M
M
UK
U
K
AD
A
DD
DI
IM
M
AH
A
H
egala puji hanya bagi Allah swt., mahakuasa atas segala sesuatu, tempat semua ciptaan-Nya berserah- diri dan bergantung. Dengan memohon ridha-Nya, panduan ini disusun untuk memudahkan jamaah haji menunaikan kewajiban syariahnya sesuai dengan tuntun-an berdasarktuntun-an ayat-ayat al-Qur’tuntun-an dtuntun-an hadits-hadits shahih yang berhubungan langsung dengan segala permasalahan di seputar prosesi ibadah haji.
S
S
Untuk mengawali, perlu dikemukakan bahwa tulisan ini bukan merupakan fatwa. Ini hanyalah kajian penulis dari alaman baik teori maupun praktik, dengan mentadabburi petunjuknya. Bila terdapat dua pendapat yang berkedudukan setara, keduanya ditampilkan apa adanya sehingga pembaca dapat menelisik dan menyimpulkan sendiri kandungannya. Semoga Allah swt. memudahkan kita memahaminya agar tidak keliru melangkah.
Ibadah haji pada dasarnya merupakan ibadah yang dilakukan denganmengunjungirumahAllah (Baitullah). Dan oleh karena Allah swt. yang menjadi tuan rumahnya, sudah sepatutnya kita mengikuti arahan dari tuan rumah, utamanya dalam cara memasuki rumah itu, yaitu tanah haram, cara beribadah di dalamnya dan cara meninggalkannya dengan menelisik panduan-panduan dari al-Qur’an dan hadits.
Al-Qur’an tidak lain hanya membicarakan orang yang
membaca, walaupun kadang mengambil contoh kasus dari masyarakat sebelum kita. Surat al-Hajj berikut ini merupakan arahan yang secara khusus menggarisbawahi pentingnya ilmu dalam melaksanakan segala macam peribadatan, dalam hal ini ibadah haji.
Dan diantara manusia ada orang-orang yang mem-bantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang bercahaya, dengan
memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat. Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar. Yang demikian itu disebabkan perbuat-an yperbuat-ang dikerjakperbuat-an oleh kedua tperbuat-angperbuat-anmu dahulu. Dperbuat-an sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Hajj: 8-10)
Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Ia menyeru selain Allah
sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak memberi manfaat kepadanya. Yang demikian itu adalah
kesesatan yang jauh. Ia menyeru sesuatu yang sebenar-nya mudharatsebenar-nya lebih dekat ketimbang manfaatsebenar-nya. Sesungguhnya yang diserunya itu adalah sejahat-jahat penolong dan sejahat-jahat kawan. (QS. Al-Hajj: 11-13) Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke alam surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Ia kehendaki.
Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tiada menolongnya di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. (QS. Al-Hajj: 14-15)
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan al-Qur’an
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
(QS. Al-Hajj: 16)
Semoga kita dijauhkan-Nya dari segala macam nafsu dan prasangka, agar mudah menggapai ikhlas, yang merupakan dasar pijakan pertama dalam beribadah. Amma ba’du.
Yang disebut ibadah haji sebenarnya terdiri dari dua rangkaian yaitu umrah dan haji. “Sesungguhnya umrah telah
masuk ke dalam haji sampai hari kiamat.” (Penggalan dari HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i – Hamidy, Mu’ammal, Terjemahan Nailul Authar 3, h. 1425)
Biasanya pada saat jamaah melaksanakan tahapan awalnya, mereka disebut calon jamaah haji (CJH), dan akan disebut haji setelah tuntas melaksanakan wuquf di Arafah. Inilah pangkal salah kaprah penggunaan istilah haji bagi jamaah sepulangnya dari tanah suci sehingga mereka kemu-dian akan dipanggil Pak Haji atau Bu Hajah sekembalinya ke tanah air. Akibatnya, mereka menikmati sanjungan itu, kadang secara berlebihan.
