• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat, terdiri dari tiga tahapan kegiatan: Tahap I : Pra-Penelitian (September 2008); Tahap II : Survey lapang (Oktober ~ Desember 2008), dan; Tahap III: Pengolahan dan analisis data (Januari ~ April 2009).

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah Peta Citra Digital Rupabumi skala 1 : 25 000, Peta Tematik (Peta Tata Batas skala 1: 10 000, Peta Administratif skala 1 : 25 000 dan Peta Hidrologi skala 1 : 15 000). Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pengumpulan dan pengelohan data terdiri dari : Global Positioning System (GPS), kompas, clinometer, hagahypsometer, Altimeter, roll meter (50 m), phy-band, digital camera, perangkat komputer dengan software ArcView 3.3 dan Microsoft Excel 2007.

(2)

3.3. Rancangan Penelitian 3.3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini terdiri dari data spasial dan data survey. Data spasial terdiri dari citra satelit, peta rupa bumi dan pustaka terkait lainnya dari berbagai sumber dan lembaga/instansi berupa hasil-hasil survey dan penelitian seperti, laporan tahunan, dan publikasi lainnya yang relevan.

Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Spasial

No. Jenis Data Sumber Data Keluaran (Out Put) 1. Peta Citra Digital

Rupa Bumi

BAKOSURTANAL Cibinong

Informasi topografi, slope, dll.

2. Peta Administratif BP3D Kabupaten Manokwari

Informasi batas administrasi, dll.

3. Peta Tata Batas BKSDA Provinsi Papua Barat

Informasi tata batas kawasan

4. Peta Hidrologi BAKOSURTANAL Cibinong dan BKSDA Propinsi Papua Barat

Informasi badan-badan air dan lainnya

Data survey lapang terdiri dari : data vegetasi (jenis, jumlah, tinggi dan diamater batang, diameter tajuk serta koordinat letak pohon), letak plot pengamatan dan kondisi fisik lahan (letak, kemiringan, elevasi, debit air dan sebagainya) serta ground check terhadap hasil analisis citra.

3.3.2. Tahapan Penelitian

Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini secara ringkas digambarkan pada Gambar 5.

(3)

PRA PENELITIAN PENGUMPULAN DATA PENGOLAHAN & ANALISIS DATA REKOMENDASI

Gambar 5. Tahapan Penelitian

Pengumpulan Data dan Informasi Koreksi Geometrik Mosaik Cropping Analisis Spasial & Analisis Statistik Digitasi Klasifikasi Analisis Vegetasi STRUKTUR & KOMPOSISI VEGETASI DTA MODEL SPASIAL SEBARAN, TUTUPAN, KERAGAMAN & PROFIL Data Biofisik

Vegetasi Lahan

Peta Tematik & Citra Rupa Bumi SELESAI SELESAI MULAI PENENTUAN KRITERIA & INDIKATOR PENENTUAN UNIT SAMPLING Pengumpulan Data dan Informasi Data Spasial

(4)

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Penentuan Unit Sampling

a. Penentuan unit sampling didasarkan pada lokasi sumber air yang berasal dari data sekunder dan peninjauan awal lokasi penelitian sebagai acuan di dalam kegiatan survey lapang. Penentuan lokasi unit sampling ini melalui analisis spasial menggunakan layer-layer citra rupa bumi yang terkait dengan parameter unit lahan yang menjadi acuan, yaitu kelas lereng, kelas hutan dan jarak dari mata air. Berdasarkan acuan parameter tersebut, maka dibuatkan matriks unsur parameter yang berisi kriteria lokasi sampel. Selanjutnya dilakukan pembobotan dan penentuan lokasi sampel sesuai unsur parameter dengan penetapan lokasi sampel adalah lokasi yang memenuhi kriteria ketiga unsur parameter di atas.

2. Penetapan Unit Sampling

Penentuan unit sampel didasarkan pada kriteria yang dibangun sesuai dengan kondisi lapang, tujuan, dan bersifat representatif. Unit sampling ditentukan dengan mengacu pada 19 titik mata air yang tersebar di dalam kawasan TWA Gunung Meja dengan melakukan analisis pola spasial terhadap parameter unit lahan yang terdiri dari kelas lereng (slope), kelas hutan (kelompok vegetasi) dan radius dari mata air.

