4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi
2.1.1. Pengertian status gizi
Status gizi adalah ekspresi keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan
zat gizi tertentu atau keadaan fisiologis akibat dari tersedianya zat gizi dalam
seluruh tubuh (Supariasa, 2002).
2.1.2. Klasifikasi Status Gizi
Klasifikasi Status Gizi dibagi menjadi empat, yaitu :
a. Gizi berlebih, termasuk overweight dan obesitas b. Gizi baik
c. Gizi kurang, termasuk under weight yang mencakup mild dan moderate PCM (Protein Calori Malnutrition)
d. Gizi buruk, termasuk severe PCM, marasmus, marasmik-khwasiorkor, dan kwashiorkor.
2.1.3. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi terbagi atas dua, yaitu :
A. Pemeriksaan Langsung, yang terdiri dari:
1) Antropometri
Pengukuran antropometri relatif sering digunakan karena prosedurnya
yang sederhana,aman, dapat dilakukan pada jumlah sampel yang besar,dan
hasilnya mudah disimpulkan karena memiliki ambang batas (cutt off point) dan buku rujukan yang sudah pasti.
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkatt umur dan
tingkat gizi. Berbagai jenis parameter ukuran tubuh antara lain BB/U,
5
2) Biokimia
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan menggunakan spesimen
jaringan tubuh(darah, urine, tinja, fungsi hati, dll) yang diuji secara
laboratorium terutama untuk mengetahui kadar hemoglobin, feritin,
glukosa, dan kolesterol. Pemeriksaan biokimia bertujuan mengetahui
kekurangan gizi spesifik.
3) Klinis
Pemeriksaan dilakukan pada jaringan epitel permukaaan seperti kulit,
mata, rambut, dan mukosa oral. Pemeriksaan klinis bertujuan mengetahui
status kekurangan gizi dengan melihat tanda-tanda khusus.
4) Biofisik
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat kemampuan fungsi serta
perubahan struktur jaringan tertentu.
B. Pemeriksaan Tidak Langsung, yang terdiri dari :
1) Survey Konsumsi Makanan
Penilaian konsumsi makanan dilakukan dengan wawancara kebiasaan
makan dan perhitungan kalori konsumsi makanan sehari-hari. Tujuan
penilaian ini adalah mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan gizi.
2) Statistik Vital
Pemeriksaan dilakukan dengan menganalisis data kesehatan seperti angka
kematian, kesakitan yang terkait dengan masalah gizi. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menemukan indikator tidak langsung status gizi
masyarakat.
3) Faktor Ekologi
Pengukuran status gizi didasarkan atas ketersediaan makanan yang
dipengaruhi oleh faktor ekologi (iklim, tanah, irigasi, dll). Faktor-faktor
ekologi tersebut perlu diketahui untuk menganalisa penyebab malnutrisi
6
2.1.4. Pengukuran Indeks Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi dari beberapa parameter disebut indeks antropometri; TB/U , BB/U,
BB/TB, dan IMT/U. Akan tetapi dalam penilaian status gizi anak dan remaja 5-19
tahun bisa digunakan BMI/U dengan ajuan baku WHO-NCHS 2007.
Indeks Massa Tubuh merupakan indikator yang paling sering digunakan dan
praktis untuk mengukur populasi berat badan lebih dan obesitas. Pada remaja dan
anak-anak pengukuran IMT sangat terkait dengan umurnya, karena seiring dengan
pertambahan umur terjadi perubahan komposisi dan densitas tubuh .Tetapi
pengkuran IMT tidak bisa dilakukan pada pasien dengan keadaan khusus, seperti
adanya edema, asites, dan hepatomegali.
IMT = Berat Badan (kg)
(Tinggi Badan X Tinggi Badan )
Dalam menginterpretasikan hasil pengukuran indeks antropometri,
diperlukan ambang batas(cutt of points) dan baku rujukan yang sudah pasti. Ambang batas disajikan dalam dua cara, yaitu :
a. Persentil : tingkatan posisi seseorang pada distribusi referensi(WHO-NCHS
atau CDC-2000), yang dijelaskan dengan nilai seseorang sama atau lebih besar
daripada nilai persentase kelompok populasi.
7
b. Z-score : deviasi nilai seseorang dari nilai median populasi referensi dibagi
dengan simpangan baku papulasi referensi.
