• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari hari di mal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari hari di mal"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia sedang mengalami pergeseran perilaku berbelanja. Semula mereka berbelanja di pasar tradisional, sekarang sudah mulai banyak merebak menjadi ritel modern. Pergeseran ini ditandai dengan antusiasme masyarakat yang melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari – hari di mal sebagai bentuk modernitas masyarakat. Saat ini, ada sekitar 74 juta masyarakat yang kemampuan berbelanja mencapai US $200 per bulan, dan lebih dari 20 juta yang kemampuan berbelanjanya di atas US $200 dimana mereka disebut kelas menengah atas. Menurut data Kementrian Perdagangan, kapitalisasi bisnis ritel di Indonesia hingga triwulan I/2013 sudah mencapai Rp 5.000 triliun. Angka tersebut tumbuh hingga 400% dibandingkan kapitalisasi lima tahun lalu pada tahun 2008 yang hanya berkisar Rp 1.000 triliun. Peningkatan yang sangat signifikan ini didukung oleh pertumbuhan ekonomi makro serta bertambahnya jumlah masyarakat kelas menengah yang mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat. ( http://fokus.news.viva.co.id/news/read/417150-raksasa-asing-ramai-masuk--seberapa-seksi-pasarritel-indonesia)

(2)

Tabel 1.1

Perkembangan Omset Ritel Modern 2004 – 2008 (Rp Triliun)

Sumber : APRINDO, AC Nielsen, Media data, dan Academia Keterangan :

- Pasar modern (stand alone maupun yang berlokasi di trade center atau mal)

- Department store (stand alone maupun yang berlokasi di trade center atau mal)

- Specially store (stand alone maupun yag berlokasi di trade center atau mal)

- Lainnya (factory outlet, butik, konter merek – merek tertentu seperti Guess atau Esprit , baik yang stand alone maupun berlokasi di trade

center atau mal tetapi bukan berlokasi di department store)

Menurut peraturan presiden no. 112 th 2007, pasar modern adalah sarana penjualan barang – barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sembilan bahan pokok. Metode penjualan dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan (pembeli mengambil sendiri barang dari rak dagangan dan membayar di kasir), tidak dapat dilakukan tawar menawar harga

0 1 2 3 4 5 6 7 2004 2005 2006 2007 2008 Department Store Specialty Store Lainnya

(3)

barang. Saat ini terdapat tiga jenis pasar modern, yaitu minimarket, supermarket, dan hypermarket. Department store adalah saran penjualan berbagai macam kebutuhan sandang dan bukan kebutuhan sembilan bahan pokok, yang disusun dalam bagian terpisah dalam bentuk konter. Metode penjualan dilakukan secara eceran dan cara pelayanan umumnya dibantu oleh pramuniaga, tidak dapat dilakukan tawar menawar harga barang. Specialty store adalah sarana penjualan yang hanya memperdagangkan satu kelompok produk saja. Trend saat ini adalah produk elektronik dan bahan bangunan dalam skala yang cukup besar. Metode penjualan dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan, tidak dapat dilakukan tawar menawar harga.

Dari table di atas dapat dilihat bahwa bisnis ritel mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Department store mengalami kenaikan mulai tahun 2004 sd 2008 berturut – turut adalah 5.45 T, 5.99 T, 6.26 T, 6.43 T, dan 6.68 T. Store lain – lain seperti Guess, Esprit, atau Zara yang tidak berlokasi di department store mengalami kenaikan pertumbuhan mulai 2004 sd 2008 secara berturut – turut sebagai berikut, 4.62 T, 5.83 T, 6.51 T, 6.55 T, dan 6.76 T. Pertumbuhan di atas ditunjang pula oleh pertumbuhan kelas menengah masyarakat dan daya beli masyarakat. Masyarakat sudah semakin modern yang mengakibatkan perubahan gaya dalam berbelanja dan berpenampilan. Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat menjadi lebih aware terhadap kenyaman dan pelayanan yang akhirnya membuat perubahan perilaku berbelanja masyarakat.

(4)

Gambar 1.1

Perbandingan Konsumsi Masyarakat Urban dan Rural 2013 Sumber : Kadence,

(https://kadence.com/kadence-international-getting-closer-indonesian-consumer/)

Dapat dilihat dari data di atas bahwa, masyarakat urban menghabiskan 24% pengeluaran mereka untuk kebutuhan food & beverage, 18% untuk kebutuhan utilities, fees, & rent, dan 17% untuk kebutuhan leisure & clothing. Sedangkan masyarakat rural menghabiskan 23% pengeluaran mereka untuk food & beverage, 20% untuk utilities, fees, & rent dan 18% untuk leisure & clothing. Dari data tersebut kita dapat melihat pergeseran perilaku berbelanja masyarakat rural. Masyarakat rural yang sebelumnya berbelanja secara tradisional sudah mulai bergeser berbelanja ke tempat ritel modern. Masyarakat rural memiliki

(5)

persentase lebih tinggi dalam kategori utilities dan leisure dibandingkan dengan masyarakat urban.

Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan jumlah mal di Jakarta amat pesat. Lamudi – platform property global – merilis hasil penelitian pertumbuhan properti ritel di Jakarta. Lebih dari 170 mal di Jakarta mengantarkan ibukota Indonesia masuk dalam daftar kota besar dengan jumlah pusat perbelanjaan terbanyak di dunia. Dalam laporan Global Cities Retail Guide 2013/ 2014 dari Cushman & Wakefield menyebutkan, lahan ritel di Jakarta telah tumbuh lebih dari 17%, atau hampir mencapai angka 4 juta m2. Karen Khetan, Managing Director

Lamudi Indonesia , mengatakan pendapatan perkapita yang tinggi , kelas menengah yang dominan dan meningkatnya daya beli adalah alasan utama di balik melonjaknya ritel di Jakarta.

Perkembangan bisnis ritel dewasa ini mengalami pertumbuhan yang cukup siginifikan. Jika kita lihat dari tahun 2007 – 2012 jumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami perkembangan rata – rata 17,57% per tahun. Jumlah gerai ritel pada tahun 2007 adalah sebanyak 10.365 gerai, lalu pada tahun 2011 jumlah gerai ritel bertambah menjadi berjumlah 18.152 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah gerai yang terus bertumbuh tersebut mengindikasikan juga jumlah permintaan pasar yang tinggi dan jumlah penjualan yang terus bertambah. Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (APRINDO) mengatakan bahwa pertumbuhan ritel di Indonesia mencapai angka 10% - 15% per tahun. Pada tahun 2006, penjualan ritel tercatat sebanyak Rp 49 triliun dan terus bertumbuh hingga mencatatkan penjualan sebesar Rp 120 triliun pada tahun 2011. Sementara itu di

(6)

tahun 2012 penjualan ritel mencapai Rp 138 triliun

(http://www.marketing.co.id/brand-switching-analysis-dalam-industry-ritel-modern/). Rata – rata orang di Jakarta, mayoritas perempuan, menghabiskan sekitar tiga jam setiap kali mengunjungi mal. Porsi terbesar dari pasokan ritel ditemukan di CBD Jakarta (22%), diikuti oleh Jakarta Selatan (21%), Jakarta Utara (20%), dan Jakarta Barat (17%). (http://www.marketing.co.id/orang-jakarta-hobi-pergi-ke-mal/)

Pertumbuhan mal dan bisnis ritel di atas diduga sebagai dampak tingkat konsumsi dan belanja masyarakat yang meningkat pula. Mal menjadi salah satu tujuan favorit masyarakat Jakarta untuk mengisi waktu mereka. Pengunjung mal seringkali hanya berniat untuk berkeliling, jalan – jalan, atau menikmati kuliner di mal. Namun pada kenyataannya seringkali pengunjung melakukan pembelian barang/ jasa secara spontan/ tidak terencana (impulse buying) ketika mereka berkunjung ke mal. Hal ini juga didukung dengan hasil survei yang dilakukan oleh AC Nielson (2007) ternyata 85% pembelanja di ritel modern Indonesia cenderung berbelanja sesuatu yang tidak direncanakan.

Permasalahan muncul ketika pertumbuhan jumlah mal dan lahan ritel di Jakarta tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan omset beberapa mal di Jakarta. Mal tersebut antara lain Kuningan City, Lotte Shopping Avenue, Mangga Dua Square, Gandaria City, Fx Sudriman, Mall of Indonesia, atau Saint Moritz. Mal Kuningan City mencatatkan jumlah pengunjung 40.000 orang di hari

weekend, artinya sekitar 300.000 orang setiap bulan

(7)

(http://industri.bisnis.com/read/20150626/100/447599/kuningan-city-akan-gelar-pesta-diskon-sore-hari). Jumlah pengunjung tersebut terpaut sangat jauh jika dibandingkan dengan Kota Kasablanka yang berjarak dekat dengan Kuningan City, yaitu 2 juta pengunjung setiap bulan, Kelapa Gading 2,9 juta pengunjung setiap bulan dan Grand Indonesia 1,8 juta pengunjung setiap bulan (http://www.marketing.co.id/inilah-5-mall-paling-populer-di-jakarta/).

