• Tidak ada hasil yang ditemukan

MERESPON GLOBALISASI DENGAN ALIANSI STRA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MERESPON GLOBALISASI DENGAN ALIANSI STRA (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MERESPON GLOBALISASI DENGAN ALIANSI STRATEGIS:

SUATU KEHARUSAN

Wahyuningsih Santosa

Universitas Trisakti

Abstract

Alliances between organizations have become an increasingly popular method of development. Dynamic markets, coupled with the increasing costs of doing business, have resulted in a significant increase in the use of strategic alliances. Firms in many industries must develop new capabilities in many areas, ranging from tecnologically development to manufacturing process, from plant economies to marketing and distributin, and they must do so quickly. Developing such competitive capabilities with limited resources is the core of strategic alliances, which allow firms to recast their competitive strategies in response to globalization.

Keywords: strategci alliances, resources, capabilities, globalization, joint learning, value creation, competitive advantages.

A. Introduksi

Dalam bukunya ‘Global Operations Management’, Flaherty (1996) menjabarkan tentang berbagai perkembangan atau inovasi dalam teknologi komunikasi dan informasi yang secara komersial telah dimulai sejak tahun 1950-an. Berawal dari penemuan

commercial computers, kemudian diikuti antara lain satelit komunikasi, transmisi digital, fax, telepon seluler, private networks, sampai internet dan juga multimedia, telah membuka peluang besar bagi bisnis global dan bahkan kini telah membawa dampak besar pada transformasi ekonomi dunia.

(2)

NAFTA, Masyarakat Eropa, GATT, AFTA dan sebagainya, semakin memperkuat pernyataan akan hilangnya berbagai hambatan masuk di atas.

Perusahaan-perusahaan di berbagai industri di dunia pun mengembangkan produknya dengan menggunakan jaringan pasokan global. Chrysler misalnya, perusahaan Amerika ini sebelumnya hanya mengembangkan produk mobil dengan menggunakan komponen dari Amerika dan dipasarkan untuk Amerika juga. Tetapi kini Chrysler juga membeli komponen-komponen untuk pengembangan produknya dari suplier-suplier di Jepang, Korea, Jerman dan beberapa negara lain, dan juga menjual produknya ke berbagai negara di dunia. Begitupun General Motors, kini ia juga mendapatkan pasokan komponen-komponen untuk perakitan mobilnya dari perusahaan-perusahaan seperti Suzuki, Isuzu, dan juga Toyota (Grant, 1995).

Saat inipun dengan mudah kita dapat menjumpai berbagai perusahaan yang bahkan memindahkan lokasi manufakturnya ke negara-negara lain untuk lebih cepat menjangkau pasar di seluruh dunia. Sebutlah beberapa nama perusahaan untuk contoh, seperti Toyota Motors, Hyundai, Ford, Hitachi dan sebagainya.

Selanjutnya, Zaman dan Mavondo (2002) mengutip hasil studi yang dilakukan oleh Allen & Hamilton, mengindikasikan bahwa antara tahun 1987 dan 1992 telah dibentuk lebih dari 20.000 aliansi baru di Amerika dengan pertumbuhan 25% per tahunnya. Hasil studi yang dilakukan oleh Day pada 1995 bahkan mengindikasikan bahwa IBM saja membentuk lebih dari 400 aliansi didalam dan luar negeri. Lebih jauh lagi, studi yang dilakukan oleh Coopers dan Lybrand pada 1996 pada 400 perusahaan menunjukkan bahwa 55% dari perusahaan-perusahaan tersebut melakukan rata-rata 3 aliansi strategis dalam pengembangan bisnisnya.

(3)

ancaman, karena dalam kondisi saat ini sangatlah mungkin justru meraih kesuksesan bisnis melalui kerjasama dengan pesaing.

B. Referensi Teoritis

Konsep Aliansi Strategis

Hubungan antar perusahaan sebenarnya telah mulai terjalin sejak awal tahun 1970-an, tetapi istilah aliansi strategis relatif “baru” dan bahkan sering digunakan dengan konsep yang bersifat ambiguitas (Bimono, 1999). Bahkan Yoshino & Rangan, seperti dikutip Bimono, menyatakan bahwa ‘Strategic Alliance is just a buzzword used by corporate hipsters for what used to be called joint ventures’.

Aliansi strategis tidak sama dengan joint ventures. Pearce & Robinson (2000) menegaskan hal tersebut dengan menyatakan: strategic alliances are distinguished from joint ventures because the companies involved do not take an equity position in one another; strategic alliances are partnerships that exist for a defined period during which partners contribute their skills and expertise to a cooperative project. Sebagai contoh, salah satu partner dalam aliansi strategis memiliki kemampuan manufaktur yang unggul sementara partner yang lain memiliki keunggulan dalam pemasarannya.

