• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang bergoyang Estetika dan Pengalaman R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Yang bergoyang Estetika dan Pengalaman R"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

“Yang B

ergoyang, yang Menantang, yang E

lusif”

Sebuah Dialog Estetika dengan Pengalaman Religius

oleh Hendar Putranto

pengajar Mata Kuliah Religiositas dan Logika di Universitas Multimedia Nusantara

Apa yang muncul di benak Anda ketika melihat foto berikut ini?

[sumber gambar 1: http://img401.imageshack.us/img401/1718/i1406970dewipersik003xe4.jpg ] Bagaimana dengan yang ini?

[sumber ga mbar 2:

(2)

Dalam foto 1, kita melihat artis Dewi Persik yang sedang manggung dan mempertontonkan kebolehannya bergoyang. Di foto kedua, kita melihat sekelompok anak muda sedang memperagakan koreografi dance kontemporer. Dua foto ini berbicara tentang aktivitas kesenian manusia, dalam hal ini seni tari kontemporer, yaitu “goyang dangdut” dan “modern dance.” Saat melihat kedua foto ini, mungkin kita menangkap ada nuansa yang berbeda. Lebih jauh lagi, jika kita mengetahui konteks sosial-politis-budaya yang mana di dalamnya aktivitas kesenian ini berlangsung (dipertunjukkan), besar kemungkinan kita akan lebih mengenali dan memahami sejumlah hal yang berbeda. Satu hal yang pasti: tidak setiap orang menanggapi kedua foto di atas secara seragam. Reaksi yang mungkin timbul setelah melihat foto yang pertama bisa jadi akan lebih beragam daripada saat melihat foto yang kedua. Familiaritas dengan wajah dan setting yang dipaparkan lewat foto 1 diandaikan hadir dan menjadi latar-belakang pengenalan. Para pembaca yang budiman tentu mengenali sosok yang tampil dalam foto 1. Ya, tidak salah lagi. Itulah foto Dewi Persik, artis dangdut yang sedang naik daun beberapa tahun terakhir ini.

Akan tetapi, malang bagi Dewi Persik, penyanyi dan penari dangdut asal Jember (Jawa Timur) yang terkenal dengan „goyang gergaji”- nya ini, karena beberapa waktu yang lalu, ia dicekal (dilarang) tampil di wilayah kabupaten Tangerang karena penampilannya saat manggung dinilai seronok dan mengumbar aurat sehingga dikhawatirkan dapat membangkitkan birahi (gairah seks) kaum lelaki, khususnya anak-anak dan remaja. Itulah pernyataan sikap yang disampaikan oleh Walikota Tangerang, H. Wahidin Halim kepada wartawan pada Senin, 24 Maret 2008.1 Pencekalan terhadap aktivitas goyang dangdut Dewi Persik ini ternyata tidak hanya terjadi di satu tempat saja (Tangerang), namun juga meluas ke beberapa daerah lainnya, seperti di kota Bandung, Kabupaten Probolinggo, juga di Sukabumi.2

Beberapa tahun sebelumnya (tahun 2003), seorang penyanyi dan penari dangdut yang mentas ke jajaran selebritis papan atas di blantika musik Indonesia, Inul Daratista, juga pernah mengalami perlakuan yang sama seperti Dewi Persik, yaitu dicekal manggung di sejumlah wilayah di pulau Jawa, bahkan “goyang Inul menjadi pembicaraan hangat dan sempat dibahas dalam dengar

1 Sebagaimana dilansir http://www.rile ks.com/seleb/?act=detail&a rtid=31102006118854 yang direka m pada 15 Me i

2008 11:11:14 GMT, Walikota Tangerang, H. Wahidin Halim, mengatakan bahwa "Bila ada penyanyi dangdut yang manggung menggunakan pakaian seksi, dapat menimbulkan birahi terutama bagi anak-ana k dan re ma ja, ma ka akan berbahaya." Dia mengatakan, dala m beberapa kali perte muan dengan tokoh ulama maupun pemuka masyarakat diperoleh kesimpulan bahwa daerah tersebut tertutup bagi penyanyi yang goyang erotis apalagi mengenakan pakaian seksi yang mengumbar aurat. Pernyataan walikota tersebut terkait dengan pencekalan pihak Pe mkot Tangerang kepada penyanyi dangdut Dewi Pe rsik untuk manggung di Tangerang karena dalam setiap penampilan Dewi Pe rsik selalu mengenakan pakaian yang seksi dan aksi goyangnya dicemaskan dapat mengundang birahi kau m adam. Bandingkan berita ini dengan “pembelaan” Dewi Persik sendiri tentang kasus pencekalan dirinya tersebut, yang bisa diakses di http://www.surya.co.id/web/inde x2.php?option=com_content&do_pdf=1&id= 39316.

2

(3)

pendapat umum antara Badan Legislasi (Baleg) dan para artis dangdut yang tergabung dalam Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).”3

Menurut Ketua PAMMI, Rhoma Irama, goyangan Inul sudah mengacu pada erotisme dan sensualitas, sehingga banyak ditentang. Bukan hanya para artis dangdut, tetapi juga mayoritas kalangan umat Islam menentangnya. "Indikasi erotisme sensualitas itu adalah gerakan yang sengaja menggoyangkan, maaf, pantat dan alat reproduksi kepada penonton dengan gerakan erotis yang menimbulkan rangsangan birahi. Ini jauh dari estetika,"4 demikian ditegaskan Rhoma Irama. Meskipun gelombang protes menerpa sosok yang terkenal dengan goyang “ngebor” dan “molen”- nya ini, Inul tidak sendirian. Ada beberapa tokoh artis, wartawan5, maupun akademisi yang “membela” goyang Inul6. Salah satunya adalah Dr Ayu Sutarto, ahli humaniora pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Dalam tulisannya “Goyang Inul, Pasar, dan Pengadilan Budaya”7, Ayu Sutarto menegaskan bahwa

