• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Sejarah dan definisi skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu sindrom klinis dari berbagai keadaan

psikopatologi yang sangat mengganggu serta melibatkan proses pikir, emosi,

persepsi, dan tingkah laku. Emil Kraepelin (1856 - 1926), dementia praecox

sebuah istilah Yunani yang artinya kemunduran fungsi intelektual (dementia) di

usia dini (praecox) yang ditandai dengan daya pikir yang makin lama makin

memburuk dan disertai gejala berupa delusi (waham) dan halusinasi. Pada tahun

1911, psikiater Swiss Eugen Bleuler mengganti nama dementia praecox menjadi

skizofrenia. Ia memilih istilah ini untuk mengungkapkan adanya perpecahan

antara pikiran, emosi, dan tingkah laku dengan gangguan pada pasien (Sadock and

Sadock, 2007).

Penyakit yang dideskripsikannya termasuk gejala primer dan sekunder.

Empat gejala primer adalah asosiasi yang longgar (pembicaraan yang tidak ada

hubungan satu sama lain), autisme (kesulitan berinteraksai dan komunikasi), afek

yang terganggu, dan ambivalensi (dua perasaan yang berlawanan). Bleuler

menganggap suatu ciri gangguan skizofrenia ini adalah hilangnya hubungan

antara proses berpikir, emosi, dan perilaku. Bleuler menganggap halusinasi, delusi

(waham), penarikan sosial, dan gerakan berkurang sebagai manifestasi sekunder

(2)

lingkungan. Jadi menurut Bleuler, manifestasi paling jelas dan mencolok pada

skizofrenia hanya gejala tambahan (Taminga, 2009).

2.1.2 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa skizofrenia

mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) yaitu

sekitar 7 dari 1000 orang di dunia menderita skizofrenia, saat ini jumlah penderita

skizofrenia mencapai 24.000.000 orang di seluruh dunia. Hasil Riskesdas (2007)

prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6%. Departemen

Kesehatan (2007) menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,3

juta jiwa, yang diambil dari data RSJ se-Indonesia. Di Sumatera Utara sendiri

terdapat 3 per 1000 penduduk yang mengalami gangguan jiwa.

2.1.3 Etiologi

a. Faktor genetik

Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada

skizofrenia dan proporsi yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi

skizofrenia karena adanya pengaruh genetik tambahan. Misalnya, skizofrenia dan

gangguan skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan

kepribadian paranoid) terjadi pada laju yang meningkat di antara kerabat biologis,

pasien dengan skizofrenia. Kecenderungan orang yang mengalami skizofrenia

berkaitan dengan eratnya hubungan terhadap keluarga yang terkena misalnya:

keluarga tingkat pertama atau kedua yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Sadock

(3)

Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik

Populasi Prevalensi (%)

Populasi umum

Saudara kandung menderita skizofrenia

Anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia Kembar dizigotik menderita skizofrenia

Anak dengan kedua orang tua menderita skizofrenia Kembar monozigot menderita skizofrenia

1 8 12 12 40 47

b. Faktor Biologik

Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidak

seimbangan dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin, dan

lainnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari fungsi otak sebagai

pusat pengatur prilaku manusia. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi

adanya gangguan pada prilaku maladaptif pasien (Townsend, 2005).

1) Hipotesis Dopamin

Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia

dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik. Teori ini berasal dari

dua pengamatan. Pertama efikasi dan potensi dari kebanyakkan obat antipsikotik

berhubungan dengan kemampuan bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin

D2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti

ampetamin yang merupakan suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci

apakah hiperaktif dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan

dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi mekanisme

tersebut (Sadock and Sadock, 2007).

2) Hipotesis Norepineprin

(4)

3) Hipotesis Gamma aminobutyric acid (GABA)

Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA)

dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa

beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic

di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin dan

kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas

neuron-neuron dopaminergik (Sadock dan Sadock, 2007).

4) Hipotesis Serotonin

Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab

gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

5) Hipotesis Glutamat

Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu antagonis

glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan skizofrenia

(Sadock dan Sadock, 2007).