Menurut Yoshino & Rangan (1995), aliansi adalah perjanjian antar perusahaan yang meliputi fungsi-fungsi yang luas, dari pengadaan sumber daya-sumber daya melalui riset dan pengembangan sampai dengan produksi dan bahkan pemasaran. Dengan demikian aliansi strategis menghubungkan sisi-sisi bisnis dari satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, yang akan mampu memberikan atau menciptakan mutual benefit

bagi kedua belah pihak yang berpartisipasi.

Yoshino & Rangan selanjutnya menyatakan bahwa aliansi strategis merupakan proses simultan yang memiliki 3 karakteristik penting:

 Dua atau lebih perusahaan yang bergabung untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang telah disepakati, masing-masing tetap independen terhadap formasi aliansi,

(4)

 Perusahaan-perusahaan partner saling memberi kontribusi dalam satu atau lebih bidang strategis secara kontinyu, seperti teknologi, proses dan sebagainya.

Parise & Henderson (2001), dalam artikelnya yang berjudul “Knowledge Resource Exchange in Strategic Alliances” mengindikasikan bahwa aliansi dapat dipandang sebagai mekanisme untuk mendapatkan ‘know-how’ dan belajar dari perusahaan-perusahaan lain. Ada pertukaran sumber daya pengetahuan (knowledge resource) dalam suatu aliansi strategis. Adapun jenis sumber daya pengetahuan yang dapat dipertukarkan dalam aliansi strategis dapat berkisar dari sumber daya tidak berujud (intangible/tacit resources), seperti merk atau keahlian pekerja, sampai sumber daya berujud (tangible/physical resources), seperti mesin dan peralatan, komponen atau produk. Manajemen dan implikasi untuk penciptaan nilai dari aliansi strategis tersebut akan bergantung pada sifat pertukaran sumberdaya pengetahuan dari para partner dalam aliansi.

Tipe-tipe Aliansi Strategis

Dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk menganalisis aliansi strategis. Yoshino & Rangan (1995) mengidentifikasi 4 jenis aliansi strategis dengan memperhatikan dua dimensi manajerial, yaitu persaingan dan kerjasama. Yoshino & Rangan kemudian mendasarkan pada potensi konflik dan derajat interaksi antar sekutu untuk mengklasifikasikan aliansi tersebut, yaitu:

1. Aliansi Prokompetitif (Procompetitive Alliances)

Aliansi ini biasanya dilakukan antar industri yang tidak saling berkompetisi dengan tujuan membentuk suatu hubungan vertical value chain. Jadi dapat dilakukan antara perusahaan manufaktur dengan para pemasok serta distributornya. Walaupun perusahaan-perusahaan yang berpartner bekerjasama dengan erat dalam pengembangan produk atau proses produksi, tetapi dalam aliansi tipe ini derajat interaksi antar organisasi rendah sehingga potensi konflik pun rendah. Orientasi utamanya adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan mempertahankan fleksibilitas. 2. Aliansi Nonkompetitif (Noncompetitive Alliances)

(5)

mengembangkan mobil jenis kecil yang akan mereka jual bersama juga. Level interaksi antar organisasi pada aliansi ini tinggi tetapi potensi konfliknya rendah karena tidak ada pihak yang menganggap partnernya sebagai rival utama. Tujuan aliansi tipe ini adalah pada learning, bukan pada fleksibilitas atau proteksi kompetensi inti.

3. Aliansi Kompetitif (Competitive Alliances)

Aliansi ini sama dengan aliansi nonkompetitif dalam hal tingginya derajat interaksi organisasi, tetapi berbeda dalam hal bahwa partner adalah perusahaan yang dapat merupakan pesaing langsung dalam pemasaran produk akhir. Dalam aliansi ini derajat interaksi organisasi maupun potensi konfliknya sama-sama tinggi. Prioritas utamya adalah pada learning, fleksibilitas strategi, dan juga proteksi kompetensi inti karena tingginya persaingan. Contoh yang dapat diberikan disini adalah aliansi yang dilakukan antara Motorolla dan Toshiba yang secara bersama-sama memproduksi mikroprosesor di Jepang.

