• Tidak ada hasil yang ditemukan

ESTIMASI JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA MELALUI PENDEKATAN ANALISIS CRANIOMETRICS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ESTIMASI JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA MELALUI PENDEKATAN ANALISIS CRANIOMETRICS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMASI JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN

SILANGANNYA MELALUI PENDEKATAN ANALISIS

CRANIOMETRICS

(Estimation on the Genetic Distance Between River, Swamp and Crossbred

Buffaloes Based on the Craniometric Analysis Approach)

N.J.F.ASOEN1danA.ANGGRAENI2 1Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

This research was conducted to characterize craniometrics (head measurements) and for estimate genetic distances among swamp, river (Murrah) and crossbred (F1) buffaloes in North Sumatera. Observation was done to both male and female buffaloes of mature buffalo;respectively: swamp 53 head (11 males and dan 42 females), Murrah 48 head (16 males and 32 females) and their crossbred 20 head (2 males and 18 females) during July - August 2007. Craniometrics were observed for: Prosthion (X1), Akrokranion-Nasion (X2), Akrokranion-Nasion-Rhinion (X3), Basion-Prosthion (X4), Fossotemporale left-right (X5), Euryon left-right (X6), Rhinion- Prosthion (X7), Infraorbitale left-right (X8), Zygion left-right (X9), Entrobitale left-right (X10), head height (X11) and lower jaw length (X12). Genetic distance was estimated by discriminant function through the analysis of Mahalonobis distance in the application of DISCRIM PROC of the SAS program (ver. 7.0). Result showed that average of the craniometrics of Murrah buffalo were larger than (P < 0.05) that of swamp buffalo. Craniometrics of crossbred buffalo was larger than (P < 0.05) that of swamp buffalo, but they were not significantly different from those of Murrah buffalo. It was estimated that the longest genetic distance was between swamp and Murrah buffaloes (5,1817); in contrast, the shortest was between crossbred (F1) and Murrah boffaloes (2,7952). Based on the matrix of genetic distance and the phylogenetic tree proved that swamp and Murrah buffaloes were at a long genetic distance, while crossbred buffalo had a shorter genetic distance to Murrah buffalo.

Keys Words: Swamp, River (Murrah), Crossbred Buffalo, Craniometrics, Genetic Distance

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari craniometrics (ukuran kepala) untuk mengestimasi jarak genetik antara kerbau rawa, sungai (Murrah) dan silangannya (F1) di Sumatera Utara. Pengamatan dilakukan pada kerbau jantan dan betina dewasa, berurutan untuk kerbau rawa 53 ekor (11 jantan dan 42 betina), Murrah 48 ekor (16 jantan dan 32 betina) dan silangan 20 ekor (2 jantan dan 18 betina) selama bulan Juli - Agustus 2007. Berbagai ukuran craniometric yang diamati adalah: Akrokranion-Prosthion (X1),

Akrokranion-Nasion (X2), Nasion-Rhinion (X3), Basion-Prosthion (X4), Fossotemporale kiri-kanan (X5), Euryon kiri-kanan (X6), Rhinion- Prosthion (X7), Infraorbitale kiri-kanan (X8), Zygion kiri-kanan (X9), Entrobitale kiri-kanan (X10), tinggi kepala (X11) dan panjang rahang bawah (X12). Jarak genetik diestimasi menggunakan fungsi diskriminan melalui analisis jarak Mahalonobis, menerapkan metode PROC DISCRIM dari program SAS (ver. 7.0). Hasil menunjukkan rataan ukuran craniometric kerbau Murrah lebih besar (P < 0,05) terhadap kerbau rawa. Kerbau silangan memiliki rataan ukuran craniometric lebih besar (P < 0,05) dibandingkan dengan kerbau rawa, tetapi tidak berbeda dengan kerbau Murrah. Jarak genetik paling jauh diestimasi antara kerbau rawa dan Murrah (5,1817), sebaliknya kerbau silangan (F1) dan Murrah dengan jarak genetik paling terdekat (2,7952). Matrik jarak genetik dan pohon filogenetik membuktikan bahwa kerbau rawa dan sungai berada pada hubungan kekerabatan yang jauh, sedangkan kerbau silangan memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat denga kerbau sungai.

(2)

PENDAHULUAN

Kerbau lokal merupakan sumber plasma nutfah yang memiliki peran strategis dalam meningkatkan ketersediaan pangan, memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat dan menghasilkan devisa negara. Data statistik peternakan nasional menunjukkan populasi kerbau lokal berjumlah total sekitar 2,201 juta ekor dengan laju pertumbuhan relatif lambat sekitar 3,41% pertahun (DITJENNAK, 2006). Sumatera Utara sendiri merupakan sentra produksi kerbau nomor dua di Indonesia, dengan jumlah kerbau sebanyak 261.308 ekor (DITJENNAK, 2006). Kerbau lokal sebagian besar (sekitar 95%) merupakan kerbau rawa (Swamp buffalo), sisanya dalam jumlah kecil (sekitar 5%) merupakan kerbau sungai (River

buffalo) dan silangan keduanya, yang banyak

dipelihara di Sumatera Utara.

Kerbau rawa sangat umum difungsikan sebagai ternak kerja dan penghasil daging. Memiliki karakter fenotipe dengan warna kulit keabu-abuan, rambut biasanya bewarna sama dengan kulit tetapi cenderung lebih gelap (COCKRILL, 1974), konformasi tubuh pendek dan gemuk serta tanduk panjang mengarah ke belakang (FAHIMUDDIN, 1975). Sebaliknya, kerbau sungai dikenal sebagai kerbau perah dengan produksi susu cukup tinggi. Konformasi tubuh besar dan tinggi, kulit umumnya bewarna hitam atau kelabu kehitaman, tanduk sedikit melingkar atau menggantung lurus (FAHIMUDDIN, 1975). Kerbau Murrah adalah salah satu bangsa kerbau perah yang banyak dipelihara oleh warga keturunan India di Sumatera Utara. Kerbau ini dikategorikan sangat efisien dalam menghasilkan susu, yang mencapai sekitar 1.800 kg/lkts dengan lama laktasi sekitar 9 – 10 bulan (IRNRC, 1981). Kerbau Murrah sebagian besar memiliki warna kulit hitam dengan tanda putih di bagian kepala dan kaki, dan dalam jumlah kecil kulit bewarna coklat (CROCKILL, 1974). Pada betina, tubuh berbentuk seperti baji hampir sama dengan sapi perah betina, dengan ambing memiliki ukuran besar, bentuk baik dan pembuluh vena menonjol (PATHAK dan RANJHAN, 1979).

Pada kebanyakan negara Asia, kerbau rawa ditingkatkan potensi genetiknya dengan cara disilangan dengan kerbau sungai (Murrah) untuk mendapatkan keuntungan dari efek

heterosis. Keturunan silangan (F1) memiliki rataan pertumbuhan dan kapasitas produksi susu yang sangat bagus dibandingkan dengan terhadap kerbau rawa lokal (JALALUDIN, 1984). Hal ini disebabkan perkawinan silang atau cross breeding ditujukan sebagai upaya meningkatkan (memanfaatkan) heterozigositas dan mengkombinasikan sifat-sifat baik antara bangsa yang berbeda (FALCONER dan MACKAY, 1996). Masih sedikit informasi yang bisa kita dapatkan mengenai karakteristik dari plasma nutfah kerbau lokal khususnya kerbau rawa, sungai dan silangannya di sejumlah sentra produksi di Sumatera Utara. Diperlukan penelitian dasar mengenai karakteristik fenotipe baik sifat kualitatif maupun kuantitatif dari setiap tipe kerbau, antara lain dengan melakukan karakterisasi dan analisis craniometrics. Kepala dipilih karena memiliki pertumbuhan yang paling awal, sehingga sangat sedikit dipengaruhi oleh lingkungan (LAWRENCE dan FOWLER, 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jarak genetik melalui pendekatan sejumlah ukuran craniometrics (kepala) kerbau rawa, Murrah (sungai) dan silangannya di Sumatera Utara.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan selama bulan Juli – Agustus 2007 di lima lokasi, yaitu Kota Madya Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Langkat di Provinsi Sumatera Utara.

