• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN JUAL BELI ANTAR NEGARA MENURUT KETENTUAN HUKUM PERDATA INDONESIA - Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing Di Batam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN JUAL BELI ANTAR NEGARA MENURUT KETENTUAN HUKUM PERDATA INDONESIA - Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing Di Batam"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

41

kerangka konseptual. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bagaimana bentuk-bentuk serta pelaksanaan klausula eksonerasi dan kaitannnya dengan perlindungan para pihak khususnya dalam perjanjian jual beli kapal berbendera asing.

BAB II

KETENTUAN PELAKSANAAN JUAL BELI ANTAR NEGARA

MENURUT KETENTUAN HUKUM PERDATA INDONESIA

A.Tinjauan Umum Tentang Pengertian Umum Perjanjian Jual Beli

(2)

42

1457 sampai dengan pasal 1540 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan perjanjian jual beli sebagaimana yang diatur dalam pasal 1457 KUHPerdata adalah persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan , dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang yang tidak bergerak.37

Menurut Subekti, didalam hukum Inggris perjanjian jual beli (contract of sale) dapat dibedakan menjadi 2 (dua ) macam, yaitu sale ( actual sale ) dan

agreement to sell. Hal ini terlihat dalam section 1 ayat (3 ) dan Sale of Goods Act

1893. Sale adalah suatu perjanjian sekaligus dengan pemindahan hak milik (compeyance ), sedangkan agreement to sell adalah tidak lebih dan suatu koop overeenkomt ( perjanjian jual beli ) biasa menurut KUHPerdata. Apabila dalam suatu sale sipenjual melakukan wanprestasi maka sipembeli dapat menggunakan upaya dari seseorang pemilik, sedangkan dalam agreement to sell, si pembeli hanya mempunyai personal remedy ( kesalahan perorangan) terhadap si penjual yang masih merupakan pemilik dari barangnya (penjual) jatuh pailit, barang itu masuk boedel kepailitan.38

37

Ahmadi Miru , Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011 hal 126-127.

38

(3)

43

Menurut Salim H.S. perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Didalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. 39

Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut diatas adalah : a. Adanya subjek hukum yaitu penjual dan pembeli.

b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga; c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara penjual dan pembeli.

Dalam hal jual beli barang misalnya; oleh karena penjual barang adalah berarti menyerahkan barang kepada orang lain dengan menerima uang dari pihak lain itu, maka dapat dikatakan , bahwa selama barangnya belum diserahkan, belum terjadi suatu penjualan , dan dengan sendirinya barang itu tetap masuk pertanggungan jawab orang yang memegangnya. Artinya kalau barang itu musnah diluar kesalahan si penjual , maka sipembeli terlepas dari kewajiban untuk membayar uang harga pembelian. Ini merupakan satu contoh dari hal yang suatu peraturan dari KHUPerdata sebaiknya tidak diambil alih dalam suatu kodifikasi dari Hukum Perdata Indonesia. 40

1. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jual Beli

39

Salim, H.S, Hukum Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak , cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,

hal 49.

40

(4)

44

Terkait isi kontrak , kepustakaan hukum kontrak membaginya dalam beberapa unsur, yaitu :

a. Unsur Esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak .

Dalam hal jual beli kapal maka barang dan harga merupakan unsur

esensialia dalam perjanjian tersebut.

b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai peraturan yang bersifat mengatur , namun demikian dapat disimpangkan oleh para pihak. Misalnya Penanggungan (vrijwaring) c. Unsur Accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para

pihak dalam hal undang-undang tidak mengaturnya. misalnya : jual beli rumah dan perabotnya. 41

Sifat dan bentuk perjanjian jual beli merupakan salah satu bagian dari azas dalam hukum perjanjian yang lebih kita kenal dengan azas konsensualisme, hal ini dapat kita lihat di dalam pasal 1320 jo pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalam azas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.42

Azas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian dalam arti apabila kata sepakat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap azas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan kepada kata sepakat saja tetapi syarat-syarat lain dalam

41

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta 1987, hal 57-58

42

(5)

45

pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.43

Sebagaimana itegaskan dalam pasal 1457 KUH Perdata azas konsensualisme yang menjiwai hukum perdata , perjanjian jual beli itu dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga begitu kedua belah pihak setuju dengan harga barang-barang maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. 44

2. Penyerahan Benda Yang Diperjual Belikan

Pada dasarnya, di dalam KUHPerdata terjadinya kontrak jual beli antara penjual dan pembeli adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan antara mereka tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar lunas.45

Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjual belikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjual belikan dibutuhkan penyerahan. 46

43

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsional dalam Kontrak Komersil “ Kencana, Jakarta, 2010, hal 122-123

44

Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi : “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika mereka mencapai sepakat tentang harga barang-barang, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar” .

45

Lihat pasal 1458 KUHPerdata

46

(6)

46

Cara penyerahan benda yang diperjual belikan berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang diperjual belikan tersebut. Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah sangat banyak sehingga tidak mungkin diserahkan satu-persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbul tertentu ( penyerahan simbolis ), misalnya ; penyerahan kunci gudang sebagai simbol dari penyerahan barang yang ada dalam gudang tersebut.

Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah :

- Barang yang dibeli tersebut sudah ada ditangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan, misalnya barang tersebut sebelumnya telah dipinjam oleh pembeli.

- Barang yang dibeli tersebut masih berada ditangan penjual pada saat penyerahan karena adanya perjanjian lain, misalnya barang yang sudah dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual;

(7)

47

2. Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta dibawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi siberutang , penyerahan tersebut harus diberi tahukan kepada siberutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh siberutang.

3. Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama.47

Dalam pasal 1460 KUHPerdata, menyebutkan bahwa : Benda/barang yang sudah ditentukan dijual maka barang itu saat pembelian menjadi tanggungan si pembeli, walaupun barang itu belum diserahkan. Namum ketentuan itu telah dicabut dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963, sehingga ketentuan itu tidak dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan :

a. Bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan

b. Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut.

Apabila karena kelalaian penjual, penyerahan tersebut tidak dapat dilaksanakan, pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian atas alasan bahwa si penjual tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal

47

(8)

48

1266 BW bahwa syarat batal selalu dianggap dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.48 Dalam pasal 1332 KUHPerdata :

“ Hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang boleh dijadikan objek persetujuan”.

