• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian masyarakat Indonesia, banyak penulis dan sarjana yang telah mengkaji

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perhatian masyarakat Indonesia, banyak penulis dan sarjana yang telah mengkaji"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik yang sangat menarik untuk diperbincangkan.Sebagai salah satu etnik pendatang, mereka cukup banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia, banyak penulis dan sarjana yang telah mengkaji etnik ini baik dari bidang sosial, ekonomi maupun budaya.

Ketertarikan penulis untuk mengkaji etnik Tionghoa berawal dari pertemuan penulis dengan beberapa keturunan Tionghoa yang bisa menggunakan bahasa Toba dan Pakpak tetapi tidak bisa menggunakan bahasa asli mereka sendiri, ada juga yang memakai marga dari etnik lain seperti marga dari batak Toba dan Simalungun. Selain itu penulis juga tertarik melihat keaktifan mereka dalam bidang perdagangan yang membuat mereka menjadi orang yang sukses dibidang ekonomi.Faktor lainnya yaitu keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia yang pernah mengalami masa-masa yang berat dan sulit, tidak jarang mereka mendapatkan tekanan dan perlakuan yang diskriminatif baik dalam lingkungan masyarakat juga dalam kehidupan birokrasi Indonesia.1

1

Ketegangan, kebingungan, keraguan seakan-akan “harus” menjadi bagian hidup etnis Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari ia harus berhati-hati, harus memperhitungkan banyak faktor, dalam berbicara, dalam makan-minum, dalam urusan dengan birokrasi, dalam berdagang dan sebagainya ia tidak boleh sembarangan. Ada banyak “awas ini” dan “awas itu”. Ia seakan-akan berjalan dalam jalan yang di penuhi rambu-rambu. Lihat I. Wibowo, Harga yang Harus Dibayar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. XXi.

(2)

2 Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara sudah terjadi sangat lama, berdasarkan berita Cina yang ditulis oleh Fa Hian disebutkan bahwa etnik Tionghoa sudah datang ke Indonesia sejak sekitar abad ke-4 M. Mereka ada yang datang untuk mengunjungi kerajaan Sriwijaya untuk belajar agama Budha, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Kalingga yang diperintah oleh ratu Sima dan berdagang dengan beberapa kerajaan yang ada di Nusantara.2

Etnik Tionghoa menyebar hampir di seluruh kawasan Nusantara seperti di Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Selatan.Hadir dan berkembangnya etnik Tionghoa di Indonesia tidak hanya di wilayah kota-kota besar, tetapi sampai juga ke wilayah pedesaan dan kota-kota kecil.Salah satu wilayah yang menjadi tempat tinggal mereka yaitu Sidikalang.Sidikalang merupakan salah satu kecamatan dan sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Sidikalang memiliki masyarakat yang heterogen, berbagai etnik tinggal di daerah ini seperti Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Jawa, Minang, Tionghoa dan lain-lain.

Di Sidikalang kita dapat menemui wilayah tempat tinggal etnik Tionghoa berada di pusat kota yaitu daerah Simpang Empat. Pada daerah ini, rumah mereka berjejer sepanjang jalan dan daerah ini merupakan pusat aktivitas berbagai kegiatan perdagangan, bentuk rumah sekaligus ruko menjadi ciri tempat tinggal mereka. Dapat dikatakan hampir semua penduduk etnik Tionghoa membuka usaha

2

(3)

3 perdagangan di sana seperti usaha bengkel, pembuat roti, tukang jahit, tukang mas, gilingan kopi, kelontong, toko elektronik dan lain-lain.

