• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEWILAYAHAN HUJAN DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK MENGANALISIS TINGKAT PRODUKSI KAKAO (KASUS PROVINSI SULAWESI SELATAN) KHARMILA SARI HARIYANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEWILAYAHAN HUJAN DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK MENGANALISIS TINGKAT PRODUKSI KAKAO (KASUS PROVINSI SULAWESI SELATAN) KHARMILA SARI HARIYANTI"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PEWILAYAHAN HUJAN DENGAN SISTEM INFORMASI

GEOGRAFI UNTUK MENGANALISIS

TINGKAT PRODUKSI KAKAO

(KASUS PROVINSI SULAWESI SELATAN)

KHARMILA SARI HARIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

PEWILAYAHAN HUJAN DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK MENGANALISIS TINGKAT PRODUKASI KAKAO

(KASUS PROVINSI SULAWESI SELATAN)

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan ketua dan anggota komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2010

Kharmila Sari Hariyanti NRP. G251070031

(3)

ABSTRACT

KHARMILA SARI HARIYANTI. Spatial Interpolation of Rainfall based on Geographic Information System and its relation with Cacao Production Level (Case South Sulawesi Province). Under Academic Supervision of YONNY KOESMARYONO as chairman, and ELEONORA RUNTUNUWU as member of advisory committee.

There are some limitations of data quality and quantity in using agro climate data, both in spatial and temporal which is caused by inequitable distribution of rain station. Sometimes, to get information about rainfall in one area that does not have rain station needs data from another station near by. One of systems that can be used for spatial prediction of rainfall which measures the distance among stations is Geographic Information System (GIS). Main object of this research is to analyze three spatial prediction of rainfall methods with GIS technology, they are Inverse Distance Weighting (IDW), Natural Neighbor (NN) and Ordinary Kriging (OK). Then, the best spatial prediction rainfall is used to analyze the level of cacao production in South Sulawesi. The result of spatial prediction rainfall with IDW method has lowest value of Mean Square Error (MSE) compared with NN and OK method that is 10.2. District with low level of cacao production has rainfall criteria for land S3 (1250-1500 and 3000-4000 mm/year), meanwhile district with medium and high level of cacao production has rainfall criteria for land S1 (1500-2500 mm/year) and S2 (2500-3000 mm/year).

Keyword : Spatial prediction of rainfall, Geographic Information System, level of cacao production.

(4)

RINGKASAN

KHARMILA SARI HARIYANTI. Pewilayahan Hujan dengan Sistem Informasi Geografi untuk Menganalisis Tingkat Produksi Kakao (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO sebagai ketua, dan ELEONORA RUNTUNUWU sebagai anggota komisi pembimbing.

Dalam pemanfaatan data dan informasi agroklimat, terdapat keterbatasan jumlah dan mutu data yang digunakan, baik skala ruang (spasial) maupun skala waktu (temporal) yang disebabkan oleh distribusi stasiun hujan yang tidak merata. Untuk memperoleh informasi curah hujan di suatu daerah yang tidak memiliki stasiun hujan dapat menggunakan data dari stasiun lain yang berdekatan. Secara spasial perlu dilihat homogenitas data dari sebanyak mungkin stasiun pada suatu wilayah sehingga mampu memberikan gambaran bahwa dalam suatu wilayah yang sangat luas dapat dibagi menjadi wilayah-wilayah yang sangat kecil dengan pertimbangan bahwa stasiun-stasiun yang terdapat dalam suatu kelompok wilayah memiliki keragaman yang sama atau hampir sama (tidak berbeda nyata). Analisis ini dikenal sebagai analisis pewilayah hujan.

Teknik yang digunakan untuk pewilayah hujan dengan memperhitungkan input jarak antar stasiun adalah Sistem Informasi Geografi (SIG) yang menggunakan interpolasi. Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu didalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh. Metode interpolasi yang berkembang diantaranya adalah metode Inverse Distance

Weighting, Natural Naighbor dan Ordinary kriging.

Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis tiga metode pewilayahan hujan dengan teknologi SIG yaitu, Inverse Distance Weighting (IDW), Natural

Neighbor (NN) dan Ordinary Kriging (OK) untuk mendapatkan metode

pewilayahan yang terbaik dan 2) memanfaatkan hasil pewilayahan hujan untuk menganalisis tingkat produksi kakao di Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencakup tiga kegiatan utama, yaitu; mempelajari karakteristik tipe hujan dan pola hujan berdasarkan analisis data bulanan, menganalisis tiga metode pewilayahan hujan dengan teknologi SIG yaitu, IDW, NN dan OK untuk mendapatkan metode pewilayahan yang terbaik, dan pemanfaatan hasil pewilayahan hujan untuk melihat kaitannya dengan tingkat produksi kakao. Wilayah kajian untuk kegiatan pertama dan kedua adalah Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan untuk kegiatan ketiga ditambah dengan empat kabupaten sentra produksi kakao, yaitu : Bone, Luwu, Pinrang, dan Soppeng.