Kalau demikian apa saja yang dapat dijadikan objek persetujuan dengan sendirinya dapat dijadikan objek jual beli, asalkan benda yang menjadi objek jual beli tersebut sudah ada atau tidak gugur pada saat persetujuan jual beli diperbuat maka jual beli dianggap sah.

3. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli

Jual beli diatur dalam pasal 1457 sampai dengan 1540 KUHPerdata. Dalam pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan bahwa Jual-beli adalah persetujuan/perjanjian dengan mana pihak yang satu-penjual-mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda (zaak), sedangkan pihak lainnya pembeli untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang telah dijanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian, pembayaran harus dilakukan ditempat dan pada waktu penyerahan barang dilakukan.49 Harga yang diperjanjikan tersebut haruslah berupa uang, meski

48

Ahmadi Miru , Ibit, hal 129.

49

(9)

49

mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual- beli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang 50

Si pembeli biarpun tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan itu memberi hasil atau pendapatan lain51

. Jika si pembeli dalam penguasaan barang yang dibelinya, diganggu oleh suatu tuntutan hukum berdasarkan hipotik atau suatu tuntutan untuk meminta kembali barangnya, atau jika pembali mempunyai alasan yang patut untuk khawatir ia akan diganggu, maka dapatlah ia menangguhkan pembayaran harga pembelian, hingga sipenjual menghentikan gangguan tersebut.52 Ketentuan umum (sifat ) dan hak serta kewajiban para pihak yaitu :

a. Perjanjian jual beli ini dianggap sudah terjadi antara pihak penjual dan pihak pembeli, segera setelah mereka sepakat tentang benda dan harga yang bersangkutan, walaupun baik benda maupun harganya belum diserahkan dan dibayar. ( lihat pasal 1458 KUHPerdata).

b. Beralihnya hak milik benda yang dijual hanya terjadi apabila telah dilakukan penyerahan (levering). (Lihat pasal 1459 KUHPerdata)

c. Penyerahan dalam jual-beli itu adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan ( bezit) pembeli.

50

Subekti, Op cit , hal 21

51

Subekti, Op cit hal 86

52

(10)

50

d. Jika benda yang dijual itu barang tertentu,apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang tersebut sejak pembelian itu terjadi menjadi tanggungan pembeli, walaupun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat atau berhak untuk menuntut harganya diatur dalam pasal 1460 KUHPerdata, yang menurut para ahli hukum merupakan pasal mati atau tidak dipergunakan lagi dalam perjanjian jual beli.

Adanya larangan bagi orang-orang tertentu, karena kedudukannya atau karena jabatannya, untuk membeli barang-barang tertentu yaitu :

a. Jual- beli antara suami-istri, dengan beberapa pengecualian;

b. Hakim, Jaksa, Panitera, Advokat, Juru sita, dan Notaris untuk mernjadi

d. Kuasa (perantara) kepada siapa-siapa barang yang bersangkutan dikuasakan untuk menjualnya, pada penjualan dibawah tangan;

e. Pengurus benda-benda milik negara dan badan-badan umum, kepada siapa yang dipercayakan untuk memelihara dan mengurusnya, kecuali jika telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. 53

Kewajiban utama dari sipenjual terhadap pembeli, yaitu : a. Menyerahkan barang /benda yang bersangkutan. b. Menanggung /menjamin (vrijwaren )

c. Pengusahaan benda yang dijual itu secara aman dan tenteram ( rustig en

Habib Adjie, Keabsahan Kontrak, Magister Ilmu Hukum Unair Surabaya, hal 21

54

(11)

51

4. Resiko Dari Perjanjian Jual Beli

Resiko adalah kerugian yang timbul diluar kesalahan salah satu pihak. Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian jual beli kerugian itu timbul diluar kesalahan pihak penjual maupun pihak pembeli, misalnya barang yang dijual itu musnah karena kebakaran atau kebanjiran sebelum menyerahkan.

Resiko dalam perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjual belikan yaitu apakah (a) barang itu telah ditentukan (b) barang tumpukan; atau (c) barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran, atau jumlah.

Dalam hal seseorang membeli barang yang telah ditentukan, resiko ditanggung pembeli sejak saat terjadinya kesepakatan, walaupun barang tersebut belum diserahkan kepada pembeli. Ketentuan itu berlaku walaupun barang tersebut belum dibayar oleh pembeli. Hal ini berarti bahwa penjual berhak menagih harga barang kepada pembeli walaupun barang tersebut telah musnah sebelum diserahkan kepada pembeli.

Resiko berlaku terhadap barang yang telah ditentukan berlaku pula terhadap barang yang dijual berdasarkan tumpukan. 55

B. Hukum Kontrak Jual Beli Menurut Hukum Perdata Internasional

Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua atau lebih negara yang berbeda melalui suatu sarana kontrak yang dibuat atas kesepakatan oleh para pihak yang terikat dalam transaksi bisnis tersebut. Ciri-ciri internasionalnya, harus ada unsur asing dan melampaui batas negara.

55

(12)

52

Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara saja tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican, belligerency, merupakan contoh-contoh subjek non negara.56

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara.57

HPI merupakan bagian daripada hukum nasional. Demikian banyak negara-negara nasional, demikian banyak sistim-sistim HPI. Oleh karena itu tiap-tiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistim HPI nya sendiri. 58

HPI dirumuskan sebagai berikut :

Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara yang pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik –titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan –lingkungan kuasa tempat (pribadi ) dan soal-soal. Jadi disini yang ditekankan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa tempat dan soal-soal serta perbedaan dalam sistem suatu negara dengan negara lain, artinya adanya unsur luar negerinya ( foreign element, unsur asing )59

56

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2010), hal 2

57

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Binacipta, Jakarta, 1982), hal 1

58

S. Gautama, Op cit, 1987 hal 3

59

(13)

53

Kegiatan jual beli juga merupakan orientasi perdagangan internasional atau perdagangan antar negara yang berdampak luas dan kompleks karena para pihak yang terlibat tunduk pada lebih dari satu sistim hukum nasional yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu dampaknya yaitu penyelesaian sengketa yang mungkin timbul sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak bisnis internasional tersebut.

