• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian teori ini akan dibahas tentang definisi pembelajaran, hasil belajar, pembelajaran Ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian teori ini akan dibahas tentang definisi pembelajaran, hasil belajar, pembelajaran Ilmu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

6

belajar, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD, sikap belajar siswa, model pembelajaran Role Playing.

2.1.1 Pembelajaran

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan , penguasaan kemahiran dan tabiat , serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Pembelajaran adalah pemberdayaan potensi peserta didik menjadi kompetensi. Kegiatan pemberdayaan ini tidak dapat berhasil tanpa ada orang yang membantu.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Syaiful Sagala, 2011: 62) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Konsep pembelajaran menurut Corey (dalam Syaiful Sagala, 2011: 61) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan.

(2)

Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya. kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha.

2.1.2 Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 3).

Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito (dalam Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk. (2010: 18) menjelaskan bahwa sesorang dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar jika ia mampu menunjukkan adanya

(3)

perubahan dalam dirinya. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya dari segi kemampuan berpikirnya, keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek.

Jika dikaji lebih mendalam, maka hasil belajar dapat tertuang dalam taksonomi Bloom, yakni dikelompokkan dalam tiga ranah (domain) yaitu domain kognitif atau kemampuan berpikir, domain afektif atau sikap, dan domain psikomotor atau keterampilan. Sehubungan dengan itu, Gagne (dalam Sudjana, 2010: 22) mengembangkan kemampuan hasil belajar menjadi lima macam antara lain: (1) hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem lingsikolastik; (2) strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan memecahkan masalah; (3) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku terhadap orang dan kejadian; (4) informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta; dan (5) keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.

Untuk mengetahui hasil belajar seseorang dapat dilakukan dengan melakukan tes dan pengukuran. Tes dan pengukuran memerlukan alat sebagai pengumpul data yang disebut dengan instrumen penilaian hasil belajar. Menurut Wahidmurni, dkk. (2010: 28), instrumen dibagi menjadi dua bagian besar, yakni tes dan non tes. Selanjutnya, menurut Hamalik (2006: 155), memberikan gambaran bahwa hasil belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Hasil belajar tampak terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui perubahan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

Berdasarkan konsepsi di atas, pengertian hasil belajar dapat disimpulkan sebagai perubahan perilaku secara positif serta kemampuan yang dimiliki siswa dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar yang

(4)

berupa hasil belajar intelektual, strategi kognitif, sikap dan nilai, inovasi verbal, dan hasil belajar motorik. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

2.1.3 Pembelajaran IPA

Pembelajaran sering juga disebut dengan belajar mengajar sebagai terjemahan dari istilah “instructional” yang terdiri atas dua kata yaitu belajar dan mengajar. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Sesuai yang dinyatakan Nana Sujana (2004:28), Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada dalam individu.

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Oemar Hamalik, 2007:57). Pembelajaran bisa juga diartikan sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru, dimana pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa agar siswa dapat belajar dengan lebih aktif (Dimyati dan Mudjiono, 2002:113).

Menurut Syaiful Sagala (2007:63) pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa untuk sekedar mendengar, mencatatkan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya

(5)

kemampuan berpikir itu akan dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi memberikan pengertian bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Kegiatan pembelajaran IPA mencakup pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi. Kegiatan tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah. Metode ilmiah dalam mempelajari IPA itu sendiri telah diperkenalkan sejak abad ke-16 (Galileo Galilei dan Francis Bacon) yang meliputi mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesa, memprediksi konsekuensi dari hipotesis, melakukan eksperimen untuk menguji prediksi, dan merumuskan hukum umum yang sederhana yang diorganisasikan dari hipotesis, prediksi, dan eksperimen (Pusat Kurikulum, 2006).

Dalam belajar IPA peserta didik diarahkan untuk membandingkan hasil prediksi peserta didik dengan teori melalui eksperimen dengan menggunakan metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam

(6)

sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang didasarkan pada metode ilmiah. Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses belajar yang dibangun oleh guru ini diharapkan mampu membangun karakteristik mental siswa dan juga keaktifan siswa dalam memperoleh pengetahuan yang mereka butuhkan. Sedangkan pembelajaran IPA di fokuskan pada proses inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik mendapatkan pemahaman tentang gejala-gejala yang terjadi di alam sekitarnya.