Sidikalang bukan daerah pertama yang didatangi etnik Tionghoa ini ketika meninggalkan Tiongkok, kakek mereka telah terlebih dahulu sampai ke daerah lainnya seperti Pematang Siantar dan Berastagi.Dalam mata pencaharian banyak mereka yang sukses dan kaya dari perdagangan, namun pada awal kedatangannya mereka belum memiliki banyak modal/uang, sebagian dari mereka ada yang awalnya hanya pekerja upahan pada masyarakat setempat.Mereka melewati masa-masa sulit untuk mengumpulkan modal yang kemudian yang dipakai untuk mengembangkan usahanya.3

Etnik Tionghoa adalah salah satu etnik yang berpengalaman dalam berhubungan dengan sesama etnik, maupun dengan etnik lain. Relasi sosial dengan etnik lain telah mengajarkan kepada mereka dari berbagai pengalaman historis tentang bagaimana memanfaatkan relasi tersebut bagi diri dan kelompoknya.4 Hal ini memang ada benarnya jika melihat banyak mereka yang sukses terutama dibidang

3

Wawancara, Jon Antoni (45 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 03 Januari 2015, seorang narasumber yang masih keturunan Tionghoa, beliau menjelaskan dulu kakeknya datang tanpa membawa uang atau harta. Pertama sekali kakeknya tinggal di Berastagi dan menikah dengan seorang perempuan suku Jawa, namun karena alasan ekonomi yang kurang baik mereka pindah ke Saribu Dolok, disinilah mereka mendapatkan marga yaitu marga Sinaga dan tinggal menetap. Tapi Pak Jon tidak tinggal lama di sana setelah memiliki modal, beliau pindah menetap ke Dairi dan membuka usaha menjadi seorang toke kopi dan jagung. Beliau menikah dengan seorang perempuan dari etnik Pakpak.

4

Suwardi Lubis, Komunikasi Antarbudaya Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik Cina, Medan: USU Press, 1999, hal. 179.

(4)

4 ekonomi yang tidak lepas dari cara adaptasi mereka. Adaptasi ialah penyesuaian terhadap lingkungan5, hal ini sangat diperlukan bagi setiap pendatang baru agar dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Etnik Tionghoa ini sendiri ternyata tidak homogen, walaupun mereka berasal dari negara yang sama namun mereka juga terdiri dari berbagai suku. Hal inilah yang mempengaruhi sikap atau tingkah laku mereka ketika mereka sampai di perantauan, misalnya orang Hakka atau Khek dikenal dengan keuletannya, mereka adalah kelompok yang miskin saat meninggalkan Cina, hanya berbekal pakaian yang melekat di badan. Untuk menyambung hidup mereka bekerja mengumpulkan goni botot, pemulung barang-barang bekas, pedagang kelontong keliling sampai berhasil menjadi pedagang besar Selain itu ada juga orang Tio Ciu yang dikenal berwatak keras, gigih, kasar dan temperamental. Kemudian, ada orang Hokkian yang berhasil di bidang perdagangan eceran, pengusaha losmen dan penjaga toko. Ada juga suku Puntis atau Cantonese, pada zaman perkebunan di Deli kebanyakan perempuan suku ini berprofesi sebagai pelacur, selain itu mereka juga banyak yang berprofesi sebagai tukang mas, tukang kayu, tukang jahit dan pedagang kain.6

5

KBBI, Adaptasi, http:/kemdikbud.go.id/kbbi.index.php, (akses 27 Mei 2015).

6

Nasrul Hamdani, Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960, Jakarta: LIPI Press, 2013, hal. 52

(5)

5 Dalam hal kekerabatan banyak ditemukan pernikahan antara etnik Tionghoa dengan etnik lain dan juga pemakaian marga dari etnik Toba7. Sedangkan bidang ekonomi, mereka pintar melihat peluang bisnis yang bagus untuk dikembangkan.Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, orang Tionghoa inilah dulunya yang pertama sekali membuka berbagai jenis perdagangan di Sidikalang, misalnya pabrik sepatu, pembukaan kilang padi, jagung dan kacang, pembukaan bioskop, toko roti dan lain-lain.