“Pengadilan budaya dalam kasus Inul berangkat dari dua pendekatan, yakni etno estetik dan religio estetik. Dari kaca mata etno estetik, apa yang dila kukan Inul dipandang sebagai hal biasa-biasa saja. Sebab, ekspresi estetik simbolik seperti itu dapat ditemukan da la m berbagai jenis tari di Indonesia , misalnya, ja ipong, tayub, gandrung, lengger, dan lain -la in. Ka rena itu, huku m positif akan sulit d iterapkan terhadap ekspresi berkesenian Inul. Apalagi, jika gerakan tubuh itu dika itkan dengan masalah erotika, pornografi, atau perusak mora l bangsa. Agaknya, dakwaan itu terla lu dicari-ca ri. Tetapi, bila penilaian itu berangkat dari re lig io estetik, persoalannya akan menjad i la in. Sebab, agama me mang sudah me mpunyai patokan tertentu mengenai aurat dan batas -batas ekpresi politik tubuh yang dapat mengundang syahwat. Religio estetik tidak a kan me mberi ruang sedikit pun kepada Inul.”

[sumber ga mbar 3: http://www.bp3.blogger.co m/.../h YKg6lBj5Dc/s320/inul -01.jpg]

3

Lihat laporannya di http://www.gatra.co m/ 2003-05-12/art ike l.php?id=28341. 4

ibid. 5

Lih. tulisan Adi Ekopriyono (warta wan Suara Merdeka di Se marang), “Inulisasi” yang bisa diakses di http://www.suara merdeka .com/harian/0305/03/kha 2.ht m

6

Lihat jurnal BASIS Ed isi Khusus, Mei 2003, yang mengupas tuntas goyang Inul ini dari beberapa perspektif, seperti etika, studi kebudayaan, antropologi, politik, dan sebagainya. Bandingkan dengan tulisan Le mbaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) yang menyoroti kasus Inul ini secara cukup berimbang “Goyang Inul: Mantra, Tafsir dan Dangdut „Pinggiran‟” dala m http://lpik.mu ltiply.co m/ journal/ite m/ 67

7 Bisa dia kses di http://www.geocit ies.com/inuldangdut/pol_tubuh.html atau

(4)

Dari himpunan berita dan peristiwa menyangkut kasus pencekalan terhadap aktivitas berkesenian dari para penyanyi dan penari dangdut seperti Dewi Persik dan Inul Daratista di atas, juga beberapa artis lainnya (seperti seniman, penyanyi, pemusik)8 yang ekspresi kebebasan dan kreativitas penghayatan seni mereka juga diprotes dan dikecam, teramat mungkin kita merasa terusik dan bertanya, mengapa sampai terjadi semua pelarangan, pencekalan, pemberangusan ini? Atas dasar apa ini dilakukan? Apakah pencekalan itu bisa dibenarkan secara “budaya” (di mana seni termasuk di dalamnya)? Apakah seni yang sesuai “akidah” berarti si seniman (artis), terutama artis perempuan, harus membungkus auratnya rapat-rapat? Bagaimana jika pencekalan ini menjadi tren yang lantas diikuti oleh sebagian besar pejabat pemerintah di kabupaten-kabupaten atau propinsi-propinsi lainnya di Indonesia? Dalam keterbatasan ruang pemaparan, dan kemungkinan kemajemukan penafsiran serta sudut pandang, izinkan penulis mengajukan menganalisis dan menafsirkan gugus peristiwa di atas dengan menggunakan pendekatan yang jarang diangkat oleh para pemikir dan komentator sosial-budaya di Indonesia, yaitu dengan pendekatan „filsafat seni‟ (estetika) yang didialogkan dengan pendekatan fenomenologi kesadaran beragama sebagaimana diuraikan filsuf besar Jerman, G. W. F. Hegel dalam adi-karyanya yang terbit pertama kali pada 1807, yaitu “Fenomenologi Roh” (Phänomenology des Geistes)9. Adapun argumen yang akan saya pertahankan dalam esei ini kurang lebih berbunyi sebagai berikut:

“Jika seni dipahami sebagai wahana ekspresi diri, dan filsafat seni (estetika) berarti penilaian (evaluation, judgment) tentang baik dan buruknya, tinggi dan rendahnya „kualitas‟ wahana ekspresi diri tersebut dengan mengacu pada sejumlah kriteria yang bersifat intersubjektif, maka, dilihat dari terang pemahaman atas fenomena kesadaran religius yang salah satu momen manifestasinya adalah agama seni (sebagaimana dipahami Hegel), „goyang dangdut‟ adalah salah satu manifestasi dari seni sebagai wahana ekspresi diri yang menubuhkan keinderawian dan kesegeraan (sense-immediacy) sekaligus cuatan dari pengalaman artistik serta kesadaran religius tertentu yang keberadaannya (penampakan dan pertunjukannya) tidak seyogianya dibatasi, dilarang, apalagi dicekal atas dasar ketakutan „dapat merusak moral bangsa‟ atau atas dasar kriteria tafsir serta pemahaman agama yang sempit dan yang cenderung sarat muatan politis, namun (goyang dangdut) juga hendaknya tidak dimuliakan sebagai bentuk satu-satunya dari seni sebagai wahana ekspresi-diri dan manifestasi Roh dalam sejarah.”

Untuk lebih jelasnya, marilah sekarang kita masuk ke dalam pokok bahasan filsafat seni guna meletakkan argumen di atas pada tempatnya.

