BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pembentukan Konsep Diri Remaja
Konsep diri merupakan suatu ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, dan
pendirian yang diketahui oleh individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Konsep diri berkembang secara bertahap dimulai dari bayi dapat mengenali dan
membedakan orang lain. Proses yang berkesinambungan dari perkembangan
konsep diri dipengaruhi oleh pengalaman interpersonal dan kultural yang
memberikan perasaan positif, memahami kompetensi pada area yang bernilai bagi
individu dan dipelajari melalui akumulasi kontak-kontak sosial dan pengalaman
dengan orang lain
(http://www.scribd.com/doc/98046816/MAKALAH-KONSEP-DIRI).
Menurut George Herbert Mead dalam teorinya tentang interaksionisme
simbolikdalam George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2010: 280), ia
menyebutkan bahwa konsep diri (Self) pada dasarnya adalah kemampuan untuk
menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk
menjadi subjek maupun objek. Dalam bahasannya mengenai diri, Mead menolak
gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya meletakkannya
dalam pengalaman sosial dan proses sosial. Dengan cara ini, Mead mencoba
dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, dimana ia tak
hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri,
berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada
dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku dimana individu menjadi objek untuk
dirinya sendiri” ( 1934/ 1962:139). Karena itu diri adalah aspek lain dari proses
sosial menyeluruh dimana individu adalah bagiannya.
Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas atau
kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan
bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri
sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan
Mead:
Mead, 1934/1962:134 menyatakan bahwa dengan cara merefleksikan - dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya sendiri - keseluruhannya proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu ( Ritzer,2010:281).
Dalam Doyle (1990:20), Mead juga membahas mengenai asal usul diri.
Mead merunut asal-usul diri melalui beberapa tahapan dalam perkembangan
konsep diri. Tahap- tahap tersebut meliputi:
prilaku orang itu sendiri menurut perspektif orang lain dalam suatu peran
yang berhubungan dengan itu.
2. Tahap pertandingan (game), tahap ini dapat dibedakan dari tahap bermain
dengan dengan adanya suatu tingkat organisasi sosial yang lebih tinggi. Para
peserta dalam suatu pertandingan mampu menjalankan peran dari beberapa
orang lain secara serentak dan mengorganisasinya dalam suatu keseluruhan
yang lebih besar. Mereka menjangkau hubungannya dengan orang-orang lain
hanya sebagai individu-individu dan menghubungkan mereka dalam rangka
kegiatan bersama dimana mereka semua terlibat. Dalam situasi ini juga
terdapat peraturan- peraturan umum yang mengatur dan mengontrol tindakan-
tindakan mereka sendiri (atau berusaha untuk mengontrol) menurut pada
peraturan- peraturan yang bersifat impersonal.
3. Generalized Other. Konsep ini digunakan untuk menunjukkan harapan-
harapan dan standar-standar ini bisa meliputi kebiasaan- kebiasaan tertentu
pada pola- pola normatif atau ideal-ideal yang sangat abstrak serta nilai- nilai
dengan mana orang membatasi orientasi keseluruhannya serta tujuan- tujuan
hidup. Namun individu- individu tidak perlu menciptakan suatu warisan
budaya yang permanen untuk menyatakan generalized other. Bilamana
individu- individu itu menilai tindakan- tindakan atau kehidupannya sendiri
menurut nilai- nilai universal atau kindisi kemanusiaan yang umum, pada
Sehubungan dengan konsep diri, pada remaja konsep diri akan
berkembang terus hingga memasuki masa dewasa. Perkembangan konsep diri
remaja memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan usia perkembangan
lainnya. Perkembang pada masa remaja dipengaruhi oleh beberapa hal, antara
lain: Pengetahuan tentang diri sendiri bertambah, harapan-harapan yang ingin
dicapai di masa depan, terjadi penilaian diri atas tingkah laku dan cara mengisi
kehidupan.