4. Aliansi Prekompetitif (Precompetitive Alliances)

Aliansi ini terbentuk antara perusahaan yang berbeda dan bahkan dari industri yang tidak saling berhubungan. Tetapi walaupun pada saat ini anggota aliansi bukan kompetitor, terdapat kemungkinan menjadi kompetitor untuk masa yang akan datang. Derajat interaksi organisasi pada aliansi ini tentu saja rendah, tetapi memiliki potensi konflik yang tinggi. Adapun orientasi utamanya adalah pada fleksibilitas strategi dan juga proteksi kompetensi inti. Aktivitas yang dapat dilakukan bersama dalam hal ini misalnya adalah pengembangan teknologi baru.

Sementara Parise & Henderson (2001) mengembangkan model konseptual yang disebut PREM (Partner Resource Exchange Model). Model ini menganalisis sifat pertukaran sumberdaya pengetahuan dalam aliansi yang didasarkan pada tiga dimensi pengetahuan, yaitu tacitness, specificity dan complexity, dan juga peran partner dalam konteks industri, yaitu sebagai komplementer, pesaing, pemasok, pelanggan, atau lainnya. Dilihat dari dimensi pengetahuan, pertama, adalah aliansi dimana kedua partner mengkontribusikan sumberdaya dengan dimensi tacitness, specificity dan complexity

(6)

efisiensi, penurunan risiko, dan pengurangan biaya-biaya. Tujuan aliansi yang bersifat ‘operation based’ ini adalah untuk integrasi yang lebih baik diantara para partner, misalnya aliansi antara perusahaan dengan suplier dengan tujuan tercapainya deliveri yang tepat waktu, atau untuk meningkatkan kualitas material atau komponen. Aliansi ini bisa berupa ‘manufacturing agreement’ atau ’ joint manufacturing alliance’.

Aliansi kedua adalah aliansi dimana salah satu partner menyediakan sumberdaya strategis sementara partner yang lain menyediakan sumberdaya dengan level yang lebih rendah. Disini bentuk aliansinya dapat berupa suatu ‘marketing agreement’, dimana partner pertama menyediakan akses pasar, informasi tentang konsumen, atau merk, sementara partner yang lain menyediakan produk yang akan dipasarkan. Dimensi detail dan kompleksitas pada aliansi ini biasanya rendah, sementara dimensi tacitness dapat tinggi atau rendah. Bentuk lain dari aliansi ini adalah ‘technology licencing agreement’

dimana salah satu partner membayar royalti untuk mendapatkan akses teknologi dari partner yang lain. Tidak ada pengembangan teknologi atau produk baru dalam aliansi ini, dan hanya ada sedikit integrasi diantara para partner, tidak ada sharing knowledge yang signifikan sehingga proses belajar diantara para partner pun sangat minim.

Aliansi ketiga dari dimensi pengetahuan adalah aliansi dimana kedua partner menyediakan sumberdaya strategis dengan dimensi tacitness, specificity dan complexity

yang tinggi. Hasilnya adalah penciptaan nilai yng menghasilkan kapabilitas strategis atau kapabilitas yang unik. Aliansi ini pada umumnya melibatkan para partner untuk mengintegrasikan pengetahuan mereka dalam mengembangkan teknologi atau produk baru bersama. Karena pengetahuan dibagi diantara para partner yang terintegrasi secara lintas fungsi atau bahkan berasal dari industri yang berbeda, dengan demikian maka proses belajar terjadi secara lebih intensif diantara para partner tersebut.

Masih menurut Parise & Henderson (2001), jika dilihat dari peran para partner, aliansi dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Aliansi Komplementer (Complementor Alliances)

(7)

menguntungkan kedua belah pihak. Bentuknya dapat berupa kerjasama dalam R&D, atau aliansi pemasaran bersama dimana perusahaan akan memasarkan produk komplementer sebagai paket yang tidak terpisahkan dari produknya sendiri. Aliansi Pentium dan Intel adalah contoh yang baik disini. Contoh lainnya adalah aliansi antara ASK Group Inc., perusahaan software bisnis strategis besar di dunia, dengan Sun Microsystems, perusahaan hardware yang sangat besar di dunia, untuk menyediakan solusi perhitungan bisnis kelas dunia.

2. Aliansi Pemasok (Supplier Alliances)

Aliansi dengan pemasok ditujukan untuk mencapai integrasi yang ketat yang akan menghasilkan pengurangan biaya-biaya, meningkatkan efisiensi, dan juga meningkatkan kualitas. Baik perusahaan ataupun si pemasok tentu akan mendapatkan benefit dari aliansi ini. Perusahaan mendapatkan jaminan kelancaran pasokan material ataupun produk lainnya sehingga proses produksi tidak terganggu, dan pemasok pun mendapat keuntungan apalagi jika perusahaan yang akan dipasoknya merupakan pemimpin pasar. Contoh yang dapat diberikan disini adalah aliansi antara Compaq Computer dengan Storage Technology Corp., salah satu pemasok Compaq, dalam proyek R&D yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan emerging storage networks untuk Windows NT Enterprise Computing.

3. Aliansi Pelanggan (Customer Alliances)

Aliansi dengan pelanggan akan memberikan benefit kedua belah pihak yang bekerjasama karena pelanggan adalah sumber penting untuk inovasi produk ataupun pengembangan produk baru, kustomisasi rancangan, perbaikan layanan pelanggan, dan juga pengurangan biaya melalui integrasi saluran distribusi. Aliansi pelanggan, yang sering pula disebut sebagai ‘relationship marketing’, lebih difokuskan pada retensi pelanggan melalui keterlibatan pelanggan yang mendalam dalam desain dan pengembangan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Tahun 1998 Compaq Computer Corp. dan Radio Shack, salah satu unit dari Tandy Corp., melakukan aliansi strategis untuk memasarkan salah satu lini Compaq yaitu Compaq Presario Computers dan aksesorinya. Compaq juga memberikan lisensi pada Radio Shack untuk memberikan layanan pada seluruh lini Compaq Computers.

(8)

Aliansi dengan pesaing dapat berbentuk perjanjian lisensi, joint ventures, atau konsortia. Lisensi dapat dilakukan karena ketidakmampuan perusahaan dalam kapitalisasi atas teknologinya secara maksimal, keinginan untuk menetapkan standar industri dalam daur hidup produk lebih awal, atau sebagai mekanisme defensif untuk melindungi terhadap proses yang berhubungan dengan hukum atau pengadilan. Joint ventures dapat dilakukan dengan alasana: biaya rendah untuk risiko yang tinggi, proyek pengembangan teknologi intensif, pencapaian skala dan skop ekonomis, belajar dari partner melalui akses pada teknologi partner dan juga akses pada pengetahuan partner, dan juga membentuk basis bagi persaingan inmdustri di masa yang akan datang. Hitachi dan Hewlett-Packard, yang saling bersaing, mengembangkan dan memproduksi bersama model lanjutan HP’s Precision Architecture RISC MPU.

5. Aliansi “Lainnya” (“Other” Alliances)

Aliansi lainnya ini dapat dilakukan antara sebuah perusahaan dalam industri tertentu, komputer misalnya, dengan perusahaan diluar industri tersebut untuk tujuan memperoleh aliran pendapatan yang baru. Setiap perusahaan dalam aliansi akan membawa kapabilitas atau pengetahuan yang berbeda, yang kemudian diintegrasikan untuk memproduksi suatu produk atau jasa baru yang akan ditawarkan kepada konsumen. Sun Microsystems, sekali lagi adalah perusahaan komputer besar dunia, beraliansi dengan Eastman Kodak Company mengembangkan bersama solusi fotografi untuk komputer yang mereka sebut sebagai Digital Photo Management. Sun menyediakan keahlian dalam teknologi komputer, sementara Kodak menyediakan keahlian dalam fotografi.

C. Logika Strategis dari Aliansi Strategis

(9)

Aliansi strategis kemudian menjadi pilihan dari banyak perusahaan di seluruh dunia sebagai strategi bisnis untuk menjawab tantangan persaingan tersebut.

Mengapa aliansi menjadi pilihan? Tantangan yang besar sementara sumberdaya terbatas, merupakan alasan paling penting dalam setiap aliansi. Untuk menghadapi masalah tersebut dibutuhkan suatu mekanisme yang memungkinkan sebuah perusahaan tetap berada didepan dalam persaingan. Mekanisme ini harus memberikan peluang bagi perusahaan untuk mempelajari metode kerja organisasi yang baru, memberikan akses pada pengembangan teknologi baru, dan juga mempertahankan distribusi nilai (Yoshino & Rangan, 1995). Jadi disini terdapat logika strategis dari aliansi, yaitu bahwa mendapatkan keunggulan secara tradisional untuk pengembangan internal melalui jaringan eksternal.

Tantangan di arena pertandingan kini telah bergeser dari sekedar persaingan atau kerjasama, melainkan lebih pada orientasi keseimbangan antara keduanya. Itu yang dikemukakan oleh Brandenburger & Nalebuff (Bimono, 1999). Saat ini anda harus bersaing dan bekerjasama pada saat yang bersamaan. Jadi, “You have to listen to customers, work with suppliers, create teams, and establish strategic partnership – even with competitors”.

