commit to user
STUDI KOMPARASI TENTANG PERBUATAN PIDANA
PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
Rorys Adi Nugraha
NIM. E0006216
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh
Rorys Adi Nugraha
NIM. E0006216
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Agustus 2011
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
M. Adnan, S.H.,M.Hum. Sabar Slamet, S.H.,M.H.
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Rorys Adi Nugraha
NIM. E0006216
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :...
Tanggal :...
DEWAN PENGUJI
1 : ...
Ketua
2 : ...
Sekretaris
3 : ...
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum.
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Rorys Adi Nugraha
NIM : E0006216
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM
PIDANA ISLAM adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, Agustus 2011
yang membuat pernyataan
Rorys Adi Nugraha
commit to user
v
ABSTRAK
Rorys Adi Nugraha, E 0006216. 2011. STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dengan cara membandingkan adanya persamaan maupun perbedaan mengenai pengaturan tindak pidana penganiayaan yang terdapat dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Aspek yang dibandingkan meliputi 3 (tiga) hal yaitu jenis-jenis tindak pidana penganiayaan, ancaman pidananya, serta subjek dan objek hukumnya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan atau sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dilakukan perbandingan mengenai aspek yang akan diteliti antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Analisis terhadap data tersebut dilakukan dengan menggunakan metode silogisme dan interpretasi sehingga menghasilkan data yang sesuai untuk dilakukan perbandingan pada aspek-aspek yang akan diteliti.
Simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu, Kesatu, persamaan dalam jenis-jenis penganiayaannya. Hukum pidana Islam dikenal penganiayaan sengaja yang dapat disamakan dengan penganiayaan berencana dalam hukum pidana. Sedangkan penganiayaan tidak sengaja dapat disamakan dengan penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan dalam hal ketiadaan unsur kesengajaan pada pelaku. Perbedaannya dalam hukum pidana ada jenis penganiayaan yang dapat menambahkan hukuman sedangkan dalam hukum pidana Islam hanyalah qishas dan diyat. Kedua, mengenai ancaman pidananya. Persamaannya yaitu pidana diyat dalam hukum Islam yang sama dengan pidana denda dalam hukum pidana. Perbedaannya dalam hukum pidana tidak ada hukuman mati dalam penganiayaan. Hukum pidana Islam mengenal pidana mati pada penganiayaan yaitu qishas mati. Dalam hukum pidana hanya mengenal penambahan masa hukuman penjara jika pelaku sengaja menganiaya korban sampai mati. Ketiga, mengenai subjek dan objek hukumnya. Persamaannya, dalam hukum pidana positif dikenal subjek hukum pidana penganiayaan yaitu hukum, ancaman pidananya, dan hakim yang memberikan putusan. Sedangkan dalam hukum pidana Islam subjeknya yaitu syari’at (hukum Islam), ancaman hukumnya, dan putusan qishas atau diyatnya. Mengenai objeknya, dalam hukum pidana positif objek dari penganiayaan ini adalah orang yang melakukan perbuatan dan akibat dari perbuatan pidana. Sedangkan dalam hukum pidana Islam dikenal sebagai objeknya adalah orang yang memperbuat, perbuatan itu sendiri, dan sanksi dari perbuatan itu.
commit to user
vi
ABSTRAK
Rorys Adi Nugraha, E 0006216. 2011. STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
This research aims to find a way to compare the similarities and differences concerning the crime of persecution arrangements contained in the positive criminal law and criminal law of Islam. Aspects being compared includes 3 (three) things are the kinds of criminal abuse, criminal threats, also subject and object of the law.
This research is a normative legal research that is prescriptive is by doing library research or secondary research sources of primary legal materials, legal materials secondary, and tertiary legal materials. Data collection techniques used is literature study. The data obtained and comparison is done on the aspects to be observed between the positive criminal law and criminal law of Islam. Analysis of the data is performed using the methods and the interpretation of syllogisms resulting in the appropriate data to do comparisons on the aspects to be investigated.
The conclusions resulting from this research is, One, equality in the kinds of persecution. Islamic criminal law known deliberate persecution that can be equated with ill-planned in the criminal law. While the abuse may inadvertently equated with abuse and maltreatment ordinary light in the absence of the element of intent to the perpetrator. The difference in criminal law there any kind of persecution can add a sentence in the criminal law whereas Islam is qishas and diyat. Secondly, regarding the criminal threats. The equation that is criminal diyat in the same Islamic law with criminal penalties in criminal law. The difference in criminal law there is no death penalty in the persecution.Islamic criminal law recognize the death penalty on the persecution of qishas dead. In the criminal law recognizes only the addition of a sentence of imprisonment if the offender intentionally mistreat victims to death. Third, regarding the subject and object of the law. The equation, in the positive criminal law criminal law recognized a subject of persecution that is legal, criminal threats, and the judge who gave the verdict.While in criminal law that is the subject of Islamic sharia (Islamic law), legal threats, and the verdict qishas or diyatnya. Regarding the object, the object of positive criminal law of this persecution is a person who has done and as a result of a criminal act. While the Islamic criminal law known as the object is a person who perpetrate, the act itself, and the sanction of the deed.
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha
Kuasa akhirnya karya tulis (skripsi) ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tak
lupa semoga sholawat serta salam selalu dicurahkan pada Rasulullah Muhammad
SAW beserta seluruh sahabat dan para pengikutnya hingga akhir jaman. Penulisan
hukum / skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap
mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak pada semua pihak
yang telah berperan positif dalam membantu penyusunan skripsi ini. Penulis sadar
karya tulis ini tidak akan dapat terwujud tanpa adanya bantuan sekecil apapun dari
pihak lain. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad Adnan, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum
dan Masyarakat sekaligus Pembimbing I Penulisan Hukum ini yang telah
bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi
penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Sabar Slamet, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum
yang telah sabar menyediakan waktu, pikiran, dan berbagi ilmunya.
4. Ibu Sasmini, S.H., LL.M., selaku pembimbing akademis atas nasehat yang
berguna selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam
penulisan hukum ini.
6. Ketua Pengelola Penulisan Hukum Bapak Lego Karjoko S.H.,M.Hum.,
dan Mas Wawan anggota PPH yang banyak membantu dalam penulisan
commit to user
viii
7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu
menyediakan bahan referensi yang terkait dengan topik penulisan hukum
ini.
8. Bapak, ibu, adik-adikku atas cinta dan kasih sayang, doa, dukungan,
semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
9. Teman-teman kuliah di Fakultas Hukum UNS angakatan 2005, 2006, dan
2007.
10. Semua pihak yang ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak baik untuk kalangan akademisi, praktisi, maupun masyarakat
umum.
