• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Group Cognitive Behavioral Therapy Dalam Meningkatkan Abstinence Self Efficacy Pecandu Pada Masa Pemulihan di Pusat Rehabilitasi X Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Group Cognitive Behavioral Therapy Dalam Meningkatkan Abstinence Self Efficacy Pecandu Pada Masa Pemulihan di Pusat Rehabilitasi X Kota Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Substance-Related Disorder

DSM IV-TR (2004) mendefinisikan Substance–Related Disorder sebagai

gangguan yang berhubungan dengan penggunaan suatu zat yang dapat

menimbulkan efek samping sesuai dengan jenis zat/substance yang digunakan.

Substance-related disorder terdiri dari dua bagian yaitu substance use disorder

dan subtance induced disoder. Substance use disorder adalah gangguan yang

berkaitan dengan pola penggunaan narkoba dan substance induced disorder

adalah gangguan yang berkaitan dengan efek atau reaksi narkoba yang di

konsumsi.

1. Substance Use Disorder

Substance use disorder merupakan gangguan dalam hal pola penggunaan

narkoba yang terdiri dari terdiri dari dua bagian yaitu substance dependence dan

substance abuse. Substance Dependence merupakan penggunaan narkoba yang

mempengaruhi fungsi kognitif, behavioral dan fisiologis. Substance dependence

disorder ditandai dengan penggunaan narkoba secara berkelanjutan yang

kemudian menimbulkan toleransi. Toleransi yang dimaksud adalah adanya

kebutuhan untuk meningkatkan dosis penggunaan narkoba untuk mencapai efek

yang diharapkan dan juga ditandai dengan berkurangnya efek ketika penggunaan

(2)

  gangguan pola penggunaan narkoba yang sudah menimbulkan konsekuensi

signifikan akibat penggunaan yang berulang-ulang. Konsekuensi ini dapat berupa

kegagalan dalam memenuhi tanggungjawab dalam pekerjaan, sekolah, ataupun

rumah dan individu akan tetap mengunakan narkoba meskipun dalam situasi yang

dapat membahayakan secara fisik.

2. Substance-Induced Disorder

Substance Induced Disorder merupakan gangguan yang berkaitan dengan

stimulasi atau efek yang ditimbukan oleh narkoba yang terdiri dari dua bagian

yaitu substance intoxication dan substance withdrawal. Substance Intoxication

memiliki ciri utama berupa perkembangan sindrom yang berkebalikan/yang tidak

menyenangkan pada saat mengkonsumsi narkoba. Sindrom ini dapat berupa: suka

berkelahi, mood yang labil, kesulitan berkonsentrasi dan mengambil keputusan.

Bagian kedua, substance withdrawal merupakan gangguan berupa timbulnya

masalah fisik dan kognitif yang berkembang setelah penghentian, pengurangan

penggunaan narkoba dalam jumlah yang banyak dan jangka waktu yang lama.

3. Faktor-Faktor Penyalahgunaan Narkoba

Menurut Wahyurini & Ma’shum (2006) ada banyak yang saling berinteraksi

yang mendorong menyalahgunakan obat terlarang. Beberapa diantaranya adalah :

1. Faktor Individu

Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, fisik, dan

psikologis. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian depresi, dan

(3)

menyalahgunakan narkotika, faktor individu pada umumnya ditentukan

oleh dua aspek :

a) Aspek Biologis

Bukti menunjukkan bahwa faktor genetik berperan seperti

alkoholisme serta beberapa berbentuk perilaku yang menyimpang,

termasuk penyalahgunaan zat.

b) Aspek Psikologis

Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja.

Beberapa ciri perkembangan masa remaja dapat mendorong seseorang

untuk menyalahgunakan obat terlarang yaitu: kepercayaan diri kurang,

ketidakmampuan mengelola stress atau masalah yang dihadapi,

mencoba untuk memperoleh pengalaman baru yang semua itu dapat

menyebabkan seseorang remaja jatuh dalam penggunaan narkoba.

2. Faktor obat atau zat

Adanya perubahan nilai yang disebabkan oleh perubahan zaman

sehubungan dengan arti dan alasan penggunaan zat-zat psikoaktif.

