaku merokok dan kondisi lingkungan perlu dilakukan untuk membantu mengurangi atau menurunkan kejadian pneumonia pada balita.

Kepustakaan

Departemen Kesehatan RI. (2000). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2004). Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2004). Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) untuk penanggulangan pneumonia pada balita.

Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman pengendalian penyakit infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2006). Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2007). Buku Saku : Pneumonia Balita Pedoman Kader. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman tatalaksana pneumonia balita. Jakarta: Depkes RI.

Dinkes Provinsi DKI Jakarta. (2008). Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008. Jakarta: Dinas Kesehatan Prov. DKI Jakarta.

Djaja, Satimawar, dkk. (2001). Determinan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita, Buletin Penelitian Kesehatan, Volume 29 No.I: 1 Hananto, Miko. (2004). Analisis Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian

Pneumonia Pada Balita di 4 Provinsi di Indonesia (Analisis Data Survei Benefit Evaluation Study/ BES Tahun 2001). [Tesis]. Depok : FKMUI

Hariadi, dkk. (2010). Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Departemen Ilmu penyakit paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Hartati, Susi. (2011). Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo. [Tesis]. Depok : FIKUI

(17)

balita di kab. Ogan komering ilir, Sumatera selatan. [Tesis]. Depok: FKMUI. Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009) Wong’s essentials of pediatric nursing (8th edition).

St. Louis Missouri: Elsevier Mosby.

Kemenkes RI. (2009). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi Vol. 3, Pneumonia Balita.

Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. (2012). Liflet ASI Eksklusif, Bayi Cerdas Ibu Pun Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Listyowati. (2013). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Barat Kota Tegal. Jurnal Kesehatan Masyarakat Tahun 2013, Volume 2, Nomor 1, FKM UNDIP

Machmud, Rizanda. (2006). Pneumonia Balita di Indonesia dan Peran Kabupaten dalam Menanggulanginya. Padang: Andalas University Press.

Murti, Bhisma. (2004). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Notoatmodjo. (2007). Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurjazuli, dkk. (2008). Faktor Risiko Dominan Kejadian Pnumonia Pada Balita (Dominant risk factors on the occurrence of pneumonia on children under five years). Semarang: FKM Universitas Diponegoro.

Purwana, Rachmadi. (1999). Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernapasan Anak Balita (Penelitian didaerah Pekojan, Jakarta). [Disertasi]. Depok: FKMUI.

RISKESDAS. (2007). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Balitbang, Departemen Kesehatan RI.

Riyadina, Woro. (1995). Pengaruh Paparan Rokok Terhadap Kesehatan. Majalah Kesehatan Masyarakat No. 52, 1995, Jakarta.

Rudan, et al. (2008). Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bulletin World Health Organization 86.

SDKI. (2007). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Sigalingging, Ganda. (2011). KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PNEUMONIA PADA ANAK DI RUANG MERPATI II RUMAH SAKIT UMUM HERNA MEDAN. Medan: FIK Universitas Darma Agung.

Sugihartono, Nurjazuli. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Di

Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan

Indonesia Vol. 11 No. 1 / April 2012

Sutrisna, Bambang. (1993). Faktor Resiko Pneumonia Pada Balita dan Model Penanggulangannya. [Disertasi]. Depok: FKMUI.

WHO. (2013). Media centre : Pneumonia. Sumber: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/

WHO dan UNICEF. (2006).The Forgotten killer of children. New York: WHO

Yuwono, Tulus Aji. (2008). Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. [Tesis]. Semarang: FKM UNDIP.

(18)

Gambar

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas  Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2014
Tabel 3. Hasil Analisis Seleksi Bivariat antara Variabel Independen   dengan Variabel Dependen
Tabel 5. Hasil Akhir Analisis Multivariat Regresi Logistik

Referensi

Dokumen terkait

Faktor risiko yang menyebabkan tingginya kejadian pneumonia pada anak balita di negara berkembang terutama adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat

Oleh karena itu perlu penelitian untuk Mengetahui faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas

Kesimpulan : Status gizi, BBLR, pemberian ASI eksklusif, polusi udara dalam ruangan berhubungan dengan kejadian pneumonia sedangkan variabel kepadatan hunian rumah tidak

Bayi atau anak balita yang bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan bisa terserang ISPA lebih cenderung menderita pneumonia atau pneumonia berat karena

Hasil dari penelitian ini balita yang status imunisasinya tidak lengkap lebih banyak menderita pneumonia dari pada balita yang status imunisainya lengkap, ini karena kekebalan

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di Kelurahan Cilembang Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya adalah luas ventilasi kamar

Oleh karena itu perlu penelitian untuk Mengetahui faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas

2014 yang menyatakan bahwa terdapat adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita Hubungan Keberadaan Rokok Dalam Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita