• Tidak ada hasil yang ditemukan

hukum internasional library research mah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "hukum internasional library research mah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

HUKUM INTERNASIONAL

Legalitas Penggunaan Senjata Dalam Hal Self Defense Dalam Hukum Internasional

Dosen pengampu : Ridwan Arifin , S.h.,Ll.m.

Nama Kelompok :

1. Bagas Jaya P 8111416160

2. Maharani Chandra D 8111416311

Fakultas Hukum

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Hukum Lingkungan dan untuk menambah wawasan tentang Legalitas Penggunaan Senjata Dalam Hal Self Defense Dalam Hukum Internasional.

Dalam penulisan karya tulis ini, penulis banyak dibantu berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ridwan Arifin, S.h.,Ll.m. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Lingkungan.

2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah

ini.

Penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun yang akan dijadikan dorongan untuk mencapai hasil yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 5 Oktober 2017

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Metode Penulisan...3

BAB II PEMBAHASAN A. penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara terhadap Negara lain dapat dibenarkan dalam Hukum Internasional...4

B. legalitas penggunaan unmanned drone dalam kekuatan bersenjata menurut Hukum Internasional...5

C. Praktik Negara-negara dalam hal anticipatory self-defense ...8

BAB III KESIMPULAN...14

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Hukum Internasional merupakan produk hasil persetujuan beberapa negara. Negara-negara kemudian menyatakan persetujuannya dalam dua metode dasar, yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan internasional. Perjanjian Internasional merupakan persetujuan tertulis antar negara dan pada dasarnya memiliki kedudukan yang sejajar. Berbeda dengan perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional tidak dihasilkan oleh hal-hal yang tertulis, tetapi lebih cenderung kepada praktik-praktik yang dilakukan oleh negara. Untuk dapat menjadi suatu hukum kebiasaan internasional, praktik yang dilakukan negara harus berulang dan dilakukan dengan otorisasi yang jelas.

Hukum kebiasaan internasional hadir ketika adanya praktek secara universal dan praktik tersebut diyakini sebagai persyaratan yang harus dilakukan dalam hukum internasional. Dibawah rezim hukum kebiasaan internasional yang berkembang jauh sebelum diadopsinya Piagam PBB, secara umum dapat diterima bahwa preemptive forces diizinkan pada praktik self-defense. Dapat pula dikatakan bahwa doktrin anticipatory self-defense dapat diterima. Hal ini yang kemudian disebut juga sebagai Webster Formula bisa diartikan demikian, bahwa anticipatory self-defense dalam hubungan internasional hanya diizinkan jika ada keadaan terpaksa untuk melakukan self-defense dan harus memenuhi kriteria berikut:

1. Instant (berlangsung sangat cepat)

2. Overwhelming (keadaan terpaksa yang luarbiasa) 3. There no alternative (tidak ada pilihan lain)

4. No moment for deliberation (tidak ada waktu untuk bermusyawarah) Selama masa Pra-Piagam PBB, dua kriteria tersebut dijadikan sebagai standar untuk menentukan seperti apa tindakan pre-emptive yang dilegalkan menurut international customary law. Peristiwa Caroline kemudian secara tidak langsung membentuk prinsip-prinsip yang kini tertanam kuat sebagai ius ad bellum dan ius in bello1 yang telah digunakan dalam beberapa kasus sengketa internasional2 dan kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional dalam hal self-defense.3

Instrumen hukum kemudian lahir dari pembentukan PBB, yaitu Piagam PBB yang selanjutnya mengatur mengenai larangan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional, yang diatur dalam pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Tetapi karena disadari bahwa kemanusiaan mengakui adanya hak yang melekat untuk melakukan pembelaan diri ketika terjadi kekerasan pada dirinya, berdasarkan pemikiran tersebut kemudian Piagam PBB ini memberikan pengecualian penggunaan kekerasaan, yang kontras dengan pasal 2 ayat 4,

1 Louis-Philippe Rouillard, The Caroline Case : Anticipatory Self-Defense in Contemporary International Law, Miskolc Journal ofInternational Law (2004)

2 Lihat Jane Gilliland Dalton, The United States National Security Strategy: Yesterday, Today, and Tomorrow, 52 Naval L. Rev.. 60, 70–71 (2005).

(5)

dalam hal self-defense dan tindakan keamanan kolektif. Pengecualian mengenai penggunaan kekerasan dalam rangka self-defense diatur dalam pasal 51 Piagam PBB yang mengakui adanya "inherent right” yaitu hak yang melekat baik pada individu atau kolektif untuk melakukan self-defense.4

Dalam perkembangannya dewasa ini, setelah tragedi penyerangan 11 September 2001 di New York, Washington D.C dan Pennsylvania, Pemerintah AS kemudian mengadopsi “Emerging Threat” 5 doctrine atau lebih dikenal memperlihatkan bahwa suatu serangan akan terjadi. 7 dalam laporannya pada Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) mengenai extrajudicial, summary or arbitrary executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan unmanned drones. Beberapa mengungkapkan penggunaan unmanned drones tidak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian yang tidak seharusnya. Sisi lain pun menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones sesuai karena mempergunakan misilyang diperbolehkan dalam Hukum Humaniter Internasional. Diluar dari apakah adanya aplikasi dari Hukum Humaniter Internasional atau tidak, penggunaan unmanned drones sepertinya tidak dapat dilegalkan yang mana pengesahan penyerangan hanya bisa lewat Target ed killingy ang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari hukum hak asasi manusia. Diluar dari itu semua, adapun cara yang bisa dipakai oleh suatu Negara yaitu melakukan pembelaan diri. 8 Keterkaitan penggunaan unmanned drones dengan mengaplikasikan Hukum Humaniter Internasional harus sesuai dengan apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa. Apa yang dimaksud adalah apakah suatu situasi yang sedang terjadi merupakan situasi konflik bersenjata, baik itu konflik bersenjata internasional yang diatur dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa ataupun konflik non-internasional seperti yang diatur dalam Pasal 3. Sekalipun Hukum Humaniter Internasional diaplikasikan untuk menciptakan kondisi yang sesuai untuk menggunakan kekuatan bersenjata, penggunaan unmanned drones dalam perang harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diadopsi seperti distinction, proportionality dan precautions, sedangkan unmanned drones yang dioperasikan dalam jarak ribuan mil belum tentu menjamin terpenuhinya unsur-unsur tersebut. 9 Pelanggaran terhadap Hukum Internasional sering terjadi. Tapi para pelaku mencoba untuk membuktikan

4 Dalton, Op.Cit hlm.71

5 M. Kelly, ‘Time Warp to 1945 – Resurrection of the Reprisal and Anticipatory Self-Defense Doctrines in International Law’ [2003], Journal of Transnational Law and Policy, hlm.