8

Seperti perintah boikot Kepala Kantor Wilayah Departe men Agama Nusa Tenggara Barat, H La lu Suhae mi I s my, terhadap peredaran album Ka masutra dari penyanyi muda yang sedang naik daun, Julia Pere z. (lihat liputan dari

Pingkan Ulaan, “Kena Cekal,” Sabtu, 26 April 2008 di

http://www.wartakota.co.id/inde x.php?option=com_content&task=view&id=3313&Ite mid=77), bandingkan juga peristiwa yang beberapa tahun lalu terjadi yaitu protes Front Pe mbela Isla m (FPI) terhadap artis Anjas mara dan Issabele Yahya yang berpose telanjang dalam CP Biennale Ja karta Septe mber 2005 d i Museum Bank Indonesia.

9

(5)

Tentang Seni dan Estetika

Ketika berbicara tentang seni, karya seni dan ekspresi artistik manusia, kita tidak bisa melepaskan diri dari hal- ihwal „penilaian cita-rasa‟ (judgment of taste), refleksi atas ide keindahan (the idea of beauty), dan cara-cara mencipta (kreasi) serta menghargai (apresiasi) karya seni.10 Dalam esei ini, kita tidak akan masuk ke dalam problematika dan perdebatan panjang tentang definisi seni, estetika, konsep keindahan dan nilai dalam seni, namun cukuplah untuk menggarisbawahi sejumlah gagasan yang berfungsi untuk menopang argumen utama dalam esei ini. Bagaimana keterkaitan antara seni dengan estetika (filsafat seni)? Menurut Chris Barker dalam bukunya The Sage Dictionary of Cultural Studies (2004)11, estetika adalah cabang dari filsafat yang berurusan dengan pertanyaan tentang Seni dan keindahan. Estetika dalam pengertian tradisional mencoba mencari pendasaran dan kriteria universal untuk mendefinisikan Seni, misalnya nampak dalam karya Immanuel Kant tentang Seni dan Estetika, Kritik der Urteilskraft (The Critique of Judgment)12, dan dengan demikian estetika tradisional cenderung bercorak esensialisme. Penilaian estetis mencoba membedakan antara Seni dan bukan Seni, dan juga Seni yang baik dan Seni yang buruk. Dengan melakukan ini, penilaian estetis menggarisbawahi pentingnya membedakan kanon artistik atau susastra dengan yang bukan-kanon. Filsafat keindahan (nama lain dari „estetika‟) juga menjelaskan relasi antara Seni dengan ranah aktivitas manusia lainnya seperti moralitas, politik, dan perdagangan.

Berbeda dari Kant yang menekankan segi otonomi seni dari ranah-ranah aktivitas manusia lainnya (seperti sains dan moralitas), Hegel mencoba menempatkan seni di bawah perspektif historis dan budaya13. Sebagai objek dan pengalaman, seni harus dipahami dalam perspektif sejarah, artinya, bentuk-bentuk seni akan berbeda seturut periode penciptaan dan „semangat‟ (Geist)

10

Lih. Richard Kearney and Dav id Rasmussen (tim editor), Continental Aesthetics: Romanticism to Postmodernism, An Anthology, Oxford (UK) and Malden (USA): Blackwe ll Publishers, 2001. Bdk. Mudji Sutrisno, dkk, Tek s-tek s Kunci Estetik a (Filsafat Seni), Yogyakarta: Galang Press, 2005. Lihat juga konsep “estetika” sebagaimana dipaparkan Barry Hartley Slater (University of Western Australia ) dala m the Internet Encyclopedia of Philosophy (yang bisa diakses di http://www.iep.utm.edu//a/aestheti.htm) yang me mbe rikan ga mbaran yang cukup lengkap dan terklasifikasi tentang konsep-konsep, nilai-nilai, sikap-sikap estetis serta intensi, definisi, ekspresi, representasi dan objek-obje k seni. Da la m wikipedia (http://en.wikipedia.o rg/wiki/Aesthetics ), tercatat bahwa estetika (aesthetics) pada umumnya disepakati sebagai studi tentang hal-ihwa l keindera wian (sensory) atau nila i-nila i yang melekat pada indera dan rasa-perasaan (sensori-emotional values), yang biasanya disebut dengan „penilaian perasaan dan cita-rasa‟ (judgments of sentiment and taste) atau refleksi krit is tentang seni, kultur, dan ala m (critical reflection on art, culture and nature). Meskipun ada sejumlah ahli yang mengidentikkan estetika dengan „filsafat seni‟ (the philosophy of art), namun jika d ilihat secara lebih cermat lagi, keduanya me miliki beberapa perb edaan, di mana estetika lebih berpusat pada pertanyaan -pertanyaan tentang kategori-kategori yang bersifat abstrak untuk melihat dan menilai dunia in i (misalnya dari segi keindahannya)--- jadi, estetika bergerak di level metafisik, ontologi dan teori nila i---sementara filsafat seni lebih berpusat pada kritik dan apresiasi terhadap objek-objek atau karya-karya seni yang sudah termanifestasi.

11

Ba rke r, Chris, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London, Thousand Oaks, dan New Delh i: Sage, 2004. 12

Dala m ka rya monumental di b idang seni dan estetika ini, Kant berargumen bahwa estetika adalah bentuk otonom yang terpisah dari penyelid ikan sains dan prinsip-prinsip mora litas.

13 Lih. bagian

(6)

zamannya14. Maka, dilihat dari perspektif sejarah, menurut Hegel ada tiga jenis hubungan antara Ide dan penampakannya secara inderawi, yang muncul dalam bentuk-bentuk seni, yaitu seni simbolik, seni klasik, dan seni romantik15. Masing- masing momen (tahapan) dalam perjalanan manifestasi Ide tentang seni secara inderawi ini mempunyai puncak-puncaknya yang khas. Pada seni simbolik, puncaknya adalah seni arsitektur. Pada seni klasik, puncaknya adalah seni patung, dan pada seni romantik, puncaknya adalah seni puisi.