6) Teori Neurodevelopmental

Dibuktikan dengan adanya migrasi neunoral yang abnormal pada trimester

kedua pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin mengarah ke

simtom-simtom skizofrenia yang akan muncul pada masa remaja (Sadock and Sadock,

2001).

c. Neuropatologi

Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang

signifikan yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk

(5)

neuropatologi atau abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan

batang otak (Sadock and Sadock, 2007).

d. Faktor Psikososial

Menurut Sadock dan Sadock (2007), faktor psikososial meliputi teori

psikoanalitik, tori belajar, dan dinamika keluarga.

1) Teori psikoanalitik

Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi

(ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan yang terjadi

lebih awal dari yang menyebabkan neurosis (ketidakseimbangan mental yang

menyebabkan stres) dan juga bahwa adanya efek ego berperan dalam gejala

skizofrenia (Sadock and Sadock, 2007).

2) Teori belajar

Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan interpersonal

yang buruk karena mengikuti contoh atau model yang buruk selama masa

kanak-kanak (Sadock and Sadock, 2007).

3) Dinamika keluarga

Penelitian di Inggris pada anak berusia 4 tahun yang memiliki hubungan

yang buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat berkembang menjadi

skizofrenia. Akan tetapi tidak ada bukti yang kuat bahwa pola dalam keluarga

berperan penting sebagai penyebab terjadinya skizofrenia (Sadock and Sadock,

(6)

2.1.4 Gejala klinis

Meskipun belum dikenal secara formal sebagai bagian dari kriteria

diagnostik skizofrenia, beberapa penelitian membuat sub kategori dari gejala

penyakit ini kedalam 5 bagian (Stahl, 2008), yaitu :

a) Gejala positif

Delusi/ waham (keyakinan yang dipegang kuat seseorang namun tidak

berdasarkan realitas), halusinasi (khayalan/ persepsi terhadap suatu

peristiwa atau objek yang sebenarnya tidak ada), penyimpangan dan

pernyataan yang berlebih-lebihan dalam berbahasa dan berkomunikasi,

pembicaraan/ perilaku yang tidak beraturan, perilaku katatonik dan agitasi

(gelisah yang berlebih).

b) Gejala negatif

Afek tumpul (tidak ada ekspresi), penarikan emosi, rapport yang buruk,

ketidakpedulian, menarik diri dari kehidupan sosial, gangguan berfikir

abstrak, alogia (tidak mau bicara), avolisi (tidak punya motivasi), anhedonia

(tidak ada kemauan untuk melakukan sesuatu), gangguan pemusatan

perhatian.

c) Gejala kognitif

Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme (istilah

baru yang sengaja dibuat), gangguan pengolahan informasi.

d) Gejala agresif dan permusuhan

Permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang, melukai diri

(7)

e) Gejala depresi dan atau cemas

Mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah, ketegangan, dan iritabilitas

cemas.

2.1.5 Diagnosa

Berdasarkan pedoman diagnostik menurut Pedoman Penggolongan dan

Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), persyaratan yang normal

untuk skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan

biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang

jelas) :

a. “Thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun

isinya sama namun kualitasnya berbeda. “Thought insertion or withdrawl”,

yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion)

atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya. “Thought

broadcasting”, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya.

b. “Delusion of control”, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh

sesuatu kekuatan tertentu dari luar. “ Delusion of influence, yaitu waham

tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekutan tertentu dari luar. “ Delusion

of passivity”, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke

pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau pengindraan

(8)

yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku

pasien, mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal

dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya menurut budaya setempat dianggap

tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama

atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa

(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan

makhluk asing dari dunia lain).

e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide yang berlebihan

(over-value ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu atau berbulan-bulan terus menerus.

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relevan, atau neologisme.

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh

tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan

stupor.

h. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

(9)

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan mennurunnya

kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan depresi

atau neuroleptika.

i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),

bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan tidak berbuat

sesuatu, sikap larut dan dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan

penarikan diri secara sosial.

Pedoman diagnostik:

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus ada sedikitnya satu simtom

tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih, apabila

simtom tersebut kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang termasuk salah

satu dari kelompok (a) sampai dengan (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua

simtom dari kelompok (e) sampai dengan (h) yang harus selalu ada secara jelas

selama kurun waktu satu bulan atau lebih (Depkes, 1993).

2.1.6 Perjalanan Skizofrenia

Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang

melalui fase-fase:

1. Fase premorbid

Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif.

2. Fase prodromal

Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat

muncul simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam

(10)

antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami kemunduran

dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan sosial dan rekreasi) dan

muncul simtom yang nonspesifik, misal gangguan tidur, ansietas, iritabilitas,

mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit perilaku

misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial. Simtom positif

seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah

mendekati mulai menjadi psikosis.

