• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Haji Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Haji Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Darah

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan millimeter air raksa (mm Hg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer total (Guyton, 2007).

Tekanan darah (TD) = Curah Jantung (CJ) x Tahanan Perifer Total (TPT)

Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah akan meningkat jika curah jantung dan tahanan perifer total meningkat (Guyton, 2007).

2.1.1 Sistem renin – angiotensin – aldosteron

Selain kemampuan ginjal untuk mengatur tekanan arteri melalui perubahan volune cairan ekstrasel, ginjal juga memiliki mekanisme yang kuat lainnya untuk mengatur tekanan. Mekanisme ini adalah sistem renin – angiotensin – aldosteron (Gambar 2.1) (Guyton, 2007).

(2)

Renin adalah suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Kemudian, enzim ini meningkatkan tekanan arteri melalui beberapa cara, untuk membantu mengoreksi penurunan awal tekanan (Guyton, 2007).

Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif yang disebut prorenin di dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) di ginjal. Sel JG merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak di dinding arteriol aferen, tepatnya di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik di dalam ginjal menyebabkan banyak molekul prorenin di dalam sel JG terurai dan melepaskan renin. Sebagian besar renin memasuki aliran darah ginjal dan kemudian meninggalkan ginjal untuk bersirkulasi ke seluruh tubuh. Walaupun demikian, sejumlah kecil renin tetap berada dalam cairan lokal ginjal dan memicu beberapa fungsi intrarenal (Guyton, 2007).

(3)

suatu enzim yaitu Angiotensin Converting Enzim (ACE) yang terdapat di endothelium pembuluh paru (Guyton, 2007).

(4)

2.2 Hipertensi 2.2.1 Patofisiologi

Hipertensi merupakan penyakit heterogen dengan penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Kasus hipertensi sekunder kurang dari 10% kasus, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau renovascular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder antara lain pheochromocytoma, syndrome Cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteron primer, kehamilan, obstruktif sleep apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amfetamine, sibutramin, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine. (Susalit, dkk., 2008).

Corwin (2001) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada tiga variabel yaitu, laju jantung (heart rate), volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf simpatis pada nodus SA. Peningkatan laju denyut jantung kronik sering disertai hipertiroidisme, namun peningkatan laju denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak menimbulkan hipertensi (Astawan, 2002).

(5)

maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan volume diastolik akhir meningkat sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkatan preload (tahanan yang harus dihadapi saat darah dikeluarkan dari ventrikel) biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan darah sistolik (Astawan, 2002)

Peningkatan Total Peripheral Resistance (TPR) yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan saraf simpatis pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

(6)

2.2.2 Epidemiologi

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah di atas normal. Penyakit ini diperkirakan telah menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5%, dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat juga berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini seringkali disebut silent killer karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital. Penyakit ini memerlukan biaya pengobatan yang tinggi dikarenakan alasan seringnya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang (Depkes, RI., 2006).

Data WHO (2011) dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik. Diperkirakan pada tahun 2025 kasus hipertensi terutama di negara berkembang akan mengalami peningkatan sekitar 80% dari 639 juta kasus di tahun 2000, menjadi 1,15 milyar kasus. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melaporkan bahwa prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun keatas di Indonesia cukup tinggi yaitu mencapai 31,7% dimana penduduk yang mengetahui dirinya menderita hipertensi hanya 7,2% dan yang minum obat antihipertensi hanya 0,4%.

2.2.3 Klasifikasi Hipertensi

(7)

2003, klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (≥ 18 tahun) terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC 7 (2003) Klasifikasi TD TDS (mmHg) TDD (mmHg) Rekomendasi follow-up

Normal* <120 <80 Cek kembali dalam 2

tahun

Prehipertensi** 120-139 80-89 Cek kembali dalam 1 tahun

Hipertensi

tingkat1 140-159 90-99 Konfirmasi dalam 2 bulan

Hipertensi tekanan darah yang terlalu rendah juga dapat mengakibatkan masalah jantung dan membutuhkan bantuan dokter.

3. Tanda ** yaitu prehipertensi merupakan keadaan dimana tidak memerlukan medikasi, namun termasuk pada kelompok beresiko tinggi untuk menjadi hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke. Individu dengan prehipertensi tidak memerlukan medikasi, tetapi dianjurkan untuk modifikasi pola hidup sehat yang mencakup penurunan berat badan, mengurangi asupan garam, berhenti merokok dan membatasi minum alkohol (Jeffery, 2008).