Masa remaja dapat diartikan sebagai masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja juga merupakan masa-masa dimana terjadi
berbagai perubahan bagi setiap individu, baik perubahan secara fisik, mental,
sosial, maupun cara berfikir. Masa remaja dianggap adalah masa yang paling
indah karena pada masa ini anak-anak mengalami yang disebut pubertasi, yaitu
keadaan dimana individu mengenal lawan jenisnya.
Sebelum memasuki masa dewasa seorang individu mengalami tahap – tahap masa remaja yangdigolongkan menjadi 3 tahap yaitu :
1. Masa pra remaja : 12 – 14 tahun
Yaitu periode sekitar kurang lebih 2 tahun sebelum terjadinya pemasakan sek
sual yang sesungguhnya tetapi sudah terjadi perkembangan fisiologi yang ber
hubungan dengan pemasakan beberapa kelenjar endokrin.
2. Masa remaja awal : 14 – 17 tahun
3. Masa remaja akhir : 17 – 21 tahun
Berarti tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosion
al, sosial dan fisik (Hurlock, Elizabeth B. 1999 : 206).
Pada remaja juga mengalami berbagai perubahan yang di ciri – cirikan pada hal-hal berikut:
1. Pertumbuhan fisik
Pertumbuhan fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat
dibandingkan dengan masa anak – anak dan masa dewasa.
2. Perkembangan seksual
Perkembangan ini dibedakan melalui beberapa karakteristik seks
sekunder seperti organ seksual, proporsi tubuh, berat badan, dan tinggi
badan. Pada perkembangan seksual mengalami perkembangan yang
kadang – kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya.
3. Cara berfikir
Cara berpikir causatif yaitu menyangkut hubungan sebab dan akibat.
Misalnya remaja duduk didepan pintu, kemudian orang tua
melarangnya sambil berkata “pantang”. Andai yang dilarang itu anak
kecil, pasti ia akan menuruti perintah orang tuanya, tetapi remaja
yang dilarang itu akan mempertanyakan mengapa ia tidak boleh
duduk didepan pintu.
4. Emosi yang meluap – luap
ngkatan ketegangan emosional yang dihasilkan dari perubahan fisik da
n hormonal. Pada masa ini emosi seringkali sangat intens, tidak terko
ntrol dan nampak irasional. Pada masa ini remaja lebih iri hati terhada
p mereka yang memiliki materi lebih, keadaan emosi remaja masih lab
il karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat ia bisa
sedih sekali, dilain waktu ia bisa marah sekali.
5. Perubahan Sosial
Dalam kehidupan sosial remaja, mereka lebih tertarik dan minat pada
lawan jenisnya meningkat dan mulai pacaran. Pada masa ini remaja pa
ling banyak menghabiskan waktu mereka di luar rumah bersama deng
an teman sebaya mereka.
6. Menarik perhatian lingkungan
Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian lingkungannya,
berusaha mendapatkan status dan peran seperti melalui kegiatan
remaja di kampung – kampung.
7. Terikat dengan kelompok
Remaja dalam kehidupan sosialnya tertarik pada kelompok sebayanya
sehingga tidak jarang orang tua dinomor duakan sedangkan
kelompoknya dinomor satukan.
Pada diri remaja proses perubahan itu merupakan hal yang harus terjadi
oleh karena dalam proses pematangan kepribadiannya remaja sedikit demi sedikit
memunculkan permukaan sifat-sifatnya yang sesungguhnya yang harus
berbenturan dengan rangsang-rangsang dari luar. Menurut Richmond dan
Sklansky (1984, hlm. 110-111) inti dari tugas perkembangan seorang pada
periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan.
Sedangkan menemukan bentuk kepribadian yang khas (yang oleh Alporrt
dinamakan “ unifying philosophy of life”) dalam periode itu belum menjadi
sasaran utama (Sarwono, 1989:74).
Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep diri bertambah stabil pada periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja karena hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya. Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian
melalui pengaruhnya pada konsep diri
(http://www.academia.edu/3778904/Konsep_Diri_Seorang_Remaja).