Ternak kerbau lokal yang digunakan dalam penelitian berjumlah 121 ekor meliputi: kerbau rawa sebanyak 53 ekor, terdiri dari kerbau jantan 11 ekor dan betina 42 ekor; kerbau Murrah (sungai) sebanyak 48 ekor, terdiri dari jantan 16 ekor dan betina 32 ekor; serta keturunan silangan (F1) sebanyak 20 ekor, terdiri dari jantan 2 ekor dan betina 18 ekor. Pengukuran craniometrics dilakukan pada kerbau jantan dan betinda dalam kisaran umur 2 – 10 tahun.

Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan jangka sorong dan kaliper. Lembar data digunakan untuk mencatat data hasil pengamatan.

(3)

Bagian-bagian kepala kerbau yang diukur adalah sebagai berikut:

1. Akrokranion-Prosthion (X1), diukur dari ujung tulang tengkorak sampai batas titik tepi bawah rahang atas.

2. Akrokranion-Nasion (X2), diukur dari ujung tulang tengkorak sampai batas ujung hidung.

3. Nasion-Rhinion (X3), diukur dari pangkal hidung sampai tulang hidung bagian bawah. 4. Basion-Prosthion (X4), diukur dari batas pangkal tulang baji sampai titik tepi bawah rahang atas.

5. Fossotemporale kiri-kanan (X5), diukur dari ujung lek ka uk pelipis kiri sampai ujung lekuk pelipis nan.

6. Euryon kiri-kanan (X6) atau lebar kepala, diukur dari pelipis sebelah kiri sampai pelipis sebelah kanan.

7. Rhinion-Prosthion (X10), diukur dari ujung tulang hidung bagian bawah sampai titik tepi bawah rahang atas.

8. Infraorbitale kiri-kanan (X8), diukur dari pangkal infraorbitale (tulang di bawah lekuk mata) kiri sampai infraorbitale kanan.

9. Zygion kiri-kanan (X7), diukur dari ujung tulang pipi kiri sampai ujung tulang pipi kanan.

10. Entrobitale kiri-kanan (X10), diukur dari pangkal entobitale (lekuk mata) kiri sampai pangkal entobitale kanan.

11. Tinggi Kepala (X11), diukur dari ujung tulang tengkorak sampai tulang rahang bawah.

12. Panjang rahang bawah (X12), diukur dari ujung titik tepi bawah rahang atas sampai pangkal rahang bawah. Gambar 1 menjelaskan lebih jauh berbagai bagian kepala kerbau yang diukur.

Analisis data

Fenotipe craniometric

Data berbagai ukuran craniometrics dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan bangsa, kemudian dikoreksi terhadap perbedaan lokasi dan umur, distandarisasi pada umur 3 – 4 tahun. Tataan setiap ukuran craniometrc antara ketiga bangsa kerbau dibandingkan dengan menggunakan uji beda nyata (WALPOLE, 1995). Analisis pengaruh heterosis menggunakan rumusan FALCONER dan MACKAY (1996).