Dalam tulisannya, Lectures on Aesthetics16, Hegel membuat klasifikasi ide-ide tentang karya seni ke dalam tiga judul besar, yaitu (1) karya seni bukanlah produk alamiah melainkan produk aktivitas manusia, (2) karya seni dibuat untuk „dipahami‟ (apprehension) manusia, dan secara khusus, karya seni diciptakan serta diinspirasikan oleh ranah inderawi (senses), (3) karya seni mempunyai tujuan pada dirinya sendiri. Dua pertimbangan yang pertama saya kira sudah cukup jelas. Namun untuk hal nomor (3), saya merasa perlu menjelaskannya sedikit lebih jauh. Apa tujuan seni pada dirinya sendiri? Secara panjang lebar, Hegel menguraikan tujuan seni pada dirinya sendiri yaitu bahwa “tujuan seni seharusnya terdiri dari (upaya) membangkitkan dan menghidupkan perasaan-perasaan, juga kecenderungan-kecenderungan, serta hasrat- hasrat kita yang tertidur, dalam memenuhi hati kita dengan beraneka macam rasa-perasaan yang...dapat menggerakkan hati kita ... untuk merasakan dan mengkontemplasikan kenikmatan yang dicecap oleh roh kita ... agar manusia terbiasa (bergaul) dengan yang menegangkan dan mengerikan, juga yang menyenangkan dan membahagiakan... dan akhirnya membiarkan imajinasi mengembara dan bermain- main dengan imaji, pikiran, perasaan, yang sarat pesona dan godaan inderawi dalam visi dan perasaan.”17

Terkait dengan penjelasan Hegel di atas tentang tujuan dari seni pada dirinya sendiri, tentu kita bisa sepakat bahwa seni tari dan gerak (dance, movement) adalah sebuah bentuk seni yang amat berpusat pada dimensi keinderawian, dalam hal ini tubuh sebagai media ekspresi yang simbolis, simbol dari ide keindahan yang coba diwujudkan dan ditampilkan. Dikatakan sebagai „media ekspresi yang simbolis‟ karena lewat gerak dan tari, si penari tidak hanya menggerakkan anggota

14

Untuk ura ian panjang lebar dan tersistematisasi dengan baik menyangkut pokok in i, lihat tulisan Fit zgera ld K. Sitorus, “Estetika Hegel” dalam Mudji Sutrisno, dkk, Tek s-tek s Kunci Estetika (Filsafat Seni), Yogyakarta: Ga lang Press, 2005, h lm. 11 – 39, khususnya hlm. 22 – 29.

15

16Hegel, G. W. F., “Lectures on Aesthetics” dikutip dari Lectures on Fine Art, diterje mahkan oleh T. M. Kno x, Oxfo rd

and New York: Oxfo rd Unive rsity Press , 1975, sebagaimana direpresentasikan oleh Kearney dan Rasmussen (tim editor), ibid., hlm. 104.

17

(7)

tubuhnya, namun lebih bahwa gerak dan tari menjadi ekspresi dari bisikan dan inspirasi yang dapat menggerakkan hati mereka yang menontonnya sekaligus membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam „kontemplasi akan Yang Indah dan Yang Harmonis.‟ Mari kita perhatikan beberapa gambar di bawah ini yang kiranya dapat menjadi contoh dari pernyataan di atas.

(4) (5)

[sumber ga mbar 4 = http://imc radiodotnet.files.wordpress.com/2008/03/ mythological -themes-krishna-2004-1.jpg]

[sumber ga mbar 5 = http://www.mongolart .mn/bimeges/photo/religious_dance_large.jpg]

Dilihat secara historis, seni tari dan gerak mempunyai tempat yang signifikan, tidak hanya dalam ranah seni dan budaya, namun juga, misalnya, dalam ekspresi religius individu maupun kelompok. Sebagaimana diamati oleh Rev. Nalbandian, meskipun asal- usul religious dancing tidak bisa dikatakan secara pasti, namun yang jelas ia sudah ada sejak zaman dulu kala, sejak masa purba.

(6)

(8)

Pada suatu masa dalam sejarah umat manusia, tari dan gerak yang bernuansa religius (religious dancing) tidak bisa dipisahkan dari penghayatan religiositas, dan bahkan seni gerak dan tari dianggap sebagai ekspresi dari keyakinan dan dunia batin dari para pemeluk dan penghayat agama-agama. Religious dance tidak pernah berdiri sendiri sebagai aktivitas tunggal, namun selalu diiringi oleh lagu (gita), tepuk tangan, dan bunyi-bunyian instrumen musik seperti gendang, seruling, dan lain- lain [lihat gambar 5 di atas]. Sebagaimana musik menyatakan ekspresi terdalam jiwa manusia, begitu juga tari, yang dapat mengekspresikan dunia batin, emosi-emosi spiritual dan kepribadian seseorang. Lewat gerakannya, tari dapat membawa keluar dan membuat kesedihan dan sukacita seseorang dikenali.18 Paparan ini sedikit banyak menggemakan apa yang dikatakan oleh Hegel di bagian awal tadi. Jadi, sebagai kesimpulannya, seni (di dalamnya termasuk seni tari) adalah ekspresi diri yang intim dari para senimannya, yang mengungkapkan kekayaan dunia batin, kehalusan budi dan perasaan, mengkomunikasikan segi-segi pengalaman yang mungkin tidak dapat diungkapkan lewat bahasa verbal (diskursus).

Seni, Agama, dan Pengalaman Religius

Sekarang marilah kita tinjau aspek seni yang berbentuk tari (dancing) ini dan keterkaitannya dengan pengalaman religius. Sekali lagi kita akan berguru pada Hegel yang menyampaikan pandangannya tentang keterkaitan antara seni, agama, kesadaran, dan perjalanan Roh yang ia rangkum dalam judul “Agama Seni.”19

Pertama-tama, baik jika kita mencermati tabel berikut untuk mendapatkan gambaran keseluruhan tentang letak „agama seni‟ dalam skema berpikir dialektis Hegel menyangkut momen -momen perjalanan Roh memanifestasikan dan mengenali dirinya kembali dalam sejarah umat manusia20.