Michael E. Porter (1985) menyatakan pula bahwa perusahaan multinasional ataupun nasional dapat bersaing secara global melalui aliansi atau koalisi dengan perusahaan-perusahaan lain. Aliansi atau koalisi menurutnya merupakan cara untuk memperluas skop tanpa memperluas perusahaan melalui kontrak dengan perusahaan lain untuk melaksanakan aktivitas (penciptaan) nilai atau membentuk tim dengan perusahaan lain untuk berbagi dalam aktivitas (penciptaan) nilai. Porter menyatakan: ”Coalitions thus permit a firm with narrow scope to gain the benefit of broader scope without entering new industry segments, geographic areas, or related industries. Coalitions are also a way for a national firm to reconfigure its value activities around the globe to achieve the necessary cost and differentiation advantages vital to meeting the challenges pose by global competition”.

(10)

kapabilitasnya sendiri dan selanjutnya meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Dengan demikian juga terjadi proses penciptaan nilai dalam suatu aliansi. Parise & Henderson dengan model PREM menyimpulkan adanya pertukaran sumberdaya pengetahuan sebagai alasan strategis setiap aliansi.

Senada dengan Parise & Henderson, Dyer, Kale & Singh (Ahmad Fuad Afdal, 2001), juga menyatakan bahwa aliansi strategis merupakan suatu cara yang cepat dan luwes untuk mendapatkan akses pelengkap sumber daya dan keterampilan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan lain. Mereka meyakini bahwa aliansi strategis adalah alat untuk penciptaan nilai dan mencapai keunggulan bersaing yang terus-menerus. Mereka juga mengungkapkan hasil penelitian terhadap 200 korporasi dan 1.572 aliansi di US yang menunjukkan adanya peningkatan harga saham sebesar 1% setiap kali aliansi diumumkan.

Sementara itu, logika strategis dari aliansi yang dikemukakan oleh Thompson & Strickland (2003) terletak pada tiga benefit strategis paling penting, yaitu: mencapai skala ekonomis dalam produksi dan/atau pemasaran, mengisi kesenjangan dalam keunggulan teknis dan manufaktur, serta untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas. Dengan memadukan kekuatan dalam memproduksi komponen, perakitan dan juga pemasaran, perusahaan dapat mencapai penghematan biaya yang tidak mungkin dilakukannya karena volume produksi mereka yang kecil. Bagi perusahaan asing, aliansi dilakukan dengan tujuan untuk dapat memenuhi persyaratan pemerintah sehingga mempermudah dalam kepemilikan lokal, berbagi dalam fasilitas serta jaringan distribusi, dan juga memperkuat akses ke pembeli.

Aliansi strategis telah menjadi pilihan strategis bagi perusahaan untuk tetap menjadi yang terdepan dalam persaingan, karena dengan aliansi perusahaan dapat secara terus-menerus mempertahankan dan bahkan meningkatkan keunggulan-keunggulan kompetitifnya. Melalui aliansi terjadi proses belajar antar partner, sehingga kesenjangan-kesenjangan internal dapat tertutupi, bahkan menjadi lebih baik.

(11)

manajer perlu pula mengkaitkan atau menyusun kembali bagian-bagian dari rantai nilai perusahaannya dengan perusahaan lain, sehingga proses penciptaan nilai pun akan lebih maksimal.

D. Elemen-elemen Aliansi Strategis

Tidaklah selalu mudah membentuk aliansi yang baik apalagi ideal, namun demikian tidak berarti bahwa lebih baik tidak beraliansi. Lalu elemen apa sajakah yang penting dalam sebuah aliansi yang baik? Gomes-Casseres (1998) mengidentifikasi 4 (empat) elemen penting dalam aliansi strategis, yaitu:

1. Strategi bisnis utama

Setiap manajer tentu akan sepakat bahwa suatu aliansi harus dilandasi dengan strategi bisnis utama yang baik. Strategi ini yang akan menuntun mengapa partner tertentu yang harus dipilih, mengapa struktur tertentu yang akan digunakan, apa hasil yang diharapkan dari aliansi, bagaimana risiko akan dikelola, dan beberapa pertanyaan lainnya yang penting. Kegagalan yang pernah terjadi pada aliansi-aliansi di masa lampau adalah cara pandang bahwa aliansi itu sendiri merupakan tujuan yang akan dicapai.

2. Pendekatan dinamis

Pendekatan dinamis menjadi elemen yang sangat penting dalam aliansi strategis, karena sebuah aliansi akan bersifat open-ended dan ever-changing. Para partner tidak dapat hanya terpaku pada satu kondisi tertentu, melainkan harus lebih fleksibel terhadap berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang. Tendensi perubahan dari waktu ke waktu ini tidak perlu diinterpretasikan sebagai sebuah kelemahan atau ancaman, oleh karena itu suksesnya aliansi akan sangat bergantung pada struktur tata kelola atau hubungan yang berjalan diantara para partner.