Hasil pengolahan data curah hujan bulanan dari 142 stasiun hujan, wilayah Sulawesi Selatan memiliki tiga pola hujan yaitu : Pola Equatorial, Pola Monsunal dan Pola Lokal. Hasil pewilayahan hujan dengan tiga metode SIG yaitu IDW, NN dan OK diperoleh pewilayah hujan terbaik adalah metode IDW dengan nilai Mean

(5)

kakao di Sulawesi Selatan adalah curah hujan dengan koefisien determinasi (R2) untuk curah hujan mempengaruhi tingkat produksi; 62,52. Kabupaten dengan tingkat produksi rendah memiliki kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan marginal sesuai (1250–1500 dan 3000–4000 mm/tahun) dan tidak sesuai (<1250 dan >4000 mm/tahun) wilayah ini umumnya memiliki pola hujan monsunal. Kabupaten dengan tingkat produksi sedang dan tinggi memiliki kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan sangat sesuai (1500–2500 mm/tahun) dan cukup sesuai (2500–3000 mm/tahun) yang memiliki pola hujan equatorial dan lokal. Curah hujan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat produksi kakao di wilayah Sulawesi Selatan. Lima kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bone dengan kriteria curah hujan S1 dan S2 memiliki tingkat produksi rendah sedangkan dua kecamatan di Kabupaten Luwu dengan kriteria curah hujan S3 dan N justru memiliki tingkat produksi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria kesesuaian lahan dari aspek curah hujan perlu dicermati kembali.

Kata kunci : Pewilayahan hujan, Sistem Informasi Geografi, tingkat produksi kakao.

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

PEWILAYAHAN HUJAN DENGAN SISTEM INFORMASI

GEOGRAFI UNTUK MENGANALISIS

TINGKAT PRODUKSI KAKAO

(KASUS PROVINSI SULAWESI SELATAN)

KHARMILA SARI HARIYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Klimatologi Terapan (KLI)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Pewilayahan Hujan dengan Sistem Informasi Geografi untuk Menganalisis Tingkat Produksi Kakao (Kasus Provinsi Slawesi Selatan).

Nama : Kharmila Sari Hariyanti

NRP : G251070031

Program Studi : Klimatologi Terapan (KLI)

Disetujui Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. Ketua

Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Klimatologi Terapan (KLI),

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(9)

untuk yang tercinta

suamiku Nirmalasasi

anak - anakku

Ahmad Puri Ayudya

Azzahra Dinara Tunjung Sasi

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas segala karunia-Nya, sehingga laporan penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pewilayahan Hujan dengan Sistem Informasi Geografi untuk Menganalisis Tingkat Produksi Kakao (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. dan Ibu Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, M.S. serta Bapak Ir. Impron, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis atas kesediaannya memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan tesis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Handoko, M.S. dan Bapak/Ibu Dosen pengajar di Program Studi Klimatologi Terapan (KLI) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Astu Unadi, M. Eng, Dr. Ir. Aris Pramudya, M.S., Dr. Ir. Budi Kartiwa, M.S., Wahyu Tri Nugroho, ST., dan rekan-rekan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi atas segala dukungan dan bantuannya.

Kepada Komisi Pembinaan Tenaga Kerja Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, penulis ucapkan terimakasih atas segala bantuannya. Terima kasih penulis sampaikan kepada suamiku Nirmalasasi, ananda Ahmad Puri Ayodya dan Azzahra Dinara Tunjung Sasi, ayahanda Kaswaini Rivai, ibunda Hasnidar atas doa restu, keikhlasan, keceriaan dan kesabarannya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 16 Mei 1972, sebagai putri pertama dari Bapak Kaswaini Rivai dan Ibu Hasnidar. Pada tahun 1997, penulis memperoleh gelar Sarjana Sains di Program Studi Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Kesempatan melanjutkan Program Magister di Program Studi Klimatologi Terapan diperoleh pada tahun 2007 melalui sponsor dari Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementrian Pertanian.

Penulis bekerja sebagai peneliti di kelompok peneliti agroklimat di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Balai Besar Sumberdaya Lahan dan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian.

(12)

DAFTAR ISI

... Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Ruang Lingkup Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 Hipotesis ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 6 Curah Hujan ... 6 Pewilayahan Hujan ... 6 Interpolasi ... 8

Sistem Informasi Geografi ... 11

Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Kakao ... 15

BAHAN DAN METODE ... 18

Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Penyusunan peta Sulawesi Selatan dan sebaran stasiun hujan ... 19

Pengolahan data curah hujan untuk analisis pola dan tipe hujan wilayah ... 19

Pengolahan dan analisis pewilayahan hujan ... 20

Membandingkan keakuratan tiga metode interpolasi pewilayahan hujan ... 21

Pengolahan data produksi perkebunan untuk analisis klasifikasi tingkat produksi kakao ... 21

(13)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Pewilayahan Hujan Provinsi Sulawesi Selatan ... 23

Karakteristik pola hujan wilayah ... 23

Analisis pewilayahan hujan dengan tiga metode ... 26

Analisis Tingkat Produksi Kakao Berdasarkan Pewilayahan Hujan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 47

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah dan Kerapatan Stasiun Hujan di Indonesia ... 1