AGAMA ALAM AGAMA SENI AGAMA WAHYU

Letak dalam skema

The Being of God Imanen total Transenden Imanen sekaligus Transenden

Sikap penghayat

(9)

dalam hidup beragama

Berbicara tentang fenomena kesadaran religius21, secara sederhana Hegel membaginya menjadi tiga tahapan perkembangan, yaitu dari agama alam (natural religion)  agama seni (religion in the form of art), dan  akhirnya berpuncak pada „agama wahyu‟ (revealed religion). Lewat paparannya di bagian “Agama”22

, Hegel berikhtiar menjelaskan fenomenologi kesadaran religius dalam skema dialektika perkembangan spiritual (baca: perjalanan Roh absolut untuk memanifestasikan dan mengenali dirinya) yaitu kesadaran (agama alam), kesadaran-diri (agama seni), dan akal budi (agama wahyu) sambil menunjukkan paralelnya dengan tiga tahapan kesadaran yaitu kepastian inderawi, persepsi dan pemahaman.23 Perlu juga dipahami sejak awal bahwa dengan mengulas “agama seni” Hegel tidak memaksudkannya sebagai sebuah traktat filosofis (estetis) tentang seni klasik (Yunani dan Romawi), namun lebih sebagai refleksi historis atas kesadaran religius yang mengekspresikan dirinya dalam seni. Hegel mencoba memahami transisi dari agama alam ke agama seni dengan mengamati dan menganalisis tahapan peralihan agama dari agama Mesir (kuno) ke agama Yunani. Sudah cukup lama Hegel terpesona pada kebudayaan Yunani, khususnya kemajuan dan pencapaian di bidang seni dan agama. Dalam agama Mesir, keilahian masih menempati skema yang kasar atau buram dalam konstelasi pikiran dan tindakan manusia. Relasi yang Ilahi dengan yang manusiawi masih bernuansa kepasifan dan ketakutan di pihak manusia, dan kemahakuasaan serta kesewenang-wenangan di pihak yang Ilahi. Akan tetapi, dengan mentasnya agama Yunani, yang Ilahi “diturunkan” ke bumi dan diberi tempat bermukim. Dewa yang bermukim dalam patung-patung adalah dewa yang dipenuhi (dijalari) oleh terang kesadaran. Inilah agama yang mengalami transisi dari tahap “kontemplasi alam” ke “kesadaran-diri” yang cukup24. Menyangkut periode transisi ini, tesis yang diajukan Hegel kira-kira berbunyi sebagai berikut: Roh Ilahi (Roh Absolut) berbicara secara lebih otentik dalam karya tangan manusia yang disarati roh artistik daripada dalam kejadian-kejadian alam.

Dalam momen „agama seni‟, Hegel membagi karya seni (work of art) menjadi tiga jenis, yaitu: karya seni yang abstrak (the abstract work of art), karya seni yang hidup (the living work of art) dan karya seni yang spiritual (the spiritual work of art). Ciri dari karya seni yang bersifat

21 Secara ringkas, Hegel memahami „agama‟ (religion) sebagai kesadaran akan „Pengada Yang Absolut‟ yang

mena mpa kkan dirinya. Lih. 21 Hegel, Phenomenology of Spirit, op.cit., par. 672. 22

Hegel, Phenomenology of Spirit, ibid., par. 672 – 787. 23

Lauer, Quentin, A Reading of Hegel’s Phenomenology of Spirit, New York: Fordha m Un iversity Press, 1993, hlm. 267. Se lanjutnya akan disingkat menjad i Lauer, A Reading, hlm. (…)

(10)

abstrak (“abstrak” dalam terminologi Hegel tentu saja) adalah kesegeraan dan langsung (immediacy)-nya. Dari sudut pandang religius, patung-patung yang disembah dalam agama seni (seperti dalam agama orang Yunani dan Romawi), di mana dewa dipercaya hadir di dalamnya dan yang sekaligus menjadi objek sesembahan (cultic object) adalah “benda” „yang tak bernyawa‟

(inanimate); (patung-patung tersebut) baru bernyawa (animated) ketika ia meletak dalam aktivitas „pemujaan‟ (cult). Dalam bahasa khas Hegel, inilah proses „penubuhan‟ (Behausung) yang bersifat individual dari objek universal yang mau digambarkan.25 Perjalanan Roh memanifestasikan dirinya dan manusia merealisasikan kebebasannya tidak berhenti pada ritual di kuil-kuil pemujaan dan karya ciptaan seniman yaitu patung, namun ia melangkah lebih jauh lagi, yaitu pada karya seni yang hidup (the living work of art). Dalam arti apa “hidup” di sini? Yang dimaksud dengan karya seni yang hidup adalah bahwa kehadiran dewata tidak lagi dilihat dan dialami sebagai penanda dan pengingat yang berjarak yang dihidupkan oleh aktivitas pemujaan namun yang setelahnya tetap tinggal sebagai patung-patung yang mati, namun sebagai dia yang ikut serta dialami dan berbagi hidupnya dengan manusia. Jadi, ringkasnya, yang Ilahi berbagi hidupnya dengan yang manusiawi dan yang manusiawi berpartisipasi dalam karya yang Ilahi. Apa saja bentuk-bentuk dari karya seni yang hidup ini? Lauer mendokumentasikan empat bentuk karya seni yang hidup26, yaitu (1) pesta perjamuan, saat perjamuan makan bersama dengan dewata, orang berbagi keilahiannya, (2) misteri, di mana individu secara lebih intim bersatu dengan dewata, entah secara rahasia maupun secara terbuka, (3) tari (dance), di mana gerak tubuh manusia mengekspresikan kehadiran yang ilahi, dan (4) ekstasi, di mana kata menjadi niscaya untuk mengekspresikan perasaan yang sifatnya ilahi-sekaligus-manusiawi.