(4)

Estimasi jarak genetik

Penentuan jarak genetik menggunakan fungsi diskriminan sederhana (D2). Fungsi diskriminan yang digunakan melalui pendekatan jarak Mahalonobis seperti yang dijelaskan oleh NEI (1987) yakni dengan menggabungkan (pooled) matriks ragam peragam antara peubah dari masing-masing kerbau yang diamati menjadi sebuah matriks. Statistik D2-Mahalanobis dalam GAZPERSZ (1995). Analisis statistik Mahalanobis dilakukan dengan menggunakan program statistik SAS ver. 7,0 dan untuk mendapatkan pohon dendogram digunakan paket program MEGA 3 (KUMAR et al., 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik craniometric

Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan efek heterosis berbagai ukuran craniometric dari ketiga bangsa kerbau lokal meliputi kerbau rawa, Murrah dan silangan (F1) setelah dikoreksi terhadap perbedaan lokasi (kabupaten), jenis kelamin dan umur disajikan pada Tabel 1. Hasil memperlihatkan bahwa kerbau rawa, jika dibandingkan dengan terhadap kerbau Murrah, memiliki rataan ukuran craniometric sangat nyata lebih kecil (P < 0,01) pada Akrokranion-Prosthion (X1),

Basion-Prosthion (X4), Fossotemporale kiri-kanan (X5), Euryon kiri-kanan (X6),

Infraorbitale kiri-kanan (X8), Zygion kiri-kanan (X9), Entrobitale kiri-kanan (X10) dan tinggi kepala (X11). Sebaliknya, nilai rataan dari Akrokranion-Nasion (X2), Nasion-Rhinion (X3), Rhinion-Prosthion (X7), dan panjang rahang bawah (X12) antara kedua bangsa kerbau tersebut tidak berbeda. Kerbau rawa memiliki rataan ukuran craniometric nyata lebih kecil (P < 0,05) dari kerbau silangan, kecuali Akrokranion- Nasion (X2) yang hampir sama.

Kerbau Murrah jika dibandingkan dengan silangan memiliki rataan ukuran hampir sama pada Akrokranion-Prosthion (X1),

Akrokranion-Nasion (X2), Basion-Prosthion (X4), Euryon kiri-kanan (X6), Infraorbitale kiri-kanan (X8), Zygion kiri-kanan (X9), dan tinggi kepala (X11). Pada ukuran

Nasion-Rhinion (X3), Fossotemporale kiri-kanan (X5),

Rhinion-Prosthion (X7), Entrobitale kiri-kanan (X10), dan panjang rahang bawah (X12) keduanya berbeda nyata (P < 0,05) dimana kerbau Murrah memiliki rataan ukuran lebih besar dari kerbau silangan.

Efek heterosis yang diperoleh kerbau silangan (F1) terjadi untuk setiap ukuran

craniometric, kecuali pada Akrokranion- Nasion (X2), dikarenakan hasil rataan ukuran pada kedua bangsa kerbau tetua (rawa dan Murrah) lebih tinggi daripada keturunan silangan, sehingga efek heterosis tidak ditemukan. Efek heterosis paling tinggi didapatkan pada ukuran Rhinion-Prosthion (X7) yaitu sebesar 12,86%, berurutan diikuti

Infraorbitale kiri-kanan (X8) 9,00%,

Nasion-Rhinion (X3) 8,70%, panjang rahang bawah (X12) 7,65%, tinggi kepala (X11) 5,87%,

Basion-Prosthion (X4) 5,58%, Fossotemporale kiri-kanan (X5) 5,28%, Akrokranion-Prosthion (X1) 4,91%), Zygion kiri-kanan (X9), 3,04%,

Euryon kiri-kanan (X6) 2,45%, dan Entrobitale kiri-kanan (X10) 1,68%.

Kisaran nilai koefisien keragaman setiap

craniomtric adalah pada Akrokranion-Prosthion (X1) 4,43 – 6,46%; Akrokranion-Nasion (X2) 13,48 – 30,26%; Nasion-Rhinion (X3) 10,68 – 13,85%; Basion-Prosthion (X4) 4,08 – 5,75%; Fossotemporale kiri-kanan (X5) 9,55 – 10,8%; Euryon kiri-kanan (X6) 6,06 – 9,84; Rhinion-Prosthion (X7) 6,96 – 8,51%; Infraorbitale kiri-kanan (X8) 8,29 – 13,64%; Zygion kiri-kanan (X9) 12,30 – 14,95%; Entrobitale kiri-kanan (X10) 7,12 – 8,92%; tinggi kepala (X11) 7,28 – 11,30%; dan panjang rahang bawah (X12) 4,71 – 10,42.