2. Pewilayahan Hujan Sulawesi Selatan ... 7

3. Metode Interpolasi ... 8

4. Standar Penilaian Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Kakao ... 17

5. Klasifikasi Tingkat Produksi Tanaman Kakao di Sulawesi Selatan ... 22

6. Jumlah Curah Hujan, Tipe Iklim dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan ... 23

7. Dekripsi Statistik 142 Pasang Data Curah Hujan Obs., IDW, NN, OK ... 29

8. Nilai Mean Square Error dari Metode IDW, NN dan IDW ... 30

9. Klasifikasi Tingkat Produksi, Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan, dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan ... 33

10. Tabel Anova : Curah Hujan Mempengaruhi Tingkat Produksi ... 35

11. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ... 36

12. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan ... 38

13. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan ... 40

14. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan ... 42

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 5

2. Data Peta yang Diubah Menjadi Data Digital ... 14

3. Analisis Penjumlahan ... 14

4. Analisis Garis dan Bidang ... 15

5. Peta Sebaran Stasiun Hujan di Sulawesi Selatan ... 19

6. Pola Hujan Monsunal, Equatorial dan Lokal ... 20

7. Pewilayahan Hujan dengan Perangkat Lunak ArcGIS Versi 9.1 ... 21

8. Distribusi Curah Hujan pada 142 Stasiun Hujan di Sulawesi Selatan ... 26

9. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW ... 27

10. Hasil Pewilayahan Hujan Metode NN ... 28

11. Hasil Pewilayahan Hujan Metode OK ... 29

12. Produksi Kakao dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan ... 30

13. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Sulawesi Selatan ... 31

14. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW berdasarkan Kriteria Curah Hujan untuk Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Kakao di Sulawesi Selatan .... 32

15. Hasil Pewilayahan Pola Hujan di Sulawesi Selatan ... 32

16. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Bone... 37

17. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW di Kabupaten Bone... 37

18. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Luwu ... 39

19. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW di Kabupaten Luwu ... 39

20. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Pinrang... 41

21. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW di Kabupaten Pinrang... 41

22. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Soppeng ... 42

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data ID Kecamatan dan Kabupaten di Sulawesi Selatan ... 47 2. Data Sebaran Stasiun Hujan di Sulawesi Selatan ... 53 3. Data Curah Hujan Tahunan Observasi dan Hasil Pewilayah Hujan dengan

metode IDW, NN dan OK ... 56 4. Keadaan Wilayah berdasarkan Kelerengan dan Ketinggian dari Permukaaan

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam pemanfaatan data dan informasi agroklimat, terdapat keterbatasan jumlah dan mutu data yang digunakan, baik skala ruang (spasial) maupun skala waktu (temporal) yang disebabkan oleh distribusi stasiun hujan yang tidak merata. Berdasarkan hasil inventarisasi dan kompilasi data, di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, sebaran stasiun curah hujan di Pulau Jawa paling rapat dibandingkan pulau lainnya dengan kerapatan stasiun 3,57 stasiun/1000 km2 (Tabel 1). Dalam usaha menampilkan informasi historis tentang cuaca yang lengkap dan kerap pada akhirnya dilakukan pendugaan dan pembangkitan (generate) data. Pendugaan data ini didasarkan pada kondisi fisik suatu wilayah atau didasarkan pada keterkaitan antara peubah cuaca yang satu dengan peubah lainnya.

Tabel 1. Jumlah dan Kerapatan Stasiun Hujan di Indonesia

Nomor Nama Pulau/wilayah Luas Wilayah (km2) Jumlah stasiun Kerapatan stasiun/1000 km2 1 Sumatera 480.847 266 0,55 2 Jawa 127.569 455 3,57 3 Kalimantan 574.194 163 0,28 4 Sulawesi 191.671 159 0,83

5 Bali dan Nusa Tenggara

73.137 114 1,56

6 Maluku 77.870 32 0,41

7 Papua 365.466 122 0,33

Sumber; Rejekiningrum et al., 2003

Untuk memperoleh informasi curah hujan di suatu daerah yang tidak memiliki stasiun hujan dapat menggunakan data dari stasiun lain yang berdekatan. Dalam hal demikian, perlu pertimbangan keterwakilan satu stasiun yang dapat mewakili suatu wilayah atau terkait dengan stasiun-stasiun lainnya. Secara spasial perlu dilihat homogenitas data dari sebanyak mungkin stasiun pada suatu wilayah sehingga mampu memberikan gambaran bahwa dalam suatu wilayah yang sangat luas dapat dibagi menjadi wilayah-wilayah yang sangat kecil dengan pertimbangan bahwa stasiun-stasiun yang terdapat dalam suatu kelompok wilayah memiliki keragaman yang sama atau hampir sama (tidak berbeda nyata). Analisis

(18)

ini dikenal sebagai analisis pewilayah hujan. Analisis pewilayah hujan akan lebih tepat bila didukung dengan identifikasi dan karakteristik topografi di wilayah tersebut (Rejekiningrum et al., 2003).

Banyak metode yang sudah dikembangkan untuk membuat pewilayahan hujan seperti metode Isohyet, metode Analisis Gerombol (Cluster Analysis) (Krzanowski, 1988), dan metode Thiessen (Goovaerts, 2000). Metode pewilayahan yang pernah dibuat umumnya hanya menggunakan informasi data curah hujan pada setiap lokasi pengamatan stasiun padahal dengan adanya pengaruh variable-variabel geografi (koordinat dan ketinggian) menyebabkan penyebaran curah hujan menjadi lebih komplek. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk pewilayah hujan dengan memperhitungkan input lain seperti jarak antar stasiun adalah teknik Sistem Informasi Geografi (SIG) (Mir´as-Avalos, 2007).