A. Kelas Lereng (slope)

Kriteria kelerengan (slope) dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Slope1:datar – agak curam dengan kemiringan 0 ~ 25 %; dan

b. Slope2: curam –sangat curam dengan kemiringan >25 %.

Pengelompokkan di atas berdasarkan kriteria kelas lereng (slope) pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kriteria Kelas Kelerengan (Slope)

No. Kelas Lereng (%) Kriteria

1. 0 ~ 8 Datar

2. 8 ~ 15 Landai

3. 15 ~ 25 Agak curam

4. 25 ~ 40 Curam

(5)

B. Kelas Hutan (Kelompok Vegetasi)

Berdasarkan kondisi kawasan, maka vegetasi kawasan hutan tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelas hutan, yaitu : kelas hutan alam (V1) dan kelas hutan

tanaman (V2), dimana :

a. Kelas hutan alam (V1) adalah hutan yang tumbuh secara alami tanpa campur

tangan manusia dan terdiri dari hutan campuran (heterogen).

b. Kelas hutan tanaman (V2) adalah hutan yang secara sengaja ditanami dan

dipelihara terdiri dari satu atau lebih jenis pohon dan bersifat homogen. C. Radius Mata Air

Jarak dari mata air dikelompokkan menjadi 2 (dua) berdasarkan radius perlindungan kawasan mata air yakni minimal 200 meter (berdasarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1990), yaitu jarak I (J1) : 0 ~ 200 meter dan jarak II (J2) di luar radius 200

~ 400 m.

Dari hasil penggabungan (overlay) dan analisis layer citra terhadap ketiga parameter di atas, maka diperoleh matriks unit sampling yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Matriks Unit Sampling berdasarkan Kelerengan (Slope), Vegetasi (V) dan Radius Mata Air (J)

Kelerengan Slope1 Slope2

Jarak/Vegetasi V1 V2 V1 V2

J1 S1(Slope1V1J1) S2(Slope1V2J1) S3(Slope2V1J1) S4(Slope2V2J1)

J2 S5(Slope1V1J2) S6(Slope1V2J2) S7(Slope2V1J2) S8(Slope2V2J2)

Keterangan :

Slope1 : Slope dengan kemiringan 0 ~ 25 % Slope2 : Slope dengan kemiringan >25 %

V1 : Kelas Hutan Alam V2 : Kelas Hutan Tanaman

J1 : Radius dari mata air antara 0 - 200 meter J2 : Radius dari mata air 200 ~ 400 meter

Berdasarkan analisis pola spasial ketiga unit lahan di atas, maka diperoleh enam unit sampling yang terpilih dengan karakter parameter unit lahan yang berbeda beserta koordinat titik ikatnya seperti pada Tabel 4.

(6)

Tabel 4. Atribut Unit Sampling Lokasi Penelitian Terpilih

Koordinat Titik Ikat (UTM) No. Sampling

Unit Bujur Timur Lintang Selatan Slope (%) Kelas Hutan Jarak Mata Air (m) 1. S1 397.579,77 9.906.361,71 0 - 25 Hutan Alam 200 2. S2 397.912,34 9.904.681,33 >25 Hutan Alam 200 3. S3 396.422,83 9.906.318,79 >25 H. Tanaman 200 4. S4 398.010,54 9.906.294,32 0 - 25 Hutan Alam 200 - 400 5. S5 397.035,69 9.905.883,01 >25 Hutan Alam 200 - 400 6. S6 396.836,18 9.906.165,24 >25 H. Tanaman 200 - 400

Sumber: Data Primer, 2008

Letak dan sebaran keenam titik ikat unit sampling pada kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat pada Gambar 6.