3. Fase psikotik

Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase

stabilisasi dan kemudian fase stabil.

a. Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya dijumpai

adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang

kacau. Simtom negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya

tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas.

b. Fase stabilisasi berlangsung selama 6 - 18 bulan, setelah dilakukan acute

treatment.

c. Pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari simtom positif.

Di mana simtom positif bisa masih ada, dan biasanya sudah kurang parah

dibandingkan pada fase akut. Pada beberapa individu bisa dijumpai

asimtomatis, sedangkan individu lain mengalami simtom nonpsikotik

misalnya, merasa tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia

(11)

2.1.7 Subtipe skizofrenia

Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition

Text Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik,

berdasarkan kumpulan simtom yang paling menonjol (First dan Tasman, 2004).

Pembagian subtipe skizofrenia:

1. Tipe katatonik, yang menonjol simtom katatonik.

2. Tipe disorganized, adanya kekacauan dalam bicara dan perilaku, dan afek

yang tidaksesuai atau datar.

3. Tipe paranoid, simtom yang menonjol merupakan adanya preokupasi

dengan waham atau halusinasi yang sering.

4. Tipe tak terinci (undifferentiated), adanya gambaran simtom fase aktif,

tetapi tidak sesuai dengan kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized,

atau paranoid. Atau semua kriteria untuk skizofrenia katatonik,

disorganized, dan paranoid terpenuhi.

5. Tipe residual, merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi simtom

fase aktif tidak lagi dijumpai.

2.1.8 Skizofrenia paranoid

Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara

manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara stabil, sering kali

bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi, terutama halusinasi

pendengaran dan gangguan persepsi. Gangguan afektif, dorongan kehendak

(vilition), dan pembicaraan serta gejala katatonik tidak menonjol. Beberapa contoh

(12)

a) Waham kejaran , rujukan (reference), “exalted birth” (merasa dirinya tinggi,

istimewa), misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan.

b) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,

atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit

(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

c) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau

lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan yang akut, tetapi sekalipun

demikian kelainan atau tidak menghambat diberikannnya deskripsi secara jelas

mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif biasanya

kurang menumpul dibandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang

ringan mengenai ketidakserasian (incongruity) umum dijumpai seperti gangguan

iritabilitas, kemarahan yang tiba-tiba, ketakutan dan kecurigaan. Gejala “negatif”

seperti pendataran afektif, hendaya dalam dorongan kehendak (volition) sering

dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya (Depkes, 1993).

Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodik,

dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus yang

kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk

membedakan antar episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia yang

(13)

2.2 Pengobatan 2.2.1 Antipsikotik

Farmakoterapi dengan antipsikotik merupakan dasar pengobatan

skizofrenia. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu

antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin)/ FGA dan antipsikotik atipikal

(antagonis serotonin-dopamin)/SGA. Pemilihan antipsikotik umumnya

berdasarkan efikasi dan keamanannya (Tamminga, 2009). Menurut Dipiro, dkk.,

(2008), obat antipsikotik yang biasa digunakan terdapat pada Tabel 2.2 dibawah

ini.

Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan

Obat Antipsikotik

Rentang dosis yang dianjurkan

Penggunaan first-line dari kedua generasi pertama (FGA) dan generasi

kedua (SGA) obat antipsikotik di bawah dari kisaran dosis standar pengobatan

(14)

Tujuan pengobatan pada episode pertama:

a. Meminimalkan stres pada pasien dan memberikan dukungan untuk

meminimalkan kemungkinan kambuh.

b. Meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan di masyarakat.

c. Mengurangi gejala, peningkatan remisi, dan membantu proses pemulihan.

Gambar 2.1 Algoritma farmakoterapi untuk skizofrenia

Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008).

Tahap 1: Psikosis episode pertama

Mencoba satu antipsikotik

Antipsikotik generasi kedua (SGA) disarankan sebagai first-line. Banyak yang kurang setuju menggunakan antipsikotik generasi pertama (FGA) sebagai pilihan pertama. Pasien episode pertama selalu memerlukan antipsikotik dengan dosis rendah dan seharusnya selalu

dimonitor karena sangat sensitif terhadap efek samping obat.