2.2.3.1 Hipertensi Esensial

(8)

kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas, dan lain-lain (Nafrialdi, 2011).

2.2.3.2 Hipertensi Sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat Tabel 2.2). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada Tabel 2.2. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.

Tabel 2.2 Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi

Penyakit Obat

 Penyakit tiroid atau paratiroid

 Kortikosteroid, ACTH  Estrogen (biasanya pil KB

dengan kadar estrogen tinggi)

(9)

2.2.4 Manifestasi Klinis

Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak, dan jantung.

Gejala seperti sakit kepala, epistaksis, pusing, dan migren dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi primer meskipun tidak jarang tanpa gejala. Pada survei hipertensi di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi. Pada penelitian Gani dan kawan-kawan di Sumatera Selatan, pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering dijumpai, setelah gejala lain seperti mimisan, sukar tidur, dan sesak nafas. Penemuan ini tidak jauh berbeda dengan laporan Harmaji dan kawan-kawan, yang juga mendapatkan keluhan pusing, rasa berat di tengkuk, dan sukar tidur sebagai gejala yang paling sering dijumpai pada pasien hipertensi. Rasa mudah lelah dan cepat marah juga banyak dijumpai sedangkan mimisan jarang ditemukan.

(10)

koma. Timbulnya gejala tersebut merupakan petanda bahwa tekanan darah perlu segera diturunkan (Susalit, dkk., 2001).

2.3 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:

2.3.1 Terapi Nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi (Depkes, RI., 2006).

(11)

2.3.2 Terapi Farmakologi

Menurut Joint National Committee (JNC) 7 obat-obat antihipertensi baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Pilihan terapi hipertensi dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Depkes, RI., 2006).

Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC 7 (Jeffery, 2008).

Target tekanan darah tidak tercapai (<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg untuk diabetes atau penyakit ginjal kronik

(12)

Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan oleh JNC 7 adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit diabetes, jantung koroner dan ginjal kronis, serta <120/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit disfungsi ventrikel kiri (Dipiro, et al., 2008). Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke memiliki algoritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.3.

(13)

Menurut JNC 8 (2014), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi. JNC 8 menyarankan target tekanan darah yang lebih tinggi dibanding guidline sebelumnya, dan mengurangi penggunaan beberapa tipe obat antihipertensi. Bukti saat ini menyarankan bahwa target tekanan darah sistolik <140 mmHg yang direkomendasikan JNC 7 pada sebagian besar pasien sangat rendah dan tidak menunjukkan manfaat yang berarti. Rekomendasi JNC 8 ini didasarkan pada beberapa RCT (Randomized Clinical Trial) yang didapatkan bahwa dengan melakukan terapi pada tekanan darah <150 mmHg untuk usia ≥60 tahun sudah

(14)

Gambar 2.4 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi (James, et al., 2014)

Pada pasien usia ≥18 tahun dengan diabetes atau penyakit ginjal kronis,

terapi awal dimulai dengan menurunkan tekanan darah <140/90 mmHg, target tekanan darah ini lebih tinggi dibandingkan dengan JNC 7 yaitu <130/80 mmHg. Terapi lini pertama dibatasi pada empat kelas antihipertensi yaitu: diuretik tiazid,

Calcium Channel Blocker (CCB), Angiotensin Converting Enzim inhibitor

(15)
(16)

Tabel 2.3 Perbandingan anatara JNC 7 (2003) dengan JNC 8 (2014) Target terapi Menetapkan tujuan terapi

yang berbeda untuk hipertensi

Terapi obat Merekomendasikan 5 kelas antihipertensi untuk

pemilihan antara 4 kelas obat tertentu (ACEI atau ARB,

(17)

Tabel 2.3 (Lanjutan)

Terapi obat antihipertensi tertentu untuk pasien dengan indikasi

Para ahli membuat tabel obat dan dosis yang digunakan dalam percobaan hasil.

Batasan topik Memfokuskan pada beberapa masalah (metode pengukuran dan agen federal, tidak ada sponsor resmi oleh organisasi manapun yang harus diambil. (James, et al., 2014)

2.4 Obat Antihipertensi

Antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi. Pembagian kelompok obat antihipertensi adalah sebagai berikut:

2.4.1 Diuretik

(18)

a. Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+, K+ dan Cl- di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl- yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan bumetamida.

b. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+ dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid.

c. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat golongan diuretik osmotik adalah mannitol, sorbitol, gliserin, dan isosorbid.

