• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“beberapa waktu yang lalu anak saya Steven pernah berkata penuh kesedihan, dia bilang dia takut nakal seperti waktu kecil dulu, terus dibuang. Dia takut kalau nggak pinter nanti nggak disayang lagi. Takut kalau enggak juara nanti mama papa marah, dsb. Kondisi emosional Steven memang rapuh dan hal itu sebagian besar salah saya juga. Waktu dia kecil, saat puncak kenakalannya saya sering mengancamnya kalau Steven mau disayang, Steven harus jadi anak pinter, anak baik, enggak boleh nakal. Mama enggak mau kalau Steven nakal. Steven pilih mau dikasih ke siapa bla.. bla.. bla..” (Setiawati, 2008)

Kisah seperti dalam kutipan di atas, banyak ditemukan dalam keluarga di

kehidupan sehari-hari (Setiawati, 2008). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan

persepsi antara anak dengan orang tua. Anak merasakan beban terhadap tuntutan

yang diberikan dalam didikan orang tuanya padahal orang tua berharap didikan

yang diberikan dalam pola asuh mereka dapat membantu anaknya untuk mencapai

kesuksesan. Keterbatasan pemikiran anak menyebabkan anak tidak dapat melihat

makna tersirat dibalik perilaku yang ditampilkan orang tua dalam mendidik

sehingga terdapat kesenjangan antara tujuan dari perilaku yang ditampilkan orang

tua dengan hasil yang diterima anak dari perilaku tersebut (Setyono, 2007).

Ketika anak melakukan kesalahan dan langsung mendapat pengarahan dari

orang tuanya, maka kesenjangan persepsi antara orang tua dengan anak dapat

dijelaskan secara perlahan. Akan tetapi, seringkali anak tidak mampu

mengungkapkan dirinya dan menerima tindakan orang tuanya sebagaimana yang

(2)

dan menghasilkan reaksi terhadap tekanan tersebut hingga terbentuk suatu pola

perilaku yang telah menjadi sebuah kebiasaan hingga mereka dewasa (Setyono,

2007) bahkan Setyono menambahkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi karakter

anak.

Jika anak dapat merasakan ketakutan dan kebingungan dalam menjalani

hidup sebagai akibat dari perlakuan yang ia terima walaupun tidak ada perlakuan

fisik yang diberikan oleh orang tuanya, maka hal ini dikatakan sebagai salah satu

bentuk kekerasan yakni kekerasan emosi karena anak merasakan dampak

kekerasan terhadap kondisi psikologisnya (Jantz & McMurray, 2009). Dalam

kasus tertentu, individu yang mengalami kekerasan emosi tidak menyadari bahwa

mereka merupakan korban kekerasan. Hal ini menyebabkan kekerasan emosi

terus berlangsung selama periode waktu tertentu (Jewkes, 2010).

Gunawan (2009) mendefinisikan kekerasan emosi sebagai bentuk perilaku

seseorang atau lingkungan yang dapat merusak citra diri dan harga diri individu

yang menerima perlakuan tersebut. Kekerasan emosi juga dilihat sebagai suatu

pola konsisten dalam memberi perlakuan kepada orang lain secara tidak adil

selama periode waktu tertentu dan biasanya dilakukan oleh orang yang sama

(Jantz & McMurray, 2013). Kekerasan emosi ditunjukkan dalam bentuk perilaku

negatif yang digunakan untuk mengontrol atau menyakiti orang lain secara

berkelanjutan. Kekerasan emosi memiliki berbagai bentuk perilaku yang

(3)

Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan emosi dapat dilihat dalam

berbagai bentuk perilaku seperti membiarkan seseorang mengalami kesepian,

tidak memberikan dukungan emosional dan sentuhan fisik, pengabaian,

penolakan, mendiamkan individu dalam kehidupan sosial, tidak melakukan

komunikasi, tidak mengizinkan individu mengungkapkan emosi yang dialami,

membuat individu merasa bersalah, memberikan hukuman untuk hal-hal sepele

yang tidak sebanding dengan perilaku individu, memberikan label dan

membiarkan seseorang menjadi korban bully dalam lingkungannya, serta

bentuk-bentuk lain yang menimbulkan rasa takut, malu, pengerusakan diri, isolasi sosial,

dan lain sebagainya. Kondisi ini dapat berawal dari ketidakpedulian yang

konsisten hingga berlanjut menjadi sikap meremehkan orang lain secara terus

menerus (Hunt, 2013).