Adaptasi ini telah membawa perubahan pada kehidupan mereka, misalnya ketika seorang Tionghoa masuk ke dalam satu marga, maka mereka akan diberi lahan tanah oleh yang punya marga untuk dikelola. Selain itu dengan pemakaian marga tersebut mereka juga harus mengikuti adat-astiadat dari suku yang dipakai marganya 8 . Meskipun etnik Tionghoa ini telah beradaptasi dengan masyarakat setempat, tetapi mereka tetap menggunakan kebudayaan aslinya. Mereka tetap melakukan berbagai macam kebudayaan mereka seperti bahasa, kebiasaan pemujaan leluhur, perayaan imlek, cap gomeh dan lain-lain.

7 Etnik Toba merupakan etnik mayoritas di Sidikalang, biasanya etnik Tionghoa akan mengambil marga dari etnik yang mendominasi seperti Toba. Mengenai keberadaan etnik Toba di Kabupaten Dairi Budi Agustono dalam “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial-Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003”, Disertasi, belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada (UGM), 2010., menjelaskan bahwa etnik Pakpak merupakan etnik asli atau etnik yang pertama sekali mendiami Dairi, namun migrasi orang Toba membuat etnis Pakpak ini akhirnya tersingkir baik dalam bidang sosial maupun politik, dengan kata lain etnik Toba ialah pendatang yang akhirnya mendominasi.

8Wawancara, Alin (52 tahun), Jl. Sisingamangaraja Bawah, Sidikalang tanggal 18 Mei 2015, beliau ialah seorang keturunan Tionghoa asli, ayahnya dulu mengambil marga Silaban kemudian diturunkan pada anak-anaknya.

(6)

6

Keberadaan etnik Tionghoa ini sendiri telah mendapat perhatian khusus dari pemerintah, hal ini terbukti dengan di keluarkannya berbagai macam kebijakan mengenai keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia.Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah indonesia terhadap etnik Tionghoa berbeda-beda setiap periode kepemimpinan pemerintahan Indonesia, masa pemerintahan Soekarno misalnya dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang pedagang keturunan Tionghoa sampai ke pedesaan.9Hal inilah yang menyebabkan ketika dikeluarkannya peraturan tersebut etnik Tionghoa banyak yang pergi meninggalkan Sidikalang namun sebagian ada yang tetap tinggal di Sidikalang dan memilih kewarganegaraan Indonesia.10

Pada masa pemerintahan Soeharto peraturan yang dikeluarkan lebih sulit lagi yakni melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melarang segala yang berbau Tionghoa pada tahun 1967, maka etnik Tionghoa dituntut harus melakukan adaptasi yang lebih gigih lagi.Mereka dipaksa untuk „meng-Indonesiakan‟ nama-nama mereka, dilarang mempraktikkan budaya Tionghoa dan dikucilkan dari kehidupan politik. Kewajiban

9

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984, hal. 140

10

Kelas pedagang Tionghoa yang WNA dan WNI berada dalam kesulitan setelah ada larangan berdagang buat orang asing pada tahun 1959 dan hal ini talah menyebabkan larinya sekitar 100 ribu orang Tionghoa ke Daratan Cina dari Indonesia. Lihat Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang Indonesia Asal Cina, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 17.

(7)

7 untuk mengganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, pembatasan dalam melakukan aktivitas keagamaan dan menggunakan bahasa Mandarin secara terbuka, memberikan tanda kepada masyarakat bahwa „identitas Tionghoa‟ ini merupakan sesuatu yang mengancam hingga perlu dihapus.11

Adapun alasan pemilihan judul ini adalah untuk mengkaji etnik Tionghoa di kecamatan Sidikalang terutama dalam hal adaptasi antara tahun 1967-2000.Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan mereka baik itu dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya, apalagi hal ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu 33 tahun. Penulis memilih mengawali tahun 1967 karena pada tahun tersebut dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang segala yang serba Tionghoa di Indonesia termasuk agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Tahun 2000 menjadi batas penelitian karena merupakan tahun ketika Abdurrahman Wahid saat menjabat sebgai Presiden RI menghapus Inpres No.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan

11

Jemma Purdey, Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999, Bali: Pustaka Larasan, 2006, hal. 32. Berbicara tentang identitas, Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (St. Leonard, NSW, Australia: Allen & Unwin, 1994) menyebutkan sebagian etnik Tionghoa menganggap identitas mereka sebagai suatu beban atau kutukan. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1967 setelah trauma peristiwa G-30-S/PKI berhasil menyembunyikan identitas “Tionghoa” mereka dan menempatkan diri sebagai orang Indonesia atau setidaknya orang Tionghoa yang telah ber-„asimilasi penuh‟ menjadi orang Indonesia. Beberapa orang yang pernah diwawancarai dengan bangga mengatakan banyak orang tidak tahu bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa. Lihat I. Wibiwo, Harga yang Harus Dibayar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 183.

(8)

8 keputusan presiden No.6 tahun 2000 yang mengijinkan perayaan imlek, barongsai, cap gomeh dilakukan dengan terbuka dan sah.12

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, untuk mempermudah penulis dalam penelitan maka perlu dibuat pembatasan masalah. Dalam penelitian “Etnik Tionghoa

di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi Tahun Tahun 1967-2000” pokok

permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah kedatangan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang? 2. Bagaimana etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang sebelum tahun 1967? 3. Bagaimana eksistensi etnik Tionghoa menghadapi politik asimilasi

pemerintah Orde Baru di Sidikalang ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang dicapai.Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan sejarah kedatangan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang.

12

Yusie liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina, Jakarta: Djambatan, 2000, dalam kata pengantar.

(9)

9 2. Untuk menjelaskan etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang sebelum

tahun 1967.

3. Untuk menjelaskan eksistensi etnik Tionghoa dalam menghadapi politik asimilasi pemerintah Orde Baru di Kecamatan Sidikalang.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat memberi pengetahuan baru tentang keberadaan dan dinamika etnik Tionghoa. 2. Aspek praktis yang mungkin diharapkan dari hasil penelitian ini adalah

dapat dijadikan masukan sebagai sarana informasi bagi pemerintah daerah maupun provinsi dalam hal pengambilan kebijakan dan keputusan demi meningkatkan toleransi antaretnik.

3. Sebagai bahan referensi bagi para peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam suatu penelitian tinjauan pustaka sangatlah penting dan diperlukan sebagai bahan referensi penulis dalam melakukan penulisan tersebut dan dapat berfungsi sebagai pendukung penelitian sehingga hasil akhir dari penulisan tersebut tidak keluar dari rumusan-rumusan masalah yang telah dibuat.

Adapun buku-buku yang dipakai peneliti sebagai bahan acuan pendukung penelitian yang akan dilakukan antara lain Nasrul Hamdani dalam bukunya

Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasa Tiga Kekuasaan 1930-1960 tahun 2013

(10)

10 kedatangan perantau-perantau Tionghoa, strategi adaptasi, tentang perkebunan dan dinamika masyarakat kolonial yang bertahan sebagai ciri masyarakat kota berciri segregasi, diskriminasi, eksploitasi, penciptaan kelas sosial yang didasarkan pada pengelompokan ekonomi di Medan. Buku ini yang sangat mendukung untuk penelitian penulis karena membantu penulis melihat sejarah kedatangan dan strategi adaptasi yang dilakukan orang Tionghoa.

Buku karangan Jemma Purdey Kekerasan Anti-Tionghoa Di Indonesia

1966-1999 tahun 2006, subjek buku ini adalah kekerasan anti-Tionghoa di Indonesia

selama masa transisi sosial, politik dan ekonomi.Dalam buku ini terlihat jelas sentimen anti-Tionghoa yang berujung pada aksi kekerasan. Buku ini tentu akan sangat membantu penulis untuk melihat kondisi minoritas Tionghoa ditengah situasi politik, sosial, ekonomi pemerintahan Orde Baru.