Sebenarnya yang disebut haji adalah saat para jamaah sedang melaksanakan ibadah hajinya bukan sesudahnya, karena haji adalah perbuatan; menyengaja melakukan ibadah haji. Sehingga julukan yang tepat semestinya ialah jamaah
haji bukan calon jamaah haji. Itu berlaku sejak jamaah
berkumpul di pemondokan haji, kemudian berangkat ke tanah suci, hingga kembali ke pemondokan haji lagi. Setelah masa itu lepas pulalah istilah jamaah haji atau haji bagi mereka. Itu sudah berlalu. Masyarakat Arab Saudi sebenarnya lebih paham dengan memanggil para jamaah dengan sebutan hajji. Itulah yang benar, dijuluki haji saat berhaji di tanah suci.
Mereka yang telah selesai melaksanakan ibadah hajinya tidak akan menyandang predikat apa-apa, dan sebenarnya tidak juga perlu dipanggil Pak Haji atau Bu Hajah, karena predikat haji itu tidak ada. Rasulullah saw. sendiri tidak
pernah dipanggil Haji Muhammad demikian pula para sahabat, sebagaimana sarjana tidak lagi dijuluki mahasiswa. Panggilan yang baru adalah gelar kesarjanaannya. Dalam hal haji, gelar ini adalah mabrur dan itu merupakan hak prerogatif Allah swt. saja untuk menyematkannya di dada jamaah pilihan-Nya. Tugas kita hanyalah berusaha agar menjadi salahsatu diantaranya.
Mabrur merupakan kosakata bahasa Arab yang berasal
dari kata barra, yaburru, barran yang berarti taat. Al-birru artinya ketaatan. Dalam hal haji, haji mabrur artinya haji yang diterima Allah swt. Dan diantara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan perilaku menjadi lebih baik yang tercermin dari ketaatannya pada petunjuk.
Dan dengan tujuan yang sama pula -agar ibadahnya diterima Allah swt.- Nabi Ibrahim as. memohon petunjuk mengenai tata-cara manasik haji langsung kepada Allah, seperti tercatat dalam QS. Al-Baqarah: 128 berikut:
Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) di antara anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan
tunjukkanlah kepada kami manasik (haji) kami dan
terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau maha-penerima taubat lagi mahapenyayang. (QS. Al-Baqarah: 128)
Kemudian Allah swt. tunjukkan tata-cara manasik haji bagi kita, anak-cucu Nabi Ibrahim as. yang turut dido’akan, agar menjadi insan yang tunduk patuh kepada-Nya, melalui Rasulullah saw. yang bersabda:
Khudzuu ‘annii manaasikakum. Ambillah dariku
manasikmu. (HR. Muslim)
Dengan demikian, mengikuti manasik haji seperti yang dikerjakan Rasulullah saw. menjadi kewajiban melekat.
Membicarakan manasik haji (tata-tertib) tentu tidak akan lepas dari ilmu haji (kiat dan manfaat) serta hukum haji (syarat, rukun, wajib dan sunnah). Adapun falsafah haji (kemaknaan),sengaja tidak diangkat di dalam buku ini karena aran itu memerlukan penjabaran sendiri yang cukup panjang. Ada tiga cara melaksanakan haji yaitu Tamattu’, Qiran dan Ifrad, namun tata-tertib yang digelar ini menukil Haji
Tamattu’ bagi jamaah haji Indonesia gelombang-2, dimana
perjalanan dari Indonesia ke Arab Saudi dilakukan dengan pesawat udara menuju Jeddah kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat langsung ke Makkah. Berbeda dengan gelombang-1 yang mendarat di Madinah, baik langsung atau pun melalui Jeddah.
Haji Tamattu’ adalah mengerjakan ibadah haji dengan
mendahulukan umrah kemudian haji dan tidak membawa hewan hadyu dari rumah. Inilah cara yang diperintahkan Rasulullah saw., yang juga termaktub dalam QS. Al-Baqarah:
196. Merupakan satu dari tiga jenis haji, yang khusus
ditujukan bagi penduduk di luar tanah haram.
… Maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji,
dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat.
Tetapi jika ia tidak mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa tiga hari di saat haji dan tujuh (hari) setelah kalian kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari) Demikian itu bagi orang yang bukan penduduk masjid al-Haram … (QS. Al-Baqarah: 196)
Ayat di atas sering disalahertikan (salah mengerti), salahsatunya anggapan bahwa mengerjakan haji tamattu’ akan terkena denda (dam) sebagai konsekuensi dari mengerjakan haji secara ringan dengan bersenang-senang.