3. Manajemen portfolio

(12)

menjualnya melalui berbagai saluran distribusi dapat saling menguatkan jika gaya manajemen portfolio dapat diterapkan secara lebih efektif. Apalagi jika perusahaan bergerak dalam bisnis yang selalu dituntut inovatif, seperti perusahaan-perusahaan pada industri farmasi, otomotif, elektronik atau teknologi informasi dan komunikasi. Pendekatan individual atau terfragmentasi terhadap aliansi dapat menurunkan peluang keberhasilan suatu proyek.

4. Infrastruktur internal

Keberhasilan mengelola aliansi tidak akan dapat dicapai tanpa peningkatan kapabilitas internal perusahaan. Dari banyak contoh yang diberikan, nampak jelas betapa kritisnya faktor organisasi internal atau infrastruktur internal pendukung bagi pengelolaan persekutuan eksternal yang dibentuk. Tanpa itu, aliansi akan gagal betapapun cerdasnya sebuah aliansi telah dirancang sebelumnya. Infratruktur internal yang baik dapat juga mengidentifikasi atau menjadi mediasi adanya konflik internal yang dapat mempengaruhi aliansi.

E. Faktor-faktor Sukses Aliansi

Tidak semua aliansi berhasil. Ada beberapa contoh aliansi yang tidak berhasil menciptakan nilai sekalipun dilakukan oleh perusahaan besar. IBM dan Apple yang membentuk aliansi strategis di tahun 1990 dalam menghadapi persaingan dengan Intel dan Microsoft tidak menghasilkan apa-apa, begitu pula Mitsubishi dan Daimler-Benz di tahun 1988 juga pernah gagal melahirkan proyek yang secara konkrit memberikan benefit bagi keduanya (Gomes-Casseres, 1998).

Aliansi tanpa disertai strategi yang mendasari hanya sekedar omong kosong. Gomes-Casseres selanjutnya mengidentifikasi sepuluh faktor sukses kunci bagi aliansi, yaitu:

1. Memiliki tujuan strategis yang jelas

Aliansi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya suatu mekanisme atau alat strategi bisnis. Oleh karenanya tujuan strategis haruslah jelas sehingga manajemen terhadap aliansi itu sendiri akan lebih fokus.

(13)

Menentukan partner yang tepat adalah suatu keharusan, ini berarti bahwa partner yang dipilih adalah yang memiliki tujuan-tujuan yang selaras dan juga memiliki kapabilitas yang bersifat komplementer.

3. Spesialisasi

Spesialisasi penting karena pengalokasian tugas-tugas atau tanggung jawab dalam aliansi merupakan cara yang memungkinkan setiap pihak menunjukkan kemampuan terbaiknya.

4. Menciptakan insentif kerjasama

Melaksanakan pekerjaan bersama tidak akan terjadi secara otomatis, melainkan membutuhkan insentif, terlebih jika pihak-pihak yang berpartner sebelumnya adalah merupakan rival.

5. Meminimisasi konflik antar partner

Lingkup dalam aliansi dan juga peran-peran setiap partner harus dirancang sehingga terhindar dari terjadinya pertentangan satu sama lain di pasar.

6. Berbagi informasi

Berbagai informasi tentu saja penting untuk tujuan bersama. Sistem komunikasi yang kondusif dan kontinyu akan dapat membangun kepercayaan sehingga memungkinkan pencapaian target-target proyek bersama.

7. Pertukaran personel

Dalam setiap bentuk aliansi, kontak atau pertukaran personel serta saling mengunjungi lokasi partner adalah penting untuk tetap menjaga komunikasi dan juga kepercayaan.

8. Operasi dalam jangka panjang

Konflik sangat mungkin muncul dalam suatu aliansi, namun upaya bersama yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik-konflik jangka pendek dapat termotivasi oleh harapan-harapan pencapaian masa depan. Jadi aliansi sebaiknya dirancang untuk jangka waktu yang panjang, bukan jangka pendek.

9. Mengembangkan multi proyek bersama

(14)

10. Fleksibel

Aliansi haruslah bersifat terbuka dan merupakan hubungan yang dinamis karena mereka menghadapi lingkungan yang dinamis pula sehingga memungkinkan untuk menangkap berbagai peluang yang ada.

