BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Wilayah
Konsep pengembangan wilayah menyatakan bahwa dalam suatu wilayah
atau daerah yang cukup luas hanya terdapat beberapa titik-titik pertumbuhan
(growth centre), di mana industri berada pada suatu kelompok daerah tertentu sehingga menyebabkan timbulnya daerah pusat dan daerah belakang (hinterland). Untuk mengurangi ketimpangan ini perlu memperbanyak titik-titik pertumbuhan
baru (Hirschman (1958) dalam Arsyad (2004)).
Anwar (1996) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan wilayah
seharusnya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability).
1. Pertumbuhan (growth)
Pertumbuhan ditentukan sampai dimana kelangkaan sumber daya yang terdiri
atas sumber daya manusia (human capital), peralatan (man made resource) dan sumber daya alam (natural resource) dapat dialokasikan secara maksimal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kegiatan yang produktif.
Semakin tinggi tingkat sumber daya manusia yang dicerminkan dalam
penguasaan teknologi, maka semakin tinggi pula kemampuan untuk
mengelolan sumber daya alam yang tersedia untuk mencapai tingkat
pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan yang maksimal lebih didominasi oleh
2. Pemerataan (equity)
Pengaturan atau pengalokasian manfaat dari hasil pembangunan harus fair dan merata sehingga setiap anggota masyarakat yang terlibat akan
memperoleh pembagian yang adil dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
3. Keberlanjutan (sustainability)
Pembangunan wilayah harus memenuhi syarat bahwa penggunaan sumber
daya baik yang diperoleh melalui sistem pasar atau di luar sistem pasar harus
tidak melebihi kapasitas kemampuan produksi.
2.2 Ketimpangan
Ketimpangan pendapatan merupakan perbedaan pendapatan yang diterima
oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah yang dipengaruhi
oleh tingkat produktivitasnya. Ketimpangan pendapatan merupakan masalah yang
terjadi jika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, ketimpangan
pendapatan yang terjadi menunjukkan bahwa pendapatan rendah dinikmati oleh
sebagian kecil penduduk. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan,
heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan
pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser, 2006).
Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan akibat langsung dari
ketimpangan pelaksanaan pembangunan ekonomi. Penanggulangan kemiskinan
dan ketimpangan pembangunan ekonomi merupakan salah satu masalah pokok
dalam pembangunan (Tarmidzi, 2013).
Timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi
dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada PDRB-nya,
sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang diterimanya
pula. Ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru
memulai pembangunan sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat
pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangan rendah (Todaro
dan Smith, 2003).
Menurut Myrdal (1957), terdapat dua bentuk pengaruh perpindahan dari
pusat pertumbuhan ke daerah sekitar yang dapat mengakibatkan ketimpangan,
yaitu sebagai berikut:
1. Pengaruh yang menguntungkan (favourable effects) bagi wilayah di sekitar sentra-sentra ekspansi ekonomi ke wilayah lainnya, yang mencakup aliran
kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Aliran
ini yang oleh Myrdal disebut spread effects, akan memberikan rangsangan bagi tumbuhnya inti/pusat pertumbuhan baru di wilayah sekitar/pinggiran.
2. Pengaruh yang kurang menguntungkan (unfavourable effects) bagi kegiatan ekonomi wilayah terbelakang tempat asal tenaga kerja, yang mencakup aliran
manusia dari wilayah sekitar/pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti,
sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah
pinggiran yang sebenarnya diperlukan mereka untuk dapat mengimbangi
perkembangan wilayah inti. Myrdal menyebutnya backwash effects.
Kuznets (1954) meneliti kesenjangan antar daerah dan menemukan pola
U terbalik menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata per kapita pada awal
perkembangan negara masih rendah dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika
pendapatan rata-rata naik lebih tinggi maka kesenjangan akan turun kembali
(Todaro, 2004).
Pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu
kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antardaerah,
tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima
pendapatan dalam daerah tersebut, baik golongan masyarakat maupun wilayah
tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu
menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya
perbedaan tersebut akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan
(ketimpangan pendapatan) daerah tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan
pendapatan ini tergantung dari besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang
diterima oleh penerimaan pendapatan (Todaro dan Smith, 2003).
2.3 Pengukuran Ketimpangan
Dalam melakukan pengukuran terhadap ketimpangan pendapatan yang
terjadi, terdapat berbagai metode pengukuran yang digunakan, diantaranya Kurva
Lorenz, Koefisien Gini, dan Coefficient of Variation (CV) Williamson.