S3

S6

S5

S2

S1 S4

Gambar 6. Peta Sebaran Unit Sampling dan Model Spasial Parameter Unit Lahan: Kelas Hutan, Kelas Slope dan Radius dari Titik Mata Air Pada Taman Wisata Alam Gunung Meja

(7)

3.4.2. Metode Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi serta keragaman kondisi ekosistem. Analisis vegetasi menggunakan metode survei garis berpetak secara sistematik (Line Plot Systematic Sampling Method) yang penempatannya dilakukan secara purposive mewakili unit lahan (tipologi) kawasan. Ukuran masing-masing petak penelitian adalah seluas radius 200 m pada titik ikat sampel terpilih di atas (6 titik sampel). Jumlah jalur pengamatan pada setiap titik sampel terdiri dari 4 jalur pengamatan dengan panjang tiap jalur 200 m yang dibuat saling tegak lurus dengan masing-masing titik pangkal jalur bersimpul/bertemu pada titik ikat petak penelitian (Gambar 7).

Gambar 7. Letak Jalur dan Plot Pada Unit Sampling

Plot pengamatan yang digunakan berbentuk bujursangkar terdiri dari empat ukuran plot sesuai fase pertumbuhan vegetasi (semai, pancang, tiang dan pohon) seperti pada Tabel 5. Plot-plot pengamatan diletakkan sepanjang jalur pengamatan dengan jarak

Jalur IV Jalur II Jalur III

200 m

Titik Ikat Unit Sampling

Jalur I Plot 1 5 9 2 3 4 6 7 10 11 8 12 14 15 16 Arah aliran 13

(8)

antar titik pusat plot 50 m. Jumlah plot pengamatan pada setiap jalur adalah 4 plot. Plot-plot tersebut diletakkan secara bersarang (nesting Plot-plot) seperti pada Gambar 8. Rincian jumlah plot yang digunakan adalah :

1. Jumlah Plot Tiap Tingkat Pertumbuhan Per Unit Sampel : 1 Jalur X 4 Plot X 4 Jalur = 16 Plot

2. Jumlah Plot Tiap Tingkat Pertumbuhan Pada Seluruh Petak Sampel : 16 Plot per Unit Sampel X 6 Unit Sampel = 96 Plot

3. Jumlah Plot Seluruh Tingkat Pertumbuhan (TP) Pada Seluruh Unit Sampel (PS): 16 Plot per PS X 4 TP X 6 Petak Sampel = 384 Plot

Bentuk jalur dan penempatan plot pengamatan yang digunakan disajikan pada Gambar 8. 50 mtr 20 mtr 200 mtr Plot Tkt Pohon Plot Tkt Tiang Plot Tkt Pancang Plot Tkt Semai As Jalur Pengamatan

(9)

Klasifikasi pengamatan vegetasi dan ukuran plot pengamatan yang digunakan dikelompokkan berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2005) pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Vegetasi dan Ukuran Plot Pengamatan

No. Tingkat Pertumbuhan Ukuran Plot (m) Kriteria 1. 2. 3. 4. Semai (seedling) Pancang (sapling) Tiang (poles) Pohon (trees) 2 x 2 5 x 5 10 x 10 20 x 20 Tinggi <1,5 m

Tinggi >1,5 m dan diameter <10 cm Diameter 10 – 20 cm

Diameter >20 cm

3.4.3. Inventarisasi Faktor-faktor Penyebab Penurunan Fungsi Daerah Tangkapan Air

Dalam mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi struktur dan komposisi vegetasi tersebut di dalam mempengaruhi fungsi kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja sebagai daerah tangkapan air (catchment area), dilakukan survey di dalam jalur-jalur dan plot-plot pengamatan serta kawasan secara keseluruhan dan wawancara langsung dengan para petugas lapangan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Manokwari, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Papua-Maluku dan masyarakat sekitar kawasan. Selain itu dilakukan analisis spasial menggunakan citra satelit (citra Quick Bird yang diperoleh dari program Google Earth) berdasarkan perubahan tutupan lahan yang mengindikasikan perubahan fungsi di luar fungsi utama kawasan dan perhitungan luas perubahan tersebut serta pengecekan lapang (ground check).