Surakarta, Agustus 2011
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 11
1. Tinjauan tentang hukum pidana ... 11
a. Hukum pidana positif ... 11
1) Pengertian hukum pidana ... 11
2) Tujuan hukum pidana ... 13
3) Prinsip-prinsip hukum pidana ... 16
4) Objek hukum pidana ... 17
b. Hukum pidana Islam ... 18
1) Pengertian hukum pidana Islam... 18
2) Tujuan hukum pidana Islam ... 27
3) Prinsip-prinsip hukum pidana Islam ... 29
4) Objek hukum pidana Islam ... 30
2. Tinjauan tentang perbuatan pidana ... 31
commit to user
x
1) Unsur-unsur perbuatan pidana ... 31
2) Syarat-syarat untuk dapat dipidana ... 33
b. Hukum pidana Islam ... 34
1) Unsur-unsur perbuatan pidana Islam ... 34
2) Syarat-syarat untuk dapat dipidana Islam ... 36
B. Kerangka Pemikiran ... 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam ... 40
1. Tindak pidana penganiayaan menurut hukum pidana positif (KUHP) ... 40
a. Jenis-jenisnya ... 40
b. Ancaman pidananya ... 41
c. Subjek dan objek hukumnya ... 48
2. Tindak pidana penganiayaan menurut hukum pidana Islam ... 49
a. Jenis-jenisnya ... 49
b. Ancaman pidananya ... 50
c. Subjek dan objek hukumnya ... 53
A. Analisis mengenai Persamaan dan Perbedaannya ... 53
a. Jenis-jenisnya ... 54
b. Ancaman pidananya ... 54
c. Subjek dan objek hukumnya ... 55
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 57
B. Saran ... 58
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum tidak diciptakan tetapi hukum hidup dan berkembang seiring dengan masyarakat suatu bangsa. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Hans Kelsen dari mazhab Wina dengan teori Stufenbau, atau teori limas yang mengemukakan bahwa aturan hukum yang di bawah harus sesuai dengan mengemukakan aturan hukum yang paling tinggi (puncak limas) dimana puncak limas tersebut merupakan cita hukum yang tidak tertulis tetapi ditaati oleh masyarakatnya. Ketaatan tersebut diejawantahkan melalui aturan-aturan tertulis dari tingkat yang tinggi sampai ke tingkat yang lebih rendah tetapi tidak boleh bertentangan dengan cita hukum tadi. Masih dalam koridor yang sama, Ter Haar dengan teori besslisengenler yang mengemukakan bahwa hukum di dalam masyarakat akan dapat disebut hukum jika telah diputuskan oleh Kepala Adat.
Kedua teori tersebut mempunyai pemikiran dan dasar yang sama mengenai perkembangan hukum. Perbedaan terjadi hanya sebatas pendangan ke arah legalistik yang mengedepankan kepada hukum dalam arti aturan yang berbentuk putusan, perundangan baik segi isinya (materiel) maupun segi pembentukannya (formiel). Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum pidana itu merupakan kode moral suatu bangsa. Di situ kita dapat melihat apa sebenarnya yang dilarang, tidak diperbolehkan dan yang harus dilakukan dalam suatu masyarakat atau negara. Apa yang baik dan apa yang tidak baik menurut pandangan suatu bangsa dapat tercermin dalam hukum pidananya. Yang kedua, hukum pidana merupakan hukum sanksi. Sanksi tersebut identik dengan penderitaan (Tri Wahyuningsih, 2007: 113 ).
Jauh sebelum Belanda berkuasa di Indonesia, hukum Islam sebagai
hukum yang berdiri sendiri telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat.
Kerajaan Islam di Indonesia telah mempraktekkan Islam sebagai agama dan
hukum Islam sebagai hukum positif dalam wilayah kekuasaannya
masing-masing. Pada abad ke-10 secara berangsur-angsur banyak orang Belanda
sangat berharap segera menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar
orang Indonesia dengan berbagai cara di antaranya melalui proses
Kristenisasi. Hal itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama
Kristen terhadap agama Islam dan sebagian didasarkan pada kepercayaan
commit to user
2
Islam Indonesia dikristenkan daripada mereka yang berada di negara-negara
muslim lainnya (Mohammad Idris Ramulyo, 1995, 48-49).
Problem penerapan hukum sangat penting dalam menentukan sistem
hukum yang akan diberlakukan. Hal ini mencakup usaha-usaha untuk
menemukan hukum, memastikan mana di antara banyak aturan yang ada
dalam sistem itu yang akan diterapkan. Kemudian menentukan penerapannya
ke dalam kasus tindak pidana penganiayaan menurut hukum positif Indonesia
dan hukum Islam.
Mengenai permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud
dengan tindak pidana, Moeljatno dalam bukunya Azas-azas Hukum Pidana
memberikan definisi sebagai berikut :
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dimana larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana, bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit: pertama yaitu adanya kejadian yang tertentu dan yang kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1987 : 54).
Sedangkan mengenai pengertian hukum pidana dikemukakan juga
oleh beliau bahwa :
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
commit to user
3
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987: 1).
“Istilah pidana berasal dari bahasa Sansekerta, dalam bahasa
Belanda disebut straaf dan dalam bahasa Inggris disebut penalty, yang semua
itu artinya hukuman” (Noerwahidah H.A., 1994: 15). Sedangkan R. Soesilo
mendefinisikan tindak pidana sebagai “Suatu perbuatan yang dilarang atau
diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan maka
orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana” (R.
Soesilo dalam Noerwahidah H.A., 1994: 15). Andi Hamzah membedakan
antara pengertian hukuman dengan pengertian pidana. Dikatakan bahwa :
Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai sanksi atau nestapa yang menderitakan (Andi Hamzah, 1993: 1).
“Hukum pidana ialah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang
dianut oleh suatu negara di dalam melaksanakan kewajibannya menegakkan
tata hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan
menjatuhkan suatu nestapa/derita kepada yang melanggar larangan-larangan
tersebut” (Wiratmo, 1988: 125). KUHP mendefinisikan tindak pidana
penganiayaan adalah “Tindak pidana mengenai tubuh dan nyawa seseorang,
yaitu dengan kurang berhati-hati (culpa) menyebabkan seseorang luka atau
mati.” Karena tindak pidana penganiayaan ini telah diatur dalam KUHP maka
tindak pidana penganiayaan bisa dikaitkan dengan tindak pidana pembunuhan
yang juga diatur dalam KUHP karena keduanya menyangkut tubuh dan
nyawa seseorang. Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan
terpelihara jika setiap anggota masyarakat menaati peraturan-peraturan yang
ada dalam masyarakat. Peraturan-peraturan ini dibuat oleh suatu badan yang
berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut sebagai pemerintah. Walaupun
peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih tetap saja ada orang-orang
commit to user
4
Dalam hukum Islam, tindak pidana penganiayaan ini tidak
disebutkan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, sehingga menjadi hak
kalifah atau hakim dalam menentukan bagaimana hukuman yang akan
diberikan bagi pelaku tindak pidana ini (ta’zir). Jika penganiayaan itu
berujung pada luka atau matinya seseorang maka dapat digolongkan dalam
jarimah kisas. Jika luka itu tidak dapat diambil ukuran yang sama maka dapat
dikenakan diyat.