6 A. Eckert. & M. Mofidi., ‘Doctrine or Doctrinaire – The First Strike Doctrine and Pre-emptive Self-Defense Under International Law’ (2004), Tulane Journal of International and comparative law hlm.117

7 M. Kelly., Op.Cit at 3.

(6)

bahwa tindakan mereka bukan merupakan suatu pelanggaran dan mereka mempunyai hak untuk bertindak menurut Hukum Internasional atau setidaknya mereka bertindak sesuai dengan Hukum Internasional. 10

B. Rumusan Masalah

1. Apakah penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara terhadap Negara lain dapat dibenarkan dalam Hukum Internasional?

2. Bagaimanakah legalitas penggunaan unmanned drone dalam kekuatan bersenjata menurut Hukum Internasional?

3. Bagaimana Praktik Negara-negara dalam hal anticipatory self-defense ?

C. Metode Penulisan

1) Sumber dan Jenis Data

Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari berbagai literature kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku pelajaran Hukum Internasional , jurnal-jurnal hukum nasional maupun internasional edisi cetak maupun online, dan juga tetap mengacu pada Undang-Undang yang berlaku. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif.

2) Pengumpulan Data

Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.

3) Analisis Data

Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian. Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif argumentatif.

4) Penarikan Kesimpulan

Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah, tujuan penulisan, serta pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.

9 Robin Geib and Michael Siegrist. 2011. Has the Armed Conflict in Afghanistan Affected the Rules on the Conduct of Hostilities?. International Review of ICRC. Volume 93 Number 881. Hlm. 2.

(7)

BAB II PEMBAHASAN

A. UNMANNED DRONES

Perkembangan dari unmanned aerial vehicle (UAV) atau pesawat tanpa awak telah berkembang beberapa dekade sekarang ini. Perkembangan ini dipacu karena adanya konflik global dan memberikan revolusi dalam dunia penerbangan. Alasan utama dalam pembuatan UAV adalah agar para pilot mengontrol pesawatnya dengan sistem kontrol eksternal. Konfigurasi dari penggunaan pesawat tanpa awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan keuntungan ekonomi. Konsep pesawat tanpa awak ini diambil dari konsep layang-layang. Konsepnya dengan memanfaatkan aerodinamis untuk mengangkat bendanya dan dikontrol dari bawah. UAV juga menjadi sarana transportasi sempurnya untuk keguaan pelayanan sipil, pemerintahan dan dalam pasar komersial. Hanya saja, seperti Eropa, Kanada atau Amerika Serikat telah mengembangkan kegunaan UAV dalam bidang militer. Pengembangan UAV jenis militer ini dimulai pada tahun 1990 yang dipergunakan dalam pertempuran. UAV ini dinamakan unmanned combat aerial vehicles (UCAVs). Awalnya, UCAV ini tidak akan digunakan sampai dengan dekade pertama dari abad baru yaitu abad 20, tapi dengan peristiwa

9/11, UCAV pun mulai dioperasikan. 11 Perkembangan UAV kemudian memberikan implikasi dalam Hukum Internasional. 12 Sekarang ini banyak pesawat udara yang telah mengadopsi konsep UAV, hanya saja pendefinisan UAV secara global masih belum memiliki definisi yang rampung dan konsisten. Sepanjang perkembangannya, UAV dikenal juga dengan drone, pilotless

11 Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat. USA. Zenith Press. Hlm. 9.

(8)

aircratft, uninhabited aircraft, Remotely Piloted Vehicles (RPV) dan Remotely Operated Aircraft (ROA). 13 Hambatan dalam menentukan definisi yang tepat untuk UAV dikarenakan aplikasi penggunaannya berbeda-beda. Ada yang digunakan untuk militer, sipil dan komersial. Pendefinisian yang berbeda-beda ini menghasilkan kerumitan dalam memberikan satu definisi yang tepat, contohnya pendefinisian UAV militer, belum tentu dapat diaplikasikan pada definisi UAV komersial. 14 Oleh karena itu, dibawah ini terdapat beberapa definisi yang bisa dijadikan komparasi antara satu defisi dengan definisi yang lain, antara lain:

1. “A power driven aircraft, other than a model aircraft, that is designed to fly without a human operator on board” (terjemahan bebas: sebuah pesawat alik yang berbeda dengan model pesawat lainnya, pesawat yang didesain untuk terbang tanpa operator manusia didalamnya). 15

2. “A powered, aerial vehicle that does not carry a human operator, uses aerodynamic forces to provide lift, can fly autonomously or be piloted remotely, can be expandable or recoverable, and can carry a lethal or non-lethal payload. Ballistic or semi ballistic vehicles, cruise missiles, and artillery projectiles are not considered Unmanned Aerial Vehicles” (terjemahan bebas: sebuah pesawat bertenaga anginayang tidak dapat membawa operator manusia, menggunakan kekuatan aerodinamis untuk mengangkatnya naik, dapat terbang secara otonom atau dikontrol dengan pengendali, dan dapat membawa atau tidak membawa senjata. Kendaraan balistik atau bukan blistik, misil dan projektil artileri tidak dapat dikatakan sebagai pesawat tanpa awal). 16 Dalam prakteknya, penggunaan unmanned drone tidak memerlukan pilot untuk mengendarai pesawat tersebut. Selain itu, unmanned drone dilengkapi dengan fasilitas persenjataan sehingga dapat melakukan penembakan saat itu juga, baik dengan kontrol oleh pilot yang berjarak ribuan mil atau secara otonom. Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan unmanned dronetepatnya pada masa PemerintahanBush. Penyerangan dengan unmanned drone dilakukan pertama kali di Afganistan. Pada masa Presiden Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami peningkatan yang signifikan. 17Saat ini terjadi kontroversi terhadap cara menangkap para pelaku teror sesuai dengan cara yang dipakai Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa mereka menggunakan unmanned drones untuk Global War on Terror. Penggunaan unmanned drones ini ditentang karena dianggap melanggar syarat untuk membedakan yang mana penduduk sipil dan kombatan atau prinsip necessity untuk proporsionalitas. 18Faktanya, pada tahun 2010 terdapat 118 serangan di Pakistan. CIA pun dilaporkan telah

