• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kejadian Dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kejadian Dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Verba proses merupakan bagian dari verba secara semantis. Tipe verba itu mewajibkan hadirnya sebuah argumen subjek yang mengalami kejadian atau perubahan dari suatu keadaan ke keaadaan lain. Mulyadi (dalam Subiyanto 2008:265) menandai verba proses sebagai verba yang kurang stabil waktunya karena mengekspresikan peristiwa yang bergerak dari suatu keadaan menuju keadaan lain”. Selanjutnya, Mulyadi (2000: 47) memilah verba ini atas dua tipe semantis,sesuai dengan elemen makna yang membentuknya yaitu TERJADI dan BERGERAK. Tipe TERJADI mengacu pada verba kejadian dan verba proses badaniah, sementara tipe BERGERAK meliputi verba gerakan bukan agentif.

Lebih jauh, Mulyadi(2000:47) mengatatakan verba proses kejadian ditandai dengan elemen TERJADI dan MELAKUKAN. Hal ini terlihat pada komponen ‘sesuatu terjadi pada sesuatu/seseorang karena seseorang yang lain melakukan sesuatu’. Dalam bahasa Indonesia komponen semantis itu mengacu pada retak, patah, hancur, layu, dan mekar.

(2)

‘robek’, masasar ‘ pecah berkeping-keping ’, malala ‘meleleh’, esser ‘mencair; ponggol ‘patah, dan rotap ‘ putus’.

Verba kejadian tergolong unik karena ada kata-kata yang dianggap bersinonim terletak pada ranah yang berbeda. Contohnya, dalam bahasa Batak Toba terdapata kata rotap ‘putus’ dan ribak ‘robek’ yang dipahami sebagai dua kata yang bersinonim. Akan tetapi, rotap ‘putus’mempunyai ciri khusus, yaitu berobjek tali atau benang, sedangkan ribak ‘robek’ berobjek kertas atau kain.

(1a) Tali palastik pangikat bunga i rotap/?ribak. tali plastik pengikat bunga Dem putus/ ?robek. ‘Tali plastik pengikat bunga putus/? robek.’

(1b) Ribak/? rotap baju ni tulang na bottar i. robek/?putus T paman T putih dem ‘Baju paman yang putih itu robek /?putus’.

Pada contoh (1a) terlihat bahwa verba rotap ‘putus’ berobjek tali, sedangkan pada contoh (1b) verba ribak ‘robek’ berobjek kain.

Dalam kaitan ini, Mulyadi (2012) menyatakan bahwa “setiap kategori verba emosi terdiri dari verba-verba yang berhubungan erat dan jika kategorisasinya dikerjakan dengan rapi, relasi semantis verba-verba itu akan terungkap dengan jelas”. Pernyataan itu dapat dihubungkan dengan verba kejadian yang memiliki relasi semantis yang sangat rumit dan berputar-putar. Hal itu terlihat pada Kamus Bahasa Batak Toba (Warnicke, 2011). Misalnya,kata ribak ‘robek’ bertalian dengan rotap

(3)

‘patah’ dan tipul ‘dengan ponggol ; kemudian kata ponggol mengacu pada ruppak ‘patah’ dan kata ruppak dengan ponggol. Relasi semantisnya tampak pada ilustrasi berikut:

ribak rotap

tipul ponggol

ruppak

Gambar 1.1: Relasi Semantis Verba Proses Kejadian dalam Bahasa Batak Toba

Keberputaran makna butir leksikal dalam kamus tidak membantu pembaca dalam mengkategorikannya. Untuk itu perlu dilakukan pengkategorian untuk mengetahui persamaan dari setiap komponen butir leksial verba kejadian.

Dalam bahasa Batak Toba tipul , ponggol , suak dan ruppak memiliki makna dasar yang sama, yaitu patah. Akan tetapi, kata-kata itu tentu mengandung ciri semantis khusus yang membedakan maknanya dengan makna kata lain. Ciri semantis itu dapat diungkapkapkan dengan melihat perilaku kata itu dalam kalimat.

(4)

semantis. Misalnya, verba karena tindakan orang lain yang hasilnya menjadi dua bagian adalah gotap ‘ putus’, ponggol ‘ patah’, ribak ‘robek’.