Tamattu’ bisa juga berarti nikmat atau menyenangkan karena
menjadi halal kembali dan menanti saat haji dengan santai dengan berbusana bebas.
Sebenarnya hadyu itu bukan dam dalam arti denda. Dam asalkatanya yaitu mengalirkan darah. Hadyu adalah hewan
qurban yang wajib disembelih oleh jamaah haji, baik haji tamattu’, qiran maupun ifrad. Sedang dam adalah denda atas
tidak terpenuhinya salah satu wajib haji atau terlanggar
pantangan ihram (umumnya dengan mengalirkan darah
hewan dengan menyembelihnya).
Jamaah tidak akan didam (didenda) dengan melakukan
haji tamattu’ karena haji tamattu’ merupakan perintah Allah
swt. bagi penduduk di luar tanah haram. Mengapa pula harus didenda sedang kita laksanakan perintah-Nya?
Tadabbur dari penggalan ayat tersebut adalah bahwa
jamaah haji tamattu’ wajib mencari hadyu di tanah haram. Apabila sesampainya di sana ternyata tidak menemukan hewan hadyu (atau tidak mempunyai uang untuk membeli) maka ia harus membayar fidyah, yaitu dengan cara berpuasa sepuluh hari; tiga hari di tanah haram dan tujuh hari sekembalinya di kampung halaman.
Berikutnya, kebedaan mendasar haji tamattu’ dengan haji
qiran dan ifrad ialah bahwa dua yang terakhir itu membawa
sendiri hewan hadyunya dari rumah, hal mana tidak memungkinkan bagi kita untuk membawa serta hewan hadyu di atas pesawat udara. Dengan demikian menjadi wajar bila kewajiban haji bagi penduduk di luar tanah haram adalah secara tamattu’. Hal yang sudah diantisipasi dengan cermat.
Berikut adalah tadabbur dari QS. Al-Baqarah: 196 secara lengkap. Ini penting untuk disimak karena merupakan dasar berpijak bagi manasik haji kita. Perhatikan pengelompokan kalimatnya untuk mendapatkan pemahaman yang baik.
1. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena
Allah. 2. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh) maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. 3. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka dia wajib berfidyah yaitu berpuasa, bersedekah atau berqurban. 4. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu bagi orang yang bukan penduduk masjid al-Haram. 5. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukumannya. (QS. Al-Baqarah: 196)
1. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.
Ayat ini diawali dengan penekanan akan wajibnya mengerjakan haji dengan ikhlas (karena Allah) dan
sempurna (ittiba’). Ini merupakan perintah.
2. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh) maka sem-belihlah hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya.
Ini khusus bagi mereka yang perjalanannya terhalang.
3. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu bercukur), maka dia wajib berfidyah yaitu berpuasa, bersedekah atau berqurban.
Dan ini khusus bagi mereka yang sakit sehingga harus mencukur rambut di kepalanya.
4. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu bagi orang yang bukan penduduk masjid al-Haram.
Umrah sebelum haji adalah bentuk haji tamattu’.
Mengerjakan haji secara tamattu’ seperti ini khusus bagi jamaah yang bukan penduduk masjid al-Haram (bukan penduduk Makkah). Penduduk Jeddah boleh bertamattu’.
Adapun penduduk Makkah, bagi mereka hanya ada satu cara yaitu ifrad.
Hadyu yang mudah didapat itu maksudnya agar dicari di
tanah haram, tidak dibawa dari rumah.
5. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukumannya.
Ayat ini diakhiri dengan wajibnya mengerjakan manasik dengan benar, (bertaqwa adalah berhati-hati dalam segala urusannya) disertai ancaman yang sangat keras bagi orang yang menyepelekannya.
Simak riwayat berikut: Pada saat haji wada’, Rasulullah saw. menyerukan bagi siapa yang tidak membawa hadyu agar membuka baju ihramnya (bertahallul dari umrahnya). Bebe-rapa orang masih ragu atas perintah tersebut yang menjadikan Rasulullah saw. marah danberkata:“Apa yang aku perintah-kan lakuperintah-kanlah.” Aisyah bertanya: “Mengapa engkau
marah?” Rasulullah saw. menjawab: “Bagaimana tidak, aku perintahkan sesuatu namun tidak dijalankan.” Setelah
orang-orang mengetahui bahwa Rasulullah saw. marah, banyak dari mereka segera bertahallul, termasuk istri Beliau dan Fatimah putri Beliau, kecuali mereka yang membawa hadyu.