Para pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional pada dasarnya tidak menghendaki adanya sengketa dikemudian hari, namun tidak seorangpun dapat meramalkan akan terjadinya suatu kerugian yang mungkin timbul dalam pelaksanaan kontrak tersebu hukum dari negara mana yang harus diterapkan. misalnya : sengketa yang timbul dari suatu kontrak jual beli internasional, apakah hukum yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum nasional dari pihak penjual, atau hukum nasional dari pihak pembeli, atau hukum dari forum

dimana sengketa itu diajukan, atau hukum yang dipilih oleh para pihak (choice of law by the parties)

Yang menjadi dasar hukum untuk melakukan kontrak internasional Menurut Munir Fuadi sebagai berikut :

1. Provision contract

a. Hal-hal yang diatur di dalam kontrak harus disepakati oleh para pihak, para pihak bebas menentukan isi kontrak yang dibuat di antara mereka (

freedom of contract ). Hal ini sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata. b. Para pihak bebas menentukan kepada siapa dia akan mengadakan

perjanjian ( kontrak ) atau para pihak bebas menentukan lawan bisnisnya.

2. General contract

(14)

54 b. Undang-undang

3. Specific contract

Hukum Kontrak International selain mengatur ketentuan-ketentuan umum, juga mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu, misalnya ketika kontrak-kontrak Internasional dibuat dan diatur hukum Indonesia, maka berlakulah pasal-pasal KUHPerdata. Bila masalah yang diperjanjikan menyangkut hal yang baru dan tidak ditemukan dalam pasal-pasal KUHPerdata (termasuk perjanjian tidak bernama), maka berlakulah asas kebebasan berkontrak.

4. Kebiasaan Bisnis

Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, dan hal ini juga terjadi pada hukum bisnis internasional dan kebiasaan bisnis ini dapat menjadi panduan dalam mengatur prestasi kontrak bisnis internasional dengan syarat :

a. Kebiasaan tersebut terjadi perulangan

b. Apa yang dilakukan berulang itu diterima sebagai hukum sehingga disebut hukum kebiasaan (accepted as law )

5. Yurisprudensi

Dasar hukum yurisprudensi jarang digunakan para pelaku bisnis internasional, karena mereka lebih menyukai lembaga Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Mereka tidak menyukai penyelesaian sengketa bisnis mereka melalui Pengadilan karena berperkara melalui pengadilan terbuka untuk umum yang dapat merusak reputasi bisnis mereka.

6. Kaidah Hukum Perdata International

(15)

55

7. International Convention, misalnya UNCITRAL ( United Nation Convention International Trade Law),ICC (International Chamber of Commercial): melahirkan Arbitrasemisalnya di Indonesia BANI, Kadin.60

C. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Internasional Dalam

Kontrak Perjanjian

1. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional

Dalam Hukum Perdata Internasional dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga terhindar unsur-unsur yang merugikan para pihak membuat suatu kontrak yang mereka sepakati dan hal itu tetap berlaku dalam hukum perdata internasional. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Autonomie) Asas ini mengandung beberapa unsur, yaitu:

1. Seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian,

2. Seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga.

b. Asas Konsensualisme yaitu bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah dianggap ada dan mempunyai akibat hukum yang pihak , namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mecerminkan kesepakatan yang sesungguhnya.

c. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda) merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan suatu perjanjian oleh para

60

(16)

56

pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat bagi mereka yang membuatnya.

Perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya , asas kekuatan mengikat atau facta Sunt servanda dapat diketahui dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, guna mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak sejak dipenuhinya syarat.

Asas kekuatan mengikat ini perlu telaah secara kritis dan tajam dengan nalar argumentasi, sebagai berikut :

- Asas daya mengikat kontrak ( the binding force of contract) difahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual ( i.c. terkait isi perjanjian-prestasi ) yang harus dilaksanakan para pihak.

- Pada dasarnya janji itu mengikat ( pacta sunt servanda ) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku dan mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.

- Asas pacta sunt servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat kontrak.

- Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khusus di

common low, disebut “privity of contract”.61

d. Asas Kebiasaan, suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal

Dalam sistem hukum Indonesia beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli , tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa , pemborongan perkerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

61

(17)

57

f. Asas Ganti Kerugian, Penentuan ganti kerugian merupakan tugas pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : “ Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada seseorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut“.

Akan tetapi harus dibuktikan dengan hubungan sebab akibat antara perbuatan hukum dengan kerugian, jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh sipelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.

g. Asas kepatutan (Equity Prinsiple ). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan/keseimbangan), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu

persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat ( KUHPerdata 1339 ). Dengan begitu setiap persetujuan tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

h. Asas Ketepatan Waktu, setiap kontrak , apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi ( objek kontrak ). Prinsip ini sangatlah penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti rugi. i. Asas Keadaan Darurat ( Force Majeure ). Force Majeure prinsiple ini

merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontak . Jika tidak dimuat dalam suatu naskah kontrak, maka bila terjadi hal-hal diluar kemampuan manusia, misalnya gempa, banjir, angin topan, gunung meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggun jawab atas semua kerugian yang timbul oleh bencana alam tersebut.62. Asas kebebasan berkontrak ini dapat dijumpai pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang merumuskan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan perumusan

62

(18)

58

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari kata “semua” pada hakekatnya setiap orang dapat melaksanakan perjanjian tentang apa saja, sepanjang perjanjian yang di buat tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.63

Subekti menyatakan bahwa asas ini berpangkal pada adanya kedudukan kedua belah pihak sama kuatnya dalam membuat perjanjian. Subekti juga mengatakan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam KUHPerdata, yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) itu telah memungkinkan berkembangnya hukum perjanjian, karena masyarakat diberikan kebebasan menciptakan atau membuat sendiri bermacam-macam perjanjian khusus disamping perjanjian-perjanjian umum yang telah diatur dalam KUHPerdata.64

Kebebasan yang diberikan kepada para pihak yang menciptakan perjanjian-perjanjian khusus itu para pihak tidak terlepas dari aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, dengan kata lain para pihak juga harus berpedoman pada aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, maka hal ini merupakan suatu fakta yang menunjukkan bahwa Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang Perikatan, menganut sistem terbuka (openbaar system), berarti pasal-pasal hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap. Karena hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, maka pasal-pasal yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata itu dapat dikesampingkan apabila

63Ibid.