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan di
kalangan lapisan-lapisan penduduk yang kumulatif juga. Kurva Lorenz dimulai
dari merangking seluruh kelompok individu dari yang paling bawah sampai yang
sampai dengan paling tinggi. Kurva Lorenz akan memplotkan dari total
pendapatan penduduk kaya dan miskin. Semakin lengkung Kurva Lorenz maka
akan semakin tinggi derajat ketimpangan.
1
0,75
0,5
0,25
0 0,25 0,5 0,75 1
Gambar 1. Kurva Lorenz (Sumber: Mackenzie, 1999)
2. Koefisien Gini
Koefisien Gini adalah dikemukakan oleh Corrado Gini (1992) dalam
Webster (2014) untuk memberikan pengukuran ketidakmerataan antara daerah
pedesaan dan perkotaan. Koefisien ini terletak antara 0 sampai 1, semakin
mendekati 1 maka ketimpangan semakin timpang. Koefisien Gini dapat ditaksir
secara visual langsung dari Kurva Lorenz, yaitu pertabindingan luas area yang
terletak di antara Kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area Kumulatif Kumulatif Penduduk Nasional
Pendapatan Nasional-O-Kumulatif Penduduk Nasional (yang membentuk
segitiga). Selain itu juga Koefisien Gini dapat dihitung melalui perbandingan
PDB per kapita dengan jumlah penduduk di masing-masing kelompok (penduduk
pendapatan tinggi atau rendah).
3. Indeks Williamson
Indeks Williamson diperkenalkan oleh Jeffry G Williamson (1965),
perhitungan nilai didasarkan pada coefficient of variation (CV) dan Williamson memodifikasi perhitungan ini dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk
wilayah. Berbeda dengan Koefisien Gini yang memerlukan data yang cukup
spesifik seperti jumlah rumah tangga di tiap kelompok dalam suatu daerah di
suatu negara, Indeks Williamson menggunakan data PDRB per kapita atas dasar
harga konstan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota untuk
dapat melihat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah dalam sebuah
wilayah. Besarah angka Indeks Williamson terletak antara 0 sampai 1, semakin
besar angka Indeks Williamson maka semakin besar pula tingkat ketimpangan
antar daerah yang terjadi (Tambunan 2003).
2.4 Kontribusi Pertanian
Pertanian merupakan salah satu usaha yang sangat menguntungkan dan
dapat dilakukan dengan efisien. Karena Indonesia mempunyai keunggulan
komparatif (comperative advantage) yang tidak dipunyai oleh negara lain. Yaitu adanya tanah yang luas dan subur, air melimpah, musim yang mendukung untuk
Sektor pertanian menempati posisi penting sebagai penyumbang Produk
Domestik Bruto dan penyumbang devisa yang relatif besar dan cukup lentur
dalam menghadapi gejolak moneter dan krisis ekonomi, oleh karena produksinya
berbasis pada sumber daya domestik maka ekspor produk pertanian relatif lebih
tangguh dan relatif stabil dengan penerimaan ekspor yang meningkat pada saat
terjadi krisis ekonomi. Lebih dari itu sektor pertanian memiliki keunggulan khas
dari sektor-sektor lain dalam perekonomian, antara lain produksi pertanian
berbasis pada sumber daya domestik, kandungan impornya rendah dan relatif
lebih tangguh menghadapi gejolak perekonomian eksternal, dengan demikian
upaya mempertahankan dan meningkatkan peranan sektor pertanian merupakan
cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Hal ini terbukti dari
fakta empiris, di saat Indonesia menghadapi krisis dan secara nasional mengalami
laju pertumbuhan ekonomi negatif yaitu berkisar -13,6% menurut perhitungan
BPS pada tahun 1998, hanya sektor pertanian yang tumbuh positif yaitu 5,32%
pada Triwulan I tahun 1998 (Solahuddin (2009) dalam Kartika (2013)).
Pertanian Sumatera Utara juga berkontribusi dalam ekspor CPO yang
merupakan komoditi yang paling besar diekspor dibandingkan dengan Sektor
Perkebunan lainnya dan dari segi kepemilikan 37,72 persen perkebunan kelapa
sawit adalah perkebunan rakyat (Disbun dalam Pemerintahan Provinsi Sumut
(2013)).
Produksi dari perkebunan ini berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang
kemudian diproses dan menghasilkan 20% CPO dari total berat TBS (Yunarto dan
2.5 Analisis Keterkaitan
Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi keterkaitan ke
belakang (backward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar industri/sektor dalam pembelian terhadap total pembelian input yang digunakan
untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar industri/sektor dalam penjualan
terhadap total output yang dihasilkannya. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke depan menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap
sektor-sektor yang menggunakan output bagi sektor-sektor tersebut baik secara langsung
maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung
dan tidak langsung ke belakang menyatakan akibat dari suatu sektor yang diteliti
terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik
secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total.