Jika dicermati maka terdapat perbedaan yang signifikan antara
tindak pidana penganiayaan yang terdapat dalam hukum pidana positif di
Indonesia dan hukum pidana Islam. Perbedaan ini menarik perhatian penulis
untuk mengkaji secara ilmiah tentang seluk-beluk perbedaan tersebut. Oleh
karena itu dalam penulisan hukum ini penulis ingin meneliti bagaimana kedua
sistem hukum ini mengatur mengenai tindak pidana penganiayaan dalam
penelitian yang berjudul : “STUDI KOMPARASI TENTANG TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok untuk dirumuskan dalam pembahasan
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam?
2. Apa persamaan dan perbedaan dari pengaturan tindak pidana
penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum
Pidana Islam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian memang diperlukan dalam menyusun sebuah
penelitian karena dengan adanya tujuan penelitian berarti jawaban dari apa
yang telah dirumuskan sebelumnya akan terjawab. Penelitian hukum
commit to user
5
timbul (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 41). Penelitian ini memiliki tujuan
obyektif dan tujuan subyektif yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui sejauh mana hukum pidana yang ada di Indonesia
mengatur dan menerapkan hukum dalam mengatur tindak pidana
penganiayaan.
b. Untuk dijadikan perbandingan tentang sisi positif dan negatifnya
mengenai pengaturan tindak pidana penganiayaan tersebut.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pemahaman penulis mengenai pengaturan tindak
pidana penganiayaan baik dalam hukum Islam maupun hukum pidana
Indonesia.
b. Untuk memenuhi salah satu syarat akademis guna memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penulisan hukum ini yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum pada umumnya dan hukum Islam serta hukum pidana pada
khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur kepustakaan hukum mengenai perbandingan pengaturan
tindak pidana penganiayaan baik ditinjau dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum pidana Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai tambahan sumber
pengetahuan dan informasi bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan
commit to user
6
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pola pikir
penulis dalam mengkaji masalah hukum terutama di bidang hukum
Islam dan hukum pidana.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan
penelitian yang bersangkutan.
E. Metode Penulisan
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan proses analisis (Soerjono
Soekanto, 2006: 42). Metode penelitian hukum merupakan cara atau
pedomena untuk mempelajari, menganalisa, dan mmahami sesuatu dengan
tujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, gejala, atau hipotesa.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian normatif
atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau sumber penelitian sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis , dikaji,
kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 10).
2. Sifat penelitian
Penelitian yang disusun penulis bersifat preskriptif yaitu penelitian
yang dalam memperoleh datanya dengan melakukan studi kepustakaan
secara intensif dengan memperhatikan kompatibilitas data dengan pokok
bahasan yang akan diteliti. Data yang diperoleh kemudian diolah
commit to user
7 3. Pendekatan penelitian
Dalam menyusun suatu penelitian hukum, ada beberapa pendekatan
yang dapat digunakan sesuai dengan topik atau tema yang akan dibahas,
yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep
(conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan filsafat
(philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach) (Jhonny
Ibrahim, 2006: 300).
Penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach)
dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan
undang-undang digunakan dalam menelaah peraturan
perundang-undangan yang memiliki kaitan erat dengan topik yang akan dibahas yaitu
mengenai tindak pidana penganiayaan baik dalam hukum Islam maupun
hukum pidana. Pendekatan perbandingan digunakan sebagai cara untuk
membandingkan pengaturan mengenai tindak pidana penganiayaan dari
kedua sistem hukum tersebut yang kemudian akan diperoleh jawaban dari
masalah yang sedang diteliti.
4. Jenis dan sumber data penelitian
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu data yang meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Bahan hukumnya
dibedakan sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
terdiri dari :
1) Norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945;
2) Peraturan dasar :
- Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
commit to user
8
- Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum
adat;
- Yurisprudensi.
Dalam penelitian ini bahan hukum primernya adalah
Al-Qur’an terutama Q.S. Al Maidah: 45 dan Q.S. An-Nisa: 92,
KUHP Pasal 351 ayat (1), 351 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5), Pasal 352 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 355 ayat (1)
dan ayat (2), serta Pasal 356.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar
hukum. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah buku
tentang pidana baik hukum pidana positif maupun pidana Islam
(jinayat), karya tulis ilmiah pakar mengenai tindak pidana
penganiayaan, maupun literatur dan artikel-artikel yang terkait
dengan permasalahan yang ada.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus besar bahasan
Indonesia, ensiklopedi, dan sebagainya.
5. Teknik pengumpulan data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan
studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun
elektronik.
6. Teknik analisis data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu
dengan teori yang telah didapatkan sebelumnya (Mukti Fajar dan Yulianto
Achmad 2010: 183). Pada penelitian hukum ini penulis menggunakan
commit to user
9
dengan mengambil kesimpulan dari hal yang bersifat umum dan
hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan interpretasi adalah menafsirkan
terhadap teks undangan yang tidak jelas agar
perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu
(Bambang Sutiyoso, 2009: 82).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai
penulisan hukum ini, maka berikut kami sajikan susunan sistematika :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan tentang :
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Hukum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan mengenai kajian pustaka yang
berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti yang
memberikan landasan/kerangka teori serta diuraikan juga
mengenai kerangka pemikiran/konsep.
A. Kerangka Teori
B. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi hasil penelitian yang diperoleh dan
commit to user
10
A. Pengaturan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan hukum pidana Islam
B. Analisis persamaan dan perbedaan pengaturan tindak pidana
penganiyaan dalam KUHP dan hukup pidana Islam
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang hukum pidana
a. Hukum pidana positif
1) Pengertian dan pembagian hukum pidana
Sebelum abad ke-18, hakim menjatuhkan hukuman pada seseorang tanpa adanya ukuran yang jelas mengenai apa hukuman yang pantas dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, sehingga terkesan bahwa sanksi yang dijatuhkan adalah menurut kehendak hakim sendiri tanpa ada batasan aturan yang resmi. Artinya meskipun tidak ada undang-undang yang dapat mempermasalahkan seseorang, jika hakim menganggap bahwa orang tersebut bersalah maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pada orang tersebut. Hukuman seperti ini dikenal dengan istilah hukuman yang arbitrair (Abdoerraoef, 1970: 153).