Krumins (2011), dalam kisahnya ketika mengalami kekerasan emosi yang

dituang dalam buku The Detrimental Effects of Emotional Abuse, mengatakan

bahwa individu yang memiliki kekuasaan dapat lebih mudah melakukan

kekerasan emosi dengan mengontrol serta memanipulasi situasi dan kondisi

lingkungan ketika terjadi kekerasan sehingga banyak individu lain yang berada

dalam situasi tersebut tidak menyadari terjadinya kekerasan. Jantz (2009)

menyatakan bahwa budaya yang menerima adanya sifat dominansi dalam

menjalin hubungan bermasyarakat akan memungkinkan munculnya kekerasan

emosi dalam menjalin hubungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya

kesenjangan peran masing-masing individu disebabkan oleh status yang dibawa

(4)

Di sisi lain, lingkungan tempat tinggal juga mampu memberikan tuntutan

kepada masyarakat di dalamnya agar dapat berperilaku sesuai dengan harapan dan

norma-norma yang terdapat dalam lingkungan tersebut. Bentuk tuntutan yang

ditanamkan dalam diri individu dapat menjadi sebuah tekanan terutama dalam

lingkungan yang menanamkan nilai kebudayaan patriaki dan matriaki. Budaya

Indonesia yang menganut sistem patriarki dan matriarki menunjukkan adanya

dominansi yang ditanamkan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai

budaya yang ada akan membentuk status berupa hirarki dalam kelompok

masyarakat. Hirarki yang terbentuk menunjukkan adanya peran yang lebih tinggi

dibandingkan peran lainnya baik dalam kelompok usia, status sosial, maupun

garis keturunan dalam keluarga. Hirarki dalam masyarakat membuat kekerasan

emosi yang dilakukan oleh individu dengan status yang lebih tinggi seringkali

tidak disadari oleh korbannya (Semium, 2010). Hal ini didukung dengan kutipan

wawancara berikut:

“...waktu aku di tempat itu kak, disitu benar-benar ditanamkan kali kalo orang-orang kayak kami cuma bisa jadi kayak penjahit kek-kek gitu soalnya disitu kami dilatih menjahit pokoknya keterampilan-keterampilan gitu. Waktu itu juga susternya, tempat itu kan pembinanya ada susternya gitu, bilang karna aku juga cerita kalo aku mau jadi psikolog, susternya kayak bilang nggak mungkin, realistis aja lihat kondisi kami, gak usah punya cita-cita yang ketinggian”. (Komunikasi personal, Maret 2015)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tuntutan yang diberikan dalam

lingkungan tidak disadari sebagai bentuk kekerasan terutama ketika pelaku

kekerasan merupakan individu dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam

lingkungan masyarakat tersebut. Kedudukan ini dibentuk berdasarkan status

(5)

Akan tetapi, Henslin (2007) dalam bukunya mengatakan bahwa status

sosial merupakan kerangka dasar untuk hidup dalam masyarakat. Status sosial

dibentuk agar memiliki tingkat kedudukan yang berbeda-beda tergantung dari

lingkungan di mana status sosial tersebut berlaku sehingga beberapa individu

dalam suatu kelompok masyarakat memiliki kedudukan yang lebih tinggi

dibandingkan yang lainnya. Hal ini terjadi karena status sosial berfungsi sebagai

panduan setiap individu untuk berperilaku dalam masyarakat. Beberapa status

merupakan bawaan lahir seperti jenis kelamin dan status dalam keluarga seperti

orang tua-anak. Keluarga yang memiliki anak lebih dari satu orang juga akan

menanamkan status sosial dalam memberi perlakuan kepada anak-anaknya. Anak

tertua ditanamkan untuk dapat menjadi pedoman bagi saudaranya yang lebih

muda. Sedangkan pada anak yang lebih muda ditanamkan untuk menghormati

saudaranya yang lebih tua terlepas dari kondisi pribadi kedua anak tersebut.

Selain itu ada juga status capaian, yaitu status yang didapatkan setelah

seorang individu berhasil meraih suatu pencapaian tertentu seperti jabatan dalam

pekerjaan atau status pasangan suami-istri setelah menikah. Dalam satu waktu,

terdapat status yang berbeda-beda dalam suatu kelompok masyarakat sehingga

akan terlihat seperti sebuah hirarki seperti status suami-istri dalam suatu keluarga

yang sedang berkumpul. Dalam kehidupan masyarakat, seorang istri ditanamkan

untuk menghormati suaminya yang merupakan seorang kepala keluarga tanpa

memandang kondisi istri secara personal. Mungkin saja seorang istri lebih baik

dalam berbagai hal dibandingkan suaminya tetapi seorang istri tetap dituntut

(6)

yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya akan diterima termasuk

berbagai bentuk kekerasan emosi yang terlihat dalam kutipan berikut:

“…udah pernah Clar, waktu itu aku marah kubilang kan, kamu kok sombong gitu sih. Terus dia jawab, kamu tau nggak aku kayak gini kan gara-gara kamu. Kamu juga cuek, nggak bisa ngeredain emosiku kalo aku lagi marah. Sombongku ini nggak ada apa-apanya dibandingkan sama kamu. Kita jauh gini, aku bisa aja ninggalin kamu kapanpun, tapi nggak aku lakukan kan, makanya kamu harusnya berubah biar jadi istri yang baik. Setelah itu ya aku diam terus mikir iya emang aku sombong kali ya, aku cuek kali. Terus kubilang sama dia, ya udah nanti aku usahain berubah” (Komunikasi personal, September 2015)

Hal ini juga berlaku pada status sosial lainnya yang berada dalam satu

garis hirarki seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

“…nggak berani La, aku segan. Aku pernah dipukul pas lagi main-main sama abangku. Dia diam gitu orangnya, kalo di kamar langsung dikunci pintunya, jadi yang lain segan sama dia. Dulu pernah dia marah karna nggak dipanggil abang. Nggak berani jadinya. Padahal dulu kami sering main sama, sekarang udah diam-diaman.” (Komunikasi personal, Januari 2015)

Pada akhirnya, individu yang mendapat tuntutan tersebut akan

menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang diberikan walaupun tidak sesuai

dengan dirinya sehingga kekerasan emosi yang dialami dapat terjadi dalam jangka

waktu yang lama tanpa ada bentuk perlawanan dari individu yang mengalami

kekerasan emosi tersebut (Jantz & McMurray, 2013).

Menurut Gunawan (2009) kekerasan emosi saat ini berlangsung intens dan

sistematis dalam berbagai aspek kehidupan. Kekerasan ini merupakan kekerasan

yang tidak kasat mata yang dilakukan baik dalam lingkungan keluarga maupun

masyarakat tetapi dapat merusak citra diri dan harga diri individu yang

(7)

tanpa disadari adalah adanya tuntutan untuk menjadi sesuatu yang diinginkan oleh

pelaku kekerasan yang tidak sesuai dengan diri individu yang mengalami

kekerasan emosi. Besarnya kesenjangan antara tuntutan yang diberikan

masyarakat dengan kondisi individu yang mengalami kekerasan emosi pada

akhirnya akan membuat individu tersebut mengalami kebingungan dalam

menjalani hidupnya dan keraguan mengenai dirinya sendiri (Lachkar, 2004).

Individu yang mengalami kekerasan emosi tersebut dapat menjadi cemas,

menutup diri, dan tidak mampu mengungkapkan emosinya karena merasa adanya

penolakan terhadap dirinya. Hal ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut ini,

“.. dulu waktu aku bilang mau kuliah, langsung dibilang samaku, jalan aja susah apalagi kuliah. Nyusahin orang nanti. Setelah dibilang kayak gitu, ya aku diem, kak, gak tau lagi mau ngapain. Mau nangis rasanya, kak, habis itu aku langsung pergi masuk kamar”. (Komunikasi personal, Maret 2015)

Dari petikan wawancara tersebut, terlihat bahwa individu tersebut tidak

mampu lagi mengungkapkan emosinya setelah mengalami kekerasan emosi

berupa penolakan dari lingkungannya sehingga ia tidak mampu mengembangkan

dirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grynch dan

Fincham (dalam Sturge-Apple, Skibo, & Davies, 2012) mengenai Pengaruh

Konflik Pada Orangtua dan Kekerasan Terhadap Anak, yang mengatakan bahwa

korban akan meragukan kenyataan dalam dirinya dan seringkali merasa malu

terhadap kondisi psikologisnya setelah mengalami kekerasan emosi.

Hutchinson (2014) menyatakan bahwa kekerasan emosi dapat

(8)

akibat adanya penolakan, penahanan terhadap kasih sayang, penghinaan, dan

kritikan yang diberikan yang dapat menghambat perkembangan individu tersebut.

Dampak yang disebabkan oleh kekerasan emosi yang dialami individu dalam

lingkungan sosial, membuat individu tersebut melakukan penolakan terhadap

dirinya dan berusaha memaksakan diri untuk membentuk diri sesuai dengan

tuntutan yang diberikan sehingga potensi yang dimiliki tidak dapat berkembang

dengan optimal.