Z-score = nilai IMT yang diukur – Median nilai IMT(referensi)
standar deviasi referensi
Tabel 2.1. Klasifikasi status gizi menurut WHO berdasarkan IMT/U Nilai Z-score Klasifikasi
z-score > +2 Obesitas
z-score > +1 Overweight
-2 < z-score < +1 Normal
-3 < z-score < -2 Kurus
z-core < -3 Sangat kurus
Tabel 2.2. Klasifikasi status gizi menurut Menkes RI 2010 berdasarkan IMT/U
Nilai Z-score Klasifikasi z-core > +2 Obesitas
+1 < z-score < +2 Gemuk
-2 < z-score < +1 Normal
-3 < z-score < -2 Kurus
z-core < -3 Sangat kurus
2.2. Konsep Tidur 2.2.1. Definisi
Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya
.Tidur memiliki fungsi untuk memulihkan keseimbangan alami di antara
pusat-pusat neuron dan saat proses tidur, otak berangsur-angsur menjadi kurang
responsif terhadap rangsangan visual, auditori, dan rangsangan lingkungan
8
2.2.2. Siklus Tidur
Stadium tidur pada manusia ditentukan berdasarkan karakteristik dari
pemeriksaan polysomnography yang mencakup pemeriksaan electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), dan electromyogram (EMG) yang diukur sekaligus sebagai parameter electrophysiologic. Berdasarkan
profil polysomnographic, stadium tidur dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Non-Rapid Eye Movement (NREM)
Tidur NREM disebut juga tidur gelombang lambat, karena gelombang otak
yang ditunjukan sangat kuat dan frekuensinya lambat. Periode ini
menguasai 75-80% dari total tidur. Terdapat 4 tahap pada fase NREM, yaitu
a. Tahap I
Fase ini merupakan fase transisi dari keadaan bangun ke fase tidur yang
normalnya berlangsung antara 1-7 menit(3-8% total tidur) . Fase ini
ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa(8-13Hz) dan munculnya
gelombang teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG. Pada EOG tidak tampak
kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan mata berputar yang
lambat dan terjadi penurunan potensial EMG (Barrett et al.,2010). Pada
fase ini, orang bisa dibangunkan dengan mudah oleh stimulus sensori.
b. Tahap 2
Fase ini berlangsung 10-12 menit dari tahap tidur dan merupakan fase
pertama dari true sleep, karena pada EEG mulai dijumpai gelombang delta pertama. Pada EEG tampak kumparan tidur atau sleep spindles dan kompleks K yang bersifat sementara. Komplek K adalah gelombang
disphasik(gelombang yang memiliki dua komponen, terdiri dari
gelombang negatif yang diikuti gelombang positif) dengan amplitudo
tinggi (>100V) dan durasi yang panjang (>200ms)yang keduanya berakhir
lebih dari 0.5detik. Sleep spindles adalah suatu gelombang yang berbentuk kumparan dengan frekuensi 12-14Hz, dan berlangsung meinimal 0,5detik.
Potensial EMG lebih rendah dari fase 1 (Barrett et al., 2010).
Tidak tampak gerakan cepat mata atau REM pada EOG tetapi ada sedikit
9
c. Tahap 3
Tahap 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam. Pada EEG
tampak adanya gelombang delta amplitudo tinggi (0,5-4 Hz), aktivitas
gerakan mata cepat atau REM tidak ada pada EOG, dan aktivitas EMG
menetap dengan potensial yang lebih rendah. Pada fase ini, suhu tubuh dan
tekanan darah menurun. Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit
untuk dibangunkan.
d. Tahap 4
Tahap 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam. Gelombang
EEG didominasi oleh gelombang delta, tidak ada REM pada EOG, dan
potensial EMG rendah. Pada fase ini, metabolisme otak menurun secara
signifikan dan suhu tubuh juga menurun. Akan tetapi kebanyakan refleks
tubuh masih menetap dan tonus otot sedikit menurun.
2. Rapid Eye Movement Sleep(REM)
Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit, berlangsung selama
5-30menit dan durasi akan meningkat pada setiap siklus total tidur. Otak cenderung
aktif dan metabolismenya meningkat hingga 20%, sehingga ditemui peningkatan
denyut jantung, laju pernafasan, sekresi asam lambung, dan tekanan darah yang
berfluktuasi tidak teratur. Karakteristik lain dari fase ini adalah terjadi mimpi yang
penuh warna dan tampak hidup (Ganong,Ed.22).