13 Wheatley S.2002.The Time Is Right: Developing a UAV Policy for the Canadian Forces. Makalah Simposium. Hlm. 2.

14 Loc. Cit. Hlm.2.

15 Canadian Aviation Regulations (CAN) Reg 101.1

16 United States. Departmenr of Defense. Dictionary of Military and Associated Terms. 2001. Hlm. 563.

(9)

menerbangkan unmanned drones ke Yamea, Somalia, Djibouti, Kenya dan Eitopia dalam rangka ‘untuk menarget jaringan Al-Qaeda”. 19Perdebatan sengit mengenai penggunaan Unamnned Drones dikaitkan dengan ada atau tidaknya aplikasi dari Hukum Humaniter Internasional dan jugakehadiran dari Hukum Hak Asasi Manusia Internasional tetap dijalankan baik dalam waktu perang dan damai. Hukum Hak Asasi Manusia melindungi seorang tersangka sedangkan dengan penggunaan unmanned drone, seseorang dapat diserang hanya berdasarkan kecurigaan tanpa diproses terlebih dahulu. Hal inilah yang kemudian membuat penggunaan unmanned drone dalam kekuatan bersenjata dapat mengarah pada extrajudicial killing. 20Pesatnya perkembangan unmanned drones memicu pertanyaan terhadap isu hukum.Permasalahan mendasarnya terkait dengan teknologi yang digunakan pada unmanned drones.Teknologi ini menghadirkan sistem unmanned dronesyang menggunakan pilot eksternal (sistem komputer yang diprogramkan untuk mengatur unmanned drones). 21Kemudian, muncullah pertanyaan terkait apakah unmanned drone dengan sistem pilot eksternalpantas dipergunakan dan memenuhi standar-standar hukum internasional, khususnya Hukum Humaniter Internasional.

B. PENGGUNAAN KEKUATAN BERSENJATA (USE OF FORCE)

Banyaknya negara dalam komunitas internasional, terkadang membuat suatu kondisi di mana jika terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab, perbuatan ini dapat memberikan goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban negara-negara dalam Hukum Internasional. Upaya untuk mencegah goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban kemudian diatur dalam kesepakatan tertulis, seperti Pasal 2(4) dari Statuta PBB yang menyatakan bahwa setiap negara harus menjaga dirinya sendiri untuk tidak menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lain serta menjaga keamanan internasional. Tahun 1970, PBB mengeluarkan Declarations on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperation Among States in Accordance with the Charter of United Nations dan menghendaki seluruh Negara untuk menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata (use of force), intervensi, atau tindakan yang membahayakan Negara lain serta berperilaku dengan tingkah laku yang baik sesuai dengan Piagam PBB. 22Hal ini disebabkan seringnya Negara menggunakan kekuatan bersenjata terhadap Negara lain. Namun, telah menjadi kesalahpahaman umum yang mana penggunaan kekuatan bersenjata ini telah menjadi bukti “kegagalan” dari Hukum Internasional. Masyarakat baik nasional maupun internasional, telah menderita dari penggunaan kekerasan oleh Negara dalam rangka menyelesaikan sengketa mereka. Akibat hal diatas, diperlukan suatu instrument hukum

18 David Armstrong.2012.International Law and International Relations. Camridge University Press. Cambridge. Hlm. 198.

19 Chris Cole.2012. Drone Wars Briefing: Examining the Growing Threat of Unmanned Warfare. Drone Wars UK.Hlm. 14 –15

20 Thomas J. Biersteker.2007.International Law and International Relations: Bridging Theory and Practice. Taylor & Francis. Hlm. 98.

21 Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial Vehicles. Hlm.1.

(10)

untukmengatur penggunaan kekuatan bersenjata dari anggota komunitas internasional. 23

1.1 Konsep Pre-emptive war sebagai anticipatory self-defense dalam Hukum Internasional

Pre-emptive strike sebagai anticipatory self-defense umumnya dipahami sebagai penggunaan kekerasan yang dilakukan sebagai respon terhadap sebuah ancaman yang nyata.24 O’connell menjelaskan bahwa sebuah tindakan pre-emptive yang dilakukan dalam rangka self-defense merujuk pada sebuah keadaan dimana salah satu pihak menggunakan kekerasan untuk menghentikan segala bentuk kemungkinan dari penyerangan yang diyakini akan terjadi oleh pihak atau negara lain, walaupun belum ada serangan yang teraktualisasikan.

2. Bagi yang meyakini bahwa anticipatory self-defense telah menjadi bagian dari Hukum kebiasaan internasional jauh sebelum dibuatnya Piagam PBB.25

1.1.1.1 Anticipatory Self-defense dalam Hukum Kebiasaan Internasional Hukum Kebiasaan Internasional tetap bertahan dari masa ke masa. Pada abad 17, Hugo Grotius berpendapat bahwa “It is lawful to kill him who is preparing to kill”, satu abad kemudian De Vattel mengemukakan pendapat serupa yang mendukung pendapat tersebut, yaitu:

“The safest plan is to prevent evil, where that is possible. A Nation has the right to resist the injury another seeks to inflict upon it, and to use force ... against the aggressor. It may even anticipate the other’s design, being careful, however, not to act upon vague and doubtful suspicions, lest it should run the risk of becoming itself the aggressor.” 26

Dapat dikatakan bahwa kedua pendapat tersebut kemudian menjadi argumen pendukung konsep pre-emptive strike, bahwa merupakan hal yang legal ketika suatu negara melakukan penyerangan terhadap negara lain yang akan menyerang mereka. Setelah terjadinya Insiden Caroline, elemen necessity yang terdiri dari empat hal dipersyaratkan untuk dapat menggunakan kekerasan dalam mempraktikkan anticipatory self-defense yang dikenal sebagai Webster Formula harus dipenuhi, yaitu instant, overwhelming, there no alternative, dan no moment for deliberation. Beberapa sarjana kemudian menyimpulkan bahwa ada tiga persyaratan utama untuk dapat melakukan anticipatory self-defense,yaitu necessity, immediacy dan proportionality.