Dari hal di atas sehingga dibutuhkan pihah- pihak dalam proses sosialisasi
disebut agen sosialisasi. Fuller dan Jacobs dalam Sunarto Kamanto (2004: 24),
mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain,
media masa, dan sistem pendidikan.
1. Keluarga, merupakan unit terkecil di masyarakat dan merupakan institusi
sosial setiap individu yang diperolehnya dari sejak ia dilahirkan. Di dalam
sebuah keluarga seorang individu pertama sekali mendapatkan dan
memainkan pran sebelum ia memainkan peran di masyarakat. Gertrude
ini, terutama orang tua, sangat penting. Arti penting agen sosialisasi pada
tahap pertama ini adalah agar seorang anak dapat berinteraksi dan berbahasa
dengan baik, karena dalam tahap ini anak mulai memasuki play stage dalam
pengambilan peran orang lain dimana ia mulai mengidentifikasikan diri
sebagai anak laki- laki atau anak perempuan. Jelas disini bahwa orang tua
sepenuhnya berpengaruh terhadap kontrol pada anak- anaknya. Dengan
kontrol yang diberikan, sang anak akan mendapatkan pengajaran yang baik
dan mendapatkan hukuman ketika melakukan kesalahan. Sebaliknya, jika
orang tua kurang peduli terhadap anak- anaknya, maka seorang anak akan
tumbuh menjadi individu yang kurang baik pula, baik dari bahasa dan
tindakannya.
2. Teman bermain, setelah seorang anak dapat mengambil peran orang lain,
maka ia akan mencari teman bermain agar ia dapat memainkan perannya.
Pada tahap ini agen sosialisasi adalah teman bermain. Biasanya teman
bermain terdiri atas kerabat atau pun tetangga dan teman sekolah. Pada tahap
ini, seorang anak memasuki game stage, dimana ia mulai mempelajari aturan
yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok
bermain pulalah seorang anak mulai belajar nilai- nilai keadilan ( Soenarto
Kamanto, 2004: 25). Pada tahap ini, orang tua tetap harus mengawasi dengan
siapa anak bermain. Karena jika kontrol orang tua kurang, anak bisa
terjerumus dalam pergaulan bebas. Pergaulan bebas merupakan salah satu
penyebab pernikahan dini, dimana orang tua terpaksa menikahkan anaknya
keadaan anaknya yang hamil tanpa suami dan agar keluarga laki- laki tidak
dipersalahkan akibat perbuatannya, terpaksa orang tua harus menikahkan
anaknya (dalam skripsi “ Dampak Sosial Pernikahan Dini”).
3. Sekolah, agen sosialisasi yang biasanya dikenal dengan pendidikan formal.
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diperoleh melalui beberapa
jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai ke Universitas.
Pendidikan formal bertujuan untuk mempersiapkan seorang individu agar
mampu menguasai peran- peran baru disaat seseorang tidak tergantung lagi
dengan orang tuanya. Dimana seperti yang dikatakan Robert Dreeben (1968)
dalam Sunarto Kamanto (2004: 25), ia berpendapat bahwa yang dipelajari
anak di sekolah disamping membaca, menulis, dan berhitung, adalah aturan
mengenai kemandirian (independence). Tidak hanya itu, dengan sekolah juga
seorang anak mendapatkan pengajaran atas nilai dan norma serta berbagai
peraturan yang ada dalam sekolah yang akan diimplementasikannya pada
kehidupan sehari- hari. Kontrol seorang guru kepada murid sudah jelas terjadi
di sekolah, dimana ketika seorang siswa akan diberikan sanksi apabila
seorang anak melanggar peraturan. Dengan demikian seorang anak akan
mengerti tentang nilai dan norma yang ada.
4. Media masa, Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media
masa yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik
(radio, televisi, film, internet), merupakan bentuk komunikasi yang
menjangkau sejumlah besar orang. Media masa diidentifikasikan sebagai
Pesan- pesan yang ditayangkan melalui media elektronok dapat mengarahkan
khalayak ke arak perilaku prososial maupun antisosial. Penayangan adegan-
adegan yang menjurus ke pornografi di layar televisi sering dikaitkan dengan
perubahan moralitas serta meningkatkan pelanggaran susila dalam
masyarakat. Fuller dan Jacobs (1973), juga mengemukakan bahwa dampak
televisi sebagai agen sosialisasi belum diketahui dengan pasti.