Lebih dari satu dasawarsa reformasi telah dijalani oleh bangsa Indonesia. Selama kurun waktu tersebut berbagai perubahan dilakukan mulai dari perombakan secara mendasar hukum dasar tertulis (written
constitution) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 hingga penataan kembali baik infra maupun suprastruktur politik melalui perubahan berbagai piranti hukum yang mengaturnya. Kesemua pembaruan yang hingga kini masih berjalan secara evolutif didesain secara sadar menuju tercapainya kehidupan bernegara dan berbangsa yang demokratis-berkeadilan sosial. Pengalaman berkonstitusi tanpa internalisasi paham konstitusionalisme yang membawa berbagai opresi dan pengingkaran hak dasar manusia membangkitkan kesadaran pada bangsa ini akan satu hal utama pentingnya suatu sistem yang meniscayakan akuntabilitas dan limitasi kekuasaan negara serta jaminan akan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia (Manunggal Kusuma Wardaya, 2010: 96-97).
commit to user
12
Pengertian hukum pidana banyak dikemukakan oleh para ahli
diantaranya adalah :
1. Samidjo memberikan definisi hukum pidana yaitu “hukum yang
memuat semua peraturan-peraturan yang mengandung keharusan
atau larangan terhadap pelanggaran yang mana diancam dengan
hukuman yang berupa siksaan badan” (Samidjo, 1993: 1).
2. Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, S.H. mengatakan
bahwa hukum pidana adalah “semua dasar-dasar dan aturan-aturan
yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban
hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan
dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang
melanggar larangan-larangan tersebut” (Van Hamel dalam
Moeljatno, 1987: 8).
3. A. Siti Soetami membagi hukum pidana menjadi dua bagian yaitu:
a. Hukum pidana obyektif
Hukum pidana obyektif terdiri dari hukum pidana formil dan hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara dan mempertahankan hukum pidana materiil. Hukum ini juga disebut hukum acara pidana. Sedangkan hukum pidana materiil mengatur apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana materil mengatur rumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bilamana seseorang dapat dihukum. Hukum pidana ini dibagi menjadi hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang berlaku terhadap setiap orang. Hukum pidana khusus yaitu hukum pidana yang khusus berlaku untuk orang-orang tertentu, misalnya hukum pidana militer.
b. Hukum pidana subyektif
Hukum pidana subyektif yaitu hak negara beserta alat perlengkapannya untuk menghukum seseorang berdasarkan hukum pidana yang berlaku (A. Siti Soetami, 1992: 54).
4. C.S.T. Kansil membagi hukum pidana menjadi empat bagian yaitu :
a. Hukum pidana obyektif (ius punale), yang dapat dibagi ke dalam :
1) Hukum pidana materiil.
commit to user
13
c. Hukum pidana umum.
d. Hukum pidana khusus, yang dapat dibagi ke dalam: 1) Hukum pidana militer.
2) Hukum pidana pajak.
Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan. Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu (C.S.T. Kansil, 1980: 249).
Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Mereka adalah perbuatan yang melawan (melanggar) hukum. Tegasnya, mereka merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil (Moeljatno, 1987: 2).
2) Tujuan hukum pidana
Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan yang ada dalam masyarakat. Bagi setiap orang yang melanggar
aturan hukum akan dikenakan sanksi berupa hukuman sebagai akibat dari
perbuatan yang melanggar aturan hukum yang dilakukannya. Jadi pada
dasarnya tujuan hukum selain sebagai alat untuk menghukum pelaku
perbuatan pidana, juga sebagai pelindung dan pencegah masyarakat agar
terhindar dan tidak melakukan perbuatan pidana.
Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, sehingga
peninjauan bahan-bahan mengenai hukum pidana dilakukan dari sudut
pandang pertanggungjawaban manusia terhadap perbuatan-perbuatan
yang dapat dikenai pidana (hukuman). Jika seseorang melanggar
peraturan pidana maka akibatnya adalah ia harus dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dan karenanya ia dapat
dikenai pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum, kecuali orang
tersebut terganggu akalnya, di bawah umur, dan sebab lain seperti yang
diatur dalam KUHP mengenai pertanggungjawaban pidana (C.S.T.
commit to user
14
Tujuan pidana sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah yaitu :
Tujuan pidana berkembang dari dulu sampai sekarang dan telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Awal mulanya pidana bertujuan untuk membalas (revenge) atau untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun korbannya. Hal ini bersifat primitif, tapi kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Unsur primitif dari hukum pidana paling sukar dihilangkan. Tujuan yang juga dipandang kuno adalah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi, yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan keseimbangan antara hak dan batil (Andi Hamzah, 1993: 24).
Tujuan hukum pidana menurut Bambang Poernomo mengenal
dua aliran yaitu aliran klasik dan aliran modern. Aliran-aliran ini lebih
lanjut dijelaskan sebagai berikut :
Menurut aliran klasik, tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Peletak dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang “Dei dellite edelle pene” (1764). Dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang, yang harus tertulis, maka karangan itu sangat berpengaruh sehingga timbullah aliran masyarakat yang menuntut agar hukum pidana itu diadakan dengan tertulis.
Sebaliknya aliran modern mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut di atas, bahwa perkembangan hukum pidana toh harus memperhatikan kepada kejahatan serta keadaan penjahat, maka aliran modern ini dapat dikatakan mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi. Perkembangan kriminologi kurang mendapat perhatian dari aliran klasik hukum pidana. Di samping itu apa yang dimaksud dengan melindungi individu dari kekuasaan negara, pada akhirnya berkaitan dengan bentuk pemerintahan kedaulatan rakyat dengan kekuasaan yang diatur dalam undang-undang (Undang-Undang Dasar) dan peraturan hukum pidananya juga tertulis dalam undang-undang sehingga lambat laun yang dianggap sebagai tujuan melindungi individu di dalam pemerintahan kedaulatan rakyat telah beralih pada tujuan melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Aliran modern hukum pidana itu lahir karena pengaruh kriminologi dan beralihnya tujuan hukum pidana itu sendiri menjadi melindungi masyarakat terhadap kejahatan (Bambang Poernomo, 1993: 24-25).
Menurut Moeljatno dikatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah
:
commit to user
15
didorong oleh keadaan masyarakat di sekitarnya baik keadaan sosiologis maupun ekonomis. Atau ada sebab-sebab lain lagi. Jika sebab-sebab itu sudah diketahui, maka disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat, agar orang tadi tidak lagi berbuat demikian, atau orang-orang lain tidak akan melakukannya (Moeljatno, 1987: 13).
A. Siti Soetami menjelaskan tujuan pemidanaan berdasarkan pada
teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan, yaitu:
Menurut teori absolut, tujuan pemidanaan terletak pada hukum pidana itu sendiri. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhi hukuman/pidana. Teori relatif mengatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk :
1. Mencegah terjadinya kejahatan.
2. Memberikan efek takut sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan.
3. Memperbaiki orang yang melakukan kejahatan.
4. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap
kejahatan.