, hal 14.

64

(19)

59

dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, akan tetapi tidak terlepas pada hal-hal telah dibatasi dan ditetapkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata itu.

Sistem terbuka yang dimiliki oleh hukum perjanjian tersebut justru memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak yang berjanji. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya

(beginsel der contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian.65

Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Azas tersebut berdiri dalam suatu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktek dewasa ini, seringkali azas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan yang tidak seimbang dan berat sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang , tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang.66

65

I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) dan Praktik, Mega poin, Jakarta, 2003, hal 33.

66

(20)

60

Asas-asas dalam Hukum Perdata Internasional umumnya telah diterima oleh sebagian besar negara-negara dunia, karena sudah menjadi suatu yang mengikat bagi negara-negara peserta konvensi internasional untuk memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang berlaku secara internasional sepanjang telah dilakukan ratifikasi hukum dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang dianut oleh suatu negara.

2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Internasional

Prinsip-prinsip dalam kontrak internasional berlaku prinsip yang umum yang selama ini diakui, termasuk juga dalam jual beli kapal berbendera asing yaitu :

a. Prinsip Freedom of contract, dimana para pihak berhak menentukan perjanjian, di Indonesia terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata.

b. Prinsip good faith, dimana para pihak harus beritikad baik dalam menangani kontrak. Apabila kita melakukan perjanjian dengan negara yang menganut system common law, maka perlu dipahami bahwa itikad baik menurut pengertian mereka ditempatkan setelah perjanjian ditandatangani, sehingga isi kontrak harus dipikirkan dengan baik sebelum ditandatangani.

c. Prinsip Pacta sunt servanda , dimana perjanjian harus ditepati dan dipatuhi oleh para pihak.

Ketiga prinsip ini harus diketahui selain prinsip yang lainnya berlaku. Prinsip yang ada dalam kontrak perdata internasional kerap harus diperhatikan teori hukum perdata internasional dalam penyusunan kontrak yang biasa dipakai seperti :

1. Lex Loci Contractus

(21)

61

menentukan hukum yang berlaku. Dimana suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dipakai.

2. Lex Loci Solution

Menurut teori ini hukum dari tempat mana perjanjian dilaksanakan, jadi bukan tempat dimana kontraknya ditandatangani akan tetapi dimana kontrak itu dilaksanakan.

3. The Proper Law Of The Contract.

Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “ intention of the parties” hukum yang akan diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Hukum yang diperjanjikan tersebut dicantumkan secara tegas didalam perjanjian , bisa juga dinyatakan tidak tegas. Apabila ditegaskan para pihak maka hukum yang diberlakukan adalah yang ditegaskan.

4. Teori The Most Characteristic Connection

Pada setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang paling berkarakteristik dan hukum pihak yang paling berkarakteristik ini adalah hukum yang dianggap harus dipergunakan karena hukum inilah yang terberat dan yang sewajarnya dipergunakan. 67

Sumber hukum Perdata Internasional Indonesia tersebar dimana-mana tetapi sumber utamanya adalah Argemene Bepalingen van Wetgeving (AB), khususnya pasal 16, 17 dan 18 AB. Pasal 16, 17 dan 18 AB merupakan kaidah penunjuk hukum Perdata Internasional karena menunjuk pada satu sistem hukum yang berlaku sebagai wujud dari teori-teori hukum perdata internasional seperti: Lex Loci Contractus, Lex Loci Solution, The Proper Law Of The Contract. Teori The Most

Characteristic Connection.

67

(22)

62

D. Sumber Hukum Perdata Internasional

1. Sumber Hukum Perdata Internasional Indonesia

Sumber Hukum Perdata Internasional Indonesia sama dengan sumber hukum nasional karena merupakan bagian dan sumber hukum nasional yaitu :

a. tertulis yaitu UU, sifatnya samar dan tidak global

b. tidak tertulis bersumber dari kebiasaan dan yurisprudensi

Sumber hukum Hukum Perdata Internasional Indonesia dapat digolongkan atas 2 masa yaitu :

1. Masa sebelum tahun 1945, Sumber HPI Indonesia /Zaman Hindia Belanda a. Pasal 16 AB, 17 AB dan 18 AB

b. Pasal 131 IS dan 163 IS

2. Masa setelah tahun 1945 setelah kemerdekaan. a. Pasal 16 AB, 17 AB dan 18 AB

b. UU kewarganegaraan RI yaitu UU nomor 62 /1958

Adapun yang menjadi sumber hukum dalam pelaksanaan kontrak al: a. Algemene Bepalingen van Wetgeving ( AB )

b. KUHPerdata c. KUHDagang.

d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

(23)

63

f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional. h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentangPenanaman Modal Asing

Sumber hukum kontrak tidak hanya sebagaimana yang tertulis diatas , apabila diteliti dan pada perkembangan selanjutnya akan muncul sumber hukum kontrak lainnya, yang dikeluarkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu baik dalam skala nasional maupun internasional.

Wadah utama Hukum Perdata Internasional (HPI ) di cantumkan dalam AB (Algemene Bepalingen van Wet Geving ) pasal 16 AB, 17 AB, dan 18 AB . Ketiga pasal itu merupakan ketentuan-ketentuan dasar tentang Hukum Perdata Internasional sebab itulah ia dimasukkan ke dalam AB bukan KUHPerdata, karena didalamnya terdapat pedoman-pedoman kepada para hakim dalam menjalankan tugasnya tidak saja meliputi bidang hukum perdata tapi meliputi bidang-bidang hukum lainnya.

Isi dari ke tiga pasal tersebut adalah :

(24)

64

Pasal 17 AB : Mengenai benda-benda yang harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat dimana benda itu terletak ( lex resital ).

Pasal 18 AB :Status campuran bentuk tindakan hukum dinilai menurut dimana tindakan itu dilakukan ( locus Regit Actum ).