Individu yang mengalami kekerasan emosi juga akan mengalami depresi,

kebingungan dengan kehidupan realita yang dimiliki, merasa rendah diri,

kehilangan harapan, bahkan kekerasan emosi yang dialami secara terus menerus

dapat membuat individu mengalami kehampaan hidup yang berhubungan pada

tindakan-tindakan untuk melukai diri sendiri dan pemikiran-pemikiran bunuh diri

(Rallis, Deming, Glenn, & Nock, 2012). Kekerasan emosi yang dilakukan dalam

waktu tertentu secara terus menerus dapat membuat individu tersebut mengalami

penolakan terhadap dirinya seperti pada kutipan wawancara berikut ini:

“…aku nggak tau mau ngapa-ngapain lagi kayaknya udah sama aja semua. Aku nggak siap kehilangan, nggak akan pernah siap pokoknya.. mending aku yang pergi duluan jadi aku nggak ngerasain mereka pergi. Waktu itu aku beli obat tidur di apotik. Awalnya cuman beberapa aja, baru kucoba agak banyak sekali minum, habis itu langsung nggak enak badanku tapi kutahankan aja.” (Komunikasi personal, Mei 2014)

Penolakan dari lingkungan terhadap diri individu yang mengalami

kekerasan emosi membuat mereka kehilangan harapan dan merasa bahwa hidup

tidak lagi berarti bagi mereka (Hunt, 2013). Daniels-Lake (2010) menyatakan

(9)

berguna, tidak dicintai, dan dalam beberapa kasus mengarahkan pada usaha bunuh

diri.

Selain mengubah pandangan diri individu tersebut, kekerasan emosi yang

dialami juga memberikan efek terhadap kondisi fisik individu yang

mengalaminya. Lachkar (2004) juga menyatakan bahwa banyak individu yang

mengalami kekerasan emosi pada akhirnya menyatakan bahwa mereka merasa

hampa dan kebingungan dalam menjalani hidup, merasakan tidak memiliki

hubungan dengan kenyataan, bahkan beberapa individu lain mengalami

psikosomatis, yaitu ketidaknyamanan atau sakit yang dirasakan pada bagian tubuh

tertentu tetapi penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara medis atau beberapa

penyakit kronis, serta tidak jarang penolakan ini mengarahkan mereka untuk

melakukan penyiksaan terhadap diri sendiri.

Kekerasan emosi juga memiliki dampak terhadap hubungan sosial yang

dimiliki individu yang mengalaminya. Hal ini terjadi karena adanya penolakan

dalam lingkungan sehingga individu tersebut cenderung menarik diri dari

lingkungan sosial atau menjadi sangat tergantung pada kelompok-kelompok sosial

tertentu untuk mendapat penerimaan sehingga ia kehilangan karakter asli dirinya

dan cenderung mengubah diri sesuai dengan keinginan kelompoknya (Jantz &

McMurray, 2013). Namun, lingkungan sosial tidak bersifat statis melainkan selalu

berubah dan berkembang yang menuntut adanya adaptasi dalam diri setiap

individu yang berada dalam lingkungan tersebut untuk dapat mencapai

keseimbangan (Laurens, 2005). Individu yang mengikuti perubahan lingkungan

(10)

kebingungan dengan dirinya sendiri ketika terjadi perubahan pada lingkungan

sosialnya. Selama lingkungan selalu berubah dan berkembang maka individu

tersebut akan terus melakukan perubahan terhadap dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kekerasan emosi memiliki dampak terhadap perkembangan

psikologis korbannya karena hanya menyentuh sisi emosional individu yang

mengalami kekerasan emosi. Hanya saja, kesehatan psikologis merupakan hal

yang mendasar dalam pengembangan diri setiap individu (Jantz & McMurray,

2009). Sebagai akibatnya, individu yang mengalami kekerasan emosi mengalami

kesulitan dalam mengembangkan dirinya karena kekerasan emosi yang dialami

telah merusak citra diri dan harga diri mereka (Gunawan, 2009; Sturge-Apple,

Skibo, & Davies, 2012). Lachkar (2004) juga menambahkan bahwa individu yang

mengalami kekerasan emosi merasa kebingungan dalam menjalani hidup karena

mereka tidak memiliki hubungan dengan realita sebagai akibat dari besarnya

kesenjangan antara tuntutan yang diberikan dengan diri mereka sehingga

menyebabkan mereka tidak lagi memahami dirinya sendiri.