Sedangkan menurut teori gabungan yang merupakan kombinasi antara teori absolut dan relatif, tujuan pidana adalah karena orang tersebut melakukan kejahatan dan agar ia jangan melakukan kejahatan lagi (A. Siti Soetami, 1992: 56-57).
Sedangkan Andrew Ashworth dan Lucia Zedner mengemukakan paradigma konsepsi liberal Criminal Justice dalam tulisan mereka yang berjudul Defending the Cirminal Law : Reflections on the Changing European Convention of Human Rights. The purpose of the criminal trial is to have an examination by a court sitting in public of the admissible evidence brought by the prosecution and by the defence in order to decide whether the defendant did the act charged and, if so, was at fault
for doing it (Andrew Ashworth dan Lucia Zedner, 2007: 22).
Menurut konsepsi tersebut, tujuan hukum pidana adalah untuk
memberikan ancaman (censure) dan sanksi (sentence) pada mereka yang
melakukan kesalahan (wrongs) yang dapat dikenai pidana (criminalised)
commit to user
16
diperiksa dan diadili (tried) dalam sebuah pengadilan pidana yang
didasarkan pada prosedur upaya perlindungan (safeguards) sebagaimana
dicantumkan dalam Konvensi HAM Eropa.
Sedangkan tujuan dari pengadilan pidana adalah melakukan
pemeriksaan (examination) bukti-bukti yang dapat diterima (admissible
evidence) yang dibawa oleh penuntut (prosecution) dan pembela
(defence) untuk memutuskan apakah terdakwa (defendant) melakukan
apa yang dituduhkan dan jika demikian merupakan kesalahan dalam
melakukan hal itu.
3) Prinsip-prinsip hukum pidana
Hal penting lain yaitu perlu diketahui adalah prinsip-prinsip
hukum pidana. Karena prinsip memiliki arti penting dalam usaha
mencapai tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan. KUHP tidak
terdapat mengenai prinsip hukum pidana tersebut. Namun jika dilihat
dari ketentuan pasal-pasalnya maka akan ditemukan prinsip apa
sebenarnya yang terkandung di dalam aturan tersebut. Dalam KUHP
buku kesatu tentang aturan umum hukum pidana yang mengatur
batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan, ada
pasal-pasal yang bisa dijadikan sebagai prinsip hukum pidana, yaitu :
Pasal 1
- ayat (1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan
- ayat (2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa
Pasal 2 Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia
Pasal 3 Aturan pidana dalam perundang-undangan di Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar di Indonesia, melakukan perbuatan pidana di dalam perahu Indonesia
Pasal 5 Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia
Pasal 7 Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
commit to user
17
melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut dalam bab XXIII buku kedua
Dari ketentuan tersebut di atas dapat dijadikan prinsip dasar
hukum pidana, yaitu :
a. Tidak ada hukuman pidana selama tidak ada hukum yang mengatur
tentang perbuatan pidana tersebut (asas legalitas).
b. Jika ada peraturan yang berubah, atau ada peraturan yang baru,
maka hukuman yang diberikan adalah yang lebih ringan.
c. Peraturan perundangan Indonesia berlaku bagi seluruh warga
negara Indonesia, baik yang berada di Indonesia maupun yang
berada di luar wilayah Indonesia, tidak memandang kepada siapa
hukuman itu dijatuhkan apabila seseorang itu telah melakukan
perbuatan pidana, baik pejabat maupun masyarakat sipil yang
menjadi warga negara Indonesia.
Peraturan pidana berlaku bagi orang yang di luar Indonesia yang
berada dalam perahu berbendera Indonesia.
4) Objek hukum pidana
Hukum pidana positif memiliki objek hukum yaitu perbuatan,
akibat dari perbuatan, dan orang atau sekelompok orang yang melakukan
perbuatan (pelaku). Bambang Poernomo mengatakan bahwa :
Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada siapa saja yang melakukannya, dan delik itu harus ditujukan kepada :
a. Memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu
kepentingan hukum, seperti pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.
b. Membahayakan suatu kepentingan hukum (Bambang Poernomo,
1993: 92).
Sifat delik itu berkewajiban menjaga kepentingan hukum.
Maksudnya adalah meliputi kepentingan negara, kepentingan
masyarakat, dan kepentingan individu, dengan diperinci lebih lanjut
dalam arti setiap kepentingan yang tercakup kepentingan hukum
commit to user
18
hukum itu selalu berubah menurut waktu dan keadaan selaras dengan
kesadaran hukum di dalam masyarakat.
Hubungan antara sifat delik tersebut dan kepentingan hukum yang
dilindungi akan dapat menjadi subyek delik pada umumnya yaitu
manusia (een natuurlijke persoon). Vos memberikan tiga alasan mengapa
hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik, yaitu:
a. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia.
b. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan oleh manusia.
c. Dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seorang manusia pribadi (Vos dalam Bambang Poernomo, 1993: 92).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan
tentang apa yang menjadi objek hukum pidana. Penulis berkesimpulan
bahwa yang dapat menjadi objek hukum pidana adalah :
a. Perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
b. Orang yang melakukan perbuatan pidana.
c. Akibat dari suatu perbuatan.
d. Badan hukum juga bisa dijadikan objek pidana, seperti yang dikatakan
oleh Bambang Poernomo bahwa :
Perkembangan di dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang fiskal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya. Pada waktu sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP yang membuat ketentuan dapat dipidananya badan hukum, dan mungkin di kemudian hari keadaan demikian dapat berubah (Bambang Poernomo, 1993: 92).
b. Hukum pidana Islam
1) Pengertian dan pembagian hukum pidana Islam
Dalam hukum Islam, hukum pidana disebut jinayat yang berarti
kesalahan, dosa, kriminal, atau perbuatan dosa. Sedangkan jarimah
berarti dosa atau durhaka (H. Mahmud Yunus, 1973: 87). Pengertian
jinayat menurut para fuqoha adalah “perbuatan-perbuatan yang dilarang
commit to user
19
pengertian jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang diancam dengan
hukuman had atau ta’zir” (Marsum, 1984: 1-2). Dalam jinayat tidak
dikenal adanya pembagian seperti dalam hukum pidana positif. Jinayat
mengenal pembagian hukum berdasarkan cara meninjaunya, yaitu :
a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi empat yaitu jarimah qishas, jarimah hudud, jarimah diyat, dan
jarimah ta’zir.
b. Dilihat dari segi niat pelakunya, jarimah dibagi dua yaitu jarimah
sengaja dan jarimah tidak sengaja.
c. Dilihat dari segi cara melakukannya, jarimah dibagi menjadi jarimah
positif dan jarimah negatif.
d. Dilihat dari orang yang menjadi korban akibat perbuatan, jarimah
dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah kelompok.
e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi
jarimah biasa dan jarimah politik (Mardani, 2010: 114-115).