Estimasi sebaran secara spasial dari data stasiun pengamatan dengan SIG umumnya menggunakan teknik interpolasi (Allard, 1994). Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu didalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh. Metode interpolasi yang berkembang sangat banyak (Smith et al., 2006-2009) diantaranya adalah metode Inverse Distance Weighting (IDW), Natural Naighbor (NN) dan Ordinary Kriging (OK).

Indah et al. (2005), melakukan penelitian tentang penerapan metode OK dan IDW untuk menduga nilai T1000mb, Air Mampu Curah (AMC) dan Indeks Stabilitas Atmosfer (ISA) dari data NOAA di wilayah Cengkareng dan salah satu hasil yang diperoleh adalah penggunaan metode IDW untuk lokasi yang memiliki titik-titik pengamatan yang rapat akan lebih efektif dibandingkan dengan metode OK.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mir´as-Avalos (2007), tentang penerapan metode interpolasi IDW dan geostatistik (Ordinary Kriging and

(19)

Universal Kriging) untuk pemetaan data curah hujan di Galicia, Spanyol adalah

metode IDW memberikan hasil yang lebih mendekati nilai observasi sedangkan metode OK mampu memberikan peta yang lebih rapat (smooth).

Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao paling luas di dunia dan termasuk negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Ivory Coast dan Ghana, yakni dengan nilai produksi tahunannya mencapai 572 ribu ton (Wahyudi, 2008). Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan (2006), Pada tahun 2003 luas areal penanaman kakao telah mencapai 917 ribu hektar dan tersebar di seluruh provinsi. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal penanaman kakao 245.227 ha, terdiri atas perkebunan rakyat 242.403 ha dan perkebunan besar swasta 2.824 ha dimana produksi rata-rata 197.613 ton per tahun atau 0.8 ton/ha/tahun. (Sumber: BPS, 2007).

Meningkatnya luas areal penanaman kakao ternyata tidak diiringi dengan peningkatan produktivitasnya. Secara umum, rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar 0,9 ton/ha/tahun. Angka ini masih jauh di bawah rata-rata potensi yang diharapkan, yakni sebesar 2 ton/ha/tahun. Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman kakao adalah teknologi budi daya yang kurang optimal (Wahyudi, 2008). Keberhasilan pengembangan dan budidaya suatu komoditas ditentukan oleh teknologi budidaya serta kesesuaian sumber daya lahan dan iklim untuk komoditas yang bersangkutan agar tercapai jumlah dan mutu yang diharapkan (Estiningtyas, 2001). Dalam menanam kakao, sumber daya lahan dan iklim merupakan salah satu informasi yang penting untuk diperhatikan karena kesalahan dalam memilih lahan dan lingkungan sekitarnya, akan membawa dampak yang sangat luas terhadap keberhasilan budi daya kakao.

Manfaat dari pewilayahan hujan dengan teknik SIG ini selain dapat menduga curah hujan disuatu daerah yang tidak memiliki stasiun hujan juga dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik curah hujan dalam kaitannya untuk pengembangan produksi komoditas perkebunan. Curah hujan adalah unsur iklim yang terpenting dalam budi daya tanaman kakao (Wahyudi, 2008). Tanaman kakao membutuhkan curah hujan yang sebarannya merata atau curah hujan tahunannya lebih besar dari evapotranspirasinya. Kisaran curah hujan yang ideal

(20)

bagi pertumbuhan tanaman kakao adalah 1.500–2.500 mm/tahun dengan bulan kering (CH <60 mm/tahun) 1-3 bulan/tahun.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup tiga kegiatan utama, yaitu (1) Mempelajari karakteristik tipe hujan dan pola hujan berdasarkan analisis data bulanan, (2) menganalisis tiga metode pewilayahan hujan dengan teknologi SIG yaitu, IDW, NN dan OK untuk mendapatkan metode pewilayahan yang terbaik, dan (3) pemanfaatan hasil pewilayahan hujan untuk melihat kaitannya dengan tingkat produksi kakao. Wilayah kajian untuk kegiatan pertama dan kedua adalah Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan untuk kegiatan ketiga ditambah dengan empat kabupaten sentra produksi kakao, yaitu : Bone, Luwu, Pinrang, dan Soppeng. Penelitian dibagi dalam empat tahap, (1) persiapan data dan peta dasar, (2) mengolah data harian menjadi data bulanan dari 142 stasiun hujan untuk mempelajari tipe hujan dan pola hujan, (3) pewilayahan hujan dengan menggunakan 3 metode interpolasi spasial selanjutnya hasilnya dibandingkan dengan data hujan hasil observasi untuk melihat metode mana yang terbaik dan (4) memanfaatkan pewilayah hujan terbaik untuk melihat kaitannya dengan tingkat produksi kakao. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Menganalisis tiga metode pewilayahan hujan dengan teknologi SIG yaitu, IDW, NN dan OK untuk mendapatkan metode pewilayahan yang terbaik. 2. Memanfaatkan hasil pewilayahan hujan untuk menganalisis tingkat produksi

kakao di Sulawesi Selatan

Manfaat Penelitian

Tersedianya peta pewilayah hujan diharapkan dapat memberi informasi tambahan untuk evaluasi kesesuaian lahan komoditas perkebunan kakao di Provinsi Sulawesi Selatan.