Selanjutnya, verba kejadian dalam bahasa Batak Toba dalam satu ranah mengandung konfigurasi makna yang berbeda. Hal ini tampak apabila verba yang berkerabat secara semantik ditempatkan pada sebuah kalimat. Verba rotap ‘putus’ mensyaratkan bahwa objeknya adalah tali yang terpisah menjadi dua bagian. Verba ribak ‘robek’ mensyaratkan objeknya adalah kain yang terpisah menjadi dua bagian.

(2a) Gotap/?Ribak tali kalabbu dibahen si Tiur. putus/?robek kelambu dibuat Tiur

‘Tali kelambu dibuat si Tiur putus /? robek’.

2b) Nunga ?gotap/ ribak calana sikkola na baru i tuhor nattari.

sudah ?putus/?robek celana sekolah KONJ baru Prep beli kemarin

‘Celana sekolah yang baru dibeli kemarin sudah robek/? putus’.

Hal yang sama juga terjadi pada verba ponggol dan tipul ‘patah’. Perhatikan contoh di bawah ini:

(3a) Nunga tipul/? ponggol pitolot ni anggi dibahen donganna. Sudah patah/? patah pensil Pos adek PAS,buat temannya.

‘Pensil adek sudah patah dibuat temannya’.

(5)

‘Balok yang panjang itu patah’.

Pada kalimat (3) di atas terlihat bahwa verba tipul ‘patah’ objeknya berupa pensil sedangkan verba ponggol ‘patah’ objeknya berupa balok.

Penelitian tentang verba berdasarkan teori MSA sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli. Misalnya, Subiyanto mengkaji verba kejadian dalam bahasa Jawa (2011) dan verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa (2008), Sutjiati Bertha (2000) meneliti verba ujaran dalam bahasa Bali, Sinaga (2014) meneliti verba ujaran dalam bahasa Simalungun, Lumban Gaol (2014) meneliti verba potong dalam bahasa Batak Toba, Mulyadi ( 2000) meneliti struktur semantis verba dalam bahasa Indonesia , kategori semantis verba dalam bahasa Indonesia (2009), verba emosi statif dalam bahasa Melayu Asahan (2010), dan verba emosi dalam bahasa Indonesia (2012).

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kajian semantik verba kejadian pada bahasa Batak Toba belum pernah dilakukan. Dalam penelitian ini diperlihatkan bahwa semantik verba kejadian pada bahasa Batak Toba mencakup kategorisasi dan maknanya.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimanakah kategorisasi verba kejadian dalam bahasa Batak Toba? 2. Bagaimanakah makna verba kejadian dalam bahasa Batak Toba?

1.3 Tujuan penelitian

(6)

1. Mendeskripsikan kategorisasi verba kejadian dalam bahasa Batak Toba. 2. Mendeskripsikan makna verba kejadian dalam bahasa Batak Toba.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pada bidang ilmu linguistik dan memberi manfaat bagi kelestarian bahasa dan kebudayaan Batak Toba.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian semantik tentang kategorisasi dan struktur semantis verba proses kejadian dalam bahasa Batak Toba dengan teori MSA.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya tentang verba proses kejadian dalam bahasa daerah lainnya.

(7)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

Verba kejadian merupakan bagian dari verba yang mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi karena batas keadaan yang lama telah dilampaui. Entitas yang dimaksud adalah entitas non insani misalnya, tanaman pada tumbuhan itu tumbuh. Ciri dari verba ini adalah [+dinamis], [+/-perfektif] dan [+/- pungtual] (Mulyadi 2009:59).

Komponen semantis adalah perangkat makna yang dimiliki oleh sebuah butir leksikon (Mulyadi, 2000:40). Mulyadi ( 2000:40) mengatakan bahwa komponen semantis mencakup kombinasi dari perangkat makna seperti ‘sesuatu terjadi pada sesuatu’.

Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan komponen semantisnya ( Mulyadi 2010: 169). Misalnya, ‘ komponen TERJADI/MELAKUKAN’ memuat anggota patah, putus,dan retak yang terdapat dalam satu ranah semantik yang sama.

(8)

makna asali dengan makna asali yang lain yang membentuk sintaksis makna universal.