23 Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on International Law.UK. Blackstone Press Limit. Hlm. 559.

24 Abdul G. Hamid, The Legality of Anticipatory Self-Defense in the 21st Century World Order: A Re-Appraisal, 4g41. Netherlands International Law Review (2007).

25 James Mulcahy & Charles O Mahony, Anticipatory Self-defense: A discussion of International Law. Hanse Law Review Vol.2 No,2, (2006)

(11)

1.1.1.2 Anticipatory Self-defense berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tidak dapat dihindari bahwa pasal 2 ayat 4 sangat berkaitan dengan Bab VII Piagam PBB. Pertama, sebagai organ yang memiliki tanggungjawab utama untuk memelihara keamanan dan perdamaian internasional, Dewan Keamanan dianugerahi otoritas untuk mengadopsi enforcement measures kapanpun mereka meyakini bahwa ada ancaman terhadap perdamaian ataupun agresi yang terjadi.27 Kedua, karena mengakui bahwa Dewan Keamanan tidak selamanya memiliki kapabilitas dalam merespon secara cepat sebuah agresi yang terjadi, para drafters Piagam PBB memasukkan sebuah pengecualian terhadap penggunaan kekerasan yang dicantumkan pada pasal 51 Piagam.

Masalah utama pada interpretasi pasal 51 berada pada bagian pertama pada kalimat pertama. Frasa “nothing....shall impair” dan acuan pada “inherent right” serta frasa “if an armed attack occurs”. Interpretasi pasal 51 kemudian membentuk dua kelompok yaitu para pendukung Counter-restrictionist interpretation atau yang juga dikenal sebagai expanded interpretation, berargumen bahwa anticipatory self-defense adalah legal menurut piagam PBB, serta penganut paham yang berlawanan dengan paham sebelumnya, yaitu penganut paham restrictive interpretation yang meyakini bahwa syarat untuk mempraktikkan self-defense dibatasi hanya jika serangan bersenjata terjadi.

Counter-Restricionist Interpretation: Pendukung pada pendekatan counter-restrictionist interpretation berpendapat bawa self-defense yang diakui sebagai inherent right pada pasal 51 merupakan sebuah bukti bahwa Piagam PBB tidak memberikan batasan apapun pada hukum kebiasaan internasional terhadap self-defense yang telah ada sebelumnya berdasarkan pengakuan atas inherent right dan interpretasi terhadap frasa pada kalimat pertama yaitu “nothing shall impair....”28 Selain itu mereka berargumen bahwa penggunaan kekerasan dalam rangka self-defense tidak hanya digunakan sebagai respon jika terjadi serangan bersenjata tetapi juga dapat digunakan sebagai respon dari imminent threat.29 Mereka beralasan bahwa self-defense merupakan bagian dari kebiasaan internasional yang eksistensinya diakui dalam piagam PBB.

Hukum kebiasaan internasional hidup berdampingan dengan hukum konvensional. Dibawah hukum kebiasaan Internasional, anticipatory self-defense diizinkan ketika diketahui adanya ancaman serangan bersenjata yang imminent atau sudah dekat dan akan segera terjadi. Piagam PBB kemudian mengkodifikasikan aturan mengenai self-defense dari kebiasaan internasional yang telah ada sebelumnya namun tidak lebih mendalam.

27 UN Charter, art.39

28 Bowett, Self-defense in International Law, hlm.187

(12)

Restrictive Interpretation: Dalam pandangan ini mereka berpendapat bahwa penggunaan kekerasaan dalam hal self-defense dalam pasal 51 dengan jelas memberikan batasan hanya dalam keadaan jika telah terjadi serangan bersenjata. Mereka meyakini, bahwa pada umumnya yang dimaksud serangan bersenjata dalam hal ini yaitu ketika suatu angkatan bersenjata dari suatu negara telah melewati perbatasan suatu negara dan melakukan serangan bersenjata. Sehingga walaupun hukum kebiasaan internasional memungkinkan praktik self-defense yang antisipatif, tetapi jika dipandang dari Piagam PBB dengan jelas hal tersebut dibatasi, yaitu hanya dapat dilakukan sebagai respon dari serangan bersenjata dari negara lain.30

Para restrictionist mengemukakan bahwa walaupun anticipatory self-defense telah diizinkan sebelum diadopsinya Piagam PBB, namun kebiasaan yang telah ada dimodifikasi dengan adanya Pasal 51 Piagam PBB. Maksudnya adalah, pertama bahwa pada posisi normatif yang seimbang antara hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional, dan menurut prinsip lex posterior, aturan dalam Piagam PBB mengenai use of force kemudian menghapus kebiasaan yang telah ada sebelumnya yang tidak sesuai dengan Piagam PBB.31 Kedua, setiap elemen utama dari interpretasi, mendukung pandangan bahwa terjadinya suatu serangan bersenjata adalah sine qua non dalam Pasal 51 Piagam PBB. 32

C. Praktik Negara-negara dalam hal anticipatory self-defense

i. The Cuban Missile Crisis (1962)

Pendirian instalasi rudal di Kuba oleh Uni Soviet secara diam-diam, kemudian memicu salah satu kejadian konfrontasi yang paling menegangkan pada era Perang Dingin. AS menganggap pendirian instalasi rudal oleh Uni Soviet di Kuba merupakan salah satu ancaman yang serius uang dapat mengancam keamanan dan perdamaian dunia, dan khususnya keamanan AS dan negara lain di Benua Amerika. Untuk alasan tersebut, Kennedy kemudian memutuskan untuk mengkarantina angkatan laut Kuba, yang ditujukan pada pengiriman senjata ofensif dan materi terkait yang akan datang. 33

Pasukan AS memiliki kewenangan untuk mencegat kedatangan maupun pencarian kapal atau perahu milik Kuba dan kapal lain yang tujuan atau persinggahannya di Kuba.