Bronfenbrenner (1970), setelah mempelajari berbagai data penelitian terhadap
dampak televisi terhadap perilaku anak, merasa yakin bahwa media masa ini
memberikan sumbangan berarti bagi tumbuh dan dipertahankannya suatu
tingkat kekerasan tinggi dalam masyarakat Amerika.
2.2. Teori Penyimpangan Sosial dan Norma Sosial
Pandangan terhadap penyimpangan sosial berangkat dari suatu kebudayaan
atau pandangan hidup setiap masyarakat. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat
perbedaan mengenai penyimpangan sosial dari satu peradaban dengan peradaban
lain. Walau demikian, jika di kaji kembali dengan standar penyimpangan sosial
yang dimiliki semua manusia, maka terdapat beberapa persamaan dalam beberapa
hal. Telah kita sepakati sejak dahulu bahwa tampaknya tindakan sekelompok
orang yang suka minum-minuman keras, penggunaan narkoba, pemerkosaan,
perilaku seks bebas, pencurian, kekerasan, perjudian, dan pembunuhan dapat kita
kategorikan pada suatu bentuk penyimpangan. Membahas tentang penyimpangan
menyimpang yang dilakukan oleh seseorang, maka tidak akan terjadi
penyimpangan di masyarakat.
Perilaku menyimpang adalah semua perilaku manusia yang dilakukan baik
secara individual maupun secara kelompok tidak sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku di dalam kelompok tersebut. (Setiadi, 2011: 188).
Terjadinya perilaku menyimpang dapat di bedakan menjadi dua, yaitu
penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan sekunder
(secondary deviance). Penyimpangan primer (primary deviance) yaitu perilaku
menyimpang yang bermula dari penyimpangan-penyimpangan kecil yang
mungkin tidak disadari. Penyimpangan seperti ini terjadi pada seseorang
manakala ia belum mengetahui konsep dari suatu penyimpangan atau dengan
tidak disadari ia melakukan perilaku menyimpang. Sedangkan perilaku sekunder
(secondary deviance) yaitu tindakan menyimpang yang berkembang ketika
perilaku dari si penyimpang tersebut mendapat penguatan (reinforcement) dari
orang-orang atau sekelompok orang yang melakukan penyimpangan itu juga.
Selain itu, terjadinya perilaku menyimpang sebagaimana juga terjadi
perilaku yang tidak menyimpang (conform), dipastikan selalu ada dalam setiap
kehidupan masyarakat. Sifat permisif (serba boleh atau control social yang sangat
longgar) juga berpengaruh pada perilaku menyimpang. Bagi masyarakat yang
sudah semakin modern dan gaya hidup masyarakat yang semakin kompleks
menjadikan nilai dan norma memudar. Sifat baik buruk, atau pun hina terpuji,
masyarakat pun kini bersifat relatif dan telah mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Yang dimaksud dengan relatif adalah nilai dan norma soaial yang berlaku
pada suatu kelompok tertentu belum pasti menjadi nilai dan norma pada kelompok
masyarakat lainnya. Dengan kata lain, hal yang dianggap baik belum tentu dinilai
baik oleh kelompok masyarakat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
perubahan nilai dan norma sosial dari waktu ke waktu adalah adanya pergeseran
nilai dan norma terdahulu yang tidak berlaku lagi pada saat ini. Dalam arti lain
berbeda era berbeda pula hal-hal yang “sedang ngetrend” atau dengan istilah trendy.