Johnson & Scholes (1999) juga mengungkapkan bahwa kesuksesan dari aliansi lebih tergantung pada bagaimana aliansi tersebut dikelola dan bagaimana para partner menjaga perkembangan atau perubahan-perubahan yang menyertai persekutuan yang telah mereka bentuk. Menurut Johnson & Scholes, berikut adalah beberapa hal yang dapat ditemukan pada aliansi yang berhasil:

1. Sikap proaktif pada komitmen, kepercayaan dan kepedulian kultural.

2. Pengaturan organisasi yang jelas, khususnya menyangkut aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan partner atau yang bersifat lintas partner.

3. Keinginan dari semua partner untuk organizational learning dari aliansi daripada sekedar menggunakan partner untuk menggantikan kesenjangan kompetensi mereka. Jadi proses inovasi dalam organisasi terdorong oleh karena adanya aliansi.

4. Usaha-usaha dari para partner untuk mencapai hubungan interpersonal yang kuat, menghormati kesepakatan-kesepakatan, termasuk fleksibilitas menghadapi perubahan.

Tidak jauh berbeda dengan Gomes-Casseres dan juga Johnson & Scholes, Anslinger & Jenk (2004) juga mengemukakan beberapa panduan bagi suksesnya aliansi strategis, yaitu:

1. Pengembangan tujuan-tujuan yang baik dan jelas serta definisi sukses yang jelas pula,

2. Pilih bentuk aliansi yang tepat,

3. Tentukan model tata kelola yang memadai dengan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas,

4. Antisipasi terhadap munculnya konflik, 5. Rencanakan langkah-langkah evaluasi, dan

(15)

Dari beberapa pendapat diatas, jelas sekali bahwa aliansi yang sukses hanya akan dapat dicapai jika aliansi tersebut dikelola secara memadai. Sebagai salah satu tindakan yang strategis, aliansi tidak bisa tidak harus mendapatkan perhatian dalam porsi yang besar dari para pihak yang berkolaborasi secara strategis pula.

F. Kesimpulan

Aliansi strategis bukan lagi sekedar merupakan suatu pilihan pada kondisi pasar dan persaingan saat ini, melainkan suatu keharusan. Dari pembahasan dapat disimpulkan beberapa faktor atau kondisi yang mendorong dilakukannya aliansi, yaitu keterbatasan sumberdaya-sumberdaya internal perusahaan, dinamika pasar global baik untuk produk akhir atau teknologi, intensitas persaingan global serta peningkatan biaya yang signifikan dalam menjalankan bisnis. Dengan aliansi, beberapa hambatan dalam menciptakan nilai atau keunggulan-keunggulan kompetitif dapat diatasi sehingga peluang untuk tetap berada di barisan depan dalam menghadapi persaingan tetaplah besar.

Belajar bersama diantara para partner (joint learning) merupakan salah satu orientasi utama dilakukannya aliansi strategis, karena dari aliansi dapat terjadi pertukaran sumberdaya pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kompetensi para partner yang terlibat. Secara umum, aliansi dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari persaingan global yang menghadapkan perusahaan pada banyak tuntutan-tuntutan yang sulit diatasi oleh perusahaan seorang diri.

Aliansi atrategis dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, bahkan aliansi dapat dilakukan pula dengan kompetitor untuk bekerjasama meraih pasar, tidak hanya dengan suplier, komplementer atau pelanggannya.

(16)

organisasi yang dibentuk haruslah memadai, dan para manajer perlu memperbaharui rantai nilai perusahaannya dengan memperhitumgkan hubungan persekutuan sebagai bagian dari aktivitas nilai. Sikap positif, sharing vision, proaktif dan fleksibel para partner dalam mengelola dan mengembangkan persekutuan juga dibutuhkan karena dinamika lingkungan ada didepan mata dan tidak mungkin dihindari. Dengan sikap tersebut, potensi konflik yang ada juga dapat ditekan.

G. Masukan Untuk Riset Aliansi Strategis di Indonesia

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa aliansi strategis menjadi salah satu strategi yang banyak dilakukan dalam bisnis saat ini sebagai upaya untuk menciptakan keunggulan-keunggulan kompetitif yang dibutuhkan dalam menghadapi globalisasi, yang tidak mudah dilakukan suatu bisnis secara individual. Namun benarkah bahwa aliansi-aliansi yang bermunculan mampu mencapai tujuan tersebut, atau dengan kata lain aliansi-aliansi telah berjalan dengan sukses, utamanya di Indonesia, masih perlu dilakukan studi lebih lanjut.

Reseach Questions yang dapat dimunculkan dalam penelitian dan dicari jawabannya, utamanya menyangkut penilaian kinerja aliansi, berdasarkan pada sejumlah uraian diatas antara lain:

1. Apa sajakah faktor organisasi yang mempengaruhi suksesnya aliansi? 2. Apa sajakah faktor lingkungan yang mempengaruhi suksesnya aliansi?