Perbedaan ukuran tengkorak kepala kerbau dapat terjadi akibat dari perbedaan genetik dan lingkungan. Variasi fenotipe craniometric kerbau hasil penelitiaan cukup besar, sehingga dapat menjadi salah satu indikasi bahwa kondisi manajemen dan sumberdaya genetik kerbau cukup beragam. PARKER et al., (2002) menyebutkan bahwa kerbau silangan (F1) memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar dan berat jika dibandingkan dengan kerbau rawa. SHERETHA dan PARKER (1992) menyatakan kerbau rawa memiliki bobot badan yang lebih ringan, lebih pendek dan lingkar dada yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kerbau Murrah dan silangannya. Banyak penelitian melaporkan bahwa bobot badan dan produksi

(5)

Tabel 1. Deskripsi dan efek heterosis pada berbagai ukuran craniometrics dari kerbau rawa, Murrah dan

silangan setelah dikoreksi terhadap perbedaan lokasi, jenis kelamin dan umur Ukuran

craniometrics Bangsa X± Sb (cm) n KK (%) Heterosis (%)

X1 Rawa 46,7a ± 2,1 11 4,44 4,91 Murrah 51,3b ± 3,2 16 6,19 Silangan 51,3b ± 3,3 2 6,46 X2 Rawa 24,0a ± 7,3 11 30,26 – Murrah 24,5a ± 3,3 16 13,48 Silangan 23,4a ± 3,2 2 13,65 X3 Rawa 17,5a ± 2,4 11 13,85 8,70 Murrah 16,8a ± 2,2 16 13,00 Silangan 18,7b ± 12,0 2 10,68 X4 Rawa 51,4a ± 2,1 11 4,08 5,58 Murrah 57,6b ± 3,2 16 5,61 Silangan 57,4b ± 3,3 2 5,75 X5 Rawa 19,7a ± 1,9 11 9,55 5,28 Murrah 57,6b ± 3,2 16 10,88 Silangan 23,7c ± 2,3 2 9,67 X6 Rawa 21,2a ± 1,3 11 6,06 2,45 Murrah 22,4b ± 2,2 16 9,84 Silangan 22,3b ± 1,5 2 6,74 X7 Rawa 17,3a ± 1,5 11 8,51 12,86 Murrah 17,9a ± 1,4 16 7,92 Silangan 19,9b ± 1,4 2 6,96 X8 Rawa 10,8a ± 0,9 11 8,29 9,00 Murrah 12,7b ± 1,4 16 11,14 Silangan 12,7b ± 1,7 2 13,64 X9 Rawa 14,5a ± 1,8 11 12,30 3,04 Murrah 16,4b ± 2,5 16 14,95 Silangan 15,9b ± 2,0 2 12,89 X10 Rawa 11,5a ± 0,8 11 7,12 1,58 Murrah 9,2b ± 0,8 16 8,91 Silangan 10,5c ± 0,9 2 8,34 X11 Rawa 32,5a ± 2,4 11 7,28 5,87 Murrah 38,0b ± 4,3 16 11,30 Silangan 37,1b ± 3,5 2 9,51 X12 Rawa 43,2a ± 4,1 11 9,56 7,65 Murrah 43,3a ± 4,5 16 10,42 Silangan 46,6b ± 2,2 2 4,71

Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama untuk masing-masing craniometrics menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

(6)

susu kerbau silangan (F1) adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau rawa (CHIANGMAI dan CHAVANANIKUL, 1999).

Estimasi jarak genetik Peta penyebaran kerbau

Peta penyebaran bangsa kerbau berdasarkan hasil analisis fenotipe craniometrics disajikan pada Gambar 2. Hasil menunjukkan keragaman penampilan craniometrics yang tinggi antara ketiga bangsa kerbau rawa (R), Murrah (M) dan silangan (S). Sebaran morfologi tersebut menunjukkan pengelompokkan ketiga bangsa secara jelas.