Ketiga pasal tersebut diatas merupakan contoh dari ketentuan penunjuk karena menunjuk kepada suatu sistem hukum nasional maupun hukum asing dan prinsip ini berlaku juga dalam kontrak jual beli kapal yang ada melibatkan unsure asing di dalamnya.

2. Sumber Hukum Kontrak Internasional yang berasal dari Konvensi

Internasional

Dalam hal skala internasional masih ada aturan hukum yang masih dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum kontrak jual beli yang melibatkan batas negara sepertinya dalam kontrak jual beli kapal berbendera asing yang di lakukan di wilayah hukum Indonesia antara lain :

1. Convention on The Law Applicable to International Sales Of Good ( Konvensi atas Hukum yang Berlaku Dalam Penjualan Barang Internasional ).

(25)

65

pertama yang menandatangani konvensi ini pada tanggal 15 Juni 1955. Konvensi ini seringkali disebut dengan konvensi jual beli ( 1955).

Berdasarkan pasal 7 konvensi jual beli 1951 (1955) ini, negara-negara peserta berkewajiban untuk memasukkan ketentuan-ketentuan pokok dari konvensi tersebut dalam hukum nasional mereka masing-masing. Dengan demikian tentang masalah HPI (hukum yang harus dipergunakan) dalam hal jual beli internasional terdapat kesatuan hukum.68

Konvensi ini secara tegas mengatur benda tidak bergerak tidaklah masuk ke dalam yurisdiksi konvensi ini, oleh karena dalam jual beli benda tidak bergerak sudah diterima secara umum suatu adagium bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari negara dimana benda yang tidak bergerak tersebut terletak ( lex rei sitae ). Selanjutnya konvensi ini juga tidak berlaku bagi jual beli benda tak bergerak, termasuk didalamnya piutang-piutang , hak-hak kebendaan dan surat-surat berharga.69 Terkait dengan hukum yang berlaku, dikatakan bahwa jika ada pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak. Dalam hal ini para pihak dibebaskan memilih hukum dari negara mana saja yang mereka anggap cocok, tidak perlu semata-mata merupakan pilihan –pilihan dari dari dua sistem hukum yang memiliki hubungan dalam jual beli transaksi internasional.

68

Sudargo Gautama (II) , Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1996, hal 138

69

(26)

66

Pilihan hukum dari negara penjual didasarkan pada kenyataan bahwa penjual mempunyai karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan pembeli, yang hanya melakukan pembayaran sejumlah uang saja, manakala penjual diwajibkan untuk melakukan penyerahan barang dan lain-lain dalam bentuk penjaminan, yang pada pokoknya merupakan esensi dari pelaksanaan jual beli.70

2. Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Good ( Konvensi atas hukum yang mengatur Pengalihan Hak Dalam Penjualan Barang Internasional ).

Konvensi ini merupakan tambahan terhadap konvensi jual beli 1951 ( 1955). Peralihan hal dari barang yang diperjual belikan dari penjual kepada pembeli diatur sepenuhnya oleh hukum yang berlaku sebagaimana ditetapkan berdasarkan konvensi jual beli 1951 (1955). Hal ini jugalah pada hakekatnya membuat konvensi ini tidak populer dan hanya dua buah negara yang menandatangani konvensi ini. 71

3. Convention on The Jurisdiction of The Selected Forum in The Cases of International Sales of Goods. ( Konvensi atas Jurisdiksi Pilihan Forum Dalam Kasus Penjualan Barang Internasional ).

Konvensi ini jika ada pilihan forum secara tegas, maka pengadilan dari negara-negara peserta konvensi ini wajib untuk menolak menangani

70

Sudarto Gautama (II), Op cit, hal 157-158.

71

(27)

67

penyelesaian sengketa jual beli internasional ini. Jika jual beli dilakukan secara lisan maka perlu dibuatkan suatu klausula tersendiri yang mengatur mengenai pilihan forum ini. Pengaturan dapat dilakukan dalam bentuk suatu pernyataan tertulis yang disetujui dan dikonfirmasikan oleh salah satu pihak, dan tidak ditentang oleh pihak lainnya.72

4. Convention Relating to A Uniform Law on The International Sales of Good dan

Convention Relating to A Uniform Law on The Formation of Contracts for The

International Sales of Goods ( Konvensi yang berkaitan dengan Hukum

Uniform atas Penjualan Barang Internasional dan Konvensi yang Berkaitan dengan Hukum Uniform atas Pembentukan Kontrak Bagi Penjualan Barang Internasional )

Pasal 1 Konvensi Jual Beli 1964 mengatur mengenai hukum materil yang dibuat oleh para pihak, dimana wajib dimasukkan sebagai bagian hukum positif masing-masing negara peserta konvensi. Selengkapnya pasal 1 menurut Konvensi 1964 ini, yang dinamakan jual beli internasional adalah jual beli yang :

a. Pada saat kontrak dagang internasional ditutup, barang yang diperjual belikan akan diserahkan melintasi negara, yaitu wilayah suatu negara tertentu peserta konvensi ke wilayah negara lain yang juga peserta konvensi ini.

72

(28)

68

b. Penyerahan dari benda dilaksanakan berbeda dari negara dimana penawaran dan penerimaan dilakukan.

c. Penawaran dan penerimaan dilakukan di dua negara peserta konvensi yang berbeda;

Hal yang menarik dari konvensi 1964 ini adalah adanya kebebasan dari pihak-pihak dalam kontrak dagang internasional, yang meskipun merupakan warga negara yang bukan peserta konvensi ini, berhak untuk memilih dan kerenanya menundukkan diri secara sukarela kepada berlakunya konvensi jual beli 1964 ini untuk mengatur hubungan atau transaksi jual beli internasional yang mereka buat.

5. Vienna Convention on Contracts for The International Sales of Goods / CISG ( Konvensi Vienna Tentang Kontrak Penjualan Barang Internasional ).

Vienna Convention adalah konvensi yang dihasilkan dari suatu konferensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nation ) yang diprakarsai oleh UNCITRAL dan sering disebut dengan CISG atau konvensi jual beli 1980.

(29)

69

melainkan hanya melakukan ketentuan hukum domestik pada suatu transaksi perdagangan internasional.