1.4 Landasan Teori

Kajian semantik verba kejadian Batak Toba ini menggunakan teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Teori MSA yang dikembangkan oleh Wierzbicka ini dirancang untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna gramatikal maupun makna ilokusi. Asumsi dasar teori MSA menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi tuntas, dalam arti makna kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan residu dalam kombinasi makna yang lain ( Wierzbicka, 1996: 10).

Terkait dengan hal itu, MSA tidak terlepas dari sejumlah konsep teoretis penting seperti makna asali, polisemi dan sintaksis makna universal. Makna asali adalah seperangkat makna yang tidak berubah yang telah diwarisi manusia sejak lahir. Dengan kata lain, makna asali merupakan makna pertama dari sebuah kata yang tidak mudah berubah walaupun ada perubahan kebudayaan (Goddard, 1994:2). Makna asali dapat diuraikan dengan tuntas dari bahasa alamiah yang merupakan satu-satunya cara menyajikan makna (Wierzbicka, 1996:31). Uraian makna itu harus meliputi makna kata yang secara intuitif memiliki medan makna yang sama.

(9)

Inggris, dan bahasa Aborigin di Australia. Pada tahun 1972, dia menemukan 14 buah makna asali, kemudian pada tahun 1980 menjadi 15 buah makna asali. Kemudian, Wierzbicka (1996) dan Goddard (2006) mengusulkan 63 buah makna asali seperti di bawah ini:

Tabel 2.1

Perangkat Makna Asali Bahasa Indonesia

KOMPONEN Substantif

ELEMEN

AKU, KAMU, SESEORANG, ORANG, SESUATU/HAL, TUBUH

Subtantif relasional JENIS, BAGIAN

Pewatas INI, SAMA, LAIN

Penjumlah SATU, DUA, BANYAK, BEBERAPA, SEMUA

Evaluator BAIK, BURUK

Deskriptor BESAR, KECIL

Predikat Mental PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR

Ujaran UJAR, KATA, BENAR

ADA, PUNYA, ADALAH, ( SESEORANG/ SESUATU)

Hidup dan Mati HIDUP, MATI

Waktu BILA/WAKTU, SEKARANG, SEBELUM, SETELAH,

LAMA, SINGKAT, SEBENTAR, SAAT

Ruang (DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, ( DI) ATAS, (DI)

BAWAH, JAUH, DEKAT, SISI, (DI) DALAM

Konsep Logis TIDAK, MUNGKIN, DAPAT

Augmentor Intensifier SANGAT, LEBIH

Kesamaan SEPERTI

(10)

Konsep dasar lain dalam MSA adalah polisemi. Polisemi adalah leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Ini terjadi karena adanya hubungan komposisi antara satu eksponen dengan eksponen yang lainnya karena memiliki kerangka gramatikal yang berbedaWierzbicka (dalam Mulyadi 2006:71). Ada dua hubungan nonkomposisi, yaitu hubungan yang ‘menyerupai pengartian’ dan ‘hubungan implikasi’ Wierzbicka(dalam Mulyadi 2006:71). Hubungan yang menyerupai pengartian tampak pada MELAKUKAN /TERJADI dan MELAKUKAN PADA/TERJADI. Contoh: jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y. SESUATU TERJADI PADA Y. hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN. Contoh: jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X.

Konsep dasar selanjutnya adalah sintaksis makna universal. Sintaksis makna universal dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an. Sintaksis makna universal terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali yang membentuk preposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis bahasa yang bersangkutan. Misalnya, INGIN memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: saya ingin melakukan sesuatu. Selanjutnya, unit dasar sintaksis makna universal ini dapat

disamakan dengan klausa yang dibentuk oleh subtantif, predikat, dan elemen-elemen lain. Kombinasi elemen tersebut akan membentuk kalimat kanonis (Indrawati, 2006: 148). Kalimat kanonis adalah kalimat sederhana berbentuk parafrasa yang dibentuk oleh kombinasi elemen-elemen makna asali.

Unit dasar sintaksis universal dapat disamakan dengan ‘klausa’, dibentuk oleh subtantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan cirri predikatnya (Mulyadi, 2006:71). Contoh pola sintaksis universal antara lain:

(11)

(5) sesuatu yang buruk terjadi padaku.

(6) jika aku melakukan ini , orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku.

