• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pemerintahan daerah diatur dalam bab tersendiri yaitu dalam Bab VI dengan judul “Pemerintah Daerah”. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, ketentuan mengenai hal itu termaktub dalam Pasal 42-67 dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 pada Pasal 131 dan 132. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, sudah banyak pula peraturan yang dibuat untuk mengatur mengenai persoalan pemerintahan di daerah dan persoalan yang berkaitan dengan soal desentralisasi.1

1

C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Cetakan ke III, (Jakarta: Rineke Cipta, 1991), hlm. 3. Sejak tahun 1903 sampai dengan sekarang, dapat dikemukakan berbagai peraturan seperti di bawah ini, yaitu :

a. Decentralisatie Wet Tahun 1903; b. BestuurS H.ervorming Tahun 1922; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945;

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah;

e. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-Daerah Indonesia Timur; f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

g. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah; h. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960;

i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; j. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; k. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

l. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000;

m. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya;

n. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya;

(2)

Salah satu pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan mengenai pemerintahan daerah adalah kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah yang sejak dulu dianggap sebagai suatu yang niscaya. Penyelenggaraan desentralisasi itu sendiri dalam sejarah Indonesia bahkan telah berlangsung jauh sebelum Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1903.2 Awalnya desentralisasi diatur dalam Regering Reglement (RR)3 yang ditetapkan pada tahun 1854. Regering Reglement ini kemudian diganti dengan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS) tahun 1925. Setelah kemerdekaan, desentralisasi sebagai prinsip penyelenggaraan negara tercantum dalam berbagai ketentuan dasar, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, Pasal 42-67 UUD RIS Tahun 1949, dan Pasal 131 serta Pasal 132 UUDS Tahun 1950. Penjabarannya dituangkan dalam berbagai ketentuan undang-undang tentang pemerintahan daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat undang-undang dasar.

Perubahan yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi kepala daerah/wakil kepala daerah dengan DPRD. Jika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 diatur bahwa yang disebut pemerintah daerah adalah Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan DPRD sehingga DPRD dianggap sebagai lembaga eksekutif maka di dalam

2

G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun Mas NV, 1955), hlm. 23.

3

Regering Reglement sebutan lazim dari Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie, Stbl. 1854 No. 129 yang ditetapkan tanggal 2 September 1854.

(3)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak demikian halnya. Undang-undang itu secara tegas menyebutkan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari kepala daerah/wakil kepala daerah beserta perangkat daerah.4

Pemisahan secara tegas kedua institusi itu menandai dimulainya sistem pemerintahan daerah baru yang dipandang lebih demokratis terutama dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi kedudukan DPRD yang sejajar dan menjadi mitra pemerintahan daerah tetapi pada kenyataannya posisi DPRD sangat kuat karena mengawasi, menilai dan meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah. Tugas dan wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam Undnag-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah terpisah jelas dalam pemerintah daerah sehingga DPRD diharapkan dapat membawa aspirasi masyarakat dan memperjuangkan tuntutan dan kepentingan masyarakat. Peran yang selama ini tunduk pada dominasi pihak eksekutif berubah menjadi pihak yang mengawasi pemerintah daerah.5

Kemudian kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk

4

Mirza Nasution, Perubahan Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hlm. 20.

5

(4)

pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil.6 Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini.7

6

H.A. Kartiwa, Good Local Governance: Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2006), hlm. 1.

7

(5)

Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check and Balances” artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus menerus terhadap kewenangan yang diberikannya. Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Mekanisme “Check and Balances” memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (Legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah mempunyai keberanian untuk menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya kenaikan gaji yang tidak masuk masuk akal, permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang penting. Mekanisme “Check and Balances” ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.8

Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat

8

Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system

(sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih

powerful dari yang lain. Lihat, Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 227.

(6)

negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum peran ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu9:

1. Regulator

Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk urusan-urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan-urusan-urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan);

2. Policy Making

Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan program-program pembangunan di daerahnya;

3. Budgeting

Perencanaan angaran daerah (APBD).

Kemudian dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan kontrol efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut10:

1. Representation

Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”;

2. Advocation

Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang

9

H.A. Kartiwa, Good Local Governance……,Ibid., hlm. 5. 10

(7)

berbenturan satu sama lain. Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai kepentingan tersebut.

3. Administrative Oversight

Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa : “Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.11 Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat 4 disebutkan bahwa : “DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”.

Kemudian fungsi DPRD Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : “DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi 12:

1. legislasi;

11

Lihat Agung Djojosoekarto, Dinamika Dan Kapasitas DPRD Dalam Tata Pemerintahan Demokratis, (Jakarta: Konrad Adeneur Stifrung, 2004), hlm. 235.