Pasal 1 paragraf 1 Convention onContracts for The International Sales of Goods / CISG berlaku untuk kontrak dagang internasional jual beli antara pihak-pihak dengan domisili usaha yang berada pada negara yang berbeda yang merupakan anggota konvensi jual beli 1980 ini atau ketentuan hukum perdata internasional yang berlaku untuk menunjuk pada berlakunya hukum dari negara yang merupakan anggota konvensi jual beli 1980 tersebut.73

Selain konvensi internasional yang disebutkan diatas, masih ada lagi aturan hukum yang dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum kontrak, antara lain :

1. Convention Relating to Civil Prosedures, (March 1, 1954) yang berisikan antara lain : mengatur masalah sistematik pembuktian luar negeri, yaitu dengan cara commission regatoire, juga mengenai syarat-syarat penyetoran uang jaminan, ongkos perkara terhadap orang asing (cautio judicatum sovi ), bantuan hukum secara prodeo, dan paksaan badan terhadap orang asing terhadap perkara keperdataan, dan yang berkaitan dengan proses berperkara yang menempatkan orang asing sebagai pihak dalam perkara.

2. Convention on The Law Applicable to International Sales Of Good, (June 15, 1955), berisikan antara lain : mekanisme hukum yang harus dipakai dalam transaksi jual beli internasional . Prinsip yang dianut dalam konvensi ini dengan memperhatikan beberapa pengecualiaan, adalah sistem hukum dari pihak negara penjual.

3. Convention Concerning the Recognition of Legal Personalities of Foreign Companies, Association and Foundations, (June 1, 1956 ) yang berisikan antara lain : Pengakuan terhadap badan hukum, badan usaha, perkumpulan dan yayasan asing yang beroperasi di wilayah hukum suatu negara. Prinsip yang dianut dalam konvensi ini adalah badan hukum yang berlaku yaitu hukum tempat dimana badan usaha itu didirikan ( place of incorporation),

73

(30)

70

dan bukan hukum ditempat mana perusahaan itu berkedudukan ( lex rei sitae = reading place ).

4. Convention on the Jurisdiction of Sellected Forum in the Cases of International Sales of Goods, ( April 15, 1958 ) yang berisikan antara lain : pilihan forum hukum dan hakim yang ditentukan sendiri oleh para pihak sehubungan dengan jual beli internasional yang dilakukan, konvensi ini berkaitan erat dengan Convention on the Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods (1958) yang mengatur tentang penentuan forum hukum untuk kepentingan peralihan hak milik atas barang yang dijual , saat beralihnya hak itu dari penjual kepada pembeli.

5. Convention Abolishing the Requirement of Legalization for Fereign Public Document, (October 5, 1961 ) yang berisikan antara lain: mengatur tentang prosedur syarat legalisasi dokumen yang telah dibuat diluar negeri yang akan dipergunakan dalam suatu perkara yang sedang berlangsung dimuka pengadilan negara lain. Menurut konvensi ini model sertifikat yang sudah pernah dikeluarkan atau yang masih dipegang oleh pemegangnya sudah cukup untuk dijadikan alat bukti , tanpa perlu memohon autentiknya dari pihak lembaga yang mengeluarkannya.

6. Convention on Testamentary Disposition , ( October 5, 1961 ) yang berisikan antara lain : tentang bentuk formal dari sesuatu testament yang dibuat diluar negeri. Konvensi ini mengutamakan prinsip favour testaments. 7. Convention on the Service Abroad of Judicial and Extra- Judicial

Documents in Civil or Commercial Matters, ( November 15, 1965) yang berisikan antara lain : mempermudah cara penyampaian pemanggilan dan pemberitahuan resmi dalam perkara-perkara perdata yang diselesaikan diluar negeri, bagi warga negara asing yang bukan warga negara dari tempat penerbit surat pemanggilan.

8. Convention on the Choice of Court, ( November 15, 1965 ) yang berisikan antara lain : pengakuan prinsip kebebasan para pihak memilih forum pengadilan, hukum, hakim, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari kontrak yang disepakati oleh para pihak.

9. Convention on Recognition and Execution of Foreign Judgement in Civil and Commercial Matters, ( 1966 ) yang berisikan antara lain : mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata dagang yang diucapkan oleh hakim pengadilan luar negeri pada forum hukum luar negeri.

(31)

71

11.Convention on the Law Applicable to Traffic Accident, (1968), yang berisikan antara lain : mengatur tentang hukum yang berlaku terhadap tanggung jawab sipil yang bersifat nonkontraktual yang diakibatkan oleh kecelakaan perjalanan, dimana pun kejadian itu diadili. Prinsip yang dianut oleh konvensi ini adalah hukum ditempat mana yang diberlakukan yaitu hukum hukum perdata internasional internal di negara mana pun tempat kecelakaan itu terjadi. 74

Harmonisasi dan unifikasi dari hukum perdagangan internasional , khususnya sistem hukum kontrak membuat negara-negara peserta dari konvensi internasional mengharmonisasikan hukum nasionalnya dengan konvensi-konvensi tersebut.

Dalam hal suatu instrument perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam suatu perundingan umumnya masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat dilakukan melalui lembaga ratifikasi. Konsep yang berlaku umum di dalam hukum internasional juga diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Sesudah menanda tangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut, pemerintah Indonesia melakukan tindakan ratifikasi baik melalui Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum nasional hasil ratifikasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah berbentuk Keputusan Presiden (Keppres), sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan dalam bentuk undang-undang (UU). Produk

74

http://habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/BAB-02.pdf, diakses pada tanggal 20 Februari

(32)

72

ratifikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kebanyakan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan sedikit sekali dalam bentuk undang-undang (UU). Contoh produk hukum ratifikasi yaitu undang-undang nomor 17 tahun 1985, yang mengesahkan konvensi PBB mengenai hukum laut tahun 1982.75

Berdasarkan sistem hukum nasional Indonesia, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam undang-undang yang dikenal sebagai Undang-Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Meskipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi , tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasi tersebut.76 Tidak semua konvensi jual beli internasional tersebut diatas dilaksanakan di Indonesia, yang mempunyai kekuatan mengikat sepanjang keikut sertaan Indonesia menandatangani konvensi tersebut dan meratifikasinya kedalam bentuk undang-undang (UU) ataupun Keputusan Presiden (Keppres).