Salah satunya adalah mengenai nilai dan norma tentang perilaku seks
bebas. Seks bebas sejak dahulu hingga sekarang dapat dikategorikan sebagai
penyimpangan sosial sebagai suatu perilaku yang menyimpang. Begitu pula dalam
ajaran agama yang ada di dunia, pasti setiap agama melarang dan melawan
perbuatan seks yang berlebihan. Tidak hanya itu, seharusnya ajaran tersebut juga
ada dan melekat pada diri setiap manusia. Namun kini ajaran tersebut tergeser dan
perilaku seks bebas yang menyimpang menjadi hal yang dianggap biasa terjadi
akibat pergaulan dan trendy masa kini, contohnya seperti kumpul kebo atau free
sex yang mendapat dukungan dari berbagai media luar (Barat) dan media- media
lain.
Di Indonesia, perbincangan mengenai perilaku seks bebas sudah menjadi
menu berita sehari-hari dalam berbagai media massa. Gejala-gejala ini secara
dari sistem nilai dan norma sosial yang berlaku pada umumnya adalah jika
seseorang hendak menjalin hubungan seks maka harus melalui beberapa
persyaratan dimana yang dibenarkan dalam norma susila, norma agama, dan
norma hukum.
Tidak berhenti sampai disitu saja, perilaku seks bebas kini mulai merambah
bagi para remaja khususnya para pelajar SMP Dan SMA. Secara umum di
Indonesia penyimpangan perilaku pada remaja disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja ini dilatarbelakangi oleh tingkat pengetahuan masyarakat yang
masih tabu untuk membagi informasi tentang seks, sehingga membuat para remaja
terpaksa memperoleh pengetahuan seks dari media yang salah. Selain itu,
hubungan seks bebas juga di dorong oleh maraknya film-film porno yang dapat
dengan mudah diperoleh melalui situs porno di internet. Aksi ini menimbulkan
rasa penasaran di kalangan para remaja dan mulain ingin mencoba dan
melakukannya sendiri.
Trimingga dalam penelitiannya yang berjudul Penyesuaian Diri Pada
Pasangan Suami Istri Usia Remaja Yang Hamil Sebelum Menikah menyebutkan
bahwa pasangan yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Seberapa jauh tingkat penerimaan masyarakat, budaya setempat serta
orang-orang terdekat yang menjadi tokoh pentingnya seperti keluarga dan teman
b. Ada atau tidaknya kesenjangan antara nilai-nilai pribadi dengan perilaku
seksual yang dilakukan.
c. Dalam suasana yang bagaimana perilaku seksual tersebut dilakukan. Apakah
secara sukarela atau terpaksa, dalam suasana yang menyenangkan atau tidak,
aktivitas itu sendiri secara fisik mendatangkan kenikmatan atau justru
menyakitkan.
d. Apakah pengalaman melakukan hubungan seks tersebut dapat mendatangkan
kepuasan secara emosional atau justru menimbulkan perasaan fru stasi.
e. Pengalaman melakukan hubungan seksual sebelum menikah pertama kali
akan menimbulkan reaksi-reaksi negatif apabila tingkat penerimaan
masyarakat, budaya setempat dan tokoh panutan terhadap perilaku itu sendiri
sangat kuat bertentangan dengan nilai-nilai pribadi pelaku, apabila perilaku
tersebut dilakukan dengan terpaksa dalam suasana yang tidak menyenangkan
dan menimbulkan rasa sakit, serta apabila pada akhirnya keterlibatan dalam
perilaku tersebut menyebabkan furstasi dalam diri pelaku (Soesilo, 1998).
Dari hal tersebut, muncul lah berbagai kasus seperti pencabulan anak di
bawah umur. Tidak hanya itu, dampak hubungan seks pra nikah sangat jelas
terlihat, salah satunya yang paling banyak terjadi adalah menyebabkan kehamilan
pra nikah pada remaja. Sarwono (1989), mengemukakan bahwa kehamilan diluar
nikah bagi remaja akan menimbulkan masalah lain, seperti : dikeluarkannya
remaja tersebut dari sekolah, kemungkinan penguguran kandungan (aborsi) yang
tidak bertanggung jawab dan membahayakan, adanya masalah seksual yang dapat
pernikahan tersebut tidak memiliki fondasi yang baik. Penguguran kandungan
dapat menyebabkan timbulnya perasaan bersalah, depresi dan marah pada remaja
tersebut, lebih dari separuh mereka yang telah melakukan hubungan seks pranikah
ini mengalami stres emosi seperti shock, cemas, malu, takut diketahui orang lain
dan merasa bersalah.