Setiap mal di Jakarta memiliki karakteristik yang hampir homogen. Produk dan jasa yang ditawarkan hampir sama, konsep yang ditawarkan hampir sama, fasilitas yang ditawarkan hampir sama, ada bioskop, food court, valet parking, showroom dengan merek – merek internasional maupun café yang dapat digunakan untuk berkumpul dengan teman. Namun, faktor apakah yang membedakan antara mal berpengunjung yang ramai dengan mal berpengunjung sepi. Selain pihak mal yang melakukan upaya menarik konsumen untuk berkunjung ke mal mereka, ada pula pihak vendor yang berupaya membuat produk dan jasa mereka tampil semenarik mungkin untuk mencuri perhatian konsumen.

Atas dasar fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan pnelitian terkait pembelian impulsif pengunjung mal di Jakarta. Berdasarkan pre study yang dilakukan peneliti secara online kepada 114 responden yang berdomisili di Jakarta didapatkan data sebagai berikut :

(8)

Tabel 1.2 Hasil Observasi

No Pertanyaan Ya % Tidak %

1 Ketika mengunjungi mal saya sering membeli tanpa direncanakan 71 29 2 berkeliling dan secara tidak sadar sudah brbelanja Saya menghabiskan waktu di mal dengan 58 42 3 merencanakan apa yang akan saya beli Pada saat mengunjungi mal saya tidak 43 57 4 Saya merasa senang membeli secara spontan/ tidak direncanakan 52 48 5 Saya merasa berbelanja secara spontan memudahkan saya dalam berbelanja 49 51

Sumber : Hasil Observasi

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di atas, dapat disimpulkan bahwa 71% responden yang diteliti setuju bahwa mereka membeli barang/ jasa di mall secara spontan/ tidak direncanakan. Perilaku inilah yang disebut impulse buying.

Pembelian yang tidak direncanakan dapat dipengaruhi oleh keteribatan mode konsumen. Vazihefdoost, Rahnama, & Mousavian (2014) menemukan dalam penelitiannya bahwa keterlibatan dalam mode mempengaruhi pembelian impulsif konsumen baik secara langsung dan tidak langsung melalui perasaan positif. Keterlibatan mode berhubungan secara positif dengan perilaku pembelian impulsif (Dhurup, 2014).

Strategi promosi yang baik adalah salah satu faktor yang menarik konsumen untuk melakukan pembelian. Dengan semakin berkembangnya gaya hidup dan teknologi selera konsumen juga berkembang. Konsumen sekarang ini akan lebih aware terhadap promosi yang kreatif. Ada lima teknik penting dalam promosi penjualan, yaitu rebate & penawaran diskon, kupon, program kesetiaan

(9)

konsumen, paket harga dan undian. Rebate & penawaran diskon, dan program kesetiaan konsumen memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku pembelian impulsif (Nagadeepa, Selvi, & Pushpa, 2015).

Visual merchandising meningkatkan waktu yang dihabiskan konsumen

dalam toko dan menghasilkan perilaku pembelian impulsif. Pada saat ini, konsumen tidak lagi terpengaruh oleh rutinitas belanja, tetapi mereka terpengaruh oleh penampilan luar. Dalam lingkungan global yang terus berubah, visual

merchandising telah menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan. Visual merchandising adalah tenaga penjual yang tidak berbicara tetapi mengantarkan

pesan melalui rangsangan visual (Jain, 2013).

Dimensi tertentu dalam visual merchandising mempengaruhi pembelian impulsif. Visual merchandising penting dalam pengambilan keputusan stratejik pemasaran untuk meningkatkan penjualan toko (Mehta & Chugan, 2013). Penataan display dalam cara yang menarik akan menimbulkan minat baru tentang produk dalam benak konsumen. Dengan mendesain tema yang pantas dan melakukan pergantan yang rutin makan akan menghasilkan komunikasi yang proaktif dengan konsumen. Sehubungan dengan globalisasi dan boomingnya ritel,

visual merchandising tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tidak hanya

berkonsentrasi mengenai mendekorasi secara cantik tetapi harus mensimboliskan merek dalam benak konsumen (Hussain, 2013).

Pembelian impulsif hampir sama dengan istilah pembelian tidak terencana. Pembelian impulsif adalah fenomena yang dalam sepuluh tahun terakhir perilaku nya selalu meningkat dari tahun ke tahun yang dipengaruhi oleh faktor – faktor

(10)

yang tangible dan intangible. Perilaku pembelian impulsif adalah sesuatu yang sangat besar dan para peritel pun menyadari hal tersebut (C. Nagadeepa, J. Tamil S., Pushpa A., 2015).