Dewan dari Organization of American States kemudian membuat keputusan untuk mengajukan masalah ini ke Dewan Keamanan PBB atas permintaan AS, Kuba dan Uni Soviet.34 Harus diakui bahwa perdebatan yang terjadi di Dewan Keamanan saat itu sebagian besar terdimensi dalam perdebatan kepentingan dan politik, dengan hanya sangat sedikit memperhatikan implikasi hukumnya. Kubu pendukung AS dan OAS memandang bahwa rudal yang dikembangkan di Kuba adalah sesuatu yang

30 Niaz A. Shah, Op,Cit hlm.89

31 Tom Ruys (2010), Armed Attack and Article 51 of the UN Charter: Evolution in Customary Law and Practice, Cambridge University Press, New York. (2010) Hlm 259

32 Ibid

33 Ibid. hlm. 268

(13)

offensive dan menghasilkan ancaman yang serius terhadap Western hemisphere.35 Sedangkan pihak Kuba, Uni Soviet dan pendukungnya menganggap bahwa isntalasi rudal di Kuba bersifat defensive yang bertujuan untuk perlindungan atas kedaulatan dan kemerdekaan Kuba (khususnya mempertimbangkan pada tahun 1961, AS dan sekutunya pernah menginvasi Kuba di Teluk Pigs).36

Pada akhirnya, tidak ada satupun dari berbagai draft resolution yang dibuat kemudian diajukan untuk dilanjutkan ke tahap voting. Sebaliknya, krisis mengenai rudal tersebut kemudian mereda melalui negoisasi rahasia antara AS dan Uni Soviet (Pencabutan rudal Soviet di Kuba dan dipihak lain AS juga akan mencabut rudalnya di Turki) tanpa satu tembakan pun yang akan dilepaskan.37 Kemudian, apakah dapat dikatan bahwa karantina yag dilakukan AS pada Kuba merupakan suatu ‘karatina’ yang sebenarnya ataukah sebenarnya merupakan blokade terhadap belligerent, dan tidak diragukan hal tersebut merupakan cara untuk penggunaan kekerasan, yang menyediakan sebuah preseden yang mendukung anticipatory self-defense. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada upaya untuk menjustifikasi bahwa operasi tersebut merupakan sebuah praktik self-defense.38

Self-defense maupun pasal 51 Piagam PBB tidak pernah disebutkan, dan bukan merupakan hal yang tidak disengaja bahwa Penasihat Hukum AS, Chayes, mengemukakan bahwa operasi tersebut tidak berdasarkan pasal 51, melainkan merupakan bagian dari kategori ke tiga berdasarkan pasal 52 Piagam PBB, yaitu sebuah action by regional organizations to preserve the peace”.

Yang perlu diperhatikan dalam kasus ini adalah, Uni Soviet dan Kuba tidak pernah berencana untuk meluncurkan serangan aktual yang ditujukan kepada AS maupun negara Amerika lainnya. Resolusi OAS, sebagai contoh menekankan pada “to prevent the missiles.... from becoming an active threat to the peace and the security to the Continent”,39 Dengan kata lain, tidak ada indikasi bahwa AS dikonfrontasi dengan “imminent threat of armed attack”, jika tindakan AS sebelumnya dinyatakan sebagai self-defense maka kategorinya kemudian cenderung pada preventive strike, dibandingkan dengan pre-emptive self-defense.

Dapat disimpulkan bahwa operasi karantina tersebut tidak memiliki preseden yang valid untuk di klaim sebagai anticipatory self-defense.40 Krisis rudal di Kuba memperlihatkan pada hakekatnya tidak ada bukti dari AS baik secara opinio juris – positif maupun negatif – vis-a-vis legalitas dari pre-emptive

35 UN Doc. S/PV.1022, Para 12-13, 59-62 (inter alia trying to clarify the difference between devensive missile sites NATO member countries and offensive missiles in Cuba)

36 UN Doc. S/PV.1023, Para 12-13, 59-62, lihat juga Thomas M. Franck, Recourse to Force: State Actions Against Threats and Armed Attacks, Cambridge University Press (2004), hlm.100

37 Thomas M. Franck, Op.Cit hlm.99, lihat juga Surat dari Perwakilan tetap AS dan Uni Soviet untuk Sekjen PBB pada 7 January 1963, yang menyatakan tanda terimakasih mereka terhadap PBB yang telah melakukan langkah mediasi. (UN Doc. S/5227)

38 Walaupun Presiden menjelaskan bahwa operasi tersebut dilakukan dalam rangka pertahanan Amerika Serikat dan keamanan internasional dalam justifikasi politik, tidak ada satupun pihak yang berwenang dari Amerika Serikat yang menyinggung pasal 51 Piagam PBB, walaupun sebenarnya itu merupakan salah satu legal support yang mendukung operasi mereka.

39 UN Doc. S/5193

(14)

action. Kasus ini kemudian menjadi contoh penolakan yang implicit akan preventive self-defense.

ii. The Six-Day War (1967)

Pertempuran 6 hari yang terjadi pada 5 – 10 Juni 1967, atau yang lebih dikenal dengan The Six-Day War merupakan pertempuran antara Israel dan koalisi negara tetangganya, yaitu Mesir, Jordania dan Syria.

Israel maupun Mesir menggunakan alasan hak self-defense untuk menjustifikasi tindakan mereka.41 Perdana Meneteri Israel untuk AS, Michael Oren juga memberikan pernyataan bahwa negara-negara Arab telah memiliki rencana untuk menaklukkan Israel dan pengusiran serta pembunuhan massal orang Yahudi. Dalam keadaan kesulitan ekonomi serta menghadapi imminence war, Israel berargumen Ia tidak memiliki pilhan lain selain melakukan pre-emptive action.42