FGA = First generation antipsychotic (contoh:

loxapin, perfenazin, quetiapin, risperidon, or

ziprasidon)

Tidak Patuh Jika pasien kurang patuh dalam tahap apapun, disediakan antipsikotik long-acting,

seperti risperidon microspheres, haloperidol dekanoat, or

fluphenazin dekanoat.

Tahap 2

Gunakan salah satu SGA or FGA (yang tidak digunakan pada

tahap 1) riwayat bunuh diri (Level A), kekerasan

(Level B), or penyalahgunaan obat

(Level B/C). Pasien yang berada dalam fase stabil, aktif mengkonsumsi obat

secara tekun, akan menghilangkan gejala lebih dari 2

tahun setelah pendapat para ahli dan laporan kasus, tidak berdasarkan fakta dari penelitian Tahap 5

Gunakan salah satu SGA or FGA (yang tidak digunakan pada

tahap 1 dan 2)

Tahap 6

Terapi kombinasi, misalnya: SGA + FGA, kombinasikan dengan SGA, (FGA/ SGA) + ECT, (FGA/ SGA) + other agen

(15)

Dapat dilihat pada Gambar 2.1 menguraikan algoritma farmakoterapi yang

disarankan untuk skizofrenia. Tahap 1 dari algoritma pengobatan hanya berlaku

untuk pasien yang mengalami episode pertama. Pada pasien ini, mayoritas ahli

skizofrenia merasa bahwa SGA harus digunakan pertama kali karena risiko

tardive diskinesia yang lebih rendah dibandingkan dengan FGA. Pasien yang

belum pernah diobati akan lebih sensitif terhadap terjadinya efek samping

ekstrapiramidal, sehingga harus menggunakan dosis yang lebih rendah dari dosis

yang dianjurkan (Dipiro, dkk., 2008).

Jika pasien telah mencapai respon terapi dengan efek samping yang

minimal, maka harus selalu dimonitor obat dan dosis yang sama untuk 6 bulan ke

depan. Diskusikan tentang risiko tinggi kambuh dan faktor-faktor yang mungkin

meminimalkan risiko kambuh (APA, 2004). Dalam episode pertama skizofrenia,

pengobatan farmakologis antipsikotik harus digunakan dengan hati-hati karena

risiko lebih tinggi pada gejala ekstrapiramidal (EPS). Strategi yang tepat meliputi

penggunaan bertahap obat antipsikotik dengan dosis efektif sekecil mungkin

dengan memberikan penjelasan yang cermat. Antipsikotik harus dipilih secara

individual, melihat kondisi mental, dan somatik pasien yang berbeda pada efek

samping. Namun, efek samping ekstrapiramidal pada SGA lebih rendah sehingga

sebaiknya digunakan pada tahap pertama pasien skizofrenia (Dipiro, dkk., 2008).

Bila menggunakan FGA, memerlukan pemantauan efek samping

ekstrapiramidal (seperti: reaksi distonik terutama akut, parkinson, akathisia pada

awal pengobatan, dan tardive diskinesia (gerakan abnormal yang lambat) selama

perawatan). Efek samping penggunaan SGA adalah meningkatnya risiko

(16)

harus dikontrol ketat selama pengobatan antipsikotik. Efek samping dari

penggunaan antipsikotik dapat dilihat pada Tabel 2.3 dibawah ini (Dipiro, dkk.,

2008).

Tabel 2.3 Efek samping dari antipsikotik

Antipsikotik Sedasi EPS Anti

Kolinergik Ortostasis

Penambahan

Berat Badan Prolaktin Aripiprazol

EPS: Extrapyramidal side effects

Resiko: rendah (+), sedang (++), sedang tinggi (+++), tinggi (++++)

Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008).