3.5. Pengolahan dan Analisis Data 3.5.1. Analisis Vegetasi

A. Tingkat Dominansi Jenis

Tingkat dominansi jenis ditentukan melalui kegiatan analisis vegetasi (Soerianegara dan Indrawan 2005; Indriyanto 2006) yang bertujuan untuk menentukan struktur (bentuk), komposisi (susunan) dan tingkat kepadatan (densitas) serta jenis-jenis vegetasi indikator daerah tangkapan air (DTA) dengan asumsi merupakan jenis-jenis dominan yang ditemukan, yaitu jenis dengan Indeks Nilai Penting (Important Value Index) atau INP rata-rata tertinggi. Analisis dilakukan dengan menggunakan program

(10)

Microsoft Excel 2007. INP digunakan untuk menentukan parameter tingkat dominansi atau penguasaan spesies dalam komunitas yang diperoleh dari penjumlahan Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), dimana tingkat permudaan (Seedling/Sapling) dan tingkat dewasa (Poles/Trees) memiliki nilai maksimum INP = 300 % (KR + FR + DR). Nilai-nilai tersebut di atas diperoleh melalui persamaan Soerianegara dan Indrawan (2005) berikut :

1. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) :

Jumlah individu spesies ke-i Kerapatan spesies ke-i K = --- KR-i =

---Luas seluruh petak contoh Kerapatan seluruh spesies

2. Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (FR) :

Jumlah petak contoh ditemukan spesies ke-i Frekuensi spesies ke-i F = --- FR-I =

---Jumlah seluruh petak contoh Frekuensi seluruh spesies

3. Dominansi (D) dan Dominansi Relatif (DR) :

Luas basal area species ke-I Dominansi spesies ke-i D = - DR-I =

---Luas seluruh petak contoh Dominansi seluruh spesies

Identifikasi jenis vegetasi dilakukan di lapangan menggunakan jasa Pengenal Jenis Pohon (PJP). Jenis-jenis yang tidak teridentifikasi, selanjutnya dibuatkan spesimen guna identifikasi lebih lanjut di herbarium (Herbarium Manokwariense – Universitas Negeri Papua dan Herbarium BPK Papua-Maluku).

B. Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Diversity Index)

Indeks keanekaragaman jenis (Species Diversity Index) adalah ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang merupakan penggabungan kekayaan dan kesamaan jenis (species richness and evenness). Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan stabilitas di dalam suatu ekosistem dan tingkat interaksi yang terjadi antar suatu jenis dengan komunitas dan lingkungannya. Hal ini juga dapat memberikan gambaran tentang kondisi dan tingkat kerusakan vegetasi di dalam suatu ekosistem hutan melalui gambaran tingkat kestabilan ekosistem, keanekaragaman spesies

(11)

dan proses suksesi yang terjadi. Penentuan indeks keanekaragaman jenis ditentukan berdasarkan Indeks Shannon (Shannon index) berdasarkan Shannon dan Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) serta Waite (2000) menurut persamaan berikut:

s ni ni H’ = - Σ (---)ln (---) i = 1 n n dimana ; H : Indeks Shannon

ni : Jumlah individu suatu spesies

n : Total jumlah individu di dalam sampel s : Jumlah jenis yang diamati di dalam sampel

Besaran nilai indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988), Waite (2000) dan Fachrul (2007) didefinisikan sebagai berikut :

1. Nilai H’ > 3 : Menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu areal adalah melimpah atau tinggi.

2. Nilai H’ 1 < H’ < 3 : Menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu areal adalah sedang.

3. Nilai H’ < 1 : Menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu areal adalah sedikit atau rendah.

3.5.2. Analisis Spasial Sebaran Vegetasi

A. Analisis Spasial Model Sebaran Jenis Vegetasi

Analisis spasial pola sebaran jenis dilakukan untuk mengetahui tipe penyebaran jenis yang terjadi secara alami dan pola sebaran yang terbentuk. Analisis ini merupakan perpaduan data hasil pengamatan dan pengukuran lapangan berupa data analisis vegetasi dan data parameter unit sampling serta peta citra yang dilakukan dan ditampilkan secara digital dalam bentuk peta sebaran dan peta-peta lainnya yang dapat menggambarkan perubahan sebaran dan keragaman vegetasi secara spasial dengan menggunakan software komputer (Jaya, 2007). Data analisis vegetasi terdiri dari: keragaman jenis per tingkat pertumbuhan, jumlah individu per jenis, jumlah plot kehadiran individu per jenis, diameter batang, tinggi batang bebas cabang, dan tinggi batang keseluruhan. Sedangkan