Gerombolan ukuran craniometric kerbau silangan (F1) beririsan dengan kerbau rawa dan

Murrah. Hal ini dikarenakan kerbau rawa dan kerbau Murrah merupakan tetua dari kerbau silangan, sehingga ukuran craniometric kerbau silangan beririsan dengan kedua bangsa tetuanya. Sebaliknya, gerombolan ukuran craniometric antara kerbau rawa dengan Murrah terpisah jauh, tidak ada irisan diantara keduanya. Hal ini disebabkan karena kerbau rawa dan kerbau sungai merupakan bangsa kerbau yang didomestikasi dari tetua yang berbeda. Selain itu, pemisahan dapat terjadi karena perbedaan genetik dan faktor lingkungan yang tidak terkoreksi dan dapat mempengaruhi ukuran craniometric kerbau pengamatan.

R = Kerbau rawa; M = Kerbau Murrah; S = Kerbau silangan

(7)

Nilai campuran fenotipe antar bangsa

Hasil analisis diskriminan dapat menduga adanya nilai kesamaan bentuk dan campuran fenotipe pada kerbau. Tabel 2 menyajikan persentase nilai kesamaan dan campuran dalam dan antara ketiga bangsa kerbau. Nilai tersebut juga menjelaskan proporsi nilai campuran yang mempengaruhi kesamaan suatu bangsa dengan bangsa lain didasarkan atas persamaan ukuran

craniometric.

Kesamaan ukuran craniometric kelompok kerbau Murrah relatif lebih rendah dibandingkan dengan terhadap kedua bangsa lainnya, yaitu sebesar 80,85%. Ukuran fenotipik craniometric dari kerbau Murrah dipengaruhi oleh adanya campuran dalam kelompok kerbau silangan sebesar 19,15%. Sebaliknya, kesamaan ukuran fenotipik

craniometric terbesar dalam kelompok terdapat

pada bangsa kerbau rawa, yaitu sebesar 98,11%, sehingga hanya dalam persentase kecil diperoleh campuran dari kebau silangan (sebesar 1,89%). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa berdasarkan pendekatan analisis discriminat dari ukuran craniometric, didapatkan nilai kesamaan tertinggi terdapat pada kerbau rawa (98,11%); sebaliknya terendah pada kerbau Murrah (80,85%). Nilai kesamaan kerbau silangan berada diantara keduanya, yaitu sebesar 85%, yang mendapatkan campuran dari kerbau rawa sebesar 10% dan kerbau sungai 5,00%. Lebih jauh, kerbau rawa dan kerbau Murrah tidak saling tercampur, karena kerbau rawa dan sungai merupakan bangsa murni.

Estimasi jarak genetik dan pohon filogenetik

Nilai matrik jarak genetik antara kerbau rawa, sungai dan silangan (Tabel 3) digunakan untuk membuat konstruksi pohon filogenetik (Gambar 3), yang menggambarkan

keseluruhan jarak genetik antara bangsa kerbau. Hasil analisis jarak genetik menunjukkan bahwa nilai terkecil didapat antara kerbau Murrah dan silangan sebesar 2,7952, nilai terbesar antara kerbau rawa dan Murrah sebesar 5,1817, sedangkan jarak genetik antar kerbau rawa dan silangannya berada diantaranya sebesar 3,7755.

Konstruksi pohon filogenetik (Gambar 2) menunjukkan bahwa kerbau Murrah dan silangan memiliki jarak genetik yang dekat, yaitu sebesar 1,3976. Ukuran jarak genetik yang dekat tersebut menunjukkan akan didapatnya sedikit kemajuan perbaikan ukuran craniometric (dan morfologi) jika dilakukan perkawinan silang antara kerbau sungai dan silanganya dibandingkan dengan kerbau sungai dan rawa.