(21)

Hipotesis

1. Teknologi SIG mampu untuk mengestimasi curah hujan dari wilayah yang tidak memiliki stasiun pengamat curah hujan.

2. Sebaran dan jumlah curah hujan merupakan salah satu faktor iklim yang mempengaruhi tingkat produksi kakao

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Data curah hujan bulanan

dan tahunan

Peta Provinsi Sulaw esi Selatan dan titik sebaran stasiun

Klasifikasi tingkat produksi kakao (rendah, sedang, tinggi)

Pew ilayahan hujan berdasarkan data curah hujan tahunan dan koordinat stasiun dengan SIG : Inverse Distance Weighting (IDW),

Natural Neighbor (NN), Ordinary Kriging (OK)

Membandingkan keakuratan dari ketiga metode Data curah hujan harian

Jumlah Stasiun : 142 buah Periode Data : 1990 - 2007

Data administrasi : kabupaten dan kecamatan, posisi stasiun :

lintang, dan bujur

Data produksi dan luas area tanam tahunan

komoditas kakao

Overlay : Peta pew ilayahan hujan, peta klasifikasi produksi perkebunan

kakao, dan pola hujan w ilayah

Peta Proyeksi : Klasifikasi tingkat produksi, pew ilayahan dan pola hujan

2 dan 3 1

4

Pola hujan dan tipe hujan w ilayah

Peta pew ilayah hujan dengan metode terbaik

Peta klasifikasi tingkat produksi kakao

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Curah Hujan

Curah hujan didefinisikan sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan/perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan dibatasi oleh jumlah hari dengan curah hujan 0,2 mm atau lebih. Jumlah hari hujan dapat dinyatakan perminggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (Hidayati, 1993 dalam Yanto, 2003).

Curah hujan merupakan salah satu variable utama yang menentukan iklim suatu wilayah oleh sebab itu karakteristik spasial curah hujan sangat diperlukan. Dengan adanya interaksi antara atmosphere dan variable-variabel geografi (ketinggian dan jarak tehadap pantai) menyebabkan penyebaran curah hujan tahunan menjadi komplek. Umumnya semakin jauh jarak dari pantai maka jumlah curah hujan akan semakin berkurang tetapi karena adanya pengaruh topografi skala kecil menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah curah hujan (Mir´as-Avalos, 2007).

Curah hujan merupakan fenomena sesaat dengan keragaman yang cukup besar dalam skala waktu/temporal dan ruang/spasial. Secara spasial data curah hujan hanya berupa nilai titik pada setiap lokasi stasiun pengamatan. Estimasi sebaran secara spasial dari data stasiun pengamatan masih harus menggunakan teknik interpolasi (Goovaerts, 2000).

Pewilayahan Hujan

Pewilayahan hujan dapat diartikan sebagai penyajian karakteristik curah hujan seperti pembuatan peta isohyet, atau dapat diartikan sebagai usaha pengelompokan stasiun-stasiun hujan berdasarkan beda keragaman dari curah hujan antara satu stasiun dengan lainnya. Pengelompokan sejumlah stasiun hujan pada suatu wilayah kedalam kelompok-kelompok tertentu ini berdasarkan pada jumlah dan pola curah hujan bulanannya. Stasiun-stasiun hujan yang termasuk didalam satu kelompok akan memiliki jumlah dan pola yang tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, tetapi akan berbeda nyata dengan stasiun-stasiun hujan yang berbeda dalam kelompok lainnya.

(23)

Peta wilayah iklim Indonesia pertama kali disusun oleh Boerema (1926) yang disebut peta wilayah hujan yang membagi Indonesia menjadi 153 wilayah hujan menurut pola curah hujan bulanannya. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga telah memplubikasikan peta hujan Indonesia berdasarkan curah hujan bulanan dan tahunan selama periode 1931-1960. Schmit-Ferguson juga menyusun peta iklim Indonesia berdasarkan nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria Mohr et al. (1954) yang menetapkan kriteria bulan kering 60 mm dan bulan basah 100 mm. Selanjutnya Oldeman et al. (1977) menyusun peta agroklimat untuk menggambarkan potensi masa tanam dan pola tanam tanaman pangan dengan membagi wilayah Indonesia menjadi 16 wilayah agroklimat beredasarkan bulan basah (200 mm) dan bulan kering (100 mm) menurut kebutuhan tanaman padi dan palawija. Pusat Penelilian Tanah dan Agroklimat telah membuat Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia dengan skala 1:1000000 (Rejekiningrum et al., 2003).