Untuk lebih jelasnya jenis-jenis jarimah tersebut dijelaskan
sebagai berikut :
1. Menurut berat ringannya hukuman
a. Jarimah hudud
Secara terminologis, pengertian hudud (had) adalah :
Hukuman yang telah ditentukan sebagai hak Allah SWT. Dan arti uqubah muqaddarah adalah bahwa hukuman telah dibatasi, ditentukan, tidak ada pada hukuman itu batasan terendah dan batasan tertinggi. Artinya bahwa hukuman itu adalah hak Allah dan bahwa hukuman itu tidak bisa digugurkan oleh individu-individu dan tidak pula oleh jama’ah (Abd al-Qadir ‘Audah dalam Mardani, 2010: 115).
Hukuman yang termasuk hak Tuhan adalah setiap hukuman yang dikehendaki oleh kepentingan umum (masyarakat) seperti untuk memelihara ketentraman dan keamanan masyarakat dan manfaat penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Jarimah yang termasuk hak Allah itu ada tujuh yaitu zina, qadzaf (menuduh berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, harabah
(perampokan), murtad, dan al-bagyu atau pemberontakan (Mardani, 2010: 116).
b. Jarimah qishash dan diyat
“Pengertian qishash secara etimilogis adalah balasan dan
commit to user
20
pengertian diyat secara etimologis adalah denda” (Lowis
Ma’luf dalam Mardani, 2010: 116). Sedangkan pengertian
qishash dan diyat secara terminologis adalah :
Jarimah qishash dan diyat adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishash dan diyat. Setiap qishash dan diyat mempunyai hukuman yang telah ditentukan sebagai hak perorangan. Maksud muqaddarah (hukuman yang telah ditentukan) adalah bahwa qishash dan diyat mempunyai satu batasan, tidak ada baginya batasan tertinggi dan batasan terendah yang fleksibel antara keduanya. Maksud qishash dan diyat sebagai hak perorangan adalah bahwa si korban berhak memaafkan pelaku tindak pidana bila ia menghendaki. Apalagi ia telah memaafkan, maka gugurlah hukuman (Lowis Ma’luf dalam Mardani, 2010: 116-117).
Jarimah qishash dan diyat ada lima yaitu : a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan semi sengaja c. Pembunuhan tidak sengaja d. Penganiayaan sengaja e. Penganiayaan tidak sengaja
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun qishash telah ditentukan hukuman hukumnya oleh Allah SWT, tapi qishash juga merupakan hak individu yang apabila korban memaafkan maka gugurlah hukuman hukumnya (Mardani, 2010: 117).
c. Jarimah ta’zir
“Secara etimologis, ta’zir berasal dari kata ‘azzara
yuaziru ta’ziran, yang artinya mencegah dan menolak atau
mendidik dan memukul dengan sangat (Lowis Ma’luf dalam
Mardani, 2010:117).” Secara terminologis ta’zir diartikan
sebagai :
Hukuman pendidikan yang dijatuhkan hakim terhadap tindak pidana atau maksiat yang belum ditentukan hukumannya oleh syari’at, atau telah ditentukan hukumannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat pelaksanaannya seperti: bercumbu selain faraj, dan mencuri yang tidak terpenuhi syarat untuk pemotongan tangan (Sayid Sabiq dalam Mardani, 2010: 118).
commit to user
21
dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada terpidana dan mencegahnya untuk tidak mengulangi lagi kejahatan itu (Abu Ishaq Al-Shiraji dalam Mardani, 2010: 118).
Dengan demikian tujuan hukuman ta’zir itu bersifat
preventif (pencegahan), represif (diharapkan dapat
memberikan dampak positif bagi terpidana), kuratif
(diharapkan mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terpidana di kemudian hari), dan edukatif (diharapkan dapat menyembuhkan hasrat terpidana untuk mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik).
Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan pelakunya. Jadi hukuman jarimah ta’zir tidak mempunyai batasan tertentu.
Juga jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedang pada jarimah-jarimah qishash-diyat dan jarimah hudud sudah ditentukan dan memang jarimah ta’zir tidak mungkin ditentukan jumlahnya. Syara’ hanya menentukan sebagian jarimah-jarimah ta’zir yaitu perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai jarimah seperti riba, menggelapkan titipan, memaki-maki orang, penyuapan dan sebagainya, sedang sebagian besar dari jarimah-jarimah ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash syara’ dan prinsip-prinsip yang umum (Ahmad Hanafi, 1967: 18).
“Dapat dikatakan bahwa maksud pemberian hak
penentuan jarimah-jarimah ta’zir kepada para penguasa ialah
agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan-kepentingannya” (Mardani, 2010: 119).
2. Menurut niat pelaku
a. Jarimah sengaja
“Jarimah sengaja yaitu pelaku tindak pidana dengan
sengaja melakukan perbuatan yang diharamkan dan ia tahu
bahwa perbuatan itu diharamkan. Dan inilah makna umum
commit to user
22
2010: 119). Pada jarimah pembunuhan mempunyai arti khusus
yaitu “sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang dan
memang akibat perbuatan itu dikehendaki pula. Kalau pelaku
tindak pidana dengan sengaja berbuat tetapi tidak
menghendaki akibat-akibat perbuatannya itu, maka disebut
pembunuhan semi sengaja” (Abd al-Qaadir ‘Audah dalam
Mardani, 2010: 120).
b. Jarimah tidak sengaja
“Jarimah tidak sengaja yaitu pelaku tindak pidana tidak
sengaja mengerjakan perbutan yang dilarang, akan tetapi
perbuatan tersebut menjadi kekeliruannya” (Abd al-Qaadir
‘Audah dalam Mardani, 2010: 120).
3. Menurut cara mengerjakannya yaitu jarimah positif dan jarimah
negatif
Jarimah positif terjadi karena mengerjakan sesuatu perbuatan yang dilarang seperti mencuri, zina, dan memukul. Jarimah negatif terjadi karena tidak mengerjakan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, seperti seorang saksi tidak melaksanakan persaksiannya dan seseorang tidak mengeluarkan zakat. Kebanyakan jarmah terdiri dari jarimah positif dan sedikit sekali yang berupa jarimah negatif (Abd al-Qaadir ‘Audah dalam Mardani, 2010: 121).
Para fuqoha sepakat pendapatnya bahwa jarimah positif bisa terjadi dengan jalan tidak berbuat (negatif) dan pelakunya dijatuhi hukuman karenanya. Seperti menahan orang lain dan tidak diberi makan atau minum, sehingga mati karena lapar dan haus. Maka penahanan tersebut dianggap pembunuhan dengan sengaja, kalau dengan tidak memberinya makan atau minum itu untuk membunuhnya. Begitu pendapat Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad (Mardani, 2010: 121).
commit to user
23
minuman pada waktu terjadi lapar dan haus berarti membunuh juga (Mardani, 2010: 121-122).