Beberapa jenis obat yang digunakan sebagai tolak ukur status sosial

tertentu. Dengan demikian mereka yang tidak menggunakan akan

mengalami tekanan sosial yang kuat biasanya dari teman sebaya. Selain

itu, ada keyakinan bahwa obat dapat membantu meningkatkan rasa

(4)

  3. Faktor lingkungan

Faktor yang menyebabkan penyalahgunaan obat atau zat, antara lain :

a) Hubungan keluarga yang tidak harmonis

Mempunyai masalah dengan penggunaan obat atau zat, misalnya

ibu terlalu dominan, overprotektif, ayah yang otoriter atau tidak peduli

dengan keluarga atau orang tua yang memaksakan kehendak pada anak

yang mendorong anak melarikan diri kedalam impian melalui obat.

Kualitas hubungan keluarga yang buruk dapat menyebabkan

penyalahgunaan obat atau zat terlarang juga dipengaruhi oleh kebiasaan

anggota keluarga yang lain, seperti orang tua dan kakak yang juga

menggunakan obat atau zat terlarang tersebut.

b) Pengaruh teman

Pengaruh teman sangat besar terhadap penyalahgunaan obat atau

zat terlarang. Hukuman oleh kelompok teman sebaya, terutama

pengucilan bagi mereka yang mencoba berhenti, dirasakan lebih berat

dari pengguna obat itu sendiri.

B. Abstinence Self Efficacy

Abstinence Self Efficacy terdiri dari dua istilah yaitu abstinence dan self

(5)

1. Definisi Self Efficacy

Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura.

Self-efficacy mengacu pada keyakinan tentang kemampuan individu untuk

mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan

kecakapan tertentu (Bandura, 1998). Baron dan Byrne (2000) mengemukakan

bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau

kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan

memperoleh hasil tertentu. Selain itu, Schultz (2005) mendefinisikan

self-efficacy sebagai keyakinan seorang individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan

kemampuannya dalam mengatasi permasalahan kehidupan. Berdasarkan

persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy

merupakan keyakinan seorang individu akan kemampuannya dalam melakukan

tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi

tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Keyakinan ini memiliki

pengaruh yang besar pada motivasi, afektif dan perilaku.

Self efficacy tidak hanya fokus pada latihan mengontrol tindakan, tetapi

juga berfokus pada mengontrol pola pikir, motivasi dan kondisi afektif serta

fisiologis. Individu dapat gagal menampilkan hal terbaik yang dimilikinya

meskipun sebenarnya ia tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki

kemampuan melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh perceived self efficacy

yang tidak hanya berfokus pada kemampuan yang dimiliki, namun pada

(6)

 

2. Dimensi Self-efficacy

Bandura (1998) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat

dari tiga dimensi, yaitu :

a) Tingkat (level)

Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda

dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi

pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang

rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki

self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat

kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b) Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang

atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki

self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu

saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai

beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu

yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang

yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

c) Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan

atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy

menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan

(7)

dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui

hambatan sekalipun.

3. Sumber Pembentuk Self Efficacy

Bandura (1998) mengatakan ada 4 sumber pembentuk self efficacy antara

lain: mastery experiences, vicarious experiences, persuasi verbal serta kondisi

fisiologis dan afektif (emotional arousal).

a) Mastery Experiences

Mastery experiences merupakan pengalaman belajar yang

diperoleh melalui learning by doing atau experiental learning. Menurut

Bandura (1998), mastery experiences merupakan sumber terbesar dalam

pembentukan self efficacy karena aspek ini didasarkan pada pengalaman

keberhasilan. Keberhasilan akan meningkatkan harapannya untuk

menguasai sesuatu hal, dan sebaliknya kegagalan yang berulang akan

menurunkan harapan untuk menguasai sesuatu hal. Besarnya self efficacy

yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada beberapa hal, antara

lain: banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami, persepsi terhadap

tingkat kesulitan, usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan,

pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat dan

banyaknya bantuan eksternal dari lingkungan.

b) Vicarious Experiences

Self efficacy dapat ditingkatkan melalui pengalaman keberhasilan

(8)

  kemampuan yang sama dengan individu, maka individu akan merasa yakin

bahwa dirinya juga dapat berhasil. Peran vicarious experience terhadap

self efficacy, sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya

yang memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa

dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan

semakin mempengaruhi self efficacy. Pengamatan terhadap perilaku dan

cara berfikir model tersebut, akan memberi pengetahuan dan pelajaran

mengenai strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan.

c) Persuasi Verbal

Self efficacy juga dapat ditingkatkan melalui pernyataan yang

disampaikan orang lain secara lisan. Keyakinan yang diperoleh melalui

proses persuasi verbal, sifatnya lemah dan biasanya untuk jangka waktu

yang singkat. Meskipun demikian, pernyataan orang lain yang

disampaikan secara terus menerus akan membentuk keyakinan yang relatif

menetap.

d) Physiological and Affective State

Individu biasanya memandang stres dan kecemasan sebagai tanda

ketidakmampuan diri. Level of arousal merupakan ambang ketergugahan

emosi seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu.

Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah mengakibatkan individu

mudah cemas ketika menyelesaikan suatu masalah yang disebabkan oleh

perasaan tidak mampu. Sebaliknya, individu yang memiliki ambang

(9)

suatu masalah serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Selain

itu, informasi mengenai kondisi fisiologis mempengaruhi penilaian

individu terhadap kemampuannya.

4. Proses-Proses Self Efficacy

a) Cognitive Processes

Perilaku diatur oleh pemikiran yang berfungsi mewujudkan tujuan

dan penetapan tujuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian terhadap

kemampuan diri. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin tinggi tujuan

yang ditetapkan dan ada komitmen untuk mencapainya. Individu yang

memiliki self efficacy yang tinggi mampu memvisualisasi kesuksesan yang

memberikan petunjuk positif dan dukungan terhadap performa. Individu

yang meragukan keberhasilan, memvisualisasikan skenario kegagalan dan

sulit mencapai tujuan karena ada keraguan terhadap diri. Fungsi utama

pemikiran adalah untuk memampukan individu memprediksi kejadian dan

mengembangkan cara mengontrol hal-hal yang mempengaruhi kehidupan.

b) Motivational Processes

Self efficacy memiliki peran penting dalam motivasi dan motivasi

adalah hasil kognitif. Individu memotivasi dirinya dan membimbing

tindakan antisipatori dengan melatih pemikiran. Individu yang memiliki

efficacy yang tinggi, menghubungkan kegagalan dengan kurangnya usaha,

sedangkan individu yang memiliki efficacy yang rendah menghubungkan

(10)

value, motivasi diatur oleh harapan bahwa perilaku akan memberikan hasil

dan manfaat. Namun, individu bertindak sesuai dengan keyakinan

terhadap apa yang dapat dilakukan, serta pada keyakinan terhadap hasil

tindakannya. Self efficacy berkontribusi terhadap motivasi dalam beberapa

cara: menentukan tujuan yang ditetapkan individu pada dirinya, besarnya

usaha serta kebertahanan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Individu

yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan mudah

menyerah saat dihadapkan dengan rintangan atau kegagalan.

c) Affective Processes

Keyakinan individu terhadap kemampuan kopingnya

mempengaruhi seberapa besar tekanan dan depresi yang mereka alami

pada situasi atau kondisi yang sulit. Individu yang tidak yakin terhadap

kemampuannya dalam mengontrol ancaman, memandang lingkungan

sebagai sesuatu yang berbahaya. Mereka memperbesar tingkat

kemungkinan keparahan dan khawatir terhadap hal yang jarang terjadi,

sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki

keberanian dalam melakukan kegiatan yang beresiko. Kecemasan tidak

hanya dipengaruhi oleh coping, efficacy, namun juga keyakinan untuk

mengontrol pemikiran yang mengganggu.

Perceived self efficacy yang berkaitan dengan mengontrol proses

pemikiran adalah faktor terpenting untuk meregulasi pemikiran yang

berkaitan dengan stres dan depresi. Semakin kuat perceived self regulatory

(11)

mengurangi habit yang mengganggu kesehatan dan mengadopsi serta

mengintegrasikan habit yang berkaitan dengan kesehatan menjadi gaya

hidup rutin.

d) Selection Processes

Individu adalah bagian dari lingkungannya, sehingga keyakinan

berpengaruh pada jenis kegiatan dan lingkungan. Individu menghindari

kegiatan dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan coping mereka,

namun mereka siap melakukan kegiatan yang menantang dan memilih

situasi yang diyakini dapat ditangani. Dengan pilihan yang mereka buat,

individu mengembangkan kompetensi, minat dan jaringan yang berbeda

dalam menentukan program hidup. Pilihan karir dan pengembangan

adalah salah satu contoh kekuatan self efficacy untuk mempengaruhi jalan

kehidupan melalui pilihan yang berkaitan dengan proses. Semakin tinggi

perceived self efficacy maka semakin luas pilihan karir, semakin besar

minat dan semakin baik persiapan diri melalui pendidikan untuk

pengejaran karir yang dipilih dan semakin besar kesuksesan mereka.