Komitmen Indonesia untuk berperan secara efektif dalam perdagangan bebas membutuhkan harmonisasi hukum dengan memperhatikan aturan-aturan

75

Http :// staff.blog.ui.ac.id/andreas.pramudi…diakses pada tanggal 7 Maret 2012 pukul 20.00 WIB

76

(33)

73

yang memaksa secara internasional untuk mengatasi disparitas sistem hukum antara common law dan civil law agar transaksi transaksi bisnis tidak terhalangi oleh kendala perbedaan persepsi. 77

3. Badan Hukum Dalam Sistem Hukum Perdata Internasional Indonesia.

Badan Hukum didefinisikan sebagai berikut :

“ Suatu Kumpulan /organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.78

Definisi diatas menunjukkan bahwa badan hukum adalah subyek hukum disamping manusia. Dalam praktek yang berkaitan dengan hukum perdata internasional , lazim pengertian badan hukum ini diartikan dalam lingkup persekutuan-persekutuan tidak berbadan hukum yang pada kenyataannya bisa diperlakukan juga seperti suatu badan hukum. 79

Seperti halnya manusia, badan hukum sebagai subyek hukum (pengemban hak dan kewajiban) mempunyai status personil. Seperti juga untuk personil status individu, status personil bagi suatu badan hukum mempunyai kedudukan yang penting. Mengenai status personil dewasa ini terdapat prinsip yang satu sama lain berbeda sesuai dengan prinsip yang dianut.

77

Mahmud Siregar, Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya

Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis vol. 27, 2008, hal 64.

78

Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal 15

79

(34)

74

Khusus mengenai status personil individu (perseorangan) dalam hukum perdata internasional dikenal adanya dua aliran yang satu sama lain saling bertentangan, yaitu aliran personalistis dan aliran teritorialistis.80

Sedangkan untuk status personil badan hukum titik tautnya berbeda dengan status personil individu manusia, hal ini penting untuk mengetahui hukum mana yang seharusnya berlaku untuk status personil itu.

Dalam membahas masalah pengaturan, dan praktek hukum Indonesia mengenai status personel badan hukum, pembahasannya akan dibatasi oleh persoalan yang menyangkut Perseroan Terbatas (PT).

Sebagai salah satu sumber hukum hukum perdata Indonesia, dapat dikemukakan pertama-tama adalah undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, mengenai bentuk hukum dari badan usaha yang melakukan kegiatan PMA, UU Nomor 1 tahun 1967 menyatakan bahwa Perusahaan yang dapat menjalankan kegiatan PMA di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia adalah perusahaan yang dibentuk menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.81

Selengkapnya pasal 3 ayat (1) UU PMA berbunyi sebagai berikut :

“ Perusahaan yang dimaksud dalam pasal 1 yang menjalankan untuk seluruh atau sebagian terbesar di Indonesia sebagai satuan perusahaan

80

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, bagian I, 1981, hal 8

81

(35)

75

tersendiri harus dibentuk badan hukum menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”.

Jika kita analisis pasal 3 ayat (1), maka akan terdapat adanya penggabungan dua prinsip yang berkaitan dengan hukum personel PT yang melakukan kegiatan Penanaman Modal Asing (PMA), prinsip pertama akan tampak pada kalimat “ dibentuk badan hukum menurut hukum Indonesia” Hal ini menunjukkan bahwa kita menganut prinsip inkorporasi, sedangkan kalimat ”berkedudukan di Indonesia“ menunjukkan bahwa dianutnya prinsip siege reel.82

Badan hukum sebagai layaknya manusia mempunyai kewenangan-kewenangan dan tanggung jawab dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti mengugat atau digugat, dan melakukan perbuatan hukum lainnya. Namun demikian, badan hukum jika dibandingkan dengan manusia memiliki keterbatasan – keterbatasan tertentu, kewenangan yang akan sangat bergantung kepada peraturan-peraturan dalam anggaran dasarnya.83 Dengan demikian terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara manusia sebagai subyek hukum yang dapat melakukan segala tindakan hukum sejauh hukum membolehkannya dan badan hukum yang hanya boleh bertindak sejauh yang diatur oleh anggaran dasarnya saja. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa anggaran dasar suatu perseroan terbatas akan memiliki arti penting dalam kaitannya dengan kewenangan dan tanggung jawab badan hukum itu, sebab di satu pihak akan menjadi sumber kecakapan bertindak dan dilain pihak

82

Ahmad M Ramli, Op cit , hal 64

83

(36)

76

akan menjadi batas bagi ruang lingkup kecakapan bertindak badan hukum itu.84 Jadi badan hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum yang secara tegas dilarang dalam anggaran dasarnya.

3.1. Nasionalitas Badan Hukum.

Masalah kewarganegaraan bagi suatu badan hukum adalah suatu hal yang tidak pernah henti-hentinya didiskusikan dalam lapangan Hukum Perdata Internasional. Bagi individu manusia masalah kewarganegaraan ini menjadi titik taut yang amat penting sehubungan dengan masalah status personel bagi yang bersangkutan.85

Bagi suatu badan hukum persoalan ini menjadi pembicaraan yang tak pernah berhenti, karena disebabkan terdapatnya perbedaan pendapat. Pendapat pertama adalah adanya anggapan pentingnya suatu kewarganegaraan bagi badan hukum, dan pendapat kedua menyatakan bahwa badan hukum tidak perlu memiliki kewarganegaraan. 86

Menurut HMN Purwosutjipto bahwa kewarganegaraan suatu Perseroan Terbatas ini perlu dalam hal untuk melindungi badan hukum pernigaan nasional

84

Ahmad M Ramli, Op cit, hal 37

85

Ahmad M Ramli, Op cit, hal 53

86

(37)

77

yang masih belum kuat kedudukan ekonominya, sehingga perlu adanya beda perlakuan antara badan hukum perniagaan nasional dan badan hukum asing.87

Mengenai pentingnya pemberian kewarganegaraan bagi badan hukum ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa konsep nasionalitas memang tidak diperlukan dalam memecahkan hukum personel badan hukum, namun apabila hal itu menyangkut badan hukum asing dan apabila mengadakan usahanya tergantung dari syarat resiprositas atau menyangkut otorisasi tertentu, maka akan menjadikan relevan untuk menetapkan kewarganegaraan atas badan hukum itu.