12

Lihat Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lihat juga Bivitri Susanti, Binziad Kadafi dan Reny Rawasita Pasaribu, Struktur DPR Yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan, Jakarta, 2005, hlm. 5. Lihat juga dalam http://www.forum-politisi.org/downloads/Struktur_DPR_-_Bivitri_Susanti_2007-05-23_024344.pdf.

(8)

2. anggaran; 3. pengawasan.

Dalam penjelasan disebutkan lebih lanjut bahwa : Huruf a. yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk membentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota. Huruf b. yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Huruf c. yang dimaksud dengan fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan fungsi legislasi di atas, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah diartikan, yakni : Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang tealah mencakup keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD.

Penguatan peran DPRD, baik dalam legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah sangat perlu dilakukan sebagaimana diperlihatkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan level DPRD sejajar dengan

(9)

pemerintah daerah bukan sebagai again atau subordinasi lembaga eksekutif sebagaimana ditampilkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebelumnya.13 Penguatan peran DPRD tersebut adalah suatu hal yang harus didukung dalam penataan ilmu pemerintahan masa kini sebagaimana upaya dalam menghindari sistem pemerintahan yang memberi tekanan kekuasaan.

Kemudian dalam pelaksanaan fungsi legislasi pada DPRD dan dikaitkan dengan hubungannya dengan Pemerintah Daerah tentang pembuatan Perda sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”. Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan

13

(10)

Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang-Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.14 Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda.

Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah

14

Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa Perda dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sedangkan pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Pengawasan ini berwujud penangguhan atau pembatalan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 71).

(11)

menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas.15

Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah pelaksanaannya diatur oleh Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar. Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik.16

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.17

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang

15

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm. 37.

16

Rudy Hendra Pakpahan, Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif, Tesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 6-7.

17

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 37-39.

(12)

dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.18

Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :

Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Ayat (2) : “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”. Ayat (3) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.

Ayat (4) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

18

(13)

Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal:

1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah.

3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah. 5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah.

Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan pengawasan yakni19 :

1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi.

19

(14)

Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 Ayat (1), yang menyatakan: “Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan”. Selanjutnya di dalam Ayat (2) disebutkan bahwa : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.

Ketentuan Pasal 145 Ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi masalah tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah harus berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Selain itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang mesti dipatuhi oleh daerah.

(15)

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah dan Legislatif Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia?

2. Bagaimanakah kedudukan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda?

3. Apa akibat hukum dari hubungan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari hubungan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pembuatan Perda.

(16)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah (Pemerintah Daerah) dan legislatif daerah (DPRD) dalam pembuatan Peraturan Daerah.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah (executive daerah) maupun DPRD (legislative daerah) dalam hal kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam hal pembuatan Peraturan Daerah yang baik.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas kedudukan hukum hubungan eksekutif dan legislatif daerah tentang pembuatan Peraturan Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai grand theory yang didukung oleh midle theory Trias Politica” untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya.

(17)

Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man.20 Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechtstaat)21 ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.22 Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental.23 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut.24 Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam satu tangan.25 Karena itu, sejarah

20

Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (United Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2004), hlm. 9.

21

Disini tidak dibedakan antara konsep “rule of law” dan konsep “rechtstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon,

Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Lihat juga, Ridwan HR,

Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne Termorshuizen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.

22

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hlm. 11.

23

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 57.

24

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 73. 25

(18)

pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).26

Berhubung dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal.27 Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.28

Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of Civil Government”. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain.29

Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit des Lois (The

26

Mohd. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rieneke Cipta, 2001), hlm. 72.

27

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 138.

28

Ibid.

29

John Locke, Two Treaties of Civil Government, (London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960), hlm. 190-192.

(19)

Spirit of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undnag-undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya.30 Konsepsi yang diajarkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.

Jika dibandingkan konsep pembagian kekuasaan Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1785), perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri.31 Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon.32 Sementara pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktek ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord.

Sedikit berbeda dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan

30

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….., Op.Cit., hlm. 152. Bandingkan dengan R. Kranenburg, Ilmu Negara, (Jakarta: Viva Studi, 1967), hlm. 53.

31

Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Elsam, 1997), hlm. 49.

32

Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Model Dasar Kenegaraan Modern,

(20)

politie. Pembagian keempat kekuasaan negara itu kemudian dikenal dengan teori “Catur Praja”.33 Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara.

Kajian lebih jauh atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan pada perbedaan cabang kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya ada tiga cabang kekuasaan di suatu negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.34 Perkembangan hukum tata negara modern (modern constitutional theory) membuktikan, cabang-cabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated.35

Kajian teoretis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke, Montesquieu, dan Vollenhoven lebih kepada hubungan antarcabang kekuasaan tersebut, yaitu apakah masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah

33

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 15.

34

Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan,

Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm. 6.

35

(21)

antara cabang kekuasaan yang satu dengan lainnya, atau diantaranya masih punya hubungan untuk saling bekerja sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya, dapat didalami dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power), pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power), dan check and balances.