Berdasarkan hasil dari studi ini didapatkan bahwa kelompok kerbau rawa secara genetik terpisah dari kelompok kerbau sungai. Hal ini bersesuaian dengan hasil penelitian AMANO et

al. (1982) yang melakukan pengujian terhadap

23 lokus protein darah pada kerbau rawa dan kerbau sungai di Indonesia. Didapatkan analisa jarak genetik yang menyatakan bahwa populasi kerbau rawa dan kerbau sungai lokal merupakan populasi yang berbeda dan mempunyai jarak genetik yang jauh. Hasil penelitian pendugaan jarak genetik berdasarkan ukuran craniometric mendukung hasil penelitian sebelumnya, yang membuktikan bahwa kerbau rawa dan kerbau sungai didomestikasi dari nenek moyang yang berbeda. Demikian pula penelitian TANAKA et

al. (1995) yang melakukan studi pola

pemotongan DNA mitokondria pada kerbau rawa dan sungai dengan menggunakan 15 enzim retriksi endonuklease memperlihatkan bahwa kelompok kerbau rawa merupakan kelompok yang berbeda dengan kerbau sungai. Hal tersebut dapat dilihat dari cabang pohon filogenetik yang menunjukkan cabang kaitan tidak langsung antara kerbau rawa dengan kerbau sungai.

Tabel 2. Nilai kesamaan dan campuran (%) dalam dan antara bangsa kerbau

Bangsa Murrah Rawa Silangan Total

Murrah 80,85 0 19,15 100

Rawa 0 98,11 1,89 100

(8)

Tabel 3. Matriks jarak genetik antara bangsa kerbau

Kerbau rawa Kerbau sungai Kerbau silangan

Kerbau rawa * * *

Kerbau sungai 5,1817 * *

Kerbau silangan 3,7755 2,7952 *

Gambar 2. Pohon filogenetik antara kerbau rawa, Murrah dan silangannya

KESIMPULAN

Ukuran craniometrics kerbau Murrah lebih besar dari rawa, sedangkan ukuran craniometrics kerbau silangan lebih dekat dengan kerbau Murrah.

Kerbau silangan memperoleh efek heterosis cukup besar pada berbagai ukuran

craniometrics, kecuali pada ukuran

Akrokranion - Nasion.

Kerbau silangan memiliki hubungan kekerabatan genetik lebih dekat dengan kerbau Murrah dibandingkan dengan kerbau rawa (2,7952 vs 5,1817). Hal ini membuktikan bahwa populasi kerbau rawa dan kerbau Murrah di Indonesia merupakan dua populasi yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

AMANO, T.M. KATSUMATA dan S. SUZUKI. 1981. Morphological and Genetical Survey of Water Buffaloes in Indonesia. In: Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey (Editor). Phylogeny of Indonesia Native Livestock. Part II. The research Group of Overseas Scientific Survey.

COCKRILL,W.R. 1974. Observations on skin colour and hair patterns. In: The Husbandry and Health of the Domestic Buffalo. COCKRILL, W.R. (Ed.). 1974. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Roma, Italy.

DITJENNAK. 2006. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Basis Data Statistik. http://www.deptan.com. (28 Maret 2007). FAHIMUDDIN, M. 1975. Domestic Water Buffalo.

Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi. FALCONER, D.S. and T.F.C. MACKAY. 1996.

Quantitative Genetics. Fourth Ed. Longman Group Ltd., England.

GAZPERSZ, V. 1995. Teknik Analisis dalam Percobaan Penelitian Percobaan. Penerbit Tarsito, Bandung.

IRNRC. 1981. International Relations National Research Council. The Water Buffalo: New Prospect for an Underutilized Animal. National Academy Press, Washington, D.C. JALALUDIN, S. 1984. Current status of buffalo

breeding programs in Malaysia. Pros. of an International Workshop. Evaluation of Large Ruminant for the Tropics. CSIRO, Rokhampton, Queensland, Australia.