Keterkaitan langsung antarsektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan
input antara ditunjukkan oleh koefisien langsung, sedangkan keterkaitan langsung
dan tidak langsungnya ditunjukkan dari matriks kebalikan Leontief
(Nazara, 2005).
Arief (1993) mengemukakan bahwa analisis keterkaitan terbagi menjadi
dua yaitu kepekaan penyebaran dan koefisien penyebaran.
1. Koefisien Penyebaran (Daya Penyebaran ke Belakang/Daya Menarik) Digunakan untuk mengetahui distribusi manfaat dari mekanisme
pengembangan suatu sektor terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya melalui
mekanisme transaksi pasar input juga diartikan sebagai kemampuan suatu sektor
2. Kepekaan Penyebaran (Daya Penyebaran ke Depan/Daya Mendorong Bermanfaat untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor terhadap
sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar output. Sering juga diartikan
sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi
sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor-sektor ini.
Menurut Rassumen dalam Nazara (2005) keterkaitan ke belakang suatu
industri/sektor menunjukkan hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang
ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir pada sektor tersebut terhadap total
pembelian input semua sektor di dalam suatu perekonomian. Keterkaitan ke depan
menunjukkan hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh
suatu unit permintaan akhir suatu sektor terhadap total penjualan output semua di
dalam suatu perekonomian.
2.6 Analisis Shift-Share
Analisis Shift-Share menggambarkan performance kinerja sektor-sektor di suatu daerah dibandingkan dengan kinerja nasional. Ditunjukkan dengan Shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah bila daerah itu
memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomian.
Perbandingan laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu daerah terhadap laju
pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya dan mengamati
penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan-perbandingan itu dapat
ditentukan keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam daerah, seandainya
penyimpangan tersebut bernilai positif
Glasson (1977) mengatakan bahwa kedua komponen Shift yaitu (Ni dan
Ci) memisahkan unsur-unsur pertumbuhan yang bersifat eksternal dan internal. Ni
merupakan akibat pengaruh unsur-unsur eksternal yang bekerja secara nasional
dan Ci adalah akibat dari pengaruh faktor-faktor yang bekerja di dalam daerah
yang bersangkutan.
2.7 Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) banyak dipergunakan untuk
mengukur potensi ekonomi daerah. PDRB dapat diukur dengan tiga pendekatan,
yaitu pendekatan produksi (production approach), pendekatan pendapatan (income approach) dan pendekatan pengeluaran (expenditure approach). Pada pendekatan produksi, PDRB yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai produk
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu
daerah tertentu, biasanya satu tahun. Pada metode pendapatan, PDRB adalah
jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut
serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu satu tahun,
sedangkan pada metode pengeluaran, PDRB diperoleh dari penjumlahan seluruh
pengeluaran yang dilakukan untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta
nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal domestik bruto, penambahan
stok, dan ekspor neto dalam wilayah tertentu. Di antar ketiga pendekatan itu, yang
paling banyak dipergunakan dan diterapkan daerah kabupaten/kota adalah
pendekatan produksi (Sumidiningrat, 1996 dalam Tangkilisan, 2005).
Menurut Tarigan (2006), metode perhitungan pendapatan regional pada
tidak langsung. Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data
daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber
data yang ada di daerah itu sendiri. Hal ini berbeda dengan metode tidak langsung
yang menggunakan data dari sumber nasional yang dialokasikan ke
masing-masing daerah. Metode langsung dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
macam cara, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan
pengeluaran.
Metode tidak langsung adalah perhitungan dengan mengalokasikan
pendapatan nasional menjadi pendapatan regional memakai berbagai macam
indikator, antara lain jumlah produksi, jumlah penduduk, luas areal, sebagai
alokatornya.