Pada EEG tampak gelombang dengan frekuensi campuran dan amplitudo
rendah yang serupa dengan fase 1 dari NREM sleep. EOG memperlihatkan adanya gerakan mata cepat atau REM serupa dengan yang terlihat pada kondisi
bangun dengan mata terbuka. Oleh karena itu, REM sleep disebut juga dengan paradoxical sleep. Selain itu, aktivitas pada EMG juga tidak ada sehingga terlihat atonia otot pada fase ini.
Dipaparkan bahwa 50% tidur bayi, 35% tidur anak, dan 25% tidur orang
10
Tidur nokturnal normal pada orang dewasa umumnya sekitar 7-8 jam dan
konstan setiap malam. Setelah inisiasi tidur, biasanya tidur dimulai dari NREM
sleep fase 1-3 dalam 30 menit. Stadium pada NREM sleep fase 4 harus berbalik terlebih dahulu ke fase 2 NREM sleep sebelum memasuki fase REM sleep membutuhkan waktu + 20menit. Dalam 1 periode tidur nokturnal, terdapat 3-5 episode REM sleep yaitu sekitar 90-120 menit. Episode pertama dari REM sleep biasanya berlangsung selama 10-20 menit. Kemudian setelah episode REM sleep berakhir, maka fase tidur akan kembali lagi ke fase NREM sleep. REM sleep akan muncul setiap 90 menit dan biasanya episode terakhir REM sleep berlangsung lebih lama yaitu sekitar 50 menit.
Gambar 2.2. Siklus Tidur REM dan NREM (Potter,2005)
2.2.3. Regulasi Siklus Bangun Tidur
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang
disebut Reticular Activity System di midbrain. Bila aktivitas Reticular Activity System
ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular
Activity System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas
Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas
neurotransmitter, yang dilepaskan oleh formatio reticularis di midbrain seperti :
Tahap pra-tidur
NREM tahap 3 NREM tahap 3
NREM tahap 2 NREM tahap I
REM sleep
11
a.Serotoninergik
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotoninergik ini
terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, terdapat hubungan aktivitas serotonine di nucleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
b.Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan
sel nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron
noradrenergik(misalnya amfetamin) akan menyebabkan penurunan yang
pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
c.Sistem kolinergik
Pada obat-obatan yang menghambat pelepasan kolinergik pada locus
cereleus , akan tampak gangguan pada fase awal dan penurunan fase REM.
Perangsangan pada formasio retikularis midbrain dan hipotalamus posterior menghasilkan keadaan bangun akibat pelepasan histamin, adrenalin,
serotonin, dan penurunan asetilkolin. Sementara untuk menghasilkan tidur
diperlukan perangsangan pada hipotalamus anterior dan daerah di sekitar basal
forebrain dan melepaskan GABA.
Irama sirkadian siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari terang
dan tidur sepanjang hari gelap. Stimulasi cahaya terang akan masuk ke melalui mata
dan mempengaruhi bagian hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic
(NSC). Pada malam hari, NSC akan merangsang pelepasan hormon melatonin dari
parenkim kelenjar pineal, sehingga orang mengantuk dan tertidur. Kadar melatonin
yang meningkat dalam darah akan mempengaruhi penurunan temperatur badan dan
relaksasi saat tidur (Rahayu,2009).
Sintesis melatonin berasal dari serotonin melalui proses N-asetilasi dam
M-metilasi. Saraf simpatis yang menuju ke kelenjar pineal(nervii conari) juga mengatur
irama sirkadian sintesa melatonin melalui aktifitas N-asetyltransferase yang
12
dilepaskan ujung syaraf simpatis bekerja melalui reseptor B-adrenergik dan
meningkatkan siklik AMP, lalu mengaktifasi N-asetyltransferase. Konsentrasi
melatonin pada malam hari mengalami penurunan sesuai usia. Anak usia 1-3tahun
250pg/ml, remaja 8-15tahun 120pg/ml, dewasa 70pg/ml, dan orang tua 67-84tahun
30pg/ml (Ganong, Ed.22).
2.2.4. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tertidur dan
mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, Erb 2004 dalam
Agustin 2012). Tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari,
perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Menurut Hidayat (2006),
kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda
kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda
kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah
ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami.
a. Tanda fisik
Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata,
konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang
berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang
perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual
dan pusing.
b. Tanda psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan,
malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan
ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan
pertimbangan atau keputusan menurun.