2.1.4 Pembelajaran Role Playing a. Pengertian Role Playing

Role Playing ( bermain peran ) merupakan sebuah model pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu masing – masing siswa untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok. Dalam dimensi sosial, model ini memudahkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah kemanusiaan. Esensi role Playing adalah keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi permasalahan dan adanya keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang dihasilkan dari keterlibatan langsung ini ( Miftahul Huda, 2013).

b. Fungsi Role Playing

Menurut Miftahul Huda (2013 : 116 ) Role Playing berfungsi untuk : i. Mengeksplorasi perasaan siswa,

ii. Mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa,

(7)

iii. Mengembangkan skill pemecahan masalahdan tingkah laku, dan iv. Mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda Lee ( 1986 : 147) menjelaskan bahwa role playing bermanfaat untuk membawa pembelajaran IPA ke dalam kehidupan dan memberikan pengalaman nyata kepada pembelajaran menggunakan bermain peran melalui pelestarian dan pemeliharaan. Tentunya dalam pembelajaran role playing ini menekankan pada komunikasi yang diharapkan dari pembelajaran ini. Dengan demikian pembelajaran menggunakan model role playing ini akan mempermudah pemahaman siswa terhadap apa yang dipelajarinya. Amato (2003:214) menambahkan bahwa melalui kegiatan Role Playing pembelajaran dapat menggali kemampuan dirinya, memiliki rasa empati terhadap orang lain, dan menggunakan pengalaman pribadinya agar dapat melakukan tindakan – tindakan yang hebat. Role playing dapat pula menambah kemampuan pembelajaran, menguasai aspek – aspek komunikasi nonverbal, meningkatkan kemampuan kerjasama antar pelajar, dan meningkatkan kecakapan ranah afektif.

Maka dari beberapa fungsi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran metode role playing ini dapat diterapkan dalam pembelajaran di SD karena model ini dapa melatih siswa untuk mengambil perannya yang bertujuan untuk meningkatkan bicara, kerjasama, dan drama sesuai dengan kecakapan mereka kelak sebagai orang yang berguna.

c. Kelemahan dan Kelebihan Role Playing 1. Kelemahan Role Playing

Menurut Wahab (2007:109) kelemahan model role playing ini antara lain :

i. Jika siswa tidak dipersiapkan secara baik, ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh– sungguh.

ii. Bermain peran mungkin tidak akan berjalan baik jika suasana kelas tidak mendukung.

(8)

iii. Bermain peran tidak selamanya menuju ke arah yang diharapkan seseorang yang memainkannya. Bahkan mungkin juga akan berlawanan dengan apa yang diharapkan.

iv. Siswa sering kesulitan untuk memerankan peran secara baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal dengan baik apa yang diperankannya.

v. Bermain peran membutuhkan waktu yang banyak / lama. vi. Untuk lancarnya bermain peran, diperlukan kelompok yang sensitif, imajinatif, terbuka, saling mengenal hingga bekerjasama dengan baik.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Mujimin (2007:86) mengemukakan bahwa kelemahan model role Playing terletak pada :

i. Role playing membutuhkan waktu yang relatif panjang / banyak.

ii. Memerlukan kreatifitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid, dan tidak semua guru memilikinya.

iii. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai peran merasa malu untuk melakukan suatu adegan tertentu.

iv. Apabil pelaksanaan role playing mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi berarti tujuan pembelajaran tidak tercapai.

v. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui model role playing ini.

vi. Pada pelajaran agama masalah keimanan, sulit disajikan melalui model role playing ini.

vii. Strategi pelaksanaan pembelajaran role playing.

Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa model role playing ini membutuhkan keseriusan dan kreativitas

(9)

antara guru dan siswa. Penerapan model ini memerlukan waktu yang lama untuk tahap persiapan hingga pelaksanaanya. Jika pelaksanaan model role playing ini gagal, maka berarti tujuan pembelajaran tidak tercapai.

2. Kelebihan Role Playing

Model pembelajaran role playing memiliki kelebihan sebagaimana dijelaskan Sudjana (2009:89), yaitu :

i. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.

ii. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis, dan penuh antusias.

iii. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.

iv. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir – butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri.

v. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.

Selain seperti diungkapkan diatas, kelebihan dari model pembelajaran role playing antara lain :

i. Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama.

ii. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.

iii. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi waktu yang berbeda

(10)

iv. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permaina.

v. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.