5. Abstinence Self Efficacy

Abstinence self-efficacy (ASE) terdiri dari dua istilah utama yaitu

abstinence dan Self efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan seorang

individu akan kemampuannya dalam melakukan tugas, mencapai suatu tujuan,

menghasilkan sesuatu dan menerapkan tindakan untuk menampilkan kecakapan

(12)

  Berdasarkan kedua istilah ini, maka oleh Groove (2012) mendefinisikan

abstinenceself-efficacy sebagai “the belief in one’s ability to abstain from using

drugs and alcohol” yang berarti keyakinan seorang individu akan

kemampuannya untuk menolak mengkonsumsi narkoba. Ilgen Mark (2005)

mendefinisikan abstinence self efficacy sebagai keyakinan untuk abstain/tidak

menggunakan narkoba dalam situasi yang spesifik seperti: keadaan emosi

negatif, keadaan fisik yang negatif (dalam keadaan sakit fisik), ataupun adanya

konflik interpersonal. Sejalan dengan hal ini Greenfield (dalam Majer, 2004)

menjelaskan abstinence self efficacy sebagai kayakinan pecandu akan

kemampuannya untuk menghadapi high risk situation tanpa menggunakan

narkoba. Berdasarkan defisini pada ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

abstinence self efficacy merupakan keyakinan pecandu untuk dapat menjaga

dirinya tetap bersih tanpa menggunakan narkoba pada saat berhadapan dengan

situasi yang bersiko tinggi untuk terjadi relapse.

C. Cognitive-Behavioral Therapy

1. The Nature of Cognitive-Behavioral Therapy

Spiegler (2003) menjelaskan bahwa kognitif dapat dimodifikasi dengan

dua cara yaitu secara behavioral dan kognitif. Kognitif diubah secara langsung

dengan mengubah pikiran yang maladaptif dan dapat juga secara tidak langsung

dengan mengubah perilaku mereka yang tampak. Cognitive Behavioral therapy

terdiri dari dua model yaitu cognitive restructuring therapy dan cognitive

behavioral coping skills therapy. Kedua metode ini memiliki perbedaan ditinjau

(13)

No Aspek Model Teknik

Cognitive restructuring

Cognitive behavioral coping skills 1 Fokus terapi Malladaptive

Cognitions

Adaptive cognition yang defisit

2 Tujuan terapi Melakukan substitusi terhadap malladaptive cognition

Menggunakan teknik coping skill

3 Contoh terapi Thought stopping,

Rational emotive

2. Operationalizing Cognition : Making Private Thoughts Public

Menurur Spiegler (2003), isi pikiran dapat dioperasionalkan dengan

cara:

a) Thinking about thinking

Hal ini berarti seseorang harus aware terhadap apa yang ia

pikirkan, dan mampu mendengarkan apa yang ia pikirkan. Hal ini secara

operasional dapat didefinisikan sebagai self-talk, yang berarti bahwa

terdapat suatu hal yang diungkapkan oleh seorang individu kepada diri

(14)

  b) Assessing Cognitions

Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk menilai

kognitif seorang klien yaitu melalui wawancara, self recording, direct

self inventory, dan think aloud procedures. Masing-masing metode ini

dapat menggali informasi mengenai kognisi seseorang. Keempat metode

ini juga memiliki perbedaan dalam lima dimensi yaitu : timing, degree of

structure, mode of response, nature of stimulus dan source of evaluation.

Direct self report inventories terdiri dari pernyataan-pernyataan

yang berkaitan dengan area permasalahan yang dialami oleh seorang

individu. Klien akan diinstruksikan untuk memberikan rating yang

mengindikasikan seberapa sering mereka melakukan hal-hal yang

tercantum dalam setiap pernyataan. Misalnya:

I hope I don’t make a fool of myself

This will be a good oppurtunity

It would crush me if she/he didn’t respon to me

Dalam Skala ini Klien diinstruksikan untuk mengungkapkan

pikiran mereka pada saat terlibat dalam suatu simulasi atau melalui

sebuah role playing. Pendekatan ini memiliki lima keuntungan yaitu :

pertanyaan yang diberikan adalah pertanyaan terbuka, dapat secara tepat

menentukan keadaan kognitif seorang klien pada saat simulasi, sesuai

untuk semua jenis klien, mudah memperoleh keaslian keadaan kognitif

klien dari pada melalui ekspresi secara tertulis dan dapat juga digunakan

(15)

c) Thoughts stopping

Metode ini didesain untuk menurunkan frekuensi dan durasi

pikiran yang terganggu dengan cara melakukan interupsi atau

menggantinya dengan pikiran yang lebih menyenangkan. Masalah yang

dapat diselesaikan dengan thoughts stopping yaitu individu yang

mangalami depresi (yang dapat memiliki pikiran “tidak ada sesuatupun

yang akan menjadi lebih baik”), pikiran obsesif (selalu khawatir akan

kontaminasi bakteri). Terdapat dua fase dalam thought stopping yaitu :

melakukan interupsi terhadap pikiran yang terganggu, kemudian fokus

terhadap pikiran yang lebih adaptif.

3. Cognitive Therapy

Spiegler (2003) menjelaskan bahwa terapi ini menekankan bahwa belief

maladaptif dapat diuji secara empirik. Terapi ini menekankan pada asumsi

bahwa gangguan psikologis diakibatkan oleh kognitif yang terganggu dan terapi

yang diberikan bertujuan untuk memodifiikasi kognitif tersebut. Terdapat

beberapa aspek yang membedakan antara kognitif terapi dengan REBT yaitu :

No Aspek Model Terapi

REBT Cognitive Therapy

1 Pendekatan Deduktif Induktif

2 Dasar pendekatan Rasional Bukti empirik 3 Prosedur Instruksi, persuasi,

perdebatan

Pengujian hipotesa empiris

4 Mekanisme Cognitive

restructuring

Kombinasi cognitive restructuring dengan overt behavioural intervention 5 Peran terapist Model of rational

thinking

(16)

  beliefs

6 Gaya terapist Konfrontasional Kolaboratif 7 Peran tugas yang

a) The Cognitive therapy theory of psychological disorders

Beck menyebutkan kognitif yang maladaptif sebagai automatic

thought yang menekankan pada pikiran klien yang mengalami

gangguan. Secara spesifik automatic thought yaitu pikiran maladaptif

yang muncul secara otomatis apabila mereka berada pada situasi

tertentu atau mengalami suatu hal yang tidak menyenangkan. Terdapat

6 cognitive distortion yang sering terjadi pada klien yaitu:

No Cognitive tanpa bukti yang sesuai atau pada saat bukti yang sesungguhnya

2 Overgeneralization Menarik kesimpulan umum berdasarkan pada satu buah kejadian

Menyimpulan

3 Selective Membuat kesimpulan secara detail dan

(17)

Abstraction mengabaikan konteks

4 Personalization Melakukan atribusi yang salah dari kejadian eksternal terhadap diri

5 Polarized Berpikir secara ekstrim, hitam-putih, all or-none fashion sebagai hal yang sangat penting atau tidak

b). Proses dalam Cognitive Therapy

Dalam proses pelaksanaan terapi kognitif dan terapi perilaku,

pertama sekali dilakukan analisis fungsional yang bertujuan untuk

memperoleh informasi mengenai target intervensi dan jenis teknik

intervensi yang sesuai. Skinner menjelaskan analisis fungsional

(18)

  Kanfer & Philips (1970) menjabarkan mengenai model

konseptualisasi masalah klinis yang disebut dengan SORC. S adalah

stimulus atau antacedent conditions yang menghasilkan perilaku, O

merupakan variabel organismik yang berkaitan dengan perilaku

bermasalah yang terdiri dari isi pikiran dan emosi, R adalah respon

dan C adalah konsekuensi dari perilaku tersebut. Berkaitan dengan

analisa fungsional, terapi kognitif memiliki tujuan sebagai berikut:

• Memperbaiki proses informasi yang salah pada klien

• Memodifikasi pikiran yang irasional pada klien yang dapat

menimbulkan perilaku dan emosi yang maladaptif

• Memberikan keterampilan dan pengalaman kepada klien

untuk menciptakan pikiran yang adaptif

Terapist dan klien bekerja sama untuk mengidentifikasi pikiran

yang disfungsional lalu memberikan challenge/tantangan terhadap

pikiran tersebut. Dalam terapi kognitif partisipasi kien berupa tugas

rumah merupakan bagian yang penting dalam terapi. Kolaborasi

antara klien dan terapist memegang peranan yang penting sehingga

perlu untuk membangun hubungan terapeutik yang baik agar terapi

dapat berjalan efektif.