Berikut bagan yang merangkum paparan Hegel tentang tiga momen karya seni yang termasuk ke dalam „agama seni‟:

Abstract work of art Living work of art Spiritual work of art

(11)

perjumpaan dengan yang Ilahi yang memanifestasikan dirinya dalam hasil karya

tersebut

mereka dalam ekspresi bersama

Sikap penghayat

yang menonjol Pemujaan pasif;

penyembahan patung

Aksi dan gerak bersama yang dipimpin oleh para

imam

Pemberontakan, refleksi, keputusan sadar dan bebas (penentuan diri)

Butir-butir Refleksi

Dari uraian teoretis di atas, saya mengajukan lima butir refleksi sejauh menyangkut pokok bahasan serta argumen utama yang saya angkat di bagian awal esai ini (halaman 4).

(1) Dalam pandangan Hegel, Roh memanifestasikan dan mengenali dirinya setela h melewati tahapan-tahapan perjalanan, di mana salah satu tahapannya adalah mewujud dalam agama seni. Sebagai tanggapan dari perwujudan Roh dalam sejarah, manusia merealisasikan kebebasannya sekaligus mencipta (to create) sebagai buah dari kesadaran-dirinya dalam kebersatuan dengan yang Ilahi. Sampai di titik ini, kita bisa bertanya sebagai berikut: apakah agama seni berarti juga sebuah seni beragama? Jika seni dipahami tidak saja sebagai seperangkat kecakapan untuk menciptakan sesuatu atau karya cipta (produk) yang lahir dari daya-daya kreatif manusia yang diwujudkan dalam dan lewat materi (kayu, batu, kain, tanah, dll) namun juga berarti berpartisipasinya seseorang ke dalam realitas adi-inderawi (yang indah, yang „sublim‟, yang transenden, yang tak lekang oleh zaman tak lapuk digerus waktu), maka tahapan agama seni sebagaimana dipahami Hegel juga memuat karakteristik seni beragama atau persisnya seni menghayati agama (the art of practising religion). Yang saya maksud dengan seni menghayati agama di sini ada lah sikap hidup seseorang yang tidak menuhankan sesuatu benda apapun (Idols dalam terminologi Francis Bacon, Idée fixée

dalam terminologi Friedrich Nietzsche) tanpa ia sendiri ikut berpartisipasi, berkreasi, sadar-diri di dalamnya. Agama yang dihayati tanpa hati, perasaan dan daya cipta (sebagaimana ditunjukkan secara kuat lewat seni), adalah agama yang miskin dan penghayatannya adalah penghayatan yang kaku, abstrak, dan „mati.‟

(2) Menyangkut karya seni yang menggunakan tubuh sebagai media ekspresinya (dancing,

theatre, seni instalasi, dan sebagainya), menurut hemat saya, akan lebih tepat jika kita menempatkannya dalam proporsinya yang tepat, menyangkut multi-dimensionalitas kapasitas dan kapabilitas manusia sebagai makhluk yang merajut makna dan simbol27. Dalam terang pengertian yang seimbang, tubuh, gerak dalam tari dan ekspresi simbolisnya, berbagi tempat dan makna dalam konteks keseluruhan dimensi mengada manusia, seperti kemampuan berpikir dan mencipta imaji

27 Lih. Cassirer, Ernst,

(12)

(pictorial thinking), bertutur lewat bahasa dan puisi, menciptakan alat-alat dan perkakas untuk bertahan hidup dan mengubah dunianya, dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan dan refleksi filsuf Hans Jonas28, yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuan manusia untuk menciptakan benda (tool), imaji (image), dan berpikir tentang kematiannya (grave). Ketiga artefak ini menjadi ciri khas kualitas manusia sebagai makhluk pembentuk (homo faber), makhluk yang dapat membentuk citra atau imaji (homo pictor), dan makhluk yang dapat merenungkan kematiannya sendiri dan mempersiapkan kuburannya. Tahapan yang lebih rendah adalah tool-making, lalu berlanjut ke tahap yang lebih tinggi yaitu image-making, dan terakhir adalah ciri konstitutif yang jelas-jelas membedakan manusia dengan binatang, yaitu bahwa ia dapat menjadikan kuburan sebagai simbol kemampuannya untuk melampaui (transendensi) lingkungan hidupnya yang serba segera dan langsung (immediate), menuju ke ranah yang kasat mata (invisible) dan immaterial. Danse macabre29 atau tarian kematian adalah ikhtiar sadar manusia Abad Pertengahan untuk mengakrabi sekaligus menjinakkan ketakutan mereka terhadap maut yang secara acak memilih korbannya, tanpa membedakan status sosial. Namun, danse macabre juga bisa ditafsirkan sebagai persiapan rohaniah manusia untuk me nyongsong datangnya kematian, dan inilah yang menjadi kekhasan manusia.

(7)

[sumber ga mbar (7): http://cache.eb.com/eb/image?id=68741&rendTypeId=4]

28

Lih. Jonas, Hans, Mortality and Morality: A Search for the Good after Auschwitz, second paperback printing Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1999 , hlm. 85, dst.

29 Bd k. Bau man, Zygmunt,

(13)

Jika dilihat dalam terang refleksi ini, seni tari dan gerak menempati level ekspresi roh artistik manusia yang sifatnya masih „segera dan langsung‟ (immediate), di mana dimensi panca-indera masih memainkan peranan yang amat menentukan.