Kurangnya pemahaman akan diri sendiri menyebabkan individu yang

mengalami kekerasan emosi menjalani kehidupan tanpa arah dan hanya terpaku

pada pemenuhan tuntutan dari lingkungan yang memberikan kekerasan emosi

agar mendapat penerimaan sosial (Wright, 2012). Hal ini terlihat dari kutipan

wawancara berikut ini:

(11)

marah-marah minta dibeliin baju yang lebih cantik lagi. Dia juga bilang aku kan jauh lebih cantik dari X, dia mah nggak ada apa-apanya, gitu katanya. Dari situ juga aku lihat memang dia lebih cantik kok, pacarnya banyak makanya aku terima-terima aja” (Komunikasi personal, April, 2014)

Berdasarkan kutipan ini terlihat bahwa individu yang mengalami

kekerasan emosi pada akhirnya menerima bentuk kekerasan tersebut sebagai

bagian dari dirinya walaupun tidak sesuai dengan kenyataan mengenai dirinya.

Beberapa individu lain bahkan menolak kenyataan tentang dirinya karena berbeda

dengan tuntutan yang diterima selama terjadinya kekerasan emosi, seperti pada

kutipan berikut:

“Dari dulu emang nggak ada sih yang bilang gitu, tapi aku ngerasa sekarang aku cuek kali. Pokoknya semenjak aku kenal dia, dia yang selalu nasehatin aku. Dia bilang aku orangnya cuek kali, sombong, gak bisa pengertian, gak cocok jadi istri, makanya aku sekarang lagi berusaha buat nggak cuek lagi. Jadi setiap dia marah ya aku berusaha buat bujuk dia sampai baik lagi, terus tiap hari aku tanya-tanyain gimana kabarnya. Kalo sekarang sih aku lihat dari perlakuanku ke dia, cuekku udah berkurang sih” (Komunikasi personal, Oktober 2015)

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa individu yang

mengalami kekerasan emosi tidak lagi dapat menilai dirinya secara objektif

melainkan sesuai dengan penilaian dan tuntutan lingkungan terhadap dirinya

(Jantz & McMurray, 2009). Dengan kata lain, tuntutan dan penilaian yang

diberikan dalam kekerasan emosi dianggap kenyataan mengenai dirinya sendiri

sehingga mereka selalu berusaha memenuhi tuntutan tersebut walaupun dalam

tekanan. Akan tetapi, setiap individu selalu dituntut untuk mampu beradaptasi dan

menyesuaikan diri dengan lingkungan (Laurens, 2005). Hal ini sejalan dengan

Semiun (2006) yang menyatakan bahwa tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh

(12)

memberikan respon-respon penyesuaian diri. Respon tersebut dapat berbeda-beda

pada setiap individu karena tuntutan-tuntutan dari luar akan disesuaikan dengan

tuntutan batin dan kebutuhan yang berasal dari dalam diri masing-masing

individu. Begitu juga yang terjadi dengan individu yang mengalami kekerasan

emosi. Mereka yang mampu menunjukkan respon penyesuaian diri yang baik

dengan lingkungan pada akhirnya dapat menjalani kehidupan dengan baik tanpa

merasakan dampak negatif dari kekerasan emosi yang dialami. Hal ini sesuai

dengan kutipan tanggapan korban kekerasan emosi berikut mengenai

tuntutan-tuntutan dalam kekerasan emosi yang masih ia dapatkan dari lingkungan:

“aku sih kubiarin aja, toh mereka nggak tahu sebenarnya aku orangnya gimana. Kalo aku bisa kerjain yang diminta ya kukerjain semaksimal mungkin tapi kalo cuma omongan-omongan ngerendahin gitu aja sih kuanggep itu kayak motivasi gitu kalo aku harus nunjukin yang lebih baik...” (Komunikasi personal, Januari 2015)

Hal ini sejalan dengan Nick Vujicic (2010), dalam bukunya yang berjudul

Life Without Limit: Inspiration for a Ridiculously Good Life, ketika ia

menceritakan pengalamannya mendapat penolakan dalam lingkungan sosial

karena kondisi fisik yang ia miliki dan bagaimana ia dapat keluar dari situasi

tersebut. Pada awalnya ia juga menunjukkan perasaan kesepian, tidak diterima

lingkungan, serta keraguan untuk dapat melakukan hal-hal sederhana yang dapat

dilakukan semua orang seperti berenang atau bermain skateboard seperti yang

dilakukan oleh teman-temannya pada saat itu. Nick Vujicic juga mengalami

kekerasan emosi dalam bentuk verbal ketika teman-temannya memanggilnya

(13)

sendiri mengenai keputusannya dalam menentukan karir. Hingga pada akhirnya ia

memberikan respon yang berbeda terhadap kekerasan yang dialaminya.

Nick Vujicic menunjukkan bahwa ia mampu mewujudkan keinginannya

dengan keterbatasan yang ia miliki sejak lahir. Ia juga menyatakan bahwa ketika

individu sudah mengetahui tujuan hidupnya, ia akan memiliki keyakinan untuk

mewujudkan hal tersebut tanpa mempedulikan keraguan lingkungan mengenai

keinginannya tersebut. Hal ini membuat ia mampu melakukan penyesuaian

terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan sosialnya dengan keinginan dirinya sendiri.