(12)

parameter unit lahan terdiri dari: letak, bentuk dan ukuran: Unit Sampling (US), transek/jalur dan sub plot; jarak, letak/koordinat (UTM), slope, dan altitude). Data-data tersebut selanjutnya dikelompokkan dan diklasifikasikan berdasarkan kodefikasi menggunakan nomor identifikasi (identification number atau ID-Number) untuk dijadikan data atribut seperti pada Tabel 6 agar dapat dipadukan dengan layer-layer citra rupa bumi untuk menghasilkan model spasial dan peta sebarannya dengan menggunakan software program ArcView 3.3 beserta beberapa program extensions terkait lainnya seperti: 3D Analys, Edit Tools Ver3.5, Graticules and Measured Grids, Image Analysis, Legend Tools, Projection Utility Wizard, Spatial Analyst, Square Buffer Wizard, XTools Extension, dan DNR Garmin ArcView (Jaya, 2002, 2007 dan Prahasta, 2004). Data atribut merupakan data hasil pengolahan dan analisis data lapang yang berbentuk tabular baik yang berasal dari program Microsoft Excel atau program lainnya yang di-export ke dalam bentuk data dbf atau txt agar dapat dianalisis oleh Program Arc View.

Tabel 6. Sistem Kodefikasi Dalam Penentuan ID-Number

No. Identifikasi Rumus ID ID Number Ʃ Digit Nilai Maks. Keterangan

1. Unit

Sampling

1000+No US 1000 4 6 Digit ke-4menunjukkan

nomor unit sampling 2. Sub Plot (ID US x

1000) + No. Sub Plot

1000000 7 16 Digit ke-6dan7

menunjukkan nomor sub-plot

3. No. Pohon (ID Sub Plot x 100) + No. Urut Pohon

100000000 9 99 Digit ke-8dan9

menun-jukkan no. urut pohon pada masing2sub-plot

Penentuan letak sebaran individu pohon secara spasial pada setiap unit sampling di dalam peta sebaran individu didasarkan pada data letak individu di dalam masing-masing plot pengamatan dengan sistem salib sumbu {absis (x) dan ordinat(y)} dengan memiliki minimal satu titik referensi koordinat GPS (titik ikat), baik koordinat UTM ataupun geodetik. Dengan memiliki salah satu titik koordinat lokasi di dalam unit sampling, maka kita dapat menentukan koodinat lainnya berdasarkan konversi data jarak yang tersedia dari setiap letak obyek yang ada (individu, dan plot). Alur struktur data (algoritma) dalam menganalisis dan membuat model sebaran jenis vegetasi dapat dilihat pada Gambar 9.

(13)

Gambar 9. Alur Struktur Data (Algoritma) Analisis dan Model Sebaran Jenis Vegetasi

B. Analisis Spasial Tutupan Tajuk

Analisis spasial tutupan tajuk didasarkan pada hasil pengukuran diameter tajuk dan posisi letak individu yang diproyeksikan secara tegak lurus terhadap bidang dasar (lantai hutan). Persentasi penutupan tajuk merupakan hasil perbandingan atau rasio proyeksi luasan tajuk (berdasarkan diameter tajuk) terhadap bidang datar atau lantai hutan secara tegak lurus dengan luasan tertentu. Hasil proyeksi kedua bidang tersebut akan saling tumpang tindih (overlay) dan menghasilkan luasan perpotongan (intersect), yang bila diperbandingkan dengan luasan keseluruhan areal, maka akan menghasilkan persentasi tutupan tajuk (crown coverage persentage). Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software ArcView 3.3.