(3) Mengomentari argumentasi Dr. Ayu Sutarto yang saya kutip di bagian awal esei ini (hlm. 3), “bila penilaian (terhadap goyang Inul) itu berangkat dari religio estetik, persoalannya akan menjadi lain. Sebab, agama memang sudah mempunyai patokan tertentu mengenai aurat dan batas-batas ekpresi politik tubuh yang dapat mengundang syahwat. Religio estetik tidak akan memberi ruang sedikit pun kepada Inul,” jika dilihat dari perspektif Hegelian, terminologi „religio estetik‟ yang dimaksud Ayu Sutarto tentu religio estetik dalam pengertian tertentu dan terbatas. Artinya, religio estetik dalam periode sejarah (ruang dan waktu) tertentu, yang dalam hal ini berlaku atau terjadi di Indonesia, di masa sekarang, dengan melibatkan perspektif agama tertentu, dan berangkat dari tafsir ajaran-ajaran atau akidah-akidah agama yang juga partikular. Mengapa demikian? Dengan mengacu pada estetika struktur candi Borobudur30 yang menjadi kebanggaan budaya bangsa Indonesia dan diakui sebagai warisan budaya dunia (world cultural heritage), misalnya, kita menyaksikan mosaik- mosaik (ukiran, pahatan) yang menggambarkan proses ziarah religius yang dialami Siddharta Gautama dalam tahap kamadhatu. Dalam tahap ini, manusia digambarkan masih mengumbar dan mengejar pemenuhan hasrat „kedagingan‟ atau nafsunya sendiri, naluri-naluri liar. Yang nikmat, enak dan meriah dirayakan dan diberi tempat sebagai bagian dari proses yang niscaya dalam proses pemurnian batin manusia yang berkhtiar untuk menggapai penghayatan religiositas yang lebih tinggi dan lebih murni. Tahapan „peziarahan rohani‟ yang masih melekat pada keinderawian ini diafirmasi dan diterima, namun tidak lantas berhenti di sini, melainkan diupayakan untuk terus dilampaui, ditransendensi. Maka, kita juga dapat mencermati tahapan-tahapan

rupadhatu dan arupadhatu dalam estetika struktur candi Borobudur, sebagai tahapan yang lebih tinggi dari tahapan kamadhatu. Kriteria religio estetik bukanlah kriteria yang baku dan final karena bagaimanapun baik agama maupun seni (estetika) adalah sesuatu yang dinamis, yang masih terus berkembang seiring dan sejalan dengan gerak pemahaman atas kenyataan dan realisasi kebebasan manusia. Kalaupun „goyang dangdut‟ pada masa sekarang „dicekal‟ karena alasan melanggar kriteria agama (tertentu) atau kaidah kesopanan, penulis percaya bahwa inipun masih akan berubah mengingat Roh Ilahi (Roh Absolut) berbicara secara lebih otentik dalam karya tangan manusia yang disarati roh artistik daripada dalam belenggu penafsiran agama yang beku dan kaku. Secara alamiah, sifat elusif (mengelak, licin) dari seni sebagai ekspresi kesadaran, kebebasan dan penentuan diri, di hadapan rezim yang otoriter dalam penafsiran, akan semakin menguat alih-alih surut dan padam. „Goyang dangdut‟ sebagai salah satu manifestasi dari seni sebagai wahana

30Lih. Mudji Sutrisno, “Estetika dan Religiositas” dalam Mudji Sutrisno, dkk,

(14)

ekspresi diri yang menubuhkan keinderawian dan kesegeraan (sense-immediacy) sekaligus cuatan dari pengalaman artistik serta kesadaran religius tertentu memang tidak seyogianya dibatasi, dilarang, apalagi dicekal atas dasar ketakutan „dapat merusak moral bangsa‟ karena, sebagaimana sudah penulis jelaskan di atas, merupakan satu tahapan perjalanan Roh dalam memanifestasikan dan mengenali dirinya, dan ini hanya bisa dijustifikasi dalam kerangka penafsiran yang historis.

(4) Meskipun kebebasan berekspresi menjadi salah satu nilai yang dijunjung tinggi dalam aktivitas berkesenian, namun „kebebasan berekspresi‟ bukanlah nilai yang meletak di ruang hampa udara. Mudji Sutrisno, seorang budayawan, agamawan, penggiat seni kontemporer, sekaligus pelukis, pujangga dan pengajar filsafat, menegaskan posisi para seniman dalam pentas kehidupan masyarakat. Menurutnya, “para seniman harus memiliki kesadaran untuk menjadi komentator kehidupan sosial atau mengajak masyarakat untuk tidak hanya (hidup) pada satu arus nilai hedonis-materialistis dan kembali pada nilai dasar religiositas, solidaritas pada yang sengsara dan apa dari sesama dan hormat pada martabatsesama manusia. Namun, semua ini tidak akan bisa terolah matang sebagai ucapan kejujuran nurani seniman-seniman, jika proses kreatif dibatasi. Jika dibatasi, seni yang kreatif akan sama posisinya dengan kesenian pesanan yang telah diatur dan direkayasa oleh pengaturnya.”31

Dengan demikian, dimensi subjektivitas dan kreativitas para penggiat seni, sekalipun dilindungi dan diperjuangkan sebagai nilai, tidak bisa dimutlakkan saat karya seni tersebut dipresentasikan di hadapan khalayak ramai, di tengah masyarakat. Mengapa? Karena persis pada saat ditampilkan dan ditonton pemirsa, terjadilah perjumpaan antara segi subjektivitas dengan segi sosialitas dan objektivitas seni. Yang satu membela kebebasan dan hak atas kreativitas, yang lain menjaga tatanan, ketertiban, kesusilaan dan norma. Kedua-duanya membela nilai- nilai yang berharga dan dijunjung tinggi dalam hidup manusia. Agar tidak terjadi konflik nilai yang menjurus pada pemberangusan, peniadaan, pelenyapan salah satunya, perlu diupayakan dan diciptakan suasana dialog yang berbasis pada kesediaan untuk mendengarkan dan memahami titik pijak serta horison masing- masing pihak.