(7) aku tahu bahwa kamu orang yang baik

Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis universal mengimplikasikan gagasan pilihan valensi. Contohnya, elemen MENGATAKAN, disamping memerlukan ‘Subjek’ dan ‘Komplemen’ wajib (seperti ‘ seseorang mengatakan sesuatu’), juga ‘pesapa’ (seperti ‘ seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang’) atau ‘topik’ (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu’) atau ‘pesapa dan topik’ (seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’) (Mulyadi dan Siregar, 2006:71). Hubungan ketiga konsep tersebut dapat diringkas dengan skema di bawah ini:

Gambar 2.1: Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan Makna.

(Sumber: Mulyadi dan Rumnasari, 2006:71)

Bagan di atas menunjukkan bahwa gabungan dari dua makna asali berkombinasi untuk membentuk polisemi. Polisemi merupakan kunci untuk mengetahui makna dan dasar pembentukan sintaksis makna universal yang melalui

Makna Asali

Sintaksis Makna

Universal

Polisemi

(12)

skenario pada sintaksis makna universal persamaan dan perbedaan makna dapat diungkapkan dengan tuntas dan tidak berputar-putar.

Verba kejadian memiliki tipe semantis TERJADI. Struktur semantis verba kejadian merupakan relasi dua peristiwa, dalam arti peristiwa yang menggambarkan perubahan entitas terjadi akibat peristiwa sebelumya. Kedua, peristiwa itu dalam struktur semantik yang dihubungkan oleh elemen KARENA. Makna verba kejadian dimarkahi TERJADI/MELAKUKAN. Peristiwa dipicu oleh karena seseorang melakukan sesuatu, seperti retak ‘retak’, possa ‘pecah’. Entitas bernyawa dan tidak bernyawa juga memodifikasi makna verba ini. Perubahan yang terjadi pada verba ini adalah perubahan fisik (tubu ‘tumbuh’, mengge ‘larut’, lomak ‘mekar’).

Perlu diketahui bahwa verba kejadian dalam bahasa Batak Toba memiliki fitur semantis khusus untuk membedakan satu butir leksikal dengan butir leksikal lain. Perbedaan di antara butir-butir leksikal tersebut dapat ditujukan dengan menggunakan komponen semantis. Dalam teori MSA komponen itu disebut perangkat makna asali (Wierzbicka).

Makna verba kejadian dapat diparafrase seperti contoh di bawah ini:

Model parafrase

(a) pada waktu itu, sesuatu terjadi pada seseorang/sesuatu(X) karena seseorang (Y) melakukan sesuatu pada sesuatu (X)

(13)

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap verba sudah banyak dilakukan oleh beberapa ahli. Selanjutnya akan menjelaskan penelitian- penelitian sebelumnya yang mirip atau relevan dengan penelitian ini.

Mulyadi (2000) dalam artikel yang berjudul “ Struktur Semantis Verba dalam bahasa Indonesia” membahas dua masalah pokok, yakni kategorisasi semantis dan peran semantis. Penelitian ini menggunakan metode simak yang didukung dengan teknik catat. Data dianalisis dengan mrnggunakan metode padan dan metode agih dan teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa VBI dibagi tiga, yaitu verba keaadaan, verba proses, dan verba tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi. Verba proses mempunyai kelas kejadian dan proses badaniah, dan gerakan bukan agentif. Verba tindakan mempunyai kelas gerakan agentif, dan perpindahan. Kemudian, struktur semantis verba bahasa Indonesia diformulasikan dari sejumlah polisemi dan dari kombinasi makna asali ini terlihat persamaan dan perbedaan struktur semantisnya.

(14)

Beratha (2000) dalam artikelnya yang berjudul “ Struktur dan Peran Semantis Verba Ujaran dalam Bahasa Bali” menguraikan semantik verba ujaran denga menggunakan teori MSA. Metode yang digunakan dalam menganalisis datanya adalah metode padan dan metode agih, sedangkan penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal. Hasil kajian Beratha menunjukkan bahwa ada sejumlah verba tindakan yang bertipe ujaran dalam bahasa Bali seperti ngidih dan nunas ‘meminta’, nunden dan nikain ‘memerintah’, nombang ‘melarang’, majanji ‘berjanji’, nyadad ‘mengkritik’, nesek dan matakon ‘bertanya’. Struktur semantis verba tindakan tipe ujaran ini diformulasikan dalam komponen ‘X mengatakan sesuatu kepada Y’.

