• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADI GURU DI ABAD 21 Tantangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENJADI GURU DI ABAD 21 Tantangan"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

MENJADI GURU DI ABAD 21: (Tantangan dan Harapan)

Dr. Sofyan, M.Pd1

“Pak Sofyan masih, masih mengajar di SMA? Pak Sofyan sudah tidak sesuai lagi mengajar di SMA! Pak Sofyan tidak beralih/berpindah jabatan di dinas tertentu? Pak Sofyan tidak ingin pindah ke perguruan tinggi?”

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dari para kolega tentang status saya sebagai guru. Awalnya sangat mengganggu, tetapi pada akhirnya saya sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dan saya tanggapi dengan senyum penuh simpati. Jauh sebelum memutuskan untuk menjadi seorang guru, beralih profesi dari seorang birokrat, butuh pergulatan batin. Apakah saya mampu menjadi seorang yang benar-benar guru? Atau guru yang hanya sekedar menggugurkan kewajiban jam mengajar?

Seiring berjalannya waktu setelah 17 tahun menjadi seorang guru yang mendidik, semakin dirasakan, bahwa profesi guru merupakan profesi yang menyenangkan, indah, dan penuh romatika berbagi pengalaman dan pengetahuan. Berbagi tidak hanya kepada siswa, kolega, tetapi juga kepada ekosistem pendidikan lainnya. Bisa jadi bagi sebagian guru (muda) menjadi guru itu susah, karena harus berhadapan dengan siswa di era digital saat ini penuh dengan perubahan perilaku dan belum lagi harus memenuhi berbagai persyaratan kompetensi dan kemampuan lainnya. Sementara itu, bagi sebagian guru (senior, jika tidak mau dikatakan lanjut usia atau menjelang pensiun) mengajar hanya tingal menunggu waktu karena akan memasuki masa purnabakti. Sehingga, yang terjadi adalah kondisi kelas yang tidak kondusif. Siswa hanya dijadikan sebagai objek belajar, dan suasana pembelajaran menjadi tidak menyenangkan. Pembelajaran tidak lagi membentuk karakter yang diharapkan, tetapi justeru menciptakan karakter yang deskruptif. Kondisi pembelajaran yang tidak kondusif sebagai akibat dari cara mengajar yang tidak profesional menyebabkan siswa memiliki persoalan sebagai individu yang belajar. Yang oleh Tim Semai (Selamatkan Generasi Emas Indonesia, 2016) disebut dengan BLAST.

BLAST merupakan akronim dari Bored. Siswa mengalami kebosanan dengan rutinitas sehari-hari sebagai akibat dari pembelajaran yang monoton dan tidak variatif. Siswa hanya melulu diberikan pekerjaan tanpa dibimbing dan dikembangkan kreativitasnya. Lonely, siswa merasa kesepian karena merasa jauh dari orang tua mereka, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Sementara di sekolah, peran guru tidak menjadi orang yang diharapkan untuk mengisi ruang hati mereka yang kosong akibat

(2)

ditinggalkan orang tua mereka. Akibatnya, siswa merasa kesepian dan bereksperimen untuk mengisi kesepian mereka. Angry, siswa kita tumbuh menjadi pribadi yang pemarah dan gampang tersinggung sebagai akibat ketidakpuasan mereka dengan situasi yang mereka hadapi, baik di rumah maupun di sekolah. Stress, siswa menjadi pribadi yang stres sebagai akibat dari banyaknya tekanan belajar dan berbagai tuntutan yang dibebankan kepada mereka. Tired, pada akhirnya siswa tumbuh menjadi pribadi yang kelelahan karena berbagai akumulasi persoalan.