Dewan Keaman juga telah mengemukakan hal yang sama, walaupun demikian tindakan Israel tetap tidak mendapat kecaman langsung dari Dewan keamanan PBB. Beberapa akademisi memiliki pendapat yang berbeda, dikarenakan fakta yang menunjukkan bahwa Israel mengklaim tindakannya terhadap negara-negara Arab dikategorikan sebagai sebuah act of war dan armed attack, walaupun tindakan tersebut diklaim sebagai bagian dari Pasal 51 Piagam PBB. Fakta bahwa Israel berinisiatif untuk menjustifikasi seranganya sebagai respon dari armed attack menghasilkan keragu-raguan beberapa negara untuk mengklaim sesuatu yang umumnya tidak dapat diterima. Tindakan yang dilakukan Israel kemudian yang dianggap sebagai pre-emptive strike melawan imminent threat oleh Mesir dan negara Arab lainnya masih menjadi kontroversi hingga saat ini.

iii. The Osiraq Strike (1981)

Pada tahun 1981, banyak negara yang memiliki ataupun sedang dalam proses untuk memilki senjata nuklir. Pada saat itu Israel meyakini bahwa tujuan utama Irak untuk menggunakan senjata nuklir adalah untuk menyerang Israel. Pada 6 Juni 1981, Delapan pesawat F-16A fighter-bombers dan enam F-15A fighters Israel terbang ke dalam teritorial udara Irak, dan menyerang reaktor nuklir yang dimiliki Irak, dan kembali ke pangkalan mereka. Serangan tersebut menyebabkan sepuluh orang terbunuh.43

Dalam suratnya ke Dewan Keamanan PBB, Israel mengkalaim bahwa mereka melakukan tindakan tersebut dikarenakan reaktor telah dibuat untuk memproduksi bom atom yang targetnya adalah Israel,44 Intelijen Israel memperkirakan bahwa perangkat nuklir yang dikembangkan oleh Irak akan

41 Statement of Mr. Kony (United Arab Republic), SCOR, 22th Session, 1347th meeting, 5 June 1967. UN Doc. S/PV.1347(OR). Diakses pada 1 Februari 2013 via: http://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/ N70/083/53/pdf/N7008353.pdf ; Statement of Mr. Eban (Israel), SCOR, 22th Session, 1347th meeting, 5 June 1967. UN Doc. S/ PV.1347(OR). Diakses pada 1

Februari 2013) via http://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/

N70/083/53/pdf/N7008353.pdf

42 John Pimlott, The Middle East Conflicts 1945 to Present, Crescent Books, New York, (1983), hlm.53

(15)

selesai pada tahun 1985, masih empat tahun setelah terjadinya penyerangan tersebut. Dalam anticipatory self-defense untuk menentukan hal tersebut legal menurut hukum kebiasaan internasional yaitu ketika syarat imminence of threat dipenuhi sedangkan dalam kasus ini, tidak ditemukan adanya imminent threat yang dihasilkan akibat pengembangan nuklir di Irak, sebagaimana pentingnya jalur diplomasi dan politik harusnya ditempuh lebih dulu sebelum akhirnya menggunakan kekerasan sebagai the last resort.

Dikarenakan tidak ditemukan adanya imminent threat yang mengancam keamanan Israel, maka kasus ini tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu contoh pre-emptive strike dalam anticipatory self-defense, melainkan sebuah contoh praktik preventive use of force, yang legalitasnya tidak diakui dalam hukum Internasional. Dewan Keamanan PBB , pada kasus ini mengutuk tindakan Israel dan memutuskan bahwa Israel dalam hal ini telah melanggar Piagam PBB dan norma-norma perilaku internasional.

Reaksi dan kecaman internasional pada Osiraq strike menambah jumlah bukti penolakan terharap konsep dari preventive self-defense. Tetapi dilain pihak, membuka sebuah celah pada opinio juris vis-a-vis akan legalitas dari pre-emptive action sebagai respon dari ancaman yang imminent. Faktor yang terakhir adalah, walaupun secara nyata tidak cukup untuk mengabaikan onus probandi yang disyaratkan untuk sebuah interpretasi yang revolusioner dalam lingkup pasal 51 untuk memperluas arti serangan dengan ancaman.

iv. Iraqi War (2003)

Sebagai respon dari penyerangan teroris ke WTC, yang dikenal dengan peristiwa 9/11, pemerintahan Bush mendeklarasikan Perang melawan Terorisme. Untuk melancarkan aksinya, Bush kemudian berlindung dibalik anticipatory self-defense untuk menjustifikasi aksinya. Sebagaimana ancaman yang dirasakan AS , Bush mengatakan bahwa:

“Iraq continues to flaunt its hostility toward America and to support terror. The Iraqi regime has plotted to develop anthrax, nerve gas, and nuclear weapons for over a decade.”

Bush juga mengisyaratkan bahwa AS akan bertindak unilateral, berdasarkan pernyataannya yang menegaskan, “I will not wait on events while dangers gathers. I will not stand by as peril draws closer and closer.”

Walaupun demikian, pada pertengahan tahun 2002, ketika pemerintahan Bush sedang sangat serius mempertimbangkan untuk melakukan preemptive strike ke Irak, imminent threat yang dituduhkan pada Irak sama sekali tidak dirasakan oleh komunitas Internasional. Dalam usahanya untuk mendapatkan dukungan melakukan pre-emptive strike, Bush kemudian berpidato yang dikhususkan untuk membahas mengapa Irak dianggap sebagai sebuah ancaman serta membuat dua resolusi mengenai Irak.

Resolusi ini kemudian memberikan otoritas kepada Presiden Bush untuk memerintahkan Angkatan Bersenjata AS, jika ia merasa hal tersebut diperlukan dan sesuai, yang kedua adalah Resolusi DK PBB yang disebut, “Resolution 1441”. Resolusi ini menjelaskan bahwa Irak secara material telah melanggar kewajibannya pada PBB dikarenakan Irak gagal menjalankan hasil resolusi sebelumnya. 45 serta memutuskan bahwa Irak harus memfasilitasi United

44 Letter from the Permanent Representative of Israel to the United Nations (Israel), SCOR, 36th Session, 6 August, 1981. UN Doc. S/14510. Diakses pada 5 oktober 2017, diakses via http://documents-dds ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N81/153/33/ pdf/N8115333.pdf

(16)

Nations Monitoring, Verification, and Inspection Comission (UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA), dengan segera, tanpa syarat dan tanpa batasan akses pada fasilitas yang relevan. Bersama dengan pemberian akses kepada UNMOVIC dan IAEA, Irak juga harus memberikan pernyataan yang menjelaskan mengenai "all aspects of its programs to develop chemical, biological, and nuclear weapons. . . ." 46

Beberapa bulan setelah adanya resolusi ini, Presiden Bush kembali memberikan pernyataan pada State of The Union Address. Ia menekankan bahwa, AS telah bekerjasama dengan DK PBB pada pembuatan Resolusi 1441. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Bush juga mengatakan bahwa Pemerintah Irak, khusunya Saddam Hussein tidak menjalankan ketentuan yang terdapat pada resolusi, karena menyembunyikan persenjataan dan tidak menginjinkan UNMOVIC dan IAEA untuk mewawancarai Ilmuwan Irak.