3. Tahap Pelaksanaan Role Playing dalam Pembelajaran Tahap 1 : pemanasan Suasana Kelompok

i. Guru mengidentifikasi dan memaparkan masalah ii. Guru menjelaskan masalah

iii. Guru menafsirkan masalah iv. Guru menjelaskan role playing Tahap 2 : Seleksi Partisipan

i. Guru menganalisis peran

ii. Guru memilih pemain (siswa) yang akan melakukan peran Tahap 3 : Pengaturan Setting

i. Guru mengatur sesi – sesi peran

ii. Guru menegaskan kembali tentang peran

iii. Guru dan siswa mendekati situasi yang bermasalah Tahap 4 : Persiapan Pemilihan Siswa Sebagai Pengamat

i. Guru dan siswa memutuskan apa yang akan dibahas

ii. Guru memberi tugas pengamatan terhadap salah seorang siswa Tahap 5 : Pemeranan

i. Guru dan siswa memulai role playing ii. Guru dan siswa mengukuhkan role playing iii. Guru dan siswa menyudahi role play Tahap 6 : Diskusi dan Evaluasi

i. Guru dan siswa mereview pemeranan (kejadian, posisi, kenyataan)

ii. Guru dan siswa mendiskusikan fokus – fokus utama iii. Guru dan siswa mengembangkan pemeranan selanjutnya Tahap 7 : Pemeranan Kembali

(11)

ii. Guru memberi masukan atau alternatif perilaku dalam langkah selanjutnya

Tahap 8 : Diskusi dan Evaluasi

i. Dilakukan sebagaimana pada tahap 6 Tahap 9 : Sharing dan Generalisasi Pengalaman

i. Guru dan siswa menghubungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di dunia nyata dan masalah – masalah lain yang mungkin muncul

ii. Guru menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku 2.1.4 Sikap Belajar

Sikap merupakan kecenderungan pola tingkah laku individu untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu terhadap orang, benda atau gagasan. Sikap dapat diartikan sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu (Calhoun, 1978: 315). Menurut Robert R.Gabe (dalam Siskandar, 2008:440), sikap merupakan kesiapan yang terorganisir yang mengarahkan atau mempengaruhi tanggapan individu terhadap obyek. Sedangkan menurut Berkowitz (Azwar, 1995:5) Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung (favorable) atau tidak mendukung (unfavorable) terhadap objek tersebut. Selanjutnya lebih spesifik, Thurstone (Azwar, 1995:5) memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif dan afek negatif terhadap suatu obyek psikologis. Obyek psikologis yang dimaksud adalah lambang-lambang, kalimat, semboyan, orang, institusi, profesi, dan ide-ide yang dapat dibedakan ke dalam perasaan positif atau negatif.

Sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan tindakan akan memberi arah kepada perbuatan atau tindakan seseorang. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua tindakan atau perbuatan seseorang identik dengan sikap yang ada padanya. Seseorang mungkin saja melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap anak terhadap sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya pendidikan anak-anak di sekolah.

(12)

Sikap yang positif terhadap sekolah, guru-guru, maupun terhadap teman-teman akan merupakan dorongan yang besar bagi anak untuk mengadakan hubungan yang baik. Dengan adanya hubungan yang baik, dapat melancarkan proses pendidikan di sekolah. Sebaliknya sikap yang negatif akan menyebabkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis dan hanya akan merugikan anak itu sendiri (Nurkancana, 1986).

Definisi sikap yang telah dikemukakan di atas, masih umum dan bersifat teoretis. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pengukurannya, oleh sebab itu Show dan Wright (dalam Azwar, 1992), bahwa sikap memiliki referensi atau kelas referensi yang spesifik dan membatasi konstruksi sikap komponen afektif saja. Lebih jauh mereka mengemukakan, aspek afektif ini mendahului tingkah laku dan didasarkan pada proses kognitif.

Menurut Azwar, sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu:

a) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. b) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek

emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

c) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan

(13)

dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.

Selanjutnya Rosenberg (dalam Azwar, 1998), dengan teori konsistensi afektif-kognitifnya memandang bahwa ketiga komponen tersebut di atas saling berinteraksi secara selaras dan konsistensi dalam mempolakan arah sikap yang seragam. Apabila ketiga komponen itu ada yang tidak selaras atau tidak konsisten satu sama lain, maka akan menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap sampai konsistensi dapat tercapai kembali sehingga sikap yang semula negatif dapat berangsur-angsur berubah menjadi positif. Akan tetapi sikap yang ekstrim seperti sangat setuju atau sangat tidak setuju biasanya tidak mudah untuk dirubah.

Dari semua pengertian yang di ungkapan di atas dapat diambil sebuah pengertian tentang sikap, yaitu sikap adalah penerimaan, tanggapan, dan penilaian seseorang terhadap suatu obyek, situasi, konsep, orang lain maupun dirinya sendiri akibat hasil dari proses belajar maupun pengalaman di lapangan yang menyebabkan perasaan senang (positif/sangat positif) atau tidak senang (negatif/tidak negatif).