Antipsikotik umumnya memiliki mekanisme kerja masing-masing dalam

pengobatan skizofrenia akut. Pemilihan obat antipsikotik harus sesuai dengan

gejala respon dan efek samping yang dialami pasien, rute pemberian, preferensi

pasien untuk obat tertentu, adanya kondisi medis penyerta, dan potensi interaksi

dengan obat lain yang diresepkan. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan dosis

terapi target sambil memantau efek samping dan status klinis pasien. Pengobatan

dengan memberikan pasien dosis tinggi di atas kisaran dosis lazim terbukti tidak

lebih baik daripada memberikan dukungan kepada pasien, ini justru dapat

(17)

2.2.2 Fase pengobatan

Fase pengobatan skizofrenia terbagi tiga yaitu: fase akut, fase stabilisasi,

dan fase stabil/pemeliharaan (Marder, dkk., 2009).

a. Fase akut

Tujuan pengobatan selama fase akut adalah untuk mengontrol perilaku

terganggu, mengurangi keparahan psikosis ,dan gejala tambahan (misalnya:

agitasi, agresi, gejala negatif, dan gejala afektif), serta mengatasi faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya episode akut (APA, 2004). Akut biasanya

berlangsung 4 - 8 minggu, dosis efektif harian sebesar 4 - 6 mg sehari (Marder,

dkk., 2009).

b. Fase stabilisasi

Tujuan pengobatan fase ini adalah pengurangan gejala yang ada di fase akut

serta mencegah relaps. Fase stabilisasi dimana peningkatan kesembuhan selalu

lambat namun harus tetap digunakan selama 6 - 12 minggu. Selama 2 - 3 minggu

pertama pengobatan, seharusnya terapi ini dapat meningkatkan sosialisasi,

meningkatkan kebiasaan merawat diri, dan mood (Dipiro, dkk., 2008). Pengobatan

ini harus dipertahankan selama minimal 6 bulan dengan jenis obat yang sama

pada fase akut, setelah 6 bulan dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan sampai

ditemukan dosis efektif terendah (dosis pemeliharaan) (Marder, dkk., 2009).

c. Fase pemeliharaan

Dalam fase pemeliharaan, terapi obat untuk mencegah kekambuhan,

mengoptimalkan peran fungsional, dan kualitas hidup pasien (Marder, dkk.,

(18)

(termasuk pasien yang tidak patuh) dibandingkan dengan plasebo 60 - 80%

(Dipiro, dkk., 2008).

Setelah pengobatan episode pertama psikotik pada pasien skizofrenia,

pengobatan seharusnya dilanjutkan paling tidak 12 bulan setelah remisi. Beberapa

pasien skizofrenia yang terampil dalam pengobatannya menjadi sehat sedikitnya

setelah 5 tahun. Pasien kronik, pengobatan perlu dilanjutkan atau dikonsumsi

seumur hidup untuk mencegah kekambuhan (Dipiro, dkk., 2008).

2.3 Kepatuhan

Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan bagaimana pasien mengikuti

petunjuk dan rekomendasi terapi dari tenaga kesehatan. Kepatuhan merupakan

keputusan yang diambil oleh pasien setelah membandingkan risiko yang

dirasakan jika tidak patuh dan keuntungan dari pengobatan. Dampak yang paling

berat dan harus diwaspadai adalah perilaku bunuh diri (30% pasien skizofrenia

pernah berusaha bunuh diri dan 10% meninggal karena bunuh diri). Dampak ini

dapat dikurangi melalui pengobatan yang efektif serta kepatuhan pasien

melaksanakan pengobatan(APA, 2006).

Menurut Fleischhacker, dkk., (2007), kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa

faktor :

a. Pengaruh yang berkaitan dengan pasien

Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya

dengan ketidakpatuhan. Tampaknya pasien yang berusia lanjut mempunyai

permasalahan tentang kepatuhan terhadap dosis yang diberikan. Dikalangan usia

(19)

banyaknya aktivitas yang harus dilakukan pada usia produktifnya. Sedangkan

pada orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat

mempengaruhi kepatuhannya. Selain itu pada orangtua sering mendapat berbagai

macam obat-obatan sehubungan dengan komorbiditas fisik (Fleischhacker, dkk.,

2007).

Sikap pasien dalam pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam

pengaruhnya terhadap kepatuhan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi,

dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap

pengobatan. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simptom

positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama

pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan (Fleischhacker, dkk., 2007).

Model kepercayaan pasien tentang kesehatannya yang menggambarkan

pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang

menilai bahwa skizofrenia dalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu

serius dibandingkan penyakit lain seperti diabetes, kanker, dan lain-lain sehingga

mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk

diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi (Fleischhacker, dkk., 2007).