Kondisi seperti inilah yang saat ini banyak terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kita sebagai guru atau pendidik tidak menjadi individu yang pebelajar. Guru hanya menerima apa adanya, tidak dalam kondisi terus belajar mengikuti perkembangan zaman. Kondisi ini berkontribusi terhadap penciptaan kondisi siswa yang BLAST sebagaimana diuraikan. Padahal sesungguhnya, menurut Senge (1995) bahwa seorang guru harus menjadi seorang pribadi yang pebelajar. Pribadi yang pebelajar dijelaskan Senge Peralihan generasi pendidik yang dirasakan saat ini begitu terasa. Di satu sisi perubahan teknologi digital yang sangat cepat yang mempengaruhi sistem pendidikan, tidak berbanding lurus dengan perubahan kemampuan guru dalam penguasaan teknologi dan multimedia dalam pembelajaran. Hal ini berdampak kepada lambannya alih teknologi pada proses pembelajaran. Pada sisi lain, siswa jauh lebih menguasai teknologi digital.

Cara yang paling bijak yang perlu dilakukan guru adalah dengan berkolaborasi, baik sesama kolega maupun bersama siswa dalam pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Guru tidak boleh menganggap, bahwa dirinyalah yang paling pintar dan lebih. Guru tiidak boleh lagi sekedar memberi instruksi-instruksi. Tetapi guru harus mampu belajar dari siswanya, koleganya, dan belajar mandiri untuk penguasaan teknologi digital. Pengintegrasian teknologi digital yang modern dalam dunia pembelajaran saat ini bukan pilihan atau “barang mewah.” Tetapi sesuatu keharusan yang perlu dilakukan guru. Jika tidak, maka bersiap-siaplah akan tertinggal oleh perubahan yang begitu cepat terjadi. Bahkan sebuah pendapat menyatakan, “Jika ingin menguasai dunia, maka kuasailah teknologi.”

Tokoh pendidikan Prof. Arif Rahman, menyebutkan bahwa untuk menjadi guru yang profesional di Abad 21, selain harus menguasai teknologi digital, guru harus mengembangkan prinsip-prinsip: Disiplin: Guru garus memiliki disiplin berupa tanggung jawab terhadap tugasnya, ketepatan bekerja, keterikatan, keteraturan, dan kemampuan; Kemartabatan: Guru harus memiliki kejujuran, semangat juang, keberanian untuk benar-benar berlaku adil, kemuliaan/kepatuhan/keunggulan, ketekunan, dan tahan terhadap cobaan.

(3)

mendefinisikan, bahwa inovasi merupakan uatu tradisi kita untuk terus membiasakan diri kita dan siswa untuk memiliki dorongan dan tekad dalam membuat perbedaan dalam masyarakat atau komunitasnya. Chen menegaskan dengan kata “tradisi” tentang suatu inovasi. Jika dianalisis lebih dalam, jika tidak dijadikan suatu budaya atau tradisi yang kuat, maka baik guru maupun siswa tidak akan memiliki dorongan dan tekad dalam membuat perbedaan-perbedaan dalam masyarakatnya. Dalam konteks ini, maka inovasi sebagai suatu budaya untuk menumbuhkan perubahan dengan tekad dan dorongan yang kuat harus menjadi budaya dengan pondasi yang kokoh yaitu karakter kerja keras, mandiri, bertanggung jawab, dan berbudi

pekerti. Guru harus bisa menjadikan dirinya sebagai model “agent of

change” dalam membangun karakter dan menciptakan kreativitas dan inovasi.

Sebagaimana pendapat Roger yang dikutip oleh Chen, bahwa untuk menerima suatu perubahan tidaklah selalu mudah. Menurut Roger, mencoba meyakinkan gagasan baru itu tidaklah mudah, bahkan seperti tidak ada gunanya. Maka, inovator dan pengadopsi awal merupakan agen yang harus melakukan terlebih dahulu. Hasil penelitian Roger terdapat jurang yang

begitu jauh antara inovator (2,5%) dan pengadopsi pemula (early adapters)

13,5% dengan penerima awal (early majority) 34%, penerima akhir (late

majority), 34% yang masih harus berpikir-pikir terlebih dahulu dalam

melakukan perubahan. Sementara itu, kelompok yang lamban (laggards)

terdapat 16% atau bahkan tidak menerima atau bahkan tidak peduli dengan pembaharuan. Hasil penelitian Roger ini membuktikan, bahwa persentase kelompok yang paling besar berada pada menerima pembaharuan setelah adanya sosialisasi dan pengenalan-pengenalan mengenai adanya suatu konsep pembaharuan.