Yanto (2003) melakukan pewilayahan hujan di Sulawesi Selatan berdasarkan analisis pengelompokan dengan metode analisis cluster, yang membagi wilayah hujan menjadi lima seperti disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Pewilayahan Hujan Sulawesi Selatan Curah Hujan

(mm/tahun)

Wilayah

Hujan Type Iklim Keterangan

<1000 I-1 Sangat Kering Jeneponto – Bantaeng, dengan pola hujan tunggal

1000-2000 II.1 , II.2 , II.3

Kering Tersebar di wilayah pantai selatan dan timur, Pola hujan bimodal

2000-3000 III.1 , III.2 , III.3 , III.4

Sedang Tersebar di wilayah barat, Pola hujan tunggal

3000-4000 IV.1 , IV.2 Basah Di pantai barat Malino – Takalala (Pola hujan Tunggal), Limbong – Towuti (pola hujan bimodal)

>4000 V.1 , V.2 Sangat Basah Palangka, Parang-parang, R pangli, Bilariase dengan pola hujan tunggal

Sumber : Yanto, 2003

Menurut Yanto (2003) berdasarkan faktor yang mengendalikannya, maka pola hujan di Sulawesi selatan secara garis besar dibagi menjadi tiga pola, yaitu :

(24)

(a) Pola Equatorial, pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi utara selatan mengikuti pergerakan matahari, yang dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun (pola bimodal), (b) Pola Monsunal, faktor yang mempengaruhi pola monsun adalah adanya angin darat atau angin laut dalam skala yang sangat luas, di cirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan dalam setahun (pola tunggal), (c) Pola lokal, pola ini dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi setempat, dimana faktor pembentuknya secara umum dapat dibedakan dalam dua ragam, yaitu (1) naiknya udara lembab secara paksa dari aliran udara yang menuju dataran tinggi atau pegunungan, (2) pemanasan lokal yang tidak seimbang.

Interpolasi

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu didalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh (Indah et al, 2005). Tiga (3) metode interpolasi spasial disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Metode Interpolasi

Metode Kecepatan Tipe Keterangan

IDW Cepat Tepat Faktor pembobot merupakan fungsi jarak

dari nilai titik contoh disekitar titik sasaran. Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak antara titik sasaran dan titik contoh.

NN Cepat Tepat Faktor pembobot merupakan fungsi

luasan dengan menggunakan konsep poligon Voronoi.

OK Lambat/

Sedang

Tepat jika tak ada

nugget

Faktor pembobot merupakan fungsi dari hasil estimasi ragam minimum dengan menggunakan semivariogram. Ketepatan estimasi kriging sangat bergantung dari model semivariogram yang dipilih

(25)

Inverse Distance Weighting (IDW)

Metode ini merupakan suatu cara penaksiran dimana nilai rata-rata suatu titik sasaran (Z*) merupakan kombinasi linier atau nilai rata-rata berbobot (weighted average) dari nilai titik contoh (Z) disekitar titik sasaran. Data didekat titik sasaran memperoleh bobot lebih besar, sedangkan data yang jauh dari titik sasaran lebih kecil. Bobot ini berbanding terbalik dengan jarak antara titik sasaran dan titik contoh.

Untuk mendapatkan efek penghalusan (pemerataan) data dilakukan faktor pangkat. Pilihan dari pangkat yang digunakan (IDW1, IDW2, IDW3, …) berpengaruh terhadap hasil taksiran. Semakin tinggi pangkat yang digunakan, hasilnya akan semakin mendekati nilai titik contoh terdekat (Smith et al., 2006-2009).

Jika ”d” adalah jarak titik sasaran dengan titik contoh (Z), maka faktor

pembobot (W) :

  j i i j j d d W 1 1 1 (1)

dan hasil taksiran (Z*) :

  j i i i Z W Z 1 . * (2)

Metode ini mempunyai batasan yaitu hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama. Atau dengan kata lain metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan titik data yang lain.

Natural Neighbor (NN)

Metode ini merupakan suatu cara penaksiran dimana nilai rata-rata suatu titik sasaran (Zp) merupakan kombinasi linier atau nilai rata-rata berbobot

(weighted average) dari nilai titik contoh (Zi) disekitar titik sasaran. Metode NN

menghitung bobot berdasarkan luas area di titik-titik contoh (Aip) sekitar titik sasaran terhadap luas area titik sasaran (Ap). Tahapan untuk menghitung faktor pembobot dijelaskan secara rinci oleh Smith et al. (2006-2009). Tahap pertama adalah menghitung Delaunay triangulation dari titik contoh j = 1,2,…62. Tahap

(26)

kedua adalah membuat polygon Voronoi berdasarkan Delaunay triangulation. Setiap titik contoh ‘j’ yang diwakili oleh polygon Voronoi memiliki luas Aj. Untuk menaksir nilai di titik sasaran (Zp) tahap pertama adalah menghitung luas Ap. Misalkan poligon P berada pada 5 (k=5) poligon contoh dengan luasan Aip, i = 1,...k maka total luas dari P adalah

(3) Tahap kedua adalah menghitung faktor pembobot (Wi) dengan persamaan

  k i ip ip k A A W 1 (4)

Maka hasil taksiran (Zp) adalah

  k i i i p WZ Z 1 (5)

Ordinary Kriging (OK)

Kriging adalah metode geostatistik yang digunakan untuk mengestimasi nilai dari sebuah titik atau blok sebagai kombinasi linier dari nilai contoh yang terdapat disekitar titik yang akan diestimasi. Untuk mengestimasi nilai dari sebuah titik atau blok digunakan suatu fungsi pembobot (W). Bobot kriging diperoleh dari hasil estimasi ragam minimum dengan menggunakan semivariogram. Ketepatan estimasi kriging sangat bergantung dari model semivariogram yang dipilih (Isaaks et al., 1989).