Pembelian impulsif adalah pembelian yang dibuat tanpa banyak pertimbangan. Hal tersebut dilakukan tanpa melibatkan banyak evaluasi dari hal – hal yang berbeda, seperti kebutuhan, keterjangkauan, harga, dll. Deskriptor dari pembelian impulsif adalah perilaku spontan, minat, ketertarkan, dan kesegeraan untuk membeli. Konsumen menyukai produk dan membelinya, hal itulah yang diketahui sebagai pemmbelian impulsif. Individu yang membeli secara impulsif kurang mempertimbangkan konsekuensi dari pembelian (Mehta & Chugan, 2013).

Dari fenomena yang dipaparkan di atas, peneliti merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi konsumen melakukan pembelian tidak terencana/ impulse buying di mal di Jakarta. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Keterlibatan Mode, Promosi Penjualan

dan Visual merchandising terhadap Pembelian Tidak Terencana/ Impulse

buying Pengunjung Mal di Jakarta”

A. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan penjelasan fenomena pada latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi impulse buying pengunjung mal di Jakarta. Lebih dari setengah responden yang diteliti melalui peneitian terdahulu setuju dengan pernyataan bahwa mereka sering melakukan

(11)

pembelian tanpa rencana sebelumnya. Untuk itu peneliti bermaksud memfokuskan penelitian ini dengan merumuskan masalah sebagai berikut ;

1. Apakah keterlibatan mode berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian tidak terencana/ impulse buying pengunjung mal?

2. Apakah promosi penjualan berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian tidak terencana/ impulse buying pengunjung mal?

3. Apakah visual merchandising berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian tidak terencana/ impulse buying pengunjung mal?

B. Tujuan Penelitian dan Konstribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah yang diuraikan di atas, peneliti ingin meneliti lebih lanjut pengaruh apa saja yang mengakibatkan pengunjung mal melakukan impulse buying,

a. Menganalisa pengaruh keterlibatan mode terhadap pembelian tidak terencana/ impulse buying pengunjung mal di Jakarta.

b. Menganalisa pengaruh promosi penjualan terhadap pembelian tidak terencana/ impulse buying pengunjung mal di Jakarta.

c. Menganalisa pengaruh visual merchandising terhadap pembelian tidak terencana/ impulse buying pengunjung mal di Jakarta.

2. Konstribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi yang baik bagi dunia pendidikan, pengelola mal, pelaku bisnis ritel, maupun berbagai pihak yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

(12)

a. Konstribusi Praktik. Hasil penelitian dapat membantu menganalisa faktor apa saja yang sangat berpengaruh dalam impulse buying, sehingga memberikan informasi kepada pengelola mal, pelaku bisnis, maupun pihak – pihak yang berkaitan untuk pengambilan keputusan dan perumusan strategi pemasaran perusahaan.

b. Konstribusi Akademik. Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi peneliti – peneliti yang akan melakukan penelitian sejenis di masa yang akan datang, terutama pada area keputusan pembelian konsumen.

Gambar

Tabel 1.2   Hasil Observasi

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Durianto (2003: 88), efektivitas iklan merupakan upaya sebuah iklan untuk dapat menciptakan sikap dan kesan yang mendukung terhadap suatu produk. Maka dengan

Pada dasarnya, kesenjangan digital adalah kesenjangan dari faktor pengaksesan dan pengunaan internet, yang di bedakan oleh status sosial ekonomi, jenis kelamin,

Lingkungan adalah salah satu fator terpentig untuk menunjang keberhasilan perusahaan dalam persaingan. 12 Untuk membuat tujuan, sasaran dan strategi-strategi yang akan diambil,

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nyeri punggung bawah perawat ICU dan ICCU memiliku hubungan yang kuat dengan persepsi perawat tentang tuntutan kerja,

Berdasarkan data hasil analisis klasifikasi unsupervised yang telah di kalkulasikan di dalam grafik diatas terlihat objek terumbu karang yang mengalami kerusakan

Maksud disusunnya tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis adalah untuk mewujudkan terlaksananya pengelolaan limbah

Ablasio retina dapat dihubungkan dengan malformasi congenital, sindrom metabolik, trauma mata (termasuk riwayat operasi mata), penyakit vaskuler, tumor  koroid,

Green school tidak hanya ada tambak udang saja melainkan ada pertenakan sapi yang meliputi jenis sapi bali, di antara berbagai bangsa sapi yang ada di Indonesia,