Ali bin Abi Thalib ra. yang saat itu baru kembali dari ekspedisinya ke Yaman, sudah pula memakai baju ihram dan
berikrar haji. Rasulullah saw. menyuruhnya untuk thawaf
dan membuka ihramnya. Ini membuat Ali ra. heran dan ber-kata: “Rasulullah, aku sudah mengucapkan ihlal (talbiyah)
seperti yang kau ucapkan (mengapa pula harus bertahallul).”
Rasulullah saw. bertanya apakah ia mempunyai hadyu. Dan setelah oleh Ali dijawab “tidak” Rasulullah saw. membagi-kan hadyu kepada Ali. Dengan demikian Ali tetap mengena-kan ihram dan melakumengena-kan manasik haji hingga selesai. (Lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 549-550)
Perhatikan bahwa cerita di atas (yang tercatat pula dalam
Shahih Bukhari), sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 196, yang
menggarisbawahi bahwa mereka yang tidak membawa hadyu harus mengerjakan haji tamattu’, bukan qiran atau ifrad. Bahkan pengabaian akan hal ini membuat Rasulullah marah. Tentu marahnya Beliau adalah bentuk kemarahan Allah pula manakala ini dilanggar.
Simpulan. Tiga hal yang mendasari haji tamattu’ adalah: Mendahulukanumrah hingga bertahallulkemudianhaji,tidak membawa hewan hadyu dari rumah, dan ketentuan ini khusus bagi penduduk di luar tanah haram. Dengan demikian, masih bolehkah kita memilih jenis haji yang akan kita lakukan? Tidak ada pilihan lain kecuali tamattu’.
Miqat Makani (batas wilayah). Diangkatnya gelombang-2
sebagai contoh karena miqatnya. Jamaah wajib memakai
busana ihram dan berikrar ihram di atas pesawat udara saat
melalui daerah Yalamlam sebagai miqat atau batas wilayah
ihram (ihram zone). Pesawat udara mungkin tidak tepat
berada di atas Yalamlam, namun ini merupakan miqat terdekat dengan jalur penerbangan dari Indonesia. Berbeda dengan gelombang-1 dimana rutenya tidak langsung ke Makkah tetapi Madinah sehingga tidak terdapat ketentuan
berihram di atas pesawat. Bagi jamaah yang datang dari arah
Madinah, miqatnya di darat, dalam perjalanan dari Madinah ke Makkah yaitu di Dzulhulaifah (Bir Ali).
Allah swt. melalui Rasul-Nya menetapkan lima miqat bagi bukan penduduk tanah haram yaitu Dzulhulaifah, Juhfah, Yalamlam, Qarnul Manazil, dan Dzatu Irqin. Lima tempatyangmenjadibataswilayah ihram.Makkah merupakan
miqat penduduk Makkah, Jeddah merupakan miqat penduduk
Jeddah. Ini perlu digarisbawahi mengingat banyak jamaah haji Indonesia gelombang-2 yang berihram di Jeddah. Sedang Jeddah bukan merupakan miqat kita. Benar bahwa Jeddah berada di luar tanah haram tetapi ia masih berada di dalam wilayah ihram dimana mereka yang memasukinya dengan tujuanberhaji,harus sudah dalam keadaan berihram. Apabila ini dilanggar, maka diwajibkan membayar denda
(dam) atau kembali ke miqatnya.
Alhamdulillah, sejak tahun 2010 sudah banyak jamaah
haji Indonesia yang tidak mulai berihram di Jeddah atas imbauan pemerintah Arab Saudi sesuai ketetapan Lajnah
Daimah untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi yang
menetapkan bahwa jamaah haji tidak bisa berihram di Jeddah. (Di nukil dari berbagai sumber. Lihat juga Harian
Republika, Ahad 31 Juli 2011, h. C3)
Demikianlah, ulama Arab Saudi melarang menggunakan Jeddah sebagai tempat miqat haji, baik mereka yang datang menggunakan pesawat udara, darat maupun laut, karena Nabi telah menentukan miqat, berdasarkan keterangan hadits. (A. Adzim Irsad, Makkah, A+ Books, h. 223)