Fokus perdebatan pada sidang Dewan Keamanan, pada 27 Maret 2003, adalah apakah Intervens yang dilakukan AS ke Irak secara eksplisit maupun implisit mendapatkan persetujuan dari DK PBB, tanpa membahas apakah tindakan tersebut merupakan lingkup dari self-defense.47

Bush kemudian melancarkan serangannya ke Irak dengan berlindung di balik anticipatory sef-defense, dikarenakan pengembangan senjata pemusnah massal yang sedang dikembangkan Irak sebagai suatu imminent threat. Walaupun hingga saat ini belum ada bukti-bukti yang dapat meyakinkan masyarakat Internasional terhadap keberadaan senjata pemusnah massal yang dituduhkan Bush kepada Irak.

Pada akhirnya, argumen mengenai intervensi ke Irak menghasilkan preseden yang tidak berhubungan dengan anticipatory self-defense. Negara yang mendukung operasi AS menjauhi justifikasi restrictionist dari Pasal 51 Piagam PBB. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Bush doctrine telah ditentang dikarenakan tidak ditemukannya sebuah imminent threat. Selain itu, pendapat yang menentang suatu intervensi tidak dapat begitu saja dianggap sebagai pendapat yang sama untuk menentang anticipatory self-defense.

Hukum Sengketa Bersenjata merupakan bagian dari Hukum Internasional yang mengatur hubungan antar negara selama terjadinya sengketa bersenjata. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh perang. Kemudian memberikan kepada setiap orang dalam negara, terutama para anggota angkatan bersenjata, namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi militer. Penting untuk diketahui bahwa Hukum Sengketa Bersenjata tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip militer yang fundamental seperti penghematan penggunaan kekuatan, kesederhanaan tindakan, pemusatan kekuatan, kesatuan tindakan dan keleluasaan untuk melakukan manuver. Pemusatan kekuatan pada sasaran-sasaran yang kritis dan jauh dari orang orang atau benda yang mempunyai sedikit atau sama sekali tidak mempunyai nilai militer, mempertimbangkan kepentingan militer maupun kepentingan kemanusian. Selanjutnya diketengahkan prinsip-prinsip dasar hukum sengketa bersenjata, sebagai berikut :

1. Prinsip Kepentingan Militer (Military Necessity), bahwa semua kegiatan tempur harus berdasarkan atas dasar kepentingan militer, dan yang utama dilarang

46 Ibid

(17)

melakukan kegiatan yang tidak diperlukan untuk kepentingan militer. Sebagai contoh, tidak diperkenankan menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran atau mereka yang tidak mampu bertempur, karena tidak ada keuntungan militer yang diperoleh dengan berbuat demikian. Aturan-aturan dalam perjanjian memberikan kelonggaran hak bagi kepentingan militer. Kepentingan militer tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak menerapkan Hukum Sengketa Bersenjata. Segala tindakan menghancurkan harta benda musuh karena kepentingan militer harus sesuai dengan prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Kepentingan militer tidak boleh digunakan sebagai alasan pemaaf bagi kesalahan, pengabaian, atau tindakan yang tidak pantas.

2. Prinsip perlakuan secara manusiawi dan tanpa diskriminasi ( Humanitarion Treatment and without Discrimination Principle ), bahwa semua orang harus diperlakukan secara manusiawi dan tanpa diskriminasi berdasarkan atas jenis kelamin, kebangsaan, ras, agama atau keyakinan politik. Secara khusus, mereka yang tidak mampu lagi untuk melakukan pertempuran, misalnya para kombatan yang menyerah, awak pesawat udara yang terjun dari pesawat udara yang mengalami kerusakan, orang-orang yang luka, sakit dan korban kapal karam, para tawanan perang, tawanan dan tahanan lainnya, penduduk sipil dan personil medis serta rohaniawan harus diidentifikasi, diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi dari serangan.

3. Prinsip Pembatasan dan penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering), bahwa persenjataan dan cara berperang yang boleh digunakan adalah terbatas. Dengan perkataan lain, dilarang menggunakan senjata yang dirancang untuk mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu atau luka yang berlebihan. Hal ini dimaksudkan adalah untuk melarang persenjataan yang dirancang untuk menghancurkan lebih dari yang diperlukan sehingga musuh tidak mampu bertempur, misalnya senjata-senjata yang dirancang untuk menimbulkan luka-luka yang tidak mungkin untuk diobati atau menyebabkan kematian yang kejam dan mengalami keadaan sekarat yang berlangsung lama. Aturan ini tidak melarang persenjataan seperti senjata fragmen (senjata yang pecahannya menyebar) atau senjata yang dapat menembus secara rentetan (armour piercing rounds) yang sekalipun digunakan secara benar namun dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.

4. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle), bahwa harus dibedakan antara kombatan dan non-kombatan. Kombatan diperbolehkan untuk terlibat secara langsung dalam pertempuran, sedangkan non-kombatan tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam pertempuran. Dengan perkataan lain, kombatan bisa diserang, sedangkan non-kombatan dilindungi dari serangan, namun mereka kehilangan perlindungan jika mereka terlibat secara langsung dalam permusuhan. Hal lain yang perlu diperhatikan harus dibedakan antara objek-objek militer, yang boleh diserang, dan objek-objek-objek-objek sipil yang tidak boleh diserang. Objek-objek sipil harus dihormati. Itu berarti bahwa tidak diperkenankan untuk melakukan penjarahan dan objek-objek sipil hanya boleh diambil alih untuk dipergunakan bagi kepentingan militer.