Penelitian Beratha memberi banyak masukan dari segi teori yang digunakan dan juga cara menganalisis verba. Dari segi teori dapat diketahui pola sintaksis makna universal yang digunakan dalam penelitian tersebut dan juga dari cara menganalis verba ujaran tampak pada penggunaan parafrasa yang bersumber dari perangkat makna asali.

(15)

digolongkan menjadi tiga kelas yaitu tindakan, proses dan keadaaan. Dalam kajiannya Mulyadi mengemukakan bahwa kajian semantis terhadap verba tindakan bahasa Indonesia memperlihatkan beberapa implikasi yang menarik. Pertama, ada korelasi antara valensi verba tindakan dan komponen yang inheren pada verba tersebut, terutama pada eksponen pertama. Komponen untuk verba bervalensi satu ialah 'X melakukan sesuatu', sedangkan komponen untuk verba bervalensi dua adalah 'X melakukan sesuatu pada Y'. Kedua, struktur semantis verba tindakan tidak bersesuaian dengan tipe verbanya. Verba bervalensi dua, seperti menangkap, menendang, dan membeli dengan verba bervalensi satu, seperti pergi pada kenyataannya bertumpang tindih pada komponen kedua. Komponen yang dimaksud ialah 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu'. Ketiga, dari eksplikasi yang dilakukan terlihat bahwa struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia tidak memperlihatkan adanya keteraturan dalam jaringan elemennya.

Penelitian Mulyadi menjadi acuan untuk menerapkan teori MSA pada verba proses kejadian bahasa Batak Toba. Komponen semantisnya ialah (1) predikat mental [ PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR], (2) ujaran (UJAR, KATA), tindakan, peristiwa, pergerakan, perkenaan [LAKU,TERJADI, GERAK ,SENTUH], (4) keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5) hidup dan mati [HIDUP dan MATI].

(16)

agentif bahasa Jawa memiliki ciri [+dinamis], [-kesengajaan], [+/-kepungtualan], [+/- telik],dan[ -kinesis]. Selanjutnya, struktur semantik verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa ditentukan oleh berdasarkan arah gerakan, yakni BERGERAK dan MELAKUKAN dan berdasarkan kualitas gerakan, yaitu MELAKUKAN dan TERJADI.

Penelitian Subiyanto memberikan kontribusi dalam penerapan teori MSA dalam menetapkan kategorisasi dan makna. Penelitian ini memberikan gambaran yang mudah dipahami. Masukan dari segi teori terlihat pada fitur-fitur pembedadan pola sintaksis yang digunakan. Kemudian, masukan dari segi menganalisis verba pada penggunaan parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali.

(17)

Gambar

Gambar 1.1: Relasi Semantis Verba Proses Kejadian dalam Bahasa Batak Toba
Tabel 2.1 Perangkat Makna Asali Bahasa Indonesia
Gambar 2.1: Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, ketrampilan dan sumber ekonomi mereka tidak memungkin mereka untuk beralih kerja lainnya apalagi pekerjaan yang sifatnya formal, terlebih karena mereka memiliki beban

Beberapa simpulan tersebut, yaitu: sistem informasi akuntansi yang diterapkan perusahaan sudah berjalan dengan cukup baik; perusahaan menggunakan sistem yang terhubung dengan

[r]

At the end, investors purchase stock to receive a share of a firm’s earnings, which is normally distributed through dividends; however, investors may have different perspective

[r]

Berdasarkan observasi dan data-data sekunder dari perusahaan, inovasi yang dilakukan oleh Perusahaan Arromanis Bakery ada 3 kategori, yaitu inovasi structure,

Misalnya antara hutang dan modal, antara kas dan total asset, antara harga pokok produksi dengan total penjualan dan sebagainya (Harahap, 2008). Dari paparan diatas sudah jelas

Pada sistem ini digunakan Easy VR 3.0 yang memiliki fitur user- defined speaker dependent yang dapat menyimpan suara sebagai referensi untuk dibandingkan dengan perintah