(19)

e. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Efek samping diuretik umumnya berupa hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Depkes, RI., 2006).

2.4.2 Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (ACEi)

ACEi menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, enalapril, ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Fauci, et al., 2008). 2.4.3 Antagonis Kalsium

(20)

menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, et al., 2008).

2.4.4 Penghambat Reseptor Angiotensin (ARB)

ARB bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi. Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes, RI., 2006).

2.4.5 Penghambat Reseptor Beta (β blocker)

Penghambat β menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah

jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara

(21)

penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2

terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih

banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat β

yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Depkes, RI., 2006).

Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada

penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan

meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati.

Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauci, et al., 2008).

2.4.6 Penghambat Reseptor Alfa (α blocker)

Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di jantung sedangkan reseptor α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang

(22)

penghambat reseptor α1 selektif. Obat-obat ini bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pelepasan katekolamin pada sel otot jantung, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping yang tidak disukai dari penghambat reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan dan palpitasi (Depkes, RI., 2006). 2.4.7 Agonis α2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks

baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension, yaitu peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba (Depkes, RI., 2006).

2.5 Kepatuhan

2.5.1 Pengertian Kepatuhan

(23)

biasanya digambarkan sebagai persentase jumlah obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum obat dalam jangka waktu tertentu (Osterberg, 2005).

2.5.2 Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Kepatuhan

Menurut Osterberg (2005), kepatuhan pasien terhadap pengobatannya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi:

a. Faktor demografi

Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah, dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan tingkat kepatuhan yang rendah terhadap rejimen pengobatan.

b. Faktor psikologi

Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap rejimen pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. Sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makan yang dialami pasien dikaitkan dengan ketidakpatuhan.

c. Faktor sosial

(24)

d. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan modifikasi

Penyakit kronik yang diderita pasien, rejimen obat yang kompleks dan efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan pada pasien. Penelitian pada pasien hipertensi menunjukkan kepatuhan yang lebih tinggi pada pasien dengan rejimen pengobatan yang sederhana dibandingkan dengan pengobatan yang kompleks.

e. Faktor yang berhubungan dengan f. tenaga kesehatan

Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga kesehatan, seperti Dokter menyebabkan penyampaian informasi menjadi kurang sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan. Keterbatasan tenaga kesehatan lain, seperti Apoteker, waktu dan keahlian yang dimiliki Apoteker juga berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai penggunaan obat sehingga cenderung meningkatkan ketidakpatuhan pasien. 2.5.3 Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan

Menurut Osterberg (2005), tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua metode, yaitu:

a. Metode langsung

Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat atau metabolit obat di dalam darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam tubuh. Metode ini umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadap penolakan pasien.

(25)

Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, .menggunakan kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat pengambilan kembali resep obat.

2.5.4 Metode Meningkatkan Kepatuhan

a. Pemberian edukasi kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya mengenai penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan secara individu maupun kelompok, dan dapat diberikan melalui tulisan, telepon, email, atau dating ke rumah.

b. mengefektifkan jadwal pendosisan melalui penyederhanaan rejimen dosis harian, menggunakan kotak pil untuk mengatur jadwal dosis harian, dan menyertakan anggota keluarga berpartisipasi dalam meningkatkan kepatuhan pasien untuk minum obat.

c. meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan (Osterberg, 2005).

(26)

Gambar

Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC 7 (2003)
Tabel 2.2 Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC 7 (Jeffery, 2008).
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia Jasa dari Panitia Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi Nomor 086/PAN-PL/KONST-DM/2012 tanggal 4 Juli 2012 untuk Pekerjaan Perbaikan

Ketua Panitia Pengadaan

 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas,sistematis dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan

 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan

Berdasarkan Penetapan Pengadaan Langsung nomor: : 06/PAN-PL/HCL-DIPA/2012 tanggal 30 November 2012 untuk pekerjaan Pengadaan Hidrolic Car Lift Penelitian Mobil Listrik Nasional

Ketua Panitia Pengadaan

Selain kegiatan ekonomi, pendidikan juga menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya kontak bahasa masyarakat, karena kebanyakan guru/pendidik merupakan pendatang

Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran, atau.. Memastikan involusi uterus