Ahli terapi kognitif akan membantu klien untuk mengenali

pikiran yang disfungsional melalui socratic dialogue. Klien akan

(19)

mengarahkan klien untuk mengenali pikiran yang disfungsional dan

automatic thought. Terapist akan menginstruksikan klien untuk

memandang automatic thought sebagai hipotesis yang selanjutnya

akan diverifikasi. Terapist dan klien akan membuat tugas-tugas rumah

yang berperan sebagai investigasi untuk menguji hipotesa tersebut,

proses ini disebut sebagai collaborative empiricism. Setelah klien

belajar untuk melakukan challenge terhadap pikiran mereka yang

disfungsional, selanjutnya diajarkan untuk menggantinya dengan

pikiran yang adaptif.

c). Cognitive Interventions

Intervensi kognitif yang berdasarkan pada cognitive

restructuring berperan untuk mengubah kognitif klien secara

langsung, misalkan seseorang yang mengalami phobia, terapist dan

klien akan menganalisa logika yang salah pada diri klien dan

selanjutnya terapist akan memberikan informasi yang relevan

mengenai proses yang dapat membuat ketakutan tersebut memiliki

ketakutan yang tidak realistik.

Klien akan diinstruksikan untuk mencatat automatic thought

mereka yang meliputi situasi yang memunculkan pikiran tersebut,

emosi, logika yang salah, dan respon yang irasional dalam situasi

tersebut. Hal ini dapat dilakukan dalam three column technique.

(20)

  penting dalam cognitive restructuring misalkan seseorang yang cemas

dalam menghadapi ujian akhir dan berpikir bahwa “aku bodoh“,

dalam hal ini pikiran klien akan diganti menjadi pikiran yang lebih

adaptif seperti “aku paham semua materi dengan baik“ dan “untuk

menjawab dan menuliskannya dengan tepat membutuhkan waktu“.

Reatribution of responsibility dapat membantu klien untuk

yakin bahwa diri mereka memiliki kontrol yang baik dalam mengatasi

dampak negatif yang terjadi, misalkan seorang wanita yang cemas

dalam menghadapi kencan pertamanya, melalui socratic dialogue

terapist akan membantu klien untuk menikmati kencan tersebut dan

paham bahwa dirinya tidak dapat mengontrol perasaan teman

kencannya. Decatastrophizing merupakan bentuk reatribusi spesifik

yang berguna untuk mengantisipasi konsekuensi yang mungkin terjadi

pada diri klien, metode ini sering diberikan kepada klien yang

mengalami gangguan kecemasan. Melalui soctratic dialogue, terapist

akan membimbing klien untuk melihat masalah yang ia alami dalam

sudut pandang yang tidak berbahaya, misalkan sakit kepala lebih

diakibatkan oleh kelelahan, lapar atau stres daripada dikarenakan oleh

(21)

D. Efektivitas Group Cognitive Behavioral Therapy dalam Meningkatkan

Abstinence Self Efficacy Pecandu

Penyalahgunaan narkoba atau dalam DSM IV-TR (2000) disebut sebagai

substance abuse. Gejala-gejala (substance abuse) meliputi ketidakmampuan untuk

mempertahankan pekerjaan, mengasuh anak atau ketidakmampuan untuk

menyelesaikan tugas sekolah, penggunaan obat-obatan pada situasi yang

berbahaya dan cukup sering mengalami konflik dengan orang lain akibat

penggunaan obat-obatan tersebut. Salah satu upaya untuk mengatasi

penyalahgunaan narkoba dapat berupa usaha melakukan rehabilitasi di pusat

rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO).

Sarafino (2006) menjelaskan bahwa rehabilitasi pecandu narkoba

merupakan suatu proses yang panjang dan tidak mudah untuk dilakukan, hal ini

terjadi karena pecandu rentan untuk mengalami relapse. Senada dengan

penjelasan Sarafino, Minervini (2011) menyatakan bahwa tantangan dan

hambatan yang dihadapi para pecandu menuju kepulihan sangatlah berat, seorang

pecandu harus berusaha untuk memperbaiki komponen-komponen yang telah

“rusak” dalam kehidupan mereka baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Pecandu harus berjuang melawan sugesti yang akan berada terus dalam kehidupan

mereka bahkan mungkin juga mereka akan membawa sugesti ini sampai akhir

kehidupannya.