Kualitas tidur seseorang dapat dinilai secara objektif melalui PSG, yang
didasarkan pada rekaman EEG sehingga dapat memberi informasi lengkap
tentang siklus tidur-bangun dan aktigrafi(ACG), yang menggunakan peralatan
13
Pemeriksaan PSG sebagai instrumen diagnosis untuk penelitian
epidemiologi tentang gangguan tidur memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
peralatan tidak praktis. Kedua, skoring PSG tergantung penilaian subjektif dari
rekaman EEG dan ketimpangan inter-informan. Ketiga, PSG umumnya dilakukan
pada laboratorium tidur, sehingga memungkinkan timbul bias dalam menilai
kualitas tidur.
Kelemahan ACG adalah kurang peka untuk menilai keadaan terjaga,
beberapa subjek yang mengalami kesulitan dalam inisiasi tidur yang berbaring
dengan tenang di atas tempat tidur, terjadi misinterpretasi ACG menilainya
sebagai keadaan tidur. Kelemahan lain adalah gerakan malam hari yang dapat
salah interpretasi sebagai keadaan terjaga. Sehingga, ACG tidak diindikasikan
sebagai pemeriksaan diagnosis rutin pada setiap gangguan tidur (Tanjung,2004).
Penilaian kualitas tidur secara subjektif dapat menggunakan kuesioner. Dan
merupakan instrumen effektif dalam penelitian epidemiologi. The Pittsburg Sleep Quality Indeks(PSQI) dapat menilai kualitas tidur, pola tidur, dan membedakan tidur yang baik dan tidur yang buruk dengan pemeriksaan tujuh komponen :
latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, effisiensi kebiasaan tidur, penggunaan
obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh pada siang hari. (Kulnert,2007 dalam
Agustin 2012)
2.2.5. Gangguan Tidur
Terdapat 3 kategori utama dalam Diagnostic and Statistical Mental Disorders 4th ed (DSM-IV): (1) gangguan tidur primer, (2) gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental lain, dan (3) gangguan tidur lain,
khususnya gangguan tidur karena kondisi medis umum dan obat (Kaplan, 2010).
Klasifikasi gangguan tidur menurut DSM IV :
1. Primary sleep disorder, terdiri dari : a. primary insomnia
b. primary hipersomnia c. narcolepsy
14
e. Circadian rhythm disturbance f. Unspecified dyssomnia
2. Parasomnia, terdiri dari :
a. Nightmares b. Sleep terors c. Sleep walking
d. Undefined parasomnia
3. Sleep disorder related psychiatric disorder
4. Sleep disorder related medical condition and drugs abuse.
Secara umum terdapat 4 gejala utama yang menandai sebagian besar
gangguan tidur, yakni:
1) Insomnia, adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur.
2)Hipersomnia, adalah jumlah jam tidur yang berlebihan dan
mengantuk(somnolen) yang berlebihan di siang hari. Istilah somnolen
ditujukan kepada pasien yang mengeluhkan rasa mengantuk dan memiliki
kecendrungan untuk jatuh tertidur secara tiba-tiba pada keadaan terjaga.
Narcolepsy adalah salah satu gangguan tidur yang menimbulkan hipersomnia. 3) Parasomnia, yaitu fenomena yang tidak umum dan tidak diinginkan yang
tampak secara tiba-tiba selama tidur atau yang terjadi pada ambang antara
bangun dan tidur. Parasomnia biasanya terjadi pada tahap 3 dan 4 tidur NREM,
sehingga dikaitakan dengan ingatan buruk mengenai gangguan ini.
4) Gangguan jadwal tidur-bangun, gangguan ini melibibatkan pergeseran tidur
dari periode sirkadian yang diinginkan. Di sini penderita tidak dapat tidur saat
mereka ingin tidur walaupun mereka dapat tidur pada waktu lain. Dan mereka
tidak dapat bangun ketika mereka ingin benar-benar bangun, tetapi mereka
dapat bangun di waktu lain. Gangguan jadwal tidur-bangun dapat dianggap
15
2.2.6. Gangguan Tidur yang Terkait dengan Pernafasan
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR gangguan tidur yang terkait dengan pernafasan :
1. Penghentian tidur yang menyebabkan rasa mengantuk berlebihan atau
insomnia, yang disebabkan oleh sindrom apnea tidur obstruktif atau sentral
dan sindrom hipoventilasi alveolar sentral.
2. Gangguan ini sebaiknya tidak disebabkan oleh gangguan jiwa lain dan
tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat, atau keadaan
medis umum lain (selain gangguan terkait pernafasan).