(18)

6. Prinsip Itikad Baik (Good Faith Principle),bahwa dalam setiap perundingan-perundingan antar pihak-pihak yang berperang harus dilandasi itikad baik. Pentingnya Untuk Mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa Bersenjata harus dipatuhi karena hukum ini mengikat setiap negara dan individu-individu dalam negara-negara tersebut. Hukum kebiasaan terdiri dari norma-norma tertentu yang bersifat mengikat bagi semua negara. Hukum perjanjian mengikat negara yang merupakan pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam kasus lainnya, hukum ini juga berlaku bagi orang-orang yang berada dalam negara tersebut. Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Hukum Sengketa Bersenjata merupakan Ketentuan Hukum Sengketa BersenjataTentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata yang dapat diadili oleh pengadilan nasional atau pengadilan internasional. Dengan demikian menjadi penting untuk mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata, yang bertujuan untuk:

1. Menekankan profesionalisme para anggota angkatan bersenjata; 2. Meningkatkan moral dan disiplin yang baik;

3. Menjamin dukungan penduduk sipil di dalam negeri dan di medan operasi; 4. Menerapkan perlakuan secara timbal balik, misalnya terhadap orang yang luka dan sakit serta tawanan perang;

5. Menciptakan kemungkinan adanya perdamaian dengan tidak memperkeruh keadaan

yang sedang berkembang;

6. Menjamin bahwa upaya militer hanya dikonsentrasikan untuk menaklukkan angkatan bersenjata musuh. Tanggung Jawab Untuk Mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa Bersenjata tidak hanya mengikat negara tetapi juga mengikat individu termasuk atasan dan para anggota angkatan bersenjata dengan tanggung jawab, sebagai

berikut :

1. Tanggung jawab individu. Setiap anggota angkatan bersenjata, apapun pangkatnya, Sengketa Bersenjata, memastikan bahwa orang lain juga mematuhinya dan mengambil tindakan apabila terjadi pelanggaran. Perintah atasan tidak boleh dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi perbuatan yang melanggar hukum. Terhadap anggota angkatan bersenjata yang melakukan, memerintahkan, gagal mencegah atau gagal memberikan laporan tentang pelanggaran berat terhadap Hukum Sengketa Bersenjata dianggap melakukan kejahatan perang yang dapat diajukan ke pengadilan dan jika diputuskan

c. Memberikan perintah secara jelas dan berdasarkan hukum ; d. Bertanggung-jawab terhadap keputusan-keputusan yang sulit;

e. Menjamin perintahnya dilaksanakan olehbawahannya sesuai dengan hukum; f. Melaporkan para pelanggar kepada perwira atasan yang mempunyai kewenangan untuk menindak;

(19)

BAB III KESIMPULAN

(20)

penggunaannya dan tetap sejalan dengan Pasal 36 tersebut. Namun, banyak para ahli pun menentang penggunaan unmanned drone dengan menyatakan bahwa pesawat tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip yang tertuang dalam Hukum Humaniter Internasional.Legalitas penggunaan unmanned drone jika dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia Internasional jelas bertentangan dan dilarang penggunaannya. Hal ini karena Pasal 6 ICCPR menjunjung tinggi hak untuk hidup seorangmanusia dan juga Pasal 14 yang mengharuskan seseorang harus mendapatkan prosedur peradilan yang layak jika didakwakan atas suatu pelanggaran. Penggunaan unmanned drones dipandang tidak dapat memenuhi dua pasal diatas. Pre-emptive strike sebagai anticipatory self-defense telah lama diakui eksistensinya sebagai bagian yang dilegitimasi di bawah hukum kebiasaan internasional harus memenuhi prinsip necessity dan proportionality. Meskipun demikian, hal ini belum diatur secara tertulis dalam hukum Internasional. Pasal 51 Piagam PBB, sebagai satu-satunya aturan internasional tertulis yang mengatur mengenai self-defense secara eksplisit tidak membuka celah akan praktik anticipatory self-defense. Sehingga menyebabkan dilusi mengenai legalitas hal ini dikarenakan adanya konflik norma antara hukum kebiasaan internasional dan hukum positif tertulis. Telah banyak negara yang mengklaim penggunaan kekerasan yang mereka lakukan sebagai anticipatory self-defense untuk menjustifikasi tindakannya dibawah hukum Internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Thomas M. Franck, (2004), Recourse to Force: State Actions Against Threats and Armed Attacks, Cambridge University Press

Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, New York, 2003;

Bill Yenne, Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat, Zenith Press, USA, 2004;Bunge, The Revival of Causality. Guttorm (ed.), Contemporary Philosophy: a new survey. Ii, 1986;

Christian Reus-Smit, the Politics of International Law, Cambridge University Press, New York, 2004;Robert Cryer, Hakan Friman, Darryl

Robinson dan Elizabeth Wilmshurst, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, second ed., Cambridge University Press, United Kingdom, 2010;

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung, 1997;

Thomas J. Biersteker, International Law and International Relations: Bridging Theory and Practice, Taylor & Francis, 2007;

(21)

A.Eckert & M. Mofidi, ‘Doctrine or Doctrinaire – The First Strike Doctrine and Pre-emptive Self-Defence Under International Law’ (2004), Tulane Journal of International and comparative law

Victor Hansen, Predator Drone Attacks, New England Law Review, Vol. 46, 2009.

Louis-Philippe Rouillard, The Caroline Case : Anticipatory Self-Defence in

Contemporary International Law, Miskolc Journal ofInternational Law (2004)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa bentuk biji jeruk siam asal Kampar memiliki kemiripan dengan bentuk biji jeruk Kultivar Swanggi pada penelitian Awuy (1993) yaitu

Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi zaman edan seperti di atas? Tentu banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan

data untuk mengetahui pengamatan waktu kerja karyawan swalayan Sakinah telah.. cukup bisa diandalkan atau belum

Dengan penjelasan ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa psikologi agama yaitu ilmu yang mempelajari gejala manusia yang normal, dewasa yang berhubungan dengan

Hal ini terjadi karena tidak ada penanganan yang tepat serta penggunaan teknologi yang baik.Tetapi walau bagaimana pun perkembangan teknologi

Kependidikan Universitas Negeri Semarang, yang dimaksud dengan PPL adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk

[r]