Relapse yang dialami oleh pecandu dapat disebabkan oleh high risk

situation atau disebut juga situasi yang beresiko tinggi untuk memicu penggunaan

(22)

  sakit yang dihubungkan dengan masalah medis, hubungan sosial, berhadapan

dengan objek, atau bahkan mencium bau yang behubungan dengan obat-obatan

(Leshner dalam National Institute on Drug Abuse, 2009). Thersiah Lubis (dalam

Candraresmi, 2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi seorang pecandu untuk dapat menghindari relapse, salah satunya

adalah keyakinan untuk mampu melepaskan diri dan menolak untuk tetap tidak

menggunakan narkoba. Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011) juga

memberikan penjesalan yang senada dengan Candraresmi, ia menyatakan bahwa

faktor utama yang menyebabkan seorang relapse adalah faktor keyakinan akan

kemampuan yang ia miliki. Seorang individu yang tidak yakin akan

kemampuannya untuk menolak narkoba maka akan semakin mudah untuk

mengalami relapse. Berbeda halnya dengan individu yang yakin akan

kemampuannya untuk menolak narkoba, maka akan tidak mudah mengalami

relapse. Sejalan dengan hal ini, Witkiewitz & Marlatt (dalam Sarafino, 2006) juga

menjelaskan bahwa salah satu yang dapat menyebabkan pecandu relapse adalah

keyakinan akan kemampuannya yang rendah. Keyakinan seorang individu akan

kemampuannya untuk menolak dan tetap tidak menggunakan narkoba sehingga

tidak mengalami relapse disebut sebagai abstinence self-efficacy (Majer, 2004).

Abstinence self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya

untuk menolak penggunaan narkoba dalam situasi yang dapat memicu

penggunaan narkoba/high risk situation. Ilgen (2005) menjelaskan bahwa

abstinence self efficacy menentukan seorang individu untuk merasa, berfikir, dan

(23)

memiliki keyakinan akan kemampuannya akan memandang high risk situation

sebagai tantangan yang harus dikuasai dan dihadapi, bukan sebagai ancaman yang

harus dihindari. Menurut Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011), cara

untuk meningkatkan abstinence self efficacy adalah dengan meningkatkan

kemampuan coping skill. Dengan meningkatnya kemampuan coping skill maka

individu akan semakin mampu untuk mengidentifikasi teknik coping skill yang

efektif untuk menghadapi high-risk situation dan selanjutnya akan semakin yakin

untuk menolak penggunaan narkoba. Hal inilah yang kemudian dapat menurunkan

kemungkinan untuk relapse. Berbeda halnya dengan individu yang memiliki

kemampuan coping skill yang rendah atau tidak efektif maka akan semakin

menurunkan keyakinanya untuk mampu menolak penggunaan narkoba pada saat

berada dalam high risk situation hingga akhirnya menimbulkan relapse.

Hubungan ini terjadi karena individu yang memiliki kemampuan coping skill yang

baik maka akan semakin meningkatkan keyakinannya untuk mendapatkan hasil

yang menyenangkan atau hasil yang positif pada saat tidak menggunakan narkoba

(Hagman,2004).

Gwaltney (dalam Sylvest, 2004) juga menjelaskan bahwa individu yang

mengalami kesulitan mempertahankan periode abstinence atau mengalami relapse

memiliki kemampuan coping yang rendah. Faktor lain yang dapat menyebabkan

seorang individu memiliki abstinence self efficacy yang rendah adalah penilaian

individu akan reaksi emosional atau reaksi fisik yang ia alami. Perubahan

emosional atau fisiologis yang dialami dapat diinterpretasikan sebagai tanda

(24)

  seperti rasa bersalah, marah maka dinilai sebagai situasi yang membutuhkan

penggunaan zat. Pola pikir atau penilaian seperti ini oleh Beck (dalam Spiegler,

2003) disebut juga sebagai pikiran irasional. Senada dengan hal ini, Sudiyanto

(2007) menjelaskan bahwa selain coping skill yang rendah, para pecandu juga

memiliki pikiran irasional berkaitan dengan penggunaan narkoba. Chiang (2006)

juga menjelaskan bahwa pecandu perlu untuk merestrukturisasi pikirannya yang

irasional, pikiran yang irasional ini dapat berupa pengharapan yang tidak rasional

akan manfaat penggunaan narkoba seperti: narkoba dapat membantu penyelesaian

masalah, meningkatkan harga diri, tanpa narkoba maka akan mengurangi

kemampuan fisik untuk bekerja dan mampu mengatasi berbagai masalah

sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini maka pecandu perlu untuk membangun status

kognitif yang rasional (cognitive restructuring) sehingga menjadi adaptif sehingga

semakin yakin akan kemampuannya dalam menghadapi high risk situation.