Guru memahami benar bahwa perubahan dimulai dengan munculnya

disruption (guncangan), diikuti dengan adanya benturan dengan pola pikir yang telah terpatri (impact), kemudian terjadi penyesuaian dengan yang telah menjadi kebiasaan (recalibration), dan barulah terjadi perubahan (evolution).

Bagaimana para guru melahirkan pemimpin masa depan melalui pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan dalam kelasnya? Indonesia tercatat sebagai negara dengan pembaharuan tertinggi (yang dilakukan guru) yakni sebanyak 45% lebih tinggi dari Denmark yang hanya mencapai 40%, Guru Inovator dengan jumlah 13% tadi yang meyumbangkan 45% bagi perubahan yang dimulai dari dalam kelas. Mereka mengalami disruption, impact, recalibration dan evolution.

Terdapat lima hal yang disarankan dilakukan oleh para guru di Abad 21 sehingga perubahan yang mengantarkan lahirnya pemimpin masa depan terwujud. Kelima hal tersebut menjadi pijakan dalam membuat inovasi di dalam kelas.

(4)

sistem pembelajaran. Jika tidak, maka guru akan tergilas dalam perubahan dan revolusi digital tersebut.

Kedua, mengajar berbasis kepemimpinan yang tegas. Di dalam kelas guru sebagai leader (orang yang menyetir ke mana arah pendidikan dibawa). Guru harus mampu memastikan bagaimana dan seperti apa pembelajara dilaksanakan. Ketika siswa menujukkan gejala ke arah tidak tercapainya tujuan belajar, maka guru sebagai praktisi dan akhli pembelajaran harus dengan segera memutar kendali kelas ke arah tujuan yang diharapkan terjadi.

Ketiga, lebih sedikit lebih baik. Artinya, guru harus membuat capaian target secara fokus. Materi pembelajaran tidak harus disampaikan secara luas. Akan tetapi disampaikan dalam muatan yang didesain sesuai dengan daya tangkap dan kompetensi yang dimiliki siswa. Sehingga siswa tidak merasa stres, dikejar target, tetapi belajar tuntas (mastery learning).

Keempat, guru memberikan pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) bagi kehidupan siswa. Pemimpin masa depan yang masih dalam perjalannya menuju ke kursi kekuasaanya telah memiliki ambisi sejak mereka duduk di bangku sekolah. Guru mengoptimalkan gagasan-gagasan dan ambisi-ambisi tersebut melalui bekal pendidikan dalam bentuk ajaran etika, tata nilai, norma, moral dan tuntutan hidup.

Kelima guru mengajak agar siswa untuk berpikiran terbuka. Siswa dibekali kekuatan berpikir (fixed-minded) jauh berbeda dengan mereka yang memiliki developing-minded. Berpikiran terbuka salah satu cirinya adalah

developing mided. Yakni secara fleksibel menyesuaikan dan mengubah paradigma negatif tentang siswa dan mengajar.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis diperlukan bantuan atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli radiologi dalam pemeriksaan foto rontgen,

Sedangkan hasil penelitian uji F untuk variabel Kompetensi dan Insentif Terhadap Kinerja Karyawan diperoleh nilai sig 0,000 < 0,05 maka menunjukkan ada pengaruh yang

Perawat dan tenaga kesehatan lainnya dapat menyampaikan atau mempromosikan serta menerapkan terapi relaksasi otot progresif dan rendam kaki air hangat sebagai salah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seorang petani bawang merah yang melakukan tunda jual dan tidak melakukan

Dari Tabel 6, terlihat jelas bahwa metode pengembalian pinjaman pokok yang paling menarik (untuk digunakan pada kasus dengan parameter-parameter yang telah dijelaskan

Berdasarkan hasil penelitian yang tercantum pada tabel 2 didapatkan pada balita status gizi normal sebagian besar menderita diare dengan derajat dehidrasi ringan-sedang

(1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) wajib memiliki izin mempekerjakan Tenaga Kerja Industri Asing

Sementara itu condensat valve dalam keadaan terbuka, karena uap yang dialirkan kedalam ruang Sterelizer adalah uap yang bertekanan maka adanya tekanan uap tersebut udara