Semiun (2006) menambahkan bahwa penyesuaian diri dapat dinilai dari

penerimaan diri seseorang terhadap kelemahan, kelebihan, dan pengalamannya di

masa lalu.

Dengan menerima keadaan diri saat ini dan masa lalu yang baik maupun

yang buruk, individu tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki penerimaan diri

yang tinggi (Petranto, 2005; Prihadhi, 2008). Hal ini juga sejalan dengan

Widyarini (2009) yang mengemukakan bahwa individu yang sudah memiliki

penerimaan diri berarti menerima semua keberadaan dirinya baik dari sisi

kelebihan maupun kekurangan dan tidak menyerah secara pasif terhadap

kelemahan tersebut. Dalam hal ini, individu yang menerima dirinya sendiri tidak

berarti bahwa ia tidak pernah merasa kecewa terhadap dirinya atau gagal

mengenali kesalahannya sendiri sebagai suatu kesalahan melainkan tetap

mengakui kegagalan dan kekecewaannya tetapi merasa tidak perlu meminta maaf

(14)

Hal ini dibuktikan dengan berbagai pencapaian yang berhasil diraih

Vujicic hingga ia mampu mewujudkan keinginannya menjadi seorang motivator

internasional. Selain itu, hal ini juga didukung dalam kutipan wawancara berikut

ketika responden ditanya mengenai tanggapan terhadap kekerasan emosi yang

diberikan oleh lingkungan:

“ya kalo ada yang kayak gitu biarin aja kak, toh mereka kan gak tau apa aja yang udah aku alami sampai sejauh ini. Yang penting aku fokus aja sama kuliahku sama cita-citaku.” (Komunikasi personal, Maret 2015)

Pengalaman ini menunjukkan adanya perbedaaan respon yang diberikan

individu terhadap kekerasan emosi yang dialami dalam lingkungan dengan

menunjukkan bahwa individu tersebut berusaha untuk mengoptimalkan fungsi

dirinya dengan berusaha mengejar hal-hal yang diinginkannya dalam hidup

walaupun kondisi dan lingkungan sosialnya memberikan batasan dalam hidupnya.

Sesuai dengan pernyataan Semiun (2006) yang menyatakan bahwa individu yang

mengaktualisasikan diri berarti ia mampu menerima keadaan diri tanpa keluhan

karena kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki. Individu tersebut juga tidak

malu atau merasa bersalah terhadap kelemahan yang dimiliki.Di sisi lain, Hurlock

(1974) mengemukakan beberapa hal yang dapat mendukung seseorang untuk

mencapai penerimaan diri yakni adanya pemahaman mengenai diri sendiri, tidak

adanya stres emosional, sikap sosial yang mendukung, terbentuknya harapan yang

realistis, tidak adanya hambatan lingkungan, banyaknya keberhasilan yang telah

dicapai, pola asuh masa kecil yang baik, adanya konsep diri yang stabil, dan

adanya dukungan sosial yang membantu individu tersebut memahami dirinya

(15)

mengenai diri sendiri (Hurlock, 1974). Namun, pemahaman ini tidak didapatkan

begitu saja, tetapi berdasarkan penilaian-penilaian yang diberikan terhadap

dirinya sendiri dan bantuan dari lingkungan untuk mengembangkan potensi dalam

dirinya. Dengan kata lain, selama ada dukungan dari lingkungan yang membantu

dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dan memahami diri sendiri sesuai

dengan realita yang ada, maka pemahaman diri dapat lebih mudah dimiliki.

Berdasarkan hal tersebut, individu yang mengalami kekerasan emosi akan

mengalami hambatan dalam melakukan penerimaan diri karena kekerasan emosi

yang didapatkan dari lingkungan sosial menunjukkan bahwa individu tersebut

mengalami hambatan dalam lingkungan dan tidak mendapatkan dukungan untuk

memahami dirinya sendiri. Bahkan, kekerasaan emosi yang dialami dapat

memberikan stres emosional kepada korbannya. Besarnya stres emosional yang

diterima ketika mengalami kekerasan emosi membuat beberapa korban kekerasan

emosi berusaha untuk melupakan pengalaman tersebut dari hidupnya dan terus

berfokus pada keinginan dirinya. Hal ini tampak pada kutipan wawancara berikut:

I don’t care. Ya lu mau apa kek, mau jungkir balik, mau ngapain di luar sana ya I don’t care. Pokoknya gua udah nggak peduli lagi, kalo dia minta maaf di depan gua sambil sujud-sujud, walaupun gua tau dia nggak mungkin ngelakuin itu.. tapi ya terserah. Maksudnya.. gua udah maafin dia udah lama tapi kalo dia mohon-mohon supaya gua balik lagi baik kayak dulu.. sorry ya, gua udah tau jahatnya dia itu kayak gimana, jadi gua nggak perlu dia lagi. Toh gua udah punya temen-temen yang mau nerima gua apa adanya kayak mereka ini.” (Komunikasi personal, Juni 2015)

Individu tersebut menunjukkan bahwa ia mampu menjalani hidup dan

mewujudkan keinginannya selama kekerasan emosi tersebut tidak lagi ia rasakan.

(16)

dirinya untuk membantu mengembangkan dirinya. Hal ini terjadi karena

pengalaman kekerasan emosi yang terjadi ketika masa kecil membuat korbannya

kesulitan dalam membangun kepercayaan dengan orang lain karena besarnya stres

emosional yang ia rasakan (Wright, 2012).

Selain itu, tuntutan-tuntutan yang diberikan ketika terjadi kekerasan emosi

biasanya juga tidak sesuai dengan diri individu tersebut (Jantz & McMurray,

2013). Hal ini membuat individu tersebut mengalami kesulitan dalam memahami

dirinya sehingga terbentuk harapan yang tidak realistis karena tuntutan-tuntutan

yang diberikan juga tidak sesuai dengan diri individu tersebut. Kekerasan emosi

yang terjadi di keluarga dalam bentuk tuntutan-tuntutan dari orang tua kepada

anaknya yang tidak sesuai dengan diri anak juga mampu menjadi penghambat

individu dalam memahami dirinya. Hal ini terlihat dari kutipan wawancara

berikut ini:

“…dari dulu aku selalu dimarahin kalo nonton atau main. Pokoknya habis sekolah ikut les tambahan, nyampe rumah disuruh belajar lagi ngulang pelajaran, terus mandi sama makan malam, habis itu disuruh ngerjain PR. Tiap belajar selalu diawasi, bisa dipukuli kalo ketahuan nggak belajar atau ketiduran. Jadi semua kukerjain biar nggak kena marah aja” (Komunikasi personal, Januari 2015)

Pola asuh yang diterapkan orang tua juga dapat mengandung

tuntutan-tuntutan yang pada akhirnya memberikan sebuah tekanan pada anak untuk

memenuhi tuntutan tersebut. Pola asuh seperti ini dapat menghambat seseorang

dalam menerima dirinya sendiri karena ia menjalani hidupnya hanya untuk

memenuhi tuntutan orang lain bukan untuk mengoptimalkan dirinya. Ketika

(17)

memberontak dan berperilaku tidak baik yang menunjukkan buruknya

penyesuaian diri pada individu tersebut (Setyono, 2007). Hal ini terlihat dalam

kutipan wawancara berikut:

“…yang kuisi satu, pilihan pertamaku, Hukum, USU, dia nyuruh, ada.. apa.. ditanyalah, kubilang apa, Hukum, ya udah asal ada Ekonominya, katanya. Tapi nggak kubikin, pilihan keduaku, apa, ekonomi, jadi kubikin, Hukum UI untuk, untuk ngejek. Terus, kukasih mereka. Marah-marahlah terus merepet-merepet itu, ini kau bikin dua, kan udah dibilang Ekonomi, ah kek mananya gini, gini, gini. Ya udah, nggak, urusku..” (Komunikasi personal, Juni 2015)

Sesuai dengan kutipan diatas, tuntutan yang terlalu besar dalam kekerasan

emosi yang dilakukan juga dapat membuat mereka melakukan pemberontakan

untuk mewujudkan keinginan dirinya dan menunjukkan ketidaksanggupan dalam

memenuhi tuntutan tersebut. Pemahaman mengenai diri sendiri pada akhirnya

juga dapat membuat individu tersebut melakukan perlawanan terhadap tuntutan

yang diberikan dalam bentuk pemberontakan walaupun kekerasan emosi sudah

diterima menjadi bagian dari dirinya.