Menurut Suke Silverius (dalam Riyono, 2005:11), sikap meliputi lima tingkat kemampuan yaitu:

a) Menerima (Receiving)

Tingkat ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut dalam suatu fenomena atau stimulus khusus. Misalnya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Kata-kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah menanyakan, menyebutkan, mengikuti, dan menyeleksi. b) Menanggapi / Menjawab (Responding)

Pada tingkatan ini, siswa tidak hanya menghadiri suatu fenomena tetapi juga bereaksi terhadapnya. Kata-kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah menjawab, berbuat, melakukan, dan menyenangi.

(14)

c) Menilai (Valuing)

Tingkat ini berkenaan dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap sesuatu obyek atau fenomena tertentu. Tingkai ini berjenjang mulai dari hanya sekedar penerimaan sampai pada tingkat komitmen yang lebih tinggi. Kata-kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah membedakan, mempelajari, dan membaca.

d) Organisasi (Organization)

Hasil belajar pada tingkat ini berkenaan dengan organisasi suatu nilai (merencanakan suatu pekerjaan yang memenuhi kebutuhannya). Kata-katakerja operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah menyiapkan, mempertahankan, mengatur, menyelesaikan, dan menyusun. e) Karakteristik dengan suatu nilai atau kompleks nilai

Hasil belajar pada tingkat ini meliputi banyak kegiatan, tapi penekanannya lebih besar diletakkan pada kenyataan banhwa tingkah laku itu menjadi ciri khas atau karakteristik siswa tersebut. Kata-kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah menerapkan, membenarkan cara pemecahan masalah, dan sebagainya.

2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan Skripsi Penelitian Tindakan Kelas yang telah dilaksanakan oleh Sugiarti C.(2010) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga tahun 2010dalam penalitiannya yang berjudul “Upaya meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia dengan metode bermain peran di SD Sawahjoho 02” maka pembelajaran Bahasa Indonesia jika disajikan menggunakan metode ini dapat meningkatkan hasil belajar dan pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi lebih bermakna.

Berdasarkan Penelitian Sudali (2009) dengan judul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Role Playing Terhadap Aktivitas Guru dan Hasil Belajar Dalam Mata Pembelajaran Pendidikan IPS di SDN Lemah

(15)

Abang 2 Tanjung, Kabupaten Brebes.” Dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan prosentase ketuntasan siswa dalam materi pelajaran dan telah terjadi peningkatan dalam aktivitas guru. 2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori di atas, dalam belajar IPA diperlukan model pembelajaran yang aktif, kreatif dan inovatif serta menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dan memperbaiki sikap siswa. Dalam penelitian ini penulis menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Role Play untuk digunakan sebagai model pembelajaran dalam mata pelajaran IPA. Berdasarkan pada paparan teoritik, model ini tampak dapat lebih memberikan ruang kepada siswa untuk dapat saling bekerjasama dan mengeksplorasi kemampuan diantara para siswa. Itu artinya bahwa model ini memberikan peluang untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Karena diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran maka desain kerangka pikirnya adalah sebagai berikut (Subiantoro,2011):

R T R T

O O

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir (Sumber: Subyantoro,2011)

Keterangan : P : Perencanaan

T : tindakan menggunakan model Role Play O : observai

R ; Refleksi

Siklus 1 Siklus 2

(16)

RP : Revisi Perencanaan 2.4 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan perumusan masalah, landasan teori, kajian pustaka, serta kerangka berpikir yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis (kesimpulan sementara) yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Role Playing maka diharapkan dapat memperbaiki sikap dan meningkatkan hasil belajar siswa tentang materi jenis-jenis tanah pada siswa kelas V SD Kristen Lentera Ambarawa Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini dikatakan berhasil bila siswa mencapai hasil belajar sesuai KKM yaitu 75, sedangkan sikap siswa dapat diukur dari lembar observasi serta angket saat pembelajaran berlangsung.

Referensi

Dokumen terkait

RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH.

Namun hanya terdapat 5 fakultas yang menerapkan matakuliah kewirausaan pada kurikulum pembelajaran nya, kelima fakultas tersebut adalah Fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Setelah dilakukan penelitian dan analisis data, diketahui terjadi perbedaan kemampuan yang signifikan peserta didik yang berada di kelas eksperimen dengan peserta didik yang

Puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan berkat yang melimpah bagi penulis sehingga penulisan karya tulis ilmiah dengan judul

Formulir E, apabila yang bersangkutan tidak masuk kerja lebih dari 2 (dua) hari kerja karena sakit, yang bersangkutan dapat mengajukan cuti sakit dan melakukan pengisian

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal

Hal ini dapat dilihat dari hasil kuisioner yaitu sebanyak 50 responden atau 48,08% yang menyatakan setuju serta 33 responden atau 31,73% yang menyatakan