Data Plot & Individu Vegetasi Data Koordinat & Azimuth Data Jarak No. Plot No. Sub Plot Nama Jenis Diameter Batang Tinggi Batang Diameter Tajuk

Koordinat Titik Ikat & Arah

Letak Individu Dalam Plot (x,y)

ID Plot ID Sub Plot ID Pohon Jarak Arah Koordinat Koordinat Letak Individu Data Atribut Data Export Hasil Analisis & Model Spasial

(14)

C. Analisis Spasial Tipe Sebaran Vegetasi

Berdasarkan Ludwig dan Reynolds (1988) dan Waite (2000), analisis spasial tipe sebaran vegetasi dilakukan berdasarkan metode distribusi jenis vegetasi pada masing-masing plot pengamatan di dalam masing-masing-masing-masing unit sampling. Berdasarkan data analisis vegetasi (data sebaran jenis), maka dapat ditentukan pola sebaran tiap jenis yang terbentuk berdasarkan rasio nilai ragam atau variance (σ2) dan rata-rata populasi atau mean (μ) dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Bila : σ2= μ, maka pola sebarannya membentuk pola acak (random). 2. Bila : σ2< μ, maka pola sebarannya membentuk pola seragam (uniform). 3. Bila : σ2> μ, maka pola sebarannya membentuk pola berkelompok (cluster).

Nilai ragam (σ2) dan rata-rata (μ) populasi ditentukan berdasarkan formula berikut (Bradu dan Gabriel (1974) dalam Mattjik dan Sumertajaya, 2002):

N μ = 1/N

Ʃ

(xi)2 dan; i = 1 N σ2 = 1/N

Ʃ

(xi- μ)2 i = 1

dimana; μ : rata-rata populasi σ2

: ragam populasi N : ukuran populasi

xi: nilai pengamatan populasi, dan

Dari hubungan nilai ragam (σ2) dan rata-rata populasi (μ) hasil tersebut di atas, selanjutnya dapat dilakukan uji statistik sebaran peluang untuk mengetahui pola sebaran secara umum yang terjadi di dalam suatu komunitas berikut :

1. Sebaran Poisson dengan σ2= μ, untuk pola acak (random): em

P(x) = mx ---x!

dimana : P(x) : kemungkinan suatu unit sampling terdapat x individu ; e : 1,71818 (konstanta logarithma natural)

m : rata-rata individu per unit x! : bilangan faktorial x sampling;

(15)

2. Sebaran Binomial Negatif (-) dengan σ2> μ, untuk pola berkelompok (cluster): m x k + x -1 m k P(x) = _________ ____________ 1 + (___) m + k x! (k-1)! k m2 m dengan : k = dan F = ---S2 –m (m + k)

dimana : P(x) : kemungkinan suatu unit sampling terdapat x individu

m : rata-rata individu/plot (jumlah sampel dibagi jumlah plot)

k : tingkat pengelompokkan yang terjadi (pengelompokkan meningkat bila k mendekati nol, dan bila k > 8 cenderung menjadi sebaran Poisson

S2 : ragam (varians)

F : Konstanta bebas, dan;

3. Sebaran Binomial Positif (+) dengan σ2< μ, untuk pola seragam (uniform): k! P(x) = ____________ pxq(k – x) x! (k - x)! m2 m dengan : k = --- dan p = ---m - S2 k

dimana : P(x) : kemungkinan suatu unit sampling terdapat x individu

m : rata-rata keseluruhan (jumlah sampel dibagi jumlah plot)

k : tingkat pengelompokkan yang terjadi (pengelompokkan meningkat bila k mendekati nol, dan bila k > 8 cenderung menjadi sebaran Poisson

S2 : ragam (varians)

p : rata-rata keseluruhan (jumlah sampel dibagi jumlah plot)

q : kemungkinan terdapat suatu jenis individu di dalam satu unit sampling

Selanjutnya menurut Waite (2000), dapat dilakukan uji statistik lanjut untuk menerima atau menolak hipotesis ketiga sebaran uji di atas dengan rasio nilai ragam sampel (S2) dan rata-rata sampel (ẍ) melalui penentuan indeks sebaran sampel (index of dispersion atau ID) melalui Persamaan 1 berikut:

(S2)

ID = --- ... (Persamaan 1) ()

(16)

Hasil pengujian indeks sebaran (index of dispersion atau ID) tersebut di atas selanjutnya dapat dipakai untuk menguji hipotesis Ho: menerima pola sebaran acak (random) atau H1 : menolak pola sebaran acak (random) dengan kaedah Ludwig & Reynolds (1988) dan Waite (2000) berikut :

1. Bila nilai ID = 1, sebaran populasi berbentuk acak (random).

2. Bila nilai ID > 1, sebaran populasi berbentuk kelompok (cluster), dan; 3. Bila nilai ID < 1, sebaran populasi berbentuk seragam (uniform).