Gangguan pernapasan saat tidur atau lebih dikenal dengan nama Sleep Disorder Breathing (SDB) menggambarkan abnormalitas respirasi selama tidur. SDB terjadi jika ada episode berulang penghentian aliran udara (apnea) atau penurunan aliran udara (hypopnea) selama tidur disertai dengan adanya fragmentasi tidur, sering terbangun, dan penurunan saturasi oksigen
(Marcus,2012).
Gizi lebih merupakan salah satu faktor risiko untuk mencetuskan SBD,
terutama OSA. Penelitian yang dilakukan Verhulst et al (2006) menemukan prevalensi OSA pada obesitas adalah 16% dan 41% pada pasien overweight. Pada obesitas terjadi akumulasi lemak di daerah leher, lidah, ataupun di struktur saluran
nafas atas (Yuan,2013). Sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas atas,
hal ini menimbulkan mendengkur(snooring) saat tidur. Jika penyempitan saluran nafas terus terjadi secara progresif, ini akan menimbulkan OSA (Downey,2010).
Gejala-gejala OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu gejala yang
timbul pada saat tidur (Nocturnal Symptoms) dan gejala yang timbul pada siang hari (Daytime Symptoms).
Nocturnal Symptoms terdiri dari: mendengkur(snooring) yang kuat, terjadi sehari-hari, dan mengganggu orang di sekitarnya; apnea/hypopnea, biasanya pada saat akhir dengkuran; rasa tercekik, gejala ini yang membuat pasien sering
terbangun dari tidur; nokturia; insomnia; tidur tidak nyenyak, oleh karena sering
16
Daytime Symptoms terdiri dari: rasa lelah saat bangun tidur; sakit kepala di pagi hari;rasa mengantuk berlebihan di siang hari/Excessive Daytime Sleepiness (EDS); rasa lelah di siang hari; defisit kognitif; gangguan memori dan intelektual;
penurunan kewaspadaan; perubahan mood dan kepribadian (seperti depresi dan
ansietas); disfungsi seksual; gastroesophageal reflux; hipertensi (Welch,2008) SDB memiliki suatu spektrum perjalanan penyakit dari mendengkur
menjadi obesity hypoventilation syndrome. Obesity hypoventilation syndrome merupakan gangguan pernapasan saat tidur atau SDB yang paling berat dan
dikarakteristik dengan chronic alveolar hypoventilation, obesitas, daytime hypercapnia (PaCO2 >45mmHg). Hal ini dapat bermanifestasi menjadi hipertensi pulmonar dan gagal jantung kanan (Welch, 2008).
2.2.7. Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Tidur
Pengaruh obesitas dalam pola tidur sangat terlihat pada pasien OSA,
karakteristik pola tidurnya dijumpai penurunan effisiensi tidur, penurunan fase
REM dan slow wave sleep (tahap 3 dan 4 fase NREM), peningkatan light sleep (tahap 1 dan 2 fase NREM) serta EDS. Hipotesis beberapa peneliti menyebutkan
efek ini timbul karena peningkatan sitokin seperti interleukin-6 dan tumor necrosis factor-a dalam serum pasien obesitas. Dan ada mekanisme lain yang disebutkan yaitu obesitas menginduksi gangguan siklus sirkadian; leptin dan
melatonin (Antczak,2008). Melatonin juga berperan dalam regulasi energi dan
berat badan, pada orang yang memiliki kelebihan berat badan dijumpai penurunan
melatonin, yang berkorelasi dengan peningkatan lemak visceral dan gangguan
tidur (Mateos,2007). Marcus et al menjelaskan bahwa 36% anak dan remaja yang obesitas ditemui kelainan pada pemeriksaan polysomnography(PSG), 24% di dalamnya menderita OSA. Hal ini menunjukan korelasi positif antara obesitas
dan OSA.
Pada penelitian yang dilakukan Zimberg et al (2011), menjumpai hubungan antara variabel antropometri dan pola tidur. Menemukan korelasi positif pada
terbangun-17
bangun tengah malam dengan BMI. Penelitian tersebut menyimpulkan semakin
tinggi deposit lemak tubuh akan meningkatkan risiko gangguan tidur.
Rao et al (2009) dalam penelitiannya menunjukan hubungan peningkatan BMI dengan pola tidur. Pasien yang memiliki BMI 27,4 kg/m2 memiliki fase
slow wave sleep(SWS) yang lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki BMI 26,8kg/m2. Pasien dengan SWS yang rendah akan mendapatkan risiko
menjadi obese 1.4 kali. Dengan demikian, terdapat hubungan dua arah antara pola