Rawa 2.2393 1.3976 1.3976 0,8417 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 Silangan Murrah

(9)

KUMAR,S.,K.TAMURA dan M.NEI. 2004. MEGA 3.0: Integrated software for Molecular Evolutionary Genetics Analysis and sequence alignment. Briefings in Bioinformatics 5: 150 – 163.

LAWRENCE,T.L.J. dan V.R.FOWLER. 2002. Growth of Farm Animals. Second Edtion CABI Publishing, New York.

NEI, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press, New York. PARKER,B.A.,Z.M.NAVA, V.G.MOMONGAN, P.S.

FAYLON, L. DEMPLE, S.K, RANJHAN, L.C. CRUZ,D.B.PEÑA,R.ANRAWALETO,F.RELLIN

and J.ELUMBA. 2002. Data analysis of growth perfromance of carabaos and its crossbreds*. Annotated Bibliography on Philippine Biodiversity: Livestock and Poultry (Agrobiodiversity) 1949 – 1997, Carabaos P. 316. In: Abstrrawat of researches on the Philippine Water Buffalo. MAALA, C.P.,E.F. LANDICHO, A.S.SARABIA,A.N.DEL BARRIO

and E.P. ATABAY (Eds.). 2004. Philippine Carabao Center, Philippines (Abstr.).

PATHAK, N.N. and S.K. RANJHAN. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House PVT LTD., New Delhi, Bombay, Bangalore, Calcutta, Kanpur.

SHRESTHA, N.P. dan B.A. PARKER. 1992. Genetic evaluation of Philippine carabao (PC), Murrah buffalo (MB) and the PC X Murrah and PC X Nili-Ravi hybrids*. PCC - UPLB, College, Laguna. In: MAALA, C.P., E.F. LANDICHO, A.S. SARABIA, A.N. DEL BARRIO and E.P. ATABAY (Eds.). 2004. Abstract of Researches on the Philippine Water Buffalo. Philippine Carabao Center, Philippines (Abstr).

TANAKA,K.,T. YAMAGATA, S.MASANGKAY,M.O. FARUQUE, D. VU-BINH, SALUNDIK, S.S. MANSJOER,Y.KAWAMOTO dan T.NAMIKAWA. 1995. Nucleotide diversity of mitochondrial DNAs between the swamp and the river type of domestic water buffaloes, Bubalus bubalis, based on retriction endonuclease cleavage patterns. Biochemi. Genet. 33(5/6): 137 – 148 (Abstr.).

WALPOLE, R. 1995. Pengantar Statistika.

Terjemahan: SUMANTRI, B. PT Gramedia, Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Pengukuran craniometric

Referensi

Dokumen terkait

Dapatan kajian ini juga menunjukkan tiada perbezaan yang signifikan di antara persepsi pelajar pendidikan berterusan dan persepsi kakitangan PPB terhadap keberkesanan e-sppb.. Sistem

Identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan

Jika diamati dari hasil di atas, percepatan teknologi yang mendukung promosi merupakan suatu peluang yang sangat baik bagi perusahaan selanjutnya dalah banyaknya distributor

Dalam hal penawaran yang disampaikan telah sama atau dibawah Owner Estimate, spesifikasi kapal yang ditawarkan telah sesuai atau lebih baik dari spesifikasi teknis yang

Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan

Namun, dalam Bab 3, MOU membentuk halangan besar bagi keadilan untuk para korban kejahatan yang dilakukan oleh GAM dengan mengatur bahwa Pemerintah Indonesia akan “memberikan

Terkait dengan penegakan rule of law, Guillermo O’Donnell dan Carl Schmitter (O'Donnell &amp; Schmitter, Why the Rule of Law Matters, 2004) mengemukakan hal

molekul 2 hidrogen peroksida (zarah bertindak balas). • Oleh itu, kadar tindak balas meningkat. Mangkin tidak meningkatkan frekuensi perlanggaran antara zarah-zarah yang