Permasalahan yang lain adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat

juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu

untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat

menjadi penghalang (Fleischhacker, dkk., 2007).

b. Pengaruh yang berkaitan penyakit

Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai pengaruh yang kuat

(20)

khawatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan (Tattan

dan Creed, 2001).

c. Pengaruh yang berkaitan dengan dokter

Hubungan terapi yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu

landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Dokter yang memiliki

perhatian kepada pasien, mau meluangkan waktu untuk mendengar

keluhan-keluhan pasien, serta memberikan informasi adalah penting agar terciptanya suatu

hubungan yang baik. Informasi dapat diberikan pada pasien ataupun keluarga baik

dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan

keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan

dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan

secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk

mendiskusikan perencaan pengobatan baik kepada pasien atau keluarga dimana

pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya

(Fleischhacker, dkk., 2007).

Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan

pasien baik dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat

tercipta hubungan terapi yang baik sehingga dapat meningkatkan kepatuhan

(Sadock dan Sadock, 2007).

d. Pengaruh terkait dengan pengobatan

Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan

kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan (Jorgensen, 1998). Efek

samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan

(21)

dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan seksual, dan penambahan

berat badan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal lebih

mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang menggunakan

antipsikotik konvensional (Lauriello, dkk., 2005).

Sebagian besar obat antipsikotik memiliki masa pencapaian efek terapi yang

lebih lama, sehingga pasien tidak segera merasakan efek positif dari obat.

Sebaliknya pasien terkadang justru merasakan efek samping terlebih dahulu

dibanding efek terapi. Pasien skizofrenia juga tidak segera merasakan

kekambuhan setelah putus obat cukup lama. Kekambuhan dapat terjadi

berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan sejak pasien putus dari obat.

Ini menyebabkan kebanyakkan pasien biasanya tidak menghubungkan

kekambuhan dengan putus obat. Sehingga putus obat harus selalu ditekankan pada

pasien (Fleischhacker, dkk., 2007). Namun pasien dengan pengalaman yang tidak

nyaman di masa lalu dapat mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap

antipsikotik jika saat ini pengobatannya tanpa efek samping (Hasan, dkk., 2012).

e. Lingkungan psikososial pasien

Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan

terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai

angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam

lingkungan yang mendukung. Interaksi sosial yang penuh dengan stres dapat

mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang

lain. Sebagai contoh adalah situasi emosional yang tinggi dan keluarga yang tidak

mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan (Fleischhacker,

(22)

Sehubungan dengan skizofrenia, Leff dan Vaughn melaporkan bahwa

bentuk empati merupakan bagian dari sekumpulan sikap dengan pengekspresian

emosi yang rendah. Sikap dari keluarga merupakan salah satu prediktor yang kuat

terhadap relaps pada skizofrenia (Giron dan Beneyto, 1998).

Menurut Kinon, dkk., (2003), kriteria ketidak patuhan terhadap pengobatan

adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini:

d. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan ≥ dua

episode dari:

1) Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.

2) Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang

diberikan.

3) Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.

e. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu

rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

f. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti

sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh

orang lain dalam waktu sebulan.

g. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat-obatan

walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal

Gambar

Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan
Gambar 2.1 Algoritma farmakoterapi untuk skizofrenia Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008)
Tabel 2.3 Efek samping dari antipsikotik

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian survei deskriptif yang dilakukan dengan pill count untuk menghitung persentase kepatuhan

Efek samping OAT tidak dapat dihindari mengingat terapi pengobatan pasien TB MDR yang berkepanjangan (minimal 6 bulan), akan tetapi efek samping tersebut dapat

Berdasarkan penelitian ditemukan dari 88 pasien skizofrenia rawat jalan yang berpotensi mengalami interaksi obat adalah sebanyak 74 pasien (85,09%). Golongan obat antipsikotik

Efek samping obat kombinasi antipsikotik generasi kedua (AGK-AGK) yang terjadi pada pasien rawat inap skizofrenia RSJ Sambang Lihum Kalimantan Selatan periode Februari 20161. No

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien rawat jalan skizofrenia dan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pasien

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien rawat jalan skizofrenia dan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pasien

Kriteria inklusi penelitian yang digunakan ialah pasien dengan diagnosa skizofrenia, rawat inap, yang berumur lebih dari 19 tahun, dan yang mempunyai riwayat pengobatan pada bulan

Berbagai penelitian menyebutkan penyebab relaps/eksaserbasi penderita Skizofrenia memiliki banyak faktor antara lain : penyalahgunaan zat, ketidakpatuhan pengobatan, efek samping