2. Istilah nasionalisasi juga diperlukan untuk badan hukum dalam kaitannya dengan kasus-kasus seperti adanya diskriminasi antara nasional dan asing. 3. Masalah nasionalisasi badan hukum juga perlu juga menjadi penting untuk

dibicarakan dalam kaitannya dengan masalah pajak, kaidah-kaidah tentang cara berperkara bagi orang asing, kemungkinan diletakkannya sitaan, caucatum solvi, juga ketentuan tentang pemilikan benda-benda tidak bergerak.88

3.2. Dokrin yang Berkaitan dengan Status Personel Badan Hukum Dalam

Hukum Perdata Internasional.

3.2.1. Prinsip Inkorporasi (Doctrine of Place of Incorporation )

Menurut doktrin ini , suatu badan hukum tunduk pada hukum dimana badan hukum itu telah didirikan ( diciptakan) atau dibentuk. Doktrin ini dianggap telah memenuhi kebutuhan praktek oleh karenanya telah diikuti secara luas. Malahan Nederland yang sebelumnya menganut doktrin siege reel karena kebutuhan praktis dewasa ini telah beralih menerapkan doktrin inkorporasi.

Lebih lanjut dapat dikemukakan alasan-alasan tentang dianutnya doktrin inkorporasi sebagai berikut :

87

HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1991, hal 91

88

(38)

78

1. Bahwa sesuai dengan logika hukum jika suatu badan hukum juga tunduk pada hukum dimana formalitas-formalitas untuk pendiriannya dilangsungkan sehingga suatu badan hukum tertentu hanya akan mendapat status dari suatu sistem hukum tertentu saja. Dengan demikian dikemudian hari inilah yang akan menjadi status personilnya.

2. Bahwa doktrin ini memberi kepastian hukum karena inkorporasi ini mudah ditentukan dengan jalan meneliti anggaran dasar, dokumen-dokumen pembentukan, pendaftaran-pendaftaran dalam register tertentu dan lain-lain. 3. Doktrin inkorporasi inipun akan menimbulkan kesukaran, jika suatu badan hukum berpindah tempat kedudukannya, karena hal-hal yang berkaitan dengan status badan hukum tidak akan berubah atau terganggu dengan dinyatakan dalam pasal 1 yang berbunyi :

“ La personalite juridique, acquise par une sosiete, une association ou une foundation en vertu de la loi de I’ Etat contractant on les formalites ont ete remplies et ou se trauve le s i e g e s t a t u t a i r e. Reconneu de plain droit dans les autres Etats contractant, pourvu qu,elle comporte, outré la capasite d,ester en justice, au moins la capasite d,ester en justice, au moins la capasite de posseder des biens et de passer des contract et d’autres actes juridiques. La personnalite juridique, acquise sans formalite d’enregistrement ou de publicate sera, sous la meme condition , reconnue de plein droit, si la societe, I’association ou la foundationsa ete constitutiee selon la loi qui la regit”

( Status badan hukum yang telah diperoleh oleh suatu perseroan dagang, perkumpulan atau yayasan menurut hukum dari tempat dimana telah dilangsungkan formalitas-formalitas mengenai pendiriannya, seperti pendaftaran atau pengumuman dan dimana terdapat tempat kedudukan statutairnya diakui penuh oleh negara-negara lain yang menandatangani perjanjian ini. Termasuk didalamnya kemampuan untuk bertindak sebagai pihak dalam hukum, sekurang-kurangnya kemampuan untuk mempunyai harta dan mengadakan kontrak-kontrak serta lain-lain tindakan hukum. Jika

89

(39)

79

dalam Negara pendirian tidak diberlakukan formalitas-formalitas tentang pendaftaran atau pengumuman untuk pembentukan badan hukum, maka pengakuan serupa diberikan pula kepada perseroan-perseroan dagang, perkumpulan dan yayasan yang telah didirikan menurut hukum yang berlaku baginya itu )90

3.2.2. Prinsip Tempat Kedudukan Manajemen yang Efektif

Prinsip ini merupakan lawan dari prinsip inkorporasi, pada prinsipnya menurut doktrin ini bahwa suatu badan hukum akan tunduk pada hukum dimana ia memiliki tempat kedudukan manajemen yang efektif, sehingga dengan demikian persoalan status personel dari suatu badan hukum akan tergantung dari dimana ia miliki kantor pusatnya secara efektif. Prinsip ini diikuti secara luas oleh negara-negara Civil Law, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa doktrin ini memiliki pengikut yang besar.91

3.2.3. Peraturan-Peraturan Yang Berkaitan Dengan Jual Beli Kapal

Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli kapal berbendera berbendera asing tunduk pada ketentuan dalam perjanjian jual beli antar negara harus memperhatikan aturan-aturan hukum yang terkandung dalam :

a. Algemene Bepalingen van Wetgeving ( AB )

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata ).

c. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHDagang ) d. Ketentuan Perundang-Undangan ( hukum tertulis)

90

Sudargo Gautama, Op cit, hal 232-233

91

Referensi

Dokumen terkait

- Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum dan

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang dipakai sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai permasalahan terkait dengan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan simpulan sebagai berikut: pembalikan deiksis persona yang terdapat dalam teks dongeng anak pada rubrik Nusantara

Guru Kristen adalah mereka yang sudah mengalami kelahiran kembali di dalam Kristus, harus menjadi model sebuah kehidupan yang bersandar pada realitas, yang

Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat serta pemeliharaan kesehatan lingkungan.

Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah Pendarahan yang terjadi Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah Pendarahan yang terjadi

Berangkat dari pertimbangan bahwa, sebagai suatu tetapan, harga k f dan k b selalu mempunyai harga yang konstan (pada T tetap) selama reaksi berlangsung dan

Pada pelajaran ini, kamu dapat mencatat pokok-pokok isi berita televisi atau radio yang didengarkan.. Mendengarkan