Ordinary kriging adalah salah satu metode estimasi yang memberikan taksiran linear tak bias terbaik (Best Linear Unbiased Estimation) untuk suatu titik atau blok. Tak bias terbaik artinya memiliki error rataan yang mendekati nol dan nilai ragam yang paling minimum.

Misal Z adalah nilai contoh yang terdapat disekitar titik yang akan diestimasi. Maka nilai estimasi Z dirumuskan sebagai:

  n j j Z W Z 1 * * (6)

(27)

Secara umum pembobot (Wj) dapat ditulis menjadi

  n j ij jC W 1  untuk setiap i, 1 <= i <= n (7)

Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG), adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian. SIG adalah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan (manipulasi), analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa SIG merupakan pengelolaan data geografis yang didasarkan pada kerja komputer (Prahasta, 2007).

Sumber informasi geografi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu (bersifat dinamis), sejalan dengan perubahan gejala alam dan gejala sosial. Informasi yang diperlukan harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki ilmu lain yaitu: 1. Merupakan pengetahuan hasil pengalaman

2. Tersusun secara sitematis, artinya merupakan satu kesatuan yang tersusun secara berurut dan teratur

3. Logis, artinya masuk akal dan menunjukkan sebab akibat

4. Obyektif, berlaku umum dan mempunyai sasaran yang jelas dan teruji. Selain memiliki ciri-ciri tersebut diatas, geografi juga harus menunjukkan ciri-ciri spasial (keruangan) dan regional (kewilayahan). Aspek spasial dan regional merupakan ciri khas geografi, yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainya. Karena geografi merupakan kajian ilmiah mengenai gejala alam dan sosial dari sudut pandang spasial dan regional, maka informasi geografi bersumber dari gejala-gejala; litosfer, hidrosfer, atmosfer, biosfer dan gejala sosial budaya.

Untuk memperoleh informasi (data), dilakukan survei baik melalui survei lapangan (pengamatan langsung obyek), maupun melalui wawancara langsung maupun tidak langsung (menggunakan angket). Tetapi survei lapangan mengalami banyak kendala, yaitu biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan sulit menjangkau medan. Semua kendala ini dapat diatasi dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh, yaitu pemotretan dari udara dengan menggunakan satelit.

(28)

SIG terdiri dari beberapa komponen antara lain : komponen perangkat keras, perangkat lunak dan intelegensi manusia.

Perangkat keras dalam SIG terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Alat masukan (input) sebagai alat untuk memasukkan data ke dalam jaringan komputer. Contoh; scaner, digitizer, CD-ROM.

2. Alat pemproses, merupakan sistem dalam komputer yang berfungsi mengolah, menganalisis dan menyimpan data yang masuk sesuai kebutuhan, contoh; CPU, tape drive, disk drive.

3. Alat keluaran (output) yang berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai data dalam proses SIG, contoh: VDU, plotter, printer.

Perangkat lunak, merupakan sistem modul yang berfungsi untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan data yang diperlukan. Data hasil penginderaan jauh dan tambahan (data lapangan, peta) dijadikan satu menjadi data geografi. Data dasar tersebut dimasukkan ke komputer melalui unit masukan untuk disimpan. Bila diperlukan data yang telah disimpan dapat ditayangkan melelui layar monitor atau dicetak untuk bahan laporan. Data ini juga dapat diubah untuk menjaga agar data tetap aktual (sesuai dengan keadaan sebenarnya). Intelegensi manusia (brainware) merupakan kemampuan manusia dalam pengelolaan dan pemanfaat SIG secara efektif. Bagaimanapun juga manusia merupakan subyek (pelaku) yang mengendalikan seluruh sistem, sehingga sangat dituntut kemampuan dan ponguasaan terhadap ilmu dan teknologi mutakhir. Selain itu diperlukan pula kemampuan untuk memadukan pengelolaan dengan pemanfaatn SIG, agar SIG dapat digunakan secara efektif dan efisien. Adanya koordinasi dalam pengelolaan SIG sangat diperlukan agar informasi yang diperoleh tidak simpang siur, tetapi tepat dan akurat.

Secara umum proses SIG terdiri atas tiga bagian (subsistem), yaitu : 1. Subsistem masukan data (input data)

Subsistem ini berperan untuk memasukkan data dan mengubah data asli ke bentuk yang dapat diterima dalam SIG. Semua data dasar geografi diubah dulu menjadi data digital, sebelum dimasukkan ke computer. Data digital memiliki kelebihan dibandingkan dengan peta (garis, area) karena jumlah data yang

(29)

disimpan lebih banyak dan pengambilan kembali lebih cepat. Ada dua macam data dasar geografi, yaitu data spasial dan data atribut.

a. Data spasial, yaitu data yang menunjukkan ruang, lokasi atau tempat-tempat di permukaan bumi. Data spasial berasal dari peta analog, foto udara dan penginderaan jauh dalam bentuk cetak kertas.