Apabila jumlah sampel (N) kurang dari 30 (N<30), maka dilakukan uji peubah khy-kuadrat (Persamaan 2).

N

X2= ID (N – 1) = [Ʃ (xi– ẍ

)

2 ... (Persamaan 2)

i=1

X2 : nilai hitung khy-kuadrat ID : index dispersion

N : jumlah total individu pada unit sampling

xi : jumlah individu pada unit sampling ke-i : rata-rata sampel

Hasil pengujian nilai peubah khy-kuadrat (X2) di atas mengikuti kaedah Ludwig & Reynolds (1988) dan Waite (2000) berikut :

1. Jika nilai X2 dengan N-1 terletak antara nilai tabel khy-kuadrat pada level kepercayaan 0,975 – 0,025 (P > 0,05), maka sebaran acak (random) diterima dengan

S2= ẍ.

2. Jika nilai X2 dengan N-1 derajat bebas lebih besar dari nilai tabel khy-kuadrat pada level kepercayaan 0,975, maka sebaran berkelompok (cluster) diterima denganS2>ẍ. 3. Jika nilai X2 dengan N-1 derajat bebas lebih kecil dari nilai tabel khy-kuadrat pada

level kepercayaan 0,025, maka sebaran seragam (uniform) diterima denganS2< ẍ. Apabila jumlah sampel (N) lebih besar dari 30 (N>30), maka dilakukan uji peluang Sebaran Normal (Persamaan 3).

|d| = √(2 X2) - √(2(N-1)-1) ... Persamaan (3)

|d| : nilai mutlak sebaran normal X2: nilai hitung Chy-square

(17)

Jika |d| < 1,96 maka pola sebaran yang terbentuk adalah acak (random), jika |d| < -1,96 maka pola sebaran yang terbentuk adalah seragam (uniform), dan apabila |d| > 1,96 maka pola sebaran yang terbentuk adalah berkelompok (cluster).

D. Profil Hutan

Profil hutan bertujuan untuk menggambarkan kondisi tegakan secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal dapat memberikan gambaran stratifikasi yang terbentuk pada tegakan dengan tampilan bentuk dan letak atau posisi tajuk terhadap batang (bebas cabang) sesuai dengan skala yang diinginkan. Secara horisontal dapat memberikan gambaran sebaran jenis tegakan. Pembuatan profil berdasarkan parameter tegakan dan lingkungannya, yaitu koodinat letak individu, diameter batang (dbh), tinggi batang (bebas cabang dan keseluruhan), ukuran tajuk (tinggi, diameter/jari-jari, bentuk), dan kemiringan slope (arah utara, selatan, timur, barat) terhadap titik pusat plot. Dalam penentuan letak koodinat (UTM atau berdasarkan jarak terhadap garis lintang dan bujur) sebaran individu dapat didasarkan pada minimal satu titik koordinat UTM di lapangan.