Akibat lain dari perilaku ini, yaitu menyebabkan sebagian anggota
masyarakat menempatkan seks tidak lagi sebagai sesuatu yang suci, melainkan
semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan biologis yaitu hanya untuk kepuasan
akan hubungan seksual. Dengan mudahnya anggota masyarakat tersebut
melanggar etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Meskipun suatu bangsa
mengakui suatu pernikahan, namun pernikahan bukan lagi suatu jalan yang
diambil bagi para pelaku seks bebas. Dengan tetap pemberlakuan dan
mempertahankan sistem pernikahan yang sah di suatu negara, ini dapat
mencerminkan bahwa nilai dan norma sebagai wujud dari kepribadian suatu
bangsa hanya mengakui hubungan seks anatara laki-laki dan perempuan dengan
disahkan oleh badan hukum, yaitu hukum pernikahan.
Oleh karenanya, maka diperlukan adanya norma sosial sebagai acuan atau
pedoman yang mengatur kehidupan bermasyarakat sebagai penentu baik buruknya
tindakan seorang individu maupun kelompok masyarakat. Agar suatu norma
tersebut tidak di langgar maka perlu adanya suatu sanksi tertentu yang diberikan
pada pelaku kejahatan tersebut. Dalam konteks sosiologi, sanksi sosial dapat
berperan sebagai pengendali perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
agar setiap masyarakt tidak melakukan penyimpangan. Namun, kuat lemahnya
sanksi juga tergantung pada pemberlakuan sanksi tersebut di masyarakat. Dalam
buku Setiadi Elly M & Kolip Usman (2011:256) dikatakan ada tiga sanksi yang
dapat digunakan dalam usaha menciptakan ketertiban di masyarakat, yaitu:
1. Sanksi fisik, yaitu sanksi yang mengakibatkan penderitaan fisik pada
pihak yang terbebani sanksi tersebut, misalnya didera, dipenjara, diikat,
dijemur di panas matahari, tidak diberi makan, dihukum mati, dan
sebagainya.
2. Sanksi psikologis, yang merupakan beban penderitaan yang dikenakan
pada pihak yang terbebani sanksi dengan beban kejiwaan, seperti
dipermalukan di depan umum, diumumkannya kejahatan mereka di
berbagai media masa sehingga aibnya diketahui oleh khalayak, dicopot
kepangkatannya di suatu upacara, dan sebagainya.
3. Sanksi ekonomik, yang merupakan beban penderitaan yang dikenakan
kepada pelanggar norma berupa pengurangan benda dalam bentuk
penyitaan dan denda, membayar ganti rugi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dalam kehidupan bemasyarakat, baik buruknya seseorang
di ukur dari perbuatannya. Bagi sebagian orang hal yang dianggap dapat
membahagiakan dirinya adalah suatu hal yang baik. Namun kesenangan
menjadikan seseorang melakukan segala hal yang di anggapnya menyenangkan
bagi dirinya tanpa memperdulikan norma yang ada. Apabila kesenangan tersebut
perbuatan apapun dengan sesuka hatinya walau pun perbuatan tersebut termasuk
perbuatan menyimpang.
Dalam teori penyimpangan sosial, kesadaran umum merupakan langkah
untuk mencegah penyimpangan itu. Kesadaran umum meliputi norma-norma atau
nilai-nilai yang mulia, hal tersebut harus dibangun ditengah-tengah masyarakat.
Membangun kesadaran umum akan nilai-nilai sosial yang mulia membutuhkan
keseriusan dari berbagai pihak.