Buku sumber selanjutnya yaitu karangan Chang-Yau Hoon yang bejudul

Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto Budaya, Politik dan Media tahun 2012,

menyajikan kritik terhadap sejumlah konsep dan teori tentang asimilasi dan multikulturalisme dalam kaitannya dengan identitas budaya dan politik. Buku ini akan membantu penulis karena buku ini akan menceritakan lebih terperinci pergumulan orang-orang Tionghoa di Indonesia-khususnya dalam perjuangan mendapatkan kembali hak-hak mereka. Secara khusus pembahasan difokuskan di bidang budaya, politik dan media massa.

(11)

11 Selanjutnya Yusiu Liem dalam bukunya Prasangka Terhadap Etnis Cina

sebuah Intisari tahun 2000, menerangkan etnis Tionghoa di Indonesia dan

aspek-aspek sosialnya serta latar belakang sejarah permasalahan etnis Tionghoaa.Selain itu buku ini juga membahas politik-ekonomi dan minoritas Tionghoa sampai identitas setelah 33 tahun Rejim Soeharto.Buku ini tentu sangat membantu penulis menjelaskan permasalahan-permasalahan dan dilema yang dihadapi warga etnis Tionghoa di Indonesia terutama di bawah pemerintahan Orde Baru.

Buku Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia tahun 2000 editor I. Wibowo merupakan kumpulan karangan dari berbagai sarjana dari berbagai disiplin ilmu mencoba mengungkapkan kegalauan dan kecemasan yang hampir seluruhnya tersimpan di dalam batin orang Tionghoa namun secara fisik pergulatan itu tidak kelihatan. Berbagai topik seperti kegalauan orang Tionghoa mencari sejarahnya, kegalauan mencari identitas , kagalauan dalam pergaulan dan berbagai kegalauan lainnya yang tidak pernah diijinkan atau jarang ditampilkan ke luar oleh etnis Tionghoa. Melalui buku ini penulis berharap bisa untuk melihat permasalahan Tionghoa dari sudut pandang etnis Tionghoa itu sendiri.

Penulis juga menjadikan buku karangan Leo Suryadinata Dilema Minoritas

Tionghoa tahun 1984.Buku ini membicarakan pandangan pribumi tentang

kebangsaan Indonesia dan minoritas Tionghoa, kemudian membahas perekonomian dan masyarakat Tionghoa Indonesia. Selain itu buku ini juga membahas kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Indonesia terhadap minoritas Tionghoa dan

(12)

12 terhadap RRC. Sebuah buku yang tentunya akan sangat membantu penulis terutama kajian tentang kebangsaan dan kebijakan pemerintah terhadap etnik Tionghoa.

Penulis juga menggunakan tesis karangan I Putu Putra Kusuma Yudha dengan judul Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan

Pupuan Kabupaten Tabanan tahun 2014. Tesis ini membahas perubahan identitas

budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, serta membahas implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Tesis ini membantu penulis melihat budaya Tionghoa berada ditengah budaya etnik lain sehingga memicu terjadinya akulturasi dan asimilasi.

1.5 Metode Penelitian

Di dalam metode penelitian sejarah, ada beberapa teknik ataupun langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis untuk merampungkan tulisan atau skripsi ini. Adapun langkah-langkah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1. Heuristik, yaitu metode pengumpulan data atau sumber melalui studi

kepustakaan, melakukan pengamatan lapangan, ataupun studi wawancara kepada narasumber yang dapat membantu penelitian dan berkaitan dengan judul penelitian yang diteliti. Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti mengumpulkan sumber-sumber pendukung dari buku-buku yang terkait dengan judul penelitian baik yang ada di Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi daerah Sidikalang, perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Universitas Negeri

(13)