Bernard P. Rangé1 (2012) dalam bukunya yang berjudul

Cognitive-Behavior Therapy for Substance Abuse menjelaskan bahwa salah satu teknik

untuk membantu meningkatkan kemampuan pecandu untuk tidak menggunakan

narkoba adalah dengan mengidentifikasi pikiran irasional dan melakukan

restrukturisasi. Hal ini akan membuat pecandu mampu untuk menginterpretasi

situasi pemicu penggunaan narkoba dengan baik sehingga melemahkan

hasrat/keinginan untuk kembali menggunakan narkoba. Keadaan ini semakin

memperjelas bahwa selain dibantu untuk mampu melakukan teknik coping,

(25)

Spiegler (2003) menjelaskan bahwa teknik coping skill dan restrukturisasi

kognitif merupakan bagian dari cognitive behavioral therapy (CBT). Menurut

Spiegler, intervensi kognitif yang berdasarkan pada cognitive restructuring

berperan untuk mengubah kognitif klien secara langsung. Pecandu akan

diinstruksikan untuk mencatat automatic thought (pikiran yang muncul dengan

segera) mereka yang meliputi situasi yang memunculkan pikiran tersebut, emosi,

logika yang salah, dan respon yang irasional dalam situasi tersebut, sedangkan

dalam coping skill memberikan intervensi berupa peningkatan keterampilan

coping skill untuk mengajarkan klien dalam mengahadapi situasi yang

memunculkan masalah baginya. Berdasarkan penjabaran ini, maka peneliti

menilai bahwa perlu untuk memberikan CBT tidak hanya dengan menggunakan

teknik coping skill tetapi juga menggunakan teknik restrukturisasi kognitif untuk

membantu pecandu untuk meningkatkan abstinence self efficacy.

Penelitian ini akan menggunakan CBT dengan cara berkelompok. CBT

berkelompok atau Group Cognitive Behavioral Therapy merupakan bentuk

pelaksanaan CBT dengan melibatkan beberapa orang klien. Ciri utama

pendekatan berkelompok ini adalah fokus pada keterbukaan dalam berinteraksi,

mampu menyediakan ruang dan peluang kepada klien untuk menyelesaikan

masalah yang dihadapi melalui kewujudan unsur-unsur terapeutik dalam CBT

kelompok seperti dukungan sesama anggota, peluang untuk mencoba tingkah laku

baru dan respon, adanya pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa,

orientasi pada kenyataan, saling percaya, saling memberi perhatian, saling

(26)

 

E. HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik restrukturisasi kognitif

efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy

2. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik coping skill efektif untuk

meningkatkan abstinence self efficacy

3. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan teknik restrukturisasi

kognitif dan coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy

4. Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan restrukturisasi kognitif

dan coping skill lebih efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy

dibandingkan dengan pemberian restrukturisasi kognitif dan coping skill secara

Referensi

Dokumen terkait

1927 – Candi Hati Kudus Tuhan Yesus (seperti tertulis dalam candi “ Sang Maha Prabu Yesus Kristus Pangeraning para Bangsa ”, engkaulah Kristus Raja Tuhan segala bangsa) yang

Tercapainya dukungan peningkatan komunikasi antara Anggota DPR RI dengan konstituennya tidak terlepas dari dukungan Setjen dan BK DPR RI dalam tata kelola administrasi

Seandainya pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya siap dan bersedia dituntut sesuai ketentuan yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sesuai

Dengan ini menyatakan bahwa saya sebagai Calon Penerima Beasiswa tidak sedang menerima beasiswa lain dari pemerintah Kabupaten Bengkalis. Seandainya pernyataan yang saya

Sang Putu Adhi Sudewa L UNUD dr.. Imran Porkas Lubis L

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan tanpa paksaan dari pihak lain untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jika zaman dahulu orang masih dapat menggunakan sumber air yang berasal dari kali atau sungai tanpa mensterilkan terlebih dahulu untuk kebutuhan sehari-hari, maka pada jaman

Write a procedure CountCycles(f) that will take as input a list of length n that is the second line of the 2-line form of a permutation and will output the number of cycles that