Dalam penelitian ini penggambaran profil memanfaatkan program extension terbaru ciptaan Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr. Guru Besar Bidang Remote Sensing Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yaitu extension IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala). Extension IHMB merupakan bagian dari tools program yang dikoneksikan (link) pada Program ArcView 3.3. Pembuatan profil hutan program ini didasarkan pada parameter tegakan dan lingkungan di atas. Data-data tersebut dibuat dalam bentuk tabulasi dan di-export dalam bentuk dbf atau txt file untuk dijadikan data atribut dalam pembuatan profil hutan. Dalam data atribut ada beberapa tipe data yang harus terdapat di dalam data atribut, yaitu: koordinat pohon (x_pohon dan y_pohon), tinggi total pohon dengan nama field ”Tt” (mutlak), jari-jari tajuk (nama field Rata2) dan informasi slope arah utara, timur, selatan dan barat dari titik pusat plot dengan nama field Sl_u, Sl_t, Sl_s dan Sl_b. Selanjutnya berdasarkan data atribut tersebut dapat diproses menggunakan extension IHMB untuk tampilan profil hutan dan analisis lainnya. Bentuk alur struktur data (algoritma) model profil hutan berdasarkan extension IHMB sama dengan alur struktur data model sebaran jenis vegetasi (Gambar 10). Namun pada model profil extension IHMB terdapat nama field khusus yang harus mutlak terdapat pada tabel atribut. Gambar 11 menunjukkan contoh field profil hutan extension IHMB.

(18)

(Lingkaran Merah) Yang Harus Terdapat Pada Tabel Atribut (Sumber: Jaya, 2008)

Manfaat program extension ini selain pembuatan profil hutan digunakan dalam membuat bagan sampling, grid petak tebangan, clipping area, penambahan data atribut, penentuan luas tutupan tajuk, penggabungan tabel (joint), melakukan analisis spasial potensi tegakan (spatial mean) dan penghitungan statistik tabel-tabel atribut. Bentuk ikon pulldown menu dari extension IHMB dan fungsinya seperti pada Gambar 9.

1. Tentang pencipta 7. Menambah atribut titik dengan atribut polygon 2. Membuat disain sampling 8. Menggabungkan atribut

3. Membuat grid 9. Memamnggil tabel teks atau dbase 4. Summarise 10. Menghitung rata-rata spasial

5. Membuat profil pohon 11. Melakukan perhitungan statistik sederhana 6. Clipping theme 12. Rangkuman jumlah plot yang dibutuhkan dalam

IHMB (P 34/2007) untuk dijadikan pedoman dalam menentukan jumlah plot yang diperlukan

Gambar 11. Bentuk Ikon Pulldown Menu Extension IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala)

(19)

Taman Wisata Alam Gunung Meja disajikan pada Gambar 12. Data Atribut Layer Citra Pengelompokkan dan Analisis Data Parameter Lahan Letak Proses Overlay dan Analisis Spasial Pemberian ID Number Perhit. Koodinat UTM Parameter Vegetasi Analisis Vegetasi Jarak Slope Model Spasial Sebaran,Tutupan dan Profil Hutan

Vegetasi Daerah Tangkapan Air

(Catchment Area)

Gambar 12. Tahapan Kajian Model Spasial Vegetasi Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja

Gambar

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 5. Tahapan Penelitian
Tabel 4. Atribut Unit Sampling Lokasi Penelitian Terpilih
Gambar 7. Letak Jalur dan Plot Pada Unit Sampling
+5

Referensi

Dokumen terkait

Analisis bioteknik dilakukan dengan menganalisis data bioteknik kawasan pada kegiatan pengelolaan pertambakan yang ada saat ini. Pengelolaan pertambakan ini mengacu pada

Untuk menentukan lokasi tersebut pada KRC, dilakukan beberapa tahap penentuan lokasi pengambilan data iklim mikro (Gambar 5). Pada Gambar 5, terlihat bahwa

Data primer dan data sekunder mengenai kesesuaian fisik dan fungsi ekologis RTH khususnya pohon pada lanskap CBD Sentul City terhadap angin dan radiasi matahari

Model optimasi yang dirumuskan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi jumlah unit pengolahan ikan skala menengah secara optimal di kabupaten

Proses ini merupakan perealisasian hasil sintesis baik berupa block plan kawasan dan juga sintesis berupa deskripsi yang lebih rinci untuk kemudian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan, baik kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa tengah maupun kawasan hutan konservasi

a) Par_inf. sf2, berisi parameter – parameter yang digunakan sebagai masukan kalibrasi beserta rentang nilainya. b) Observed.sf2, berisi data hasil observasi yang

Pada penelitian ini Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk melihat hubungan antar parameter akustik dengan beberapa parameter fisika sedimen yang diduga dapat