13 Medan dan perpustakaan lainnya yang ada di Medan. Selain buku juga berupa karya ilmiah, tesis dan laporan penelitian dari berbagai peneliti dan lain-lain. Dalam pengamatan lapangan, penulis beberapa kali megunjungi daerah tempat tinggal etnik Tionghoa yaitu daerah Simpang Empat, kemudian mengunjungi vihara dan kuburan Tionghoa yang terdapat di desa Bintang kecamatan Sidikalang. Selain itu, penulis juga mengunjungi Balai Pendidikan Sad Paramita yang merupakan tempat khusus untuk belajar aliran kepercayaan Tionghoa, balai ini terdapat di kelurahan Batang Beruh kecamatan Sidikalang. Studi wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas, penulis melakukan wawancara langsung dengan para narasumber di rumah ataupun ditempat kerja.

2. Kritik sumber, merupakan sebuah usaha yang dilakukan peneliti untuk

menyeleksi sumber atau bahan-bahan yang akan dikumpulkan. Setelah sumber-sumber dikumpulkan kemudian diverifikasi melalui kritik, baik kritik ekstern maupun kritik intern. Kritik ekstern digunakan untuk mengetahui tentang kebenaran sumber yang diperoleh, sedangkan kritik intern digunakan untuk menilai kelayakan sumber yang akan digunakan dalam penulisan. Dalam hal ini yang selalu diingat bahwa sumber itu harus dapat dipercaya, ada penguatan saksi mata, benar, tidak dipalsukan, dan handal.

3. Interpretasi merupakan tahap dimana peneliti berusaha menghubungkan data –

data yang didapat di lapangan dengan fakta yang ada. Dalam menganalisa sumber yang diperoleh diperlukan analisa yang lebih bersifat objektif dan ilmiah terhadap

(14)

14 objek yang akan diteliti. Di sini peneliti telah memiliki konsep, ide dan gambaran kerangka acuan untuk menulis, yang selanjutnya akan dituliskan dalam tulisan sejarah yakni pada tahap keempat.

4. Historiografi, setelah semua sumber-sumber yang diperoleh selesai diuji

kebenaran dan kelayakannya, tahap selanjutnya yang akan dilakukan oleh peneliti adalah merampungkan dari hasil laporan yang telah diperoleh menjadi sebuah tulisan yang telah diperoleh dari fakta-fakta dan dituangkan secara sistematis dan kronologis. Dalam melakukan penulisan sejarah aspek kronologis memang perlu diperhatikan agar menghasilkan sebuah tulisan yang bernilai sejarah yang ilmiah dan objektif.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Martojo (1992), dalam program seleksi yang berjangka panjang, nilai heritabilitas suatu sifat dapat mengecil, hal ini disebabkan oleh: (1) seleksi untuk peningkatan

Berdasarkan hasil observasi analitik dapat disimpulkan bahwa karakterisasi morfologi tanaman cabai yang terserang hama kutu kebul (bemisia tabaci) menunjukkan gejala

sesuai dengan ukuran yang dikehendaki 1.4 Menjahit skirt berkasing D Menghasilkan skirt Kemas:  Kedut yang sama rata (kasing)  Hujung benang dikemas- kan 

Besadarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diambil maksud dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana BRI Syariah Kantor Cabang Cirebon mengendalikan risiko pada

Pengakuan Aktiva Tetap Biaya harga perolehan aktiva tetap adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar imbalan lain yang diberikan untuk memperoleh suatu

Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah” adalah suatu penelitian tentang penerapan fungsi-fungsi manajemen terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

Kalo penampilan diatas panggung ya seperti itu mas, tuntutan profesilah, harus pake baju agak seksi, pandai merayu dengan kata-kata mesra kepenyawerlah, hehe, seperti mas tadi

Bisnis adalah Kegiatan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dalam rangka Menghasilkan Sesuatu yang mempunyai nilai (Value)