1. Metode Langsung a. Pendekatan Produksi
Pendekatan produksi adalah penghitungan nilai tambah barang dan jasa
yang diproduksi oleh suatu kegiatan. Sektor ekonomi dengan cara mengurangkan
biaya antara total nilai produksi bruto sektor atau sub sektor tersebut. Pendekatan
ini banyak digunakan untuk memperkirakan nilai tambah dari sektor/kegiatan
yang produksinya berbentuk fisik/barang, seperti pertanian, pertambangan, dan
industri sebagainya. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi (output) dan nilai biaya antara (intermediate cost), yaitu bahan baku/penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi. Sektor jasa yang menerima pembayaran atau
jasa yang diberikannya (sesuai dengan harga pasar), masih bisa dihitung dengan
pendekatan produksi. Akan tetapi, lebih mudah apabila dihitung dengan
semestinya memberikan hasil yang sama. Nilai tambah itu sama dengan balas jasa
atas ikut sertanya berbagai faktor produksi dalam proses produksi.
b. Pendekatan Pendapatan
Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi
diperkirakan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor
produksi, yaitu upah atau gaji dan surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak
langsung. Pada sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari
untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Surplus usaha meliputi bunga yang
dibayarkan neto, sewa tanah dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan
banyak dipakai pada sektor jasa tetapi tidak dibayar setara harga pasar, misalnya
sektor pemerintahan. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya data dan tidak adanya
metode yang akurat yang dapat dipakai dalam lmengukur nilai produksi da biaya
antara dari berbagai kegiatan jasa, terutama kegiatan yang tidak mengutip biaya.
Selain itu, kutipan yang mereka berikan, misalnya sektor pendidikan dan rumah
sakit.
c. Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan dari segi pengeluaran adalah menjumlahkan nilai penggunaan
akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi
penggunaan maka total penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk:
1. Konsumsi rumah tangga
2. Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung
3. Konsumsi pemerintah
4. Pembentukan modal tetap bruto (investasi)
6. Ekspor neto (total ekspor dikurangi impor)
2. Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung adalah suatu cara mengalokasikan produk domestik
bruto dari wilayah yang lebih luas ke masing-masing bagian wilayah, misalnya
mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator
tertentu, alokator yang dapat digunakan yaitu:
a. Nilai produksi bruto atau neto setiap sektor/subsektor, pada wilayah yang
dialokasikan
b. Jumlah produksi fisik
c. Tenaga kerja
d. Penduduk
e. Alokator tidak langsung
Persentase bagian masing-masing provinsi terhadap nilai tambah setiap
sektor dan sub sektor dapat diperhitungkan dengan menggunakan salah satu atau
kombinasi dari beberapa alokator. Metode ini terkadang digunakan karena adanya
kegiatan usaha yang lokasinya ada di beberapa wilayah, sedangkan pencatatan
yang lengkap hanya dilakukan di kantor pusat. Misalnya laba perusahaan tidak
tercatat pada masing-masing wilayah melainkan hanya tercatat di kantor pusat.
Contoh lain apabila proses produksi bersifat berantai dan masing-masing mata
2.8 Landasan Teori
2.8.1 Ketimpangan Pendapatan Daerah
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak
langsung akan berpengaruh terhadap masalah ketimpangan regional. Ketimpangan
dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi
antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan pula
ketimpangan tingkat pendapatan perkapita antar daerah (Kuncoro, 2001).
Jinghan (2001) menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan
ketimpangan wilayah :
1. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah.
Semakin tinggi konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah tertentu merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antar daerah.
2. Alokasi investasi.
Berdasarkan teori Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif
antara tingkat investasi dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain
bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah akan menyebabkan pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut
rendah karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif.
3. Tingkat mobilitas faktor-faktor produksi yang rendah antar daerah.
Kurang lancarnya mobilitas faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan
modal bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi regional.
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah
yang kaya sumber daya alamnya akan lebih cepat maju dibandingkan dengan
daerah yang miskin sumber daya alam.
5. Perbedaan kondisi demografis antar wilayah.
Ketimpangan ekonomi regional juga disebabkan oleh perbedaan kondisi
demografis, terutama dalam hal jumlah dan pertambahan penduduk, tingkat
kepadatan, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja.
Faktor-faktor ini mempengaruhi ekonomi lewat sisi permintaan dan penawaran.
6. Kurang lancarnya perdagangan.
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur-unsur
yang turut menciptakan terjadinya ketimpangan ekonomi regional.
Ketidakmerataan tersebut lebih disebabkan oleh keterbatasan sarana
transportasi dan komunikasi.
2.8.2 Kontribusi Sektor Pertanian
Kuznets (1954) dalam Todaro dan Smith (2003) menjelaskan pertanian di
negara sedang berkembang merupakan suatu sektor yang sangat potensial dalam
empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
nasional yaitu:
1. Kontribusi Produk
Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi non pertanian sangat tergantung pada
produk-produk sektor pertanian. Bukan saja untuk kelangsungan pertumbuhan
suplai makanan tetapi juga untuk penyediaan bahan baku kegiatan produksi di
dan minuman, tekstil dan pakaian jadi yang bahan inputnya berasal dari
produk pertanian kapas, barang-barang dari kulit dan farmasi dari tanaman
holtikultura.