Hal ini kemudian membuat peneliti tertarik untuk melihat dinamika yang

terjadi pada diri individu yang mengalami kekerasan emosi sehingga mereka

mencapai tahap penerimaan diri yang ditunjukkan dengan pemberian respon yang

berbeda terhadap kekerasan emosi yang dialami dan tidak lagi menunjukkan

dampak negatif dari kekerasan emosi yang dialami terhadap perkembangan diri

individu tersebut. Selain itu, beberapa dampak kekerasan emosi yang telah

diuraikan diatas membuat peneliti menyadari pentingnya melihat kekerasan emosi

dari sisi yang berbeda sehingga tidak memberikan dampak terhadap kehidupan

(18)

mata dan sering kali tidak disadari terutama pada lingkungan yang memiliki

hirarki dalam menjalankan sistem masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena dan beberapa teori yang dikemukakan di atas, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana dinamika penerimaan

diri pada korban kekerasan emosi.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika penerimaan kekerasan emosi

yang dialami individu dalam lingkungan sosial dan faktor-faktor yang

mempengaruhi munculnya perbedaan respon terhadap kekerasan emosi yang

dialami.

D. MANFAAT

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat teoritis berupa:

a. masukan dan sumber informasi bagi ilmu psikologi terutama pada bidang

klinis mengenai tahapan penerimaan diri pada individu yang mengalami

kekerasan emosi.

b. masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh

mengenai konsep diri dan kekerasan emosi yang terjadi dalam lingkungan

(19)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa:

a. untuk mengidentifikasi dampak dari kekerasan emosi

b. untuk melihat proses penerimaan diri pada individu yang mengalami

kekerasan emosi

c. untuk mengidentifikasi hal-hal yang membantu individu dalam

memberikan respon terhadap kekerasan emosi yang dialami dalam

lingkungan sosial

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang latar belakang mengenai kekerasan

emosi yang terjadi dalam lingkungan sosial dan dampaknya

terhadap individu yang menjadi korban dalam kekerasan emosi.

Pada bagian ini juga berisi fenomena yang dilihat peneliti baik

dari fenomena kekerasan emosi yang terjadi maupun pada korban

kekerasan emosi yang tidak lagi mengalami dampak dari

kekerasan emosi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian, rumusan masalah mengenai penerimaan diri pada

korban kekerasan emosi, tujuan penelitian, manfaat penelitian

bagi perkembangan ilmu psikologi dan manfaat yang dapat

(20)

menjadi korban dalam kekerasan emosi, serta sistematika

penulisan dalam laporan penelitian ini.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan

penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan fokus penelitian-penelitian

mengenai kekerasan emosi dan dampaknya bagi individu yang

mengalami kekerasan emosi, tahapan dan faktor-faktor yang

mendukung pencapaian penerimaan diri, serta uraian singkat

mengenai penerimaan diri dan kaitannya dengan kekerasan emosi

berdasarkan teori yang sudah ada. Pada bagian ini juga akan

dilampirkan kerangka berpikir hingga muncul permasalahan yang

ingin diteliti.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini, jumlah dan kriteria responden dalam penelitian,

metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam

penelitian, alat bantu yang digunakan dalam proses pengumpulan

data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian yang telah

dijalankan.

BAB IV : Hasil Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan data masing responden penelitian yang diambil

dari lapangan ketika penelitian dilakukan. Masing-masing

(21)

kekerasan yang dialami dan dinamika hingga tidak lagi

merasakan dampak dari kekerasan emosi yang masih berlangsung

hingga saat ini. Kemudian, data masing-masing responden akan

digabungkan untuk memudahkan dalam melihat perbandingan

antar responden. Pada bagian akhir terdapat pembahasan

mengenai data yang telah dikumpulkan berdasarkan teori-teori

yang berkaitan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan berdasarkan

temuan-temuan di lapangan dan analisis yang telah dilakukan pada ketiga

responden penelitian. Kemudian saran ditambahkan bagi

masyarakat yang mengalami kekerasan emosi dan bagi peneliti

selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan yang didapat dengan menggunakan model indeks tunggal akan menghasilkan saham portofolio optimal yang nantinya dapat.. digunakan

Ekstrak buah mahkota dewa memberikan nilai zona hambat yang tinggi karena mampu menyaring senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin lebih banyak, sehingga mampu

[r]

Strategi revitalisasi Kawasan Sungai Kalimas di Surabaya Utara ditujukan untuk meningkatkan vitalitas kawasan tersebut, baik melalui kegiatan sosial budaya maupun

KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN ETNOBIOLOGI BIDANG PERTANIAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Gejala-gejala tersebut telah dipelajari sebelumnya oleh Newton sehingga menghasilkan Hukum II Newton, yang menyatakan bahwa jika resultan gaya yang bekerja pada suatu benda

Penelitian ini tentang metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam anak berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surakarta yang bertujuan untuk menjelaskan metode

2. Afektif: Memahami dan tahu cara mengelakkan diri daripada dijangkiti penyakit berjangkit.. Psikomotor: melakukan kemahiran hamburan, hayunan dan rangkaian dengan cara yang