b. Data atribut, yaitu data yang terdapat pada ruang atau tempat. Atribut menjelaskan suatu informasi. Data atribut diperoleh dari statistik, sensus, catatan lapangan atau tabular (data yang disimpan dalam bentuk tabel) lainnya. Data atribut dapat dilihat dari segi kualitas, misalnya kekuatan tanaman. Dan dapat dilihat dari segi kuantitas, misalnya jumlah produksi. Data spasial dan data atribut tersimpan dalam bentuk titik (dot), garis (vektor), poligon (area) dan pixel (grid). Data dalam bentuk titik (dot), meliputi ketinggian tempat, curah hujan, lokasi dan topografi. Data dalam bentuk garis (vektor), meliputi jaringan jalan, pola aliran sungai dan garis kontur. Data dalam bentuk poligon (area), meliputi daerah administrasi, geologi, geomorfologi, jenis tanah dan penggunaan tanah. Data dalam bentuk pixel (grid), meliputi citra satelit dan foto udara.

Data dasar yang dimasukkan dalam SIG diperoleh dari tiga sumber, yaitu data lapangan (teristris), data peta dan data penginderaan jauh.

a. Data lapangan (teritris) adalah data yang diperoleh secara langsung melalui hasil pengamatan dilapangan, karena tidak terekam dengan alat penginderaan jauh. Misalnya, batas administrasi, kepadatan penduduk, curah hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng.

b. Data peta adalah data yang digunakan sebagai masukan dalam SIG yang diperoleh dari peta, kemudian diubah ke dalam bentuk digital (Gambar 2).

(30)

c. Data penginderaan jauh adalah data dalam bentuk citra dan foto udara. Citra adalah gambar permukaan bumi yang diambil melalui satelit. Sedangkan foto udara adalah adalah gambar permukaan bumi yang diambil melalui pesawat udara. Informasi yang terekam pada citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar, diinterpretasi (ditafsirkan) dahulu sebelum diubah kebentuk digital. Sedangan citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital, langsung digunakan setelah diadakan koreksi.

2. Subsistem manipulasi dan analisis data

Subsistem ini berfungsi menyimpan, menimbun, menarik kembali data dasar dan menganalisa data yang telah tersimpan dalam komputer. Ada beberapa macam analisis data, antara lain :

a. Analisis lebar, menghasilkan daerah tepian sungai dengan lebar tertentu.

b. Analisis penjumlahan aritmatika (arithmatic addition) menghasilkan penjumlahan. Analisis ini digunakan untuk menangani peta dengan klasifikasi, hasilnya menunjukkan peta dengan klasifikasi baru (Gambar 3).

Gambar 3. Analisis Penjumlahan

c. Analisis garis dan bidang, dapat digunakan untuk menentukan wilayah dalam radius tertentu. Misalnya, daerah rawan banjir, daerah rawan gempa dan daerah rawan penyakit (Gambar 4).

(31)

Perhatikan gambar 4. Peta 1 adalah daerah aliran sungai (DAS) dan peta 2 adalah daerah yang selalu dilanda banjir. Dari kedua peta tersebut dihasilkan peta 3 yaitu daerah rawan banjir dengan radius tertentu.

3. Subsistem penyajian data (output data)

Subsistem output data berfungsi menayangkan informasi geografi sebagai hasil analisis data dalam proses SIG. Informasi tersebut ditayangkan dalam bentuk peta, table, bagan, gambar, grafik dan hasil perhitungan.

Manfaat SIG dewasa ini semakin penting. Informasi yang dihasilkan SIG merupak informasi keruangan dan kewilayahan, maka informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk inventarisasi data keruangan yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kakao

Iklim mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao. Karena itu, unsur ini perlu diperhatikan dalam membuat penilaian kesesuaian lahan. Alvim (1972, dalam Panduan Lengkap Budidaya Kakao, 2006) menuliskan bahwa keragaman produksi kakao dari tahun ke tahun lebih ditentukan oleh sebaran curah hujan dari pada oleh unsur iklim yang lainnya. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun.

Buku Panduan Lengkap Budidaya Kakao (2006) juga menjelaskan unsur iklim lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao yaitu suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Suhu udara yang rendah akan menghambat pembentukan tunas dan bunga sedangkan suhu udara yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan pucuk dan mendorong pertumbuhan cabang serta mengakibatkan daun-daun kurang berkembang. Kelembaban udara berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3 – 6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembaban udara tinggi dan munculnya cendawan Phytophthora palmivora yang

(32)

menjadi penyebab penyakit busuk buah. Kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari yang tinggi dan berlangsung lama akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul.

Budi daya tanaman kakao memerlukan pohon penaung yang berfungsi untuk mengurangi intensitas radiasi matahari, menekan suhu maksimal dan laju evapotranspirasi , serta melindungi tanaman dari angin kencang. Dengan kata lain, pohon penaung berperan sebagai penyangga (buffer) faktor-faktor lingkungan yang kurang menguntungkan pertumbuhan kakao.

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro dalam tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation, pH atau kemasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah diperbaiki dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat fisik tanah yang meliputi tekstur, struktur, konsistensi, kedalaman efektif tanah (solum), dan akumulasi endapan suatu unsur (konkresi) relatif sulit diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya telah ada.

Struktur