Menurut Merton, dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu
yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan tersebut
terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak
setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini
menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Dengan
demikian akan timbul penyimpangan-penyimpangan dalam mencapai tujuan. Pada
perkembangan selanjutnya, Merton tidak lagi menekankan pada tidak meratanya
sarana-sarana yang tersedia, tetapi lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan
struktur kesempatan. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial.
struktur sosial yang berbentuk kelas-kelas menyebabkan adanya
perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Keadaan-keadaan tersebut (tidak
meratanya sarana-sarana serta perbedaan peradaban struktur kesempatan) akan
menimbulkan frustasi di kalangan para warga yang tidak mempunyai kesempatan
dalam mencapai tujuan. Dengan demikian ketidakpuasan, konflik, frustasi dan
penyimpangan muncul karena tidak adanya kesempatan bagi mereka dalam
lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap tujuan serta sarana-sarana atau
kesempatan-kesempatan yang terdapat dalam masyarakat.
2.3. Nilai Pendidikan Bagi Masyarakat Desa
Kemiskinan seringkali menjadi alasan penyebab anak putus sekolah, namun
sebenarnya tidak setiap anak putus sekolah disebabkan oleh perekonomian orang
tua yang rendah. Irzan Fachrizi mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian
tentang anak putus sekolah di kecamatan Jangka di Kab. Biren, Madura, dan
Sumsel (Alifiyanto, 2008) ditemukan penyebab anak putus sekolah adalah dari
faktor demigrafi, geografis, sosial budaya, dan ekonomi. Dan dari penelitian yang
dia lakukan diketahui bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh signifikan
terhadap anak putus sekolah di daerah Ciputat di tolak, dan menerima hipotesis
alternatif yang mengatakan faktor lingkungan tidak berpengaruh signifikan
terhadap anak putus sekolah. Tetapi faktor ini tidak berpengaruh signifikan dan
berdasarkan analisis data dari koesioner faktor lingkungan lebih berpengaruh
kepada motivasi belajar atau melakukan penyimpangan seperti bolos sekolah.
Sedangkan menurut Jejen Musfah faktor paradigma orang tua, perhatian guru, dan
kebijakan kepala sekolah, yang tidak memihak pada amat pentingnya pada
pendidikan anak. Menurutnya orang tua, guru, dan kepala sekolah abai terhadap
hak anak memperoleh pendidikan yang baik. Dari tingkat dasar hingga menengah,
apalagi perguruan tinggi. Dan berdasarkan penelitian oleh Tanti Citrasari
Wijayanti jumlah angka putus sekolah bagi anak usis wajib belajar di Jawa Timur
yaitu persentase laju pertumbuhan ekonomi, persentase guru (SD/MI dan SMP/
MTS) terhadap jumlah siswa, dan tingkat kesempatan kerja di Jawa Timur.
Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa tidak hanya partisipasi orang tua
sangat di butuhkan dalam proses pendidikan anak, peran guru juga diperlukan
yang di dapat melalui sekolah, dari itu pemerintah telah membuat berbagai
program untuk menunjang pendidikan, sebab selain sebagai indokator
pembangunan, pendidikan juga dapat berfungsi sebagai penghambat dan
memperlambat usia perkawinan di masyarakat, dimana dengan norma- norma
yang telah ada didalam sebuah institusi khususnya institusi pendidikan maka akan
memaksa seseorang untuk mematuhi norma yang terdapat didalamnya. Tak
berbeda dengan institusi lainnya, pada institusi pendidikan juga di kenal dengan
adanya sanksi bagi yang melanggarnya. Sehingga dengan adanya norma- norma
yang ada di sekolah, maka jika ada siswa atau pun siswi yang melakukan
pelanggaran maka ia juga akan mendapat sanksi. Oleh sebab itu, guru sebagai
pendidik juga harus mengajarkan norma- norma yang tidak jauh berbeda dengan
norma yang ada di masyarakat.
Dalam buku Sosiologi Pendidikan Nasution (2010: 68) dikatakan bahwa
norma- norma di sekolah juga harus memperhatikan apa yang diharapkan
masyarakat. Guru harus memanfaatkan harapan-harapan orang tua dan
menerapkannya dalam kelasnya dalam bentuk norma-norma. Sedapat mungkin
norma- norma yang dijalankan di sekolah jangan betentangan dengan norma yang