2. Kontribusi Pasar
Kuatnya bias agraris dari ekonomi selama tahap-tahap awal pembangunan
maka populasi di sektor pertanian (daerah pedesaan) membentuk bagian yang
sangat besar dari pasar (permintaan) domestik. Sehingga permintaan
produk-produk dari industri dan sektor-sektor lain sangat besar mengalir di daerah
pedesaan.
3. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi
Pentingnya pertanian (dilihat dari sumbangan pertanian dalam PDB dan
penyerapan tenaga kerja) tanpa bisa dihindari menurun dengan semakin
tingginya tingkat pembangunan ekonomi. Sektor ini dilihat sebagai sumber
modal untuk investasi di dalam ekonomi. Jadi, pembangunan ekonomi
melibatkan transfer surplus modal dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian.
4. Kontribusi Devisa
Sektor pertanian mampu berperan sebagai salah satu sumber penting bagi
surplus neraca perdagangan baik melalui ekspor hasil-hasil pertanian atau
peningkatan produksi komoditi pertanian menggantikan impor.
2.9 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Naufal (2010) menunjukkan bahwa Indeks Ketimpangan
(0,43) dan Indeks Ketimpangan tersebut lebih kecil jika dihitung dengan
mengikutsertakan sektor pertanian dibandingkan tanpa PDRB sektor pertanian
(0,63) artinya setiap tahunnya sektor Petanian menurunkan indeks ketimpangan
sebesar 46%.
Dengan menggunakan analisis Shift-Share, Rinanti (2013) meyimpulkan bahwa Sektor Perikanan di Kabupaten Blitar bukan sektor yang memiliki
pertumbuhan positif dan memiliki pertumbuhan yang lambat dibandingkan sektor
yang sama di Provinsi Jawa Timur. Sementara dengan menggunakan analisis yang
sama Mursidah (2013) menunjukkan bahwa di Kabupaten Aceh Besar sektor
pertanian masih merupakan sektor ekonomi yang tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan sektor yang sama di Provinsi Aceh namun perannya mulai
berkurang dalam perekonomian Kabupaten Aceh Besar.
Dengan menggunakan analisis deskriptif Chalid (2009) menunjukkan
bahwa sektor pertanian memegang peranan penting terhadap PDRB Riau, hal ini
dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Riau pada tahun
2007 masih relatif besar (43,48%), dengan perkembangan ekspor hasil pertanian
pertanian juga terus meningkat menjadi 34.792,38 (U$ 000) dari 14.946,91 (U$
000) pada tahun 2004, dan memberikan kesempatan kerja sebesar 52,18%.
2.10 Kerangka Pemikiran
Pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi
dan pemerataan secara optimal. Setiap daerah di Provinsi Sumatera Utara pada
dasarnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang berbeda antar daerah satu
perbedaan potensi di setiap daerah seperti sumber daya alamnya sehingga
mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi
Sumatera Utara.
Komoditas sektor pertanian merupakan salah satu komoditas pangan yang
memiliki peranan penting dalam menentukan kesediaan pangan dan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara. Peningkatan produktivitas
pada sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja di
sektor pertanian. Peningkatan pendapatan ini akan meningkatkan taraf hidup
masyarakat pada sektor pertanian yang jumlahnya cukup besar.
Untuk mengetahui berapa besar tingkat ketimpangan pendapatan di
Provinsi Sumatera Utara dan bagaimana peranan sektor pertanian dalam
mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah Provinsi Sumatera
Utara dapat dilakukan dengan Indeks Williamson.
Analisis Shift-Share digunakan untuk menganalisis kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian Sumatera Utara. Dari analisis ini akan diketahui
perbandingan kemampuan kinerja sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara
dengan kemampuan sektor pertanian di Indonesia
Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor lain dapat dilihat dengan
menggunakan analisis keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward and
2.11 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian identifikasi, landasan teori dan penelitian terdahulu
maka hipotesis penelitian ini adalah:
1. Ketimpangan pendapatan di daerah Sumatera Utara tanpa sektor pertanian
berada pada level tinggi yaitu CVw > 0,5.
2. Sektor pertanian memberikan kontribusi penting sebagai sektor dengan
peningkatan PDRB paling tinggi.
3. Sektor pertanian memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap sektor lain.
4. Sektor pertanian mempunyai peranan penting dilihat dari penyerapan tenaga
kerja, nilai tambah produk pertanian, dan kegiatan ekspor pertanian dalam