(5) Kriteria estetik yang cenderung elitis (digariskan dan ditentukan oleh para ahli seni atau kritikus seni) bukannya tanpa tandingan. Salah satu tandingan atau tantangan terhadap kriteria estetik yang elitis tersebut datang dari ranah studi-studi budaya (cultural studies). Studi-studi budaya sebagian berkembang lewat kritik terhadap gagasan kriteria estetis yang bersifat universal dan elitisme budaya yang berbasis klas yang ada di dalamnya32. Pemahaman budaya sebagai „hal yang biasa‟ (ordinary) dikembangkan sebagai tandingan dari budaya yang dipahami sebagai „budaya luhur‟ (high culture) yaitu bentuk-bentuk budaya yang didefinisikan oleh para elit kritikus Seni sebagai „yang baik secara estetis‟ (aesthetically good). Praktik penarikan garis batas kanon

31

Lih. Mudji Sutrisno, “Seni, Cipta, dan Politik” dalam Mudji Sutrisno, dkk, Tek s-tek s Kunci Estetik a (Filsafat Seni), ibid.., hlm. 95.

(15)

„karya-karya yang baik‟ oleh teori estetika pada gilirannya melahirkan penyingkiran (eksklusi) terhadap budaya populer (di antaranya tentu saja „goyang dangdut‟!). Akan tetapi, para pembela budaya populer tidak kehabisan akal. Mereka berargumen bahwa yang namanya landasan universal untuk menarik batas antara yang berharga dan yang tidak berharga itu tidak ada, sehingga, implikasinya, mengevaluasi (membuat penilaian „baik‟ dan „buruk‟ terhadap karya seni) bukan lagi tugas dari para kritikus Seni. Kewajiban para kritikus bukanlah membuat penilaian estetis melainkan memerinci dan menganalisis proses produksi makna secara budaya. Pendirian semacam ini lantas menjadi pembuka jalan untuk berkembangnya diskusi yang hangat dan sah tentang teks-teks budaya populer yang beraneka macam. Seni kemudian bisa dipahami sebagai kategori yang diciptakan secara sosial yang dilekatkan pada sejumlah penanda-penanda eksternal dan internal tertentu yang lewatnya seni bisa dikenali, seperti misalnya „galeri seni‟ dan teater. Seni bukanlah hasil dari kegiatan mistik para jenius atau dunia (tatanan) yang berbeda sama sekali dari budaya populer melainkan sebuah industri dengan beragam pemilik, manajer, dan pekerja. Studi-studi budaya membantu kita untuk mengembangkan seperangkat argumen yang berkisar pada konsekuensi-konsekuensi politis dan sosial dari terciptanya dan tersebarnya pandangan dunia yang dihasilkan oleh wacana tertentu sekaligus memahami cara-cara bagaimana proses-proses simbolis dan kultural tidak bisa lepas dari kekuasaan, entah itu kekuasaan berbasis kedaulatan teritori dan hukum (negara, misalnya), atau kekuasaan berbasis agama (klaim atas otoritas yang „datang dari langit‟), atau kekuasaan berbasis ilmu pengetahuan (klaim yang dibuat oleh sains dan iptek, misalnya), atau kekuasaan fundamentalisme pasar. Sebagaimana ditunjukkan oleh Arjun Appadurai33 dalam karyanya Modernity at Large (1996), praktik-praktik estetis tidak lagi memadai jika dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif dilakukan oleh para artis dan seniman. Estetika di era sekarang teramat erat dikaitkan dengan karya imajinasi orang-orang biasa (contohnya Inul, Dewi Persik, Elvi Sukaesih, dan banyak lagi „artis populer lainnya‟ yang sebelumnya berasal dari klas sosial-ekonomi menengah ke bawah, yang lahir dan dibesarkan di kalangan akar-rumput) dan (estetika) semakin lengket dengan gerak kerja sekaligus ekspansi kapitalisme dalam skala global. Pemahaman yang memadai tentang ciri-ciri dan kelindan antara ekspresi seni dan jejaring kekuasaan sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, sains dan pengetahuan, yang melingkupi, mempengaruhi dan, untuk beberapa bagian, menentukannya, dapat mempertajam daya-daya kritis serta memperluas cakrawala kita dalam menilai suatu gejala, dan tidak hanya melulu mengklasifikasikan (dan implisit: „memenjarakan‟!) sesuatu ke dalam sekat-sekat entitas kolektif tradisional, seperti agama, atau ras, atau etnis, atau budaya.

33

Referensi

Dokumen terkait

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka meningkatkan kecerdasan interpersonal peserta didik, penelitian ini difokuskan dengan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang

Untuk lebih jelas dalam melihat perbandingan kedua naskah, di bawah ini disajikan tabel perbandingan naskah berdasarkan kondisi fisik naskah, pendahuluan, isi, kolofon, dan

Gaya tarik pada kabel ditransfer ke penampang beton menjadi gaya tekan melalui angkur yang ditahan oleh cover plate. Penarikan kabel dapat dilakukan sebelum beton dicor (

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat disintesiskan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses memilih aksi tertentu untuk

Model yang dibutuhkan agar sistem ini dapat berjalan adalah Language Model, Dictionary, dan Acoustic Model Model inilah yang akan menjadi acuan yang memudahkan penulis dalam

Dalam konteks proses pengendalian, perlu diketahui tentang peluang tidak terpenuhinya standar keteguhan rekat kayu lapis dari masing-masing masing-masing keteguhan rekat kayu

Tata kelola data, di sisi lain, berfokus pada menciptakan konteks bagi organisasi untuk menyelaraskan upaya pengelolaan data dengan tujuan bisnis, mendukung kepatuhan

Menyimpan daya hasil pemrosesan ALU sebelum dikirimkan ke peranti keluaran Menampung program/instruksi yang berasal dari peranti masukan atau dari peranti pengingat sekunder..