3. Apa sajakah faktor yang dipertimbangkan perusahaan dalam menilai partner yang prospektif untuk membentuk aliansi?

4. Apa sajakah atribut-atribut hubungan aliansi yang bertanggung jawab atas suksesnya aliansi?

5. Bagaimanakah dampak aliansi terhadap pencapaian keunggulan kompetitif organisasi di pasar?

(17)

REFERENSI

Ahmad Fuad Afdal. (2001). Melancarkan Kerja Aliansi Bisnis. Harian Suara Merdeka. Tanggal 29 Oktober 2001. Jakarta.

American City Business Journal Inc. (2000). CoverageCorp forms strategic alliance. 2 Oktober 2000.

American City Business Journal Inc. (2000). Surrey forms  strategic   alliance.   29 September 2000.

Anslinger, Patricia & Jenk, Justine. (2004). Creating Successful Alliances. The Journal of Business Strategy. Vol. 25, 2, ABI/INFORM Reasearch, pg. 18.

Bimono Josiadhi. (1999). Ford’s Strategic Alliances: Strategic Response to the Challenge of Globalization. Kelola. No. 20/VIII/1999. MM Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

David, Fred R. (2001). Concepts of Strategic Management. 8th edition. Prentice Hall. Inc

Flaherty, M. Therese. (1996). Global Operations Management. The McGraw-Hill Co., Inc.

Gomes-Casseres, Benjamin. (1998). Strategy and Leadership. September/October 1998, pp. 6-11.

Grant, Robert M. (1995). Contemporary Strategy Analysis: Concept, Techniques and Applications. 2nd edition. Blackwell Publisher, Inc.

Johnson, Gerry & Scholes, Kevan. (1999). Exploring Corporate Strategy. 5th edition.

Prentice Hall Europe.

Kompas Cyber. (2003). Aliansi Strategis PT Bank Niaga Tbk, AIG Lippo dan Citigroup untuk Pembayaran Premi Asuransi. Tanggal 23 Oktober 2003.

Kompas Cyber. (2003). Bank Danamon Jalin Aliansi Strategis dengan Telkomsel, dalam Pembayaran, Tagihan Bulanan Serta Pembelian Voucher isi Ulang Melalui Jaringan ATM-nya. Tanggal 17 April 2003.

Parise, S. & Henderson, J. C. (2001). Knowledge Resource Exchange in Strategic Alliance. Strategic Alliances Journal.

(18)

Porter, Michael E. (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. The Free Press. New York.

Susanto, A.B. (2000). Manajemen Aliansi Strategis. The Jakarta Consulting Group.

Thompson & Strickland. (2003). Strategic Management. 13th edition. McGraw-Hill Co.,

Inc.

Wood, Andrew. (2000). Forming Strategic Alliances to Boost Your Business! iBoost Journal.

Yoshino, Michael Y. & Rangan, Srivinasa U. (1995). Strategic Alliances, An Entrepreneurial Approach to Globalization. Harvard Business School Press. Boston.

Zaman, Manir & Mavondo, Felix. (2002). Measuring Strategic Alliance Success: A Conceptual Framework. Monash University.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sarlito bahwa faktor penyebabkan keluarga akan tetap harmonis adalah yang pertama karena rendahnya frekuensi pertengkaran dan percekcokan di rumah,

Program transisi adalah program membimbing pelajar nsisi adalah program membimbing pelajar bermasalah pembelajaran ke arah mendapatkan pekerjaan dan hidup berdikari

Dewan Pengawas dengan Staf Medik di RS dan tidak pula disebutkan bahwa Dewan Pengawas seperti halnya Governing Body RS di Amerika adalah penanggung jawab moral dan hukum

The main objective of this study is importance of E banking in Pakistan .In the banking industry E banking is an important sector .E banking has bought very huge changes in

Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik usaha Dadi Jaya Plastik di. Lampiran 3, Pemilik ingin memiliki keuntungan sebesar 25% dari

Daripada contoh data yang dipaparkan di atas jelas menunjukkan seolah-olah wujudnya konflik antara pendapat penahu dengan maklumat yang ditemui daripada data

Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa di MTs.Roudlotul Ulum karangploso Malang,telah terjadi hubungan kerjasama yang erat antara orang tua siswa dan guru

Tujuan yang ingin dicapai dalam mengerjakan tugas akhir ini berdasarkan perumusan masalah diatas adalah memanfaatkan Sistem Informasi Geografis berupa ArcGIS dengan