Secara umum ”pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia dimaknai (separation of power)36 dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang menyatakan, ”when the legislative and the executive powers are united in the same person, or in the some body of magistrate, there can be liberty”.37 Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang

36

Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.

37

(22)

mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan secara murni38 atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta,39 tidak realistis dan jauh dari kenyataan.40 Karena itu Jimly Asshiddiqie menyatakan41:

“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.

Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak menyatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun secara umum dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan negara yang lain.

38

Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998), hlm. 30.

39

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), hlm. 287.

40

Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17. 41

(23)

Dengan banyaknya kritikan terhadap separation of power, teori Trias Politica dijelaskan dengan teori ”pembagian kekuasaan” (distribution of power atau division of power). Teori ini digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik karena perkembangan praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan dalam pandangna John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan “separation of functions”.42 Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali.

Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai bahawa istilah-istilah separation of power, distribution of power/division of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang menyatakan, the question whetherthe separation of power (i.e. the distribution of power of the various power of government among different organs).43 Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distribution of power. Oleh karena itu, kedua kata

42

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum..., Op.Cit., hlm. 19. 43

(24)

tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.44 Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan check and balances.45 Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powrs and Fourth Branch” Strauss menjelaskan:

“Unlike the separation of powers, the check and balances idea doesn’t suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue”.46

Berdasarkan pendapat Peter L. Strauss tersebut check and balances dalam upaya menciptakan relasi konstitusional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan47 diantara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi tiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, check and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antarcabang kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme check and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.

44 Ibid. 45 Ibid., hlm. 296. 46 Ibid. 47

Bivitri Susanti, Hakim atau Legislator?, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006), hlm. 3.

(25)

Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the law-Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).48

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.49

Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

48

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113.

49

Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 41-42.

(26)

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.

Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas50 : 1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm) 2. Norma Umum (General Norms)

3. Norma Konkret (Concrete Norms)

Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.51 Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti

50

Hans Kelsen, Op.Cit.

51

(27)

pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.52

Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.53

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban-dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah54 :

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

52

Ibid.

53

Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hlm. 31.

54

Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.

(28)

2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.

3) Formell gesetz: Undang-Undang.

4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.55 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.56

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu57 :

1. Undang-undang tidak berlaku surut

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula

55

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia)dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 27.

56

Attamimi, Op Cit., hlm. 309. 57

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo,

Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hlm. 73.

(29)

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori)

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)

7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore)

Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu58 :

1. Asas tingkatan hirarkis

2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang tidak berlaku surut

5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat lex priori)

58

Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 43.

(30)

2. Konsepsi

Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.59

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.60

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :

1. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

59

Solly Lubis, Filsafat Ilmu… Op.Cit., hlm. 80 60

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24.

(31)

Republik Indonesia Tahun 1945.61 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.62

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.63

3. Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota).64

4. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.65

5. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.66

61

Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 53, TLN No. 4389 yang diubah dengan diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

62

Pasal 1 Angka 3, Ibid.

63

Pasal 1 Angka 4, Ibid.

64

Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389

65

Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Op.Cit.

66

(32)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data guna menguraikan kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah, maka jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif.

Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum, teori hukum dan pembentukan asas hukum baru.67 Sedangkan menurut Bagir Manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada.68

2. Sumber Data

Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :69

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah.

2. Bahan Hukum Sekunder

67

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12.

68

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.

69

(33)

Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari hasil karya ilimiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.

2) Penelitian lapangan (field research), penelitian ini dilakukan guna memperoleh data primer tentang pokok-pokok pengaturan mengenai kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang terkait dengan penelitian, yaitu wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Medan serta dengan Anggota DPRD Kota Medan.

(34)

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh.

Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan-aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Muara Sindang Menjadi wil.. Buana Pemaca, Perda No. Buana Pemaca, Perda No. Buana Pemaca, Perda No. Buana Pemaca, Perda No. Buana Pemaca, Perda No. Lengkiti, Perda No. Lengkiti,

Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia sebelum permulaan abad kedua puluh manusia dipandang sebagai barang, benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak kali oleh majikan, hingga

Marcellin dkk juga meneliti akurasi FibroScan pada 173 pasien hepatitis B kronis yang dilakukan biopsi hati dan didapatkan hasil adanya korelasi yang baik antara pengukuran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif yang diterapkan

Menurut Gronroos dalam Ratminko (2005:2) pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris terjadinya pengaruh CEO duality dan interlocking directorship terhadap smoothness laba pada

Maka Nomor dan Suhu akan dikenali sebagai besaran leksik berupa nama variabel yang terdapat pada program tersebut. Sedangkan Var, Integer dan Real

Mengingat bahan material struktur dan konstruksi yang akan digunakan pada bangunan Wahana Wisata Kuliner yang direncanakan adalah material bambu untuk beberapa massa