Dari contoh-contoh yang dikemukakan para fuqoha, nampaknya orang yang tidak berbuat, tidak dikenakan akibat sikapnya itu kecuali kalau menurut pandngan syara’ dan ‘urf
(kebiasaan) seharusnya orang tersebut tidak bersikap demikian (seharusnya berbuat). Kalau syara’ dan kebiasaan menjadi dasar, maka sudah barang tentu akan terdapat perbedaan pendapat, selama segi tinjauan orang berbeda-beda. Misalnya menurut para fuqoha Hambali, seseorang yang sanggup menolong orang lain dari suatu malapetaka, seperti api ataau binatang buas, akan tetapi orang tersebut tidak mau menolongnya, sehingga orang lain tersebut mati maka orang yang dapat menolong itu tidak dapat dituntut. Akan tetapi menurut golongan Hanabilah lain, orang tersebut dapat dituntut. Dasar perbedaan pendapat tersebut ialah apakah menolong tersebut wajib atau tidak (Mardani, 2010: 122).
4. Menurut segi orang yang menjadi korban yaitu jarimah keompok
(masyarakat) dan jarimah perseorangan
Jarimah-jarimah yang mengenai had masyarakat ialah suatu jarimah yang hukuman hukumnya disyaari’atkan untuk menjaga kemashlahatan jama’ah (masyarakat), baik jarimah tersebut mengenai perorangan atau mengenai jamaah ataupun mengenai keamanan dan ketertiban jamaah. Menurut para fuqoha, hukuman jarimah macam ini disyariatkan sebagai hak Allah SWT. Artinya secara istilah, bahwa hukuman disyari’atkan untuk menhaaga jamaah, akan tetapi menjadikan hukuman itu sebagai hak Allah SWT, sebagai isyarat tidak adanya pengampunan, keringanan, tau menunda pelaksanaannya. Jarimah yang mengenai perorangan adalah suatu jarimah yang hukuman hukumnya disyari’atkan untuk menjaga kemashlahatan perorangan. Meskipun apa yang menyentuh kemashlahatan perorangan itu bisa terjadi menyentuh kemashlahatan jamaah (Abd al-Qaadir ‘Audah dalam Mardani, 2010: 123).
commit to user
24
Jarimah qishash diyat termasuk jarimah perseorangaan. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat tidak dirugikan oleh adanya jarmah tersebut, melainkan sekedar lebih menguatkan hak perseorangan atas hak masyarakat. Oleh karena itu maka orang yang menjadi korban dari jarimah tersebut dapat menghapuskan hukuman-hukuman qishash sebagai hukuman-hukuman pokok untuk jarimah-jarimah qishash diyat. Hak penghapusan hukuman-hukuman bahwa jarimah-jarimah tersebut menyinggung haknya dengan langsung. Meskipun sudah dihapuskan dari pihaknya, namun hal ini tidak berarti bahwa si pembuat bebas sam sekali dari hukuman sebab ia bisa dijatuhi hukuman ta’zir, dengan maksud untuk memelihara hak masyarakat yng telah dirugikan oleh pembuat tersebut dengan tidak langsung (Mardani, 2010: 123-124).
5. Menurut tabiatnya yang khusus yaitu jarimah biasa dan jarimah
politik
Syari’at Islam mengadakan pemisahan antara jarimah biasa dan jarimah politik. Pemisahan tersebut didasarkan atas kemashlahatan dan ketertiban msyarakat erta atas pemeliharaan sendi-sendinya. Oleh karena itu tidak setiap jarimah yng diperbuat untuk tujuan-tujuan politik dapa disebut jarimah politik, meskipun kadang-kadang ada jarimah biasa yang diperbuat dalam suasana politik tertentu bisa digolongkan kepada jarimah politik. Sebenarnya corak kedua macam jarimah tersebut tidak berbeda, baik mengenai macam maupun cara memperbuatnya. Perbedaan antara keduanya terletak pada motif (Mardani, 2010: 124).
Ketentuan ini didasarkan atas kejadian sejarah, yaitu pembunuhan khalifah Ali bin Abi Thalib oleh seorang bernama Abdurrahman bin Muljam, untuk maksud-maksud politik. Khalifah Ali berkata kepada al-Hasan, putranya, sebagai berikut: “tawanlah dia baik-baik,kalaau saya hidup, maka akulah yang berkuasa atas jiwaku, dan kalau aku mati, maka bunuhlah dia seperti dia membunuh aku” (Ahmad Hanafi, 1967: 18).
Dari kata-kata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa khalifah Ali ra. memandang perbuatan Abdurrahman tersebut sebagai pembunuhan biasa, tentunya ia tidak akan menyatakan bahwa dirinya berkuasa atas jiwanya, yang berarti bisa mengambil hukuman qishash dan bisa pula memaafkannya, dan tentunya tidak minta kepada putranya untuk mengambil qishashnya yaitu dibunuh pula.
commit to user
25
maka baru terdapaat jarimah politik asal pada rakyat yang memberontak tersebut terdapat syarat-syarat tertentu. Boleh jadi syarat-syarat ini sudah terdapat tapi suasananya bukan suasana pemberontakan atau suasana perang. Maka jarimah yang diperbuat bukan jarimah politik, melainkan terjadi jarimah biasa (Mardani, 2010: 125).
Di kalangan fuqoha, jarimah politik disebut al-baghyu atau pelakunya disebut al-bughat atau fa’il al bughyah. Bughat ialah orang-orang yang memberontak kepada imam (penguasa negara) berdasarkan ta’wil (alasan) tertentu dan mereka mempunyai kekuatan dan senjata, atau segolongan kaum muslimin yang menentang penguasa negara tertinggi (al-imam al-‘a’dham), atau wakilnya (Abd al-Qadir ‘Audah dalam Mardani, 2010: 125). Perbuatan menentang penguasa negara karena dua hal :
a. Tidak mau melaksanakan sesuatu kewajiban seperti zakat, atau sesuatu hukum syara’ yang berhubungan dengan hak Tuhan atau manusia, atau tidak mau menyatakan setia atau tunduk kepada penguasa tertinggi tersebut dengan mengeluarkan tangan untuk berjabat
tangan bagi orang yang dekat, atau dengan
memberitahukan demikian kepada orang lain, bagi orang yang tinggal jauh, kalau orang yang dekat atau berjauhan itu tergolong terkemuka (ahlu halli wa
al-‘aqdi).
b. Hendak mencopot penguasa tertinggi karena dipandang
telah menyeleweng. Kalau golongan yang berontak disebut al-bughat, maka golongan lain yang dilawan disebut ‘ahlu al-‘adli.
Tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada golongan yang memberontak untuk dapat disebut sebagai bughat maka ada tiga macam :
a. Tujuan, yakni harus mempunyai tujuan tertentu yaitu kehendak mencopot kepala negara atau badan eksekutif atau tidak hendak tunduk kepadanya. Kalau tujuan tersebut terpenuhi, dengan ditambah syarat-syarat lain, maka jarimah yang dilakukan adalah jarimah politik. Kalau tujuan jarimah ialah hendak mengadakan
perubahan-perubahan yang berlawanan dengan
ketentuan-ketentuan syari’at Islam, atau hendak
commit to user
26
b. Alasan, yakni, pembuat jarimah politik harus
mempunyai alasan, yaitu mengemukakan alasan pemberontakannya serta dalil-dalil kebenaran pendirian mereka, meskipun dalil itu sendiri lemah. Seperti alasan golongan yang memberontak terhadap khalifah Ali ra. dengan mengatakan bahwa ia ssebenarnya mengetahui pembunuhan khalifah Ustman ra. dan ia tidak mau bertindak karena sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Kalau golongan yang memberontak tidak
mengenukakan alasan bagi perbuatannya, atau
mengemukakan alasan yang tidak dibenarkan oleh syara’ sama sekali, seperti minta pencopotan kepla negara tanpa menyebutkan kesalahan-kesalahannya, atau dengan alasan bahwa ia bukan kaawan senegerinya atau sesukunya, maka mereka digolongkan kepada pengrusak yang mempunyai hubungan sendiri, dan mereka bukan pembuat jarimah politik.
c. Suasna pemberontkaan dan perang. Untuk digolongkan kepada jarimaah politik, maka suatu perbuatan harus dilakukan dalm keadaan pemberontakan atau perang saudra yang dikorbankan untuk mewujudkan maksud-maksud jariah. Kalau perbuatan tersebut tidak dilakukan dalam keadaan pemberontakan atau perang saudara,
maka dipandang sebagai jarimah biasa, dan
hukumannya juga biasa.
Ketentuan tersebut diambil dari peristiwa sejarah, yaitu ketika sudah mulai nampak tanda-tanda munculnya golongan khawarij yang memberontak kepada khalifah Ali ra. ketika ia tengah berpidato dari suatu mimbar, maka segolongan orang-orang khawarij menyela-nyela pidatonya sambil berkata: “Hanya Tuhan yang berhak memutuskan.” Dengan kata-kata ini mereka bermaksud mengeritik khalifah Ali ra. karena mau berdamai dengan sahabat Muawiyah dan golongannya, dengan perantaraan para pendamai. Menurut mereka, seharusnya ia tidak boleh tunduk padaa keputusan itu.
Maka dari mibar ini pula khalifah Ali ra. menjawab ssebagai berikut: “Kata-kata itu benar tetapi dipakai untuk maksud yang salah. Engkau sekalian mempunyai hak atas kami dalam tiga perkara; pertama, kami tidak melarang masjid-masjid Tuhan bagimu untuk mengagungkan namanya; kedua, kami tidak akan memulai berperang dengan engkau sekalian; ketiga, kami tidak akan melarang akan engkau sekalian bersama-sama kami yakni selama tidak memberontak terhadap kami” (Ahmad Hanafi, 1967: 21).
commit to user
27
yang dilakukan dalam suasana pemberontakan atau perang, maka dapat dibagi kepada dua, yaitu jarimah yang diperlukan oleh suasana tersebut, dan jarimah-jarimah lain yang tidak ada sangkut pautnya dengn keperluan pemberontakan dan perang. Contoh jarimah macam pertama adalah menganiaya orang-orang pemerintahan yang ditentang dan membunuhnya. Menguasai harta benda negara, merusak jalan-jalan dan jembatan-jembatan, membakar gedung-gedung dan gudang-gudang musium, daan
perbuatan-perbuatan lain yang diperlukan oleh strategi
pertempuran (Mardani, 2010: 128).
Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut syara’
memperbolehkan membunuh mereka dan merampas harta bendanya sekedar untuk menumpas gerakan mereka. Kalau negara (golongan yang menjadi sasaran pemberontakan) sudah dapat menguasai mereka, dan merekapun telah meletakkan jabatannya maka jiwa dan harga diri mereka tidak boleh diganggu. Kemudian penguasa negara bisa mengampuni mereka atau menjatuhkan hukuman ta’zir atas mereka, karena alasan penyelewengan mereka, bukan karena jarimah-jarimah yang mereeka lakukan selama melakukan penyelewengan. Hukuman bagi mereka adalah hukuman ta’zir, dan hukuman ini bersifat politik. Terhadap jarimah-jarimah yang dilakukan karena diperlukan pemberontakan dan peperangan, maka dikenakan hukuman mati dengan syarat tersebut di atas (Ahmad Hanafi, 1967: 22).
Adapun jarimah yang dilakukan selama pemberontakan dan peperangan, tetapi sebenarnya tidak diperlukan oleh suasana pemberontakan dan peperangan, maka dianggap jarimah biasa seperti zina, membunuh, ata mencuri (Mardani, 2010; 128).
2) Tujuan hukum pidana Islam
Secara global, tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman adalah untuk kemashlahatan manusia seluruhnya baik di dunia maupun akherat. Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus melakukannya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar tidak melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian maka fungsi pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak melakukan dan menjauhkan diri dari perbuatan jarimah (Ismail Muhammad Syah, 1992: 65).
Dalam hal ini Marsum mengatakan “perbuatan yang diancam
commit to user
28
juga melanggar larangan. Arti pencegahan pada peristiwa yang pertama
adalah supaya si berbuat mau melakukan kewajiban, dan pada peristiwa
yang kedua supaya si berbuat berhenti dari perbuatannya” (Marsum,
1984: 182). Selain sebagai upaya pencegahan, hukuman dalam syari’at
Islam juga bertujuan untuk memberikan pengajaran pada pelaku jarimah.
Dengan pengajaran itu diharapkan bekas pelaku jarimah dapat mencapai
kesadaran secara batiniah sehingga bertobat dan tidak mau melakukan
jarimah lagi. Jika kesadaran ini telah tercapai maka mereka tidak akan
melakukan jarimah lagi sebab dimana saja mereka berada dan apa saja
yang mereka lakukan tidak akan lepas dari pengawasan Allah. Untuk
selanjutnya mereka akan menjadi baik bahkan membenci perbuatan
jarimah.
Syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama. Sehingga penjauhan diri manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya agar mendapat ridho Allah SWT. Kesadaran yang demikian merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena orang sebelum melakukan jarimah akan berfikir bahwa Allah tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik dketahui orang atau tidak. Baik ia ditangkap oleh penguasa negara kemudian dijatuhi hukuman di dunia atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaan dunia. Namun, ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari hukuman akhirat. Kesadaran semacam ini yang selalu menjadi idaman sarjana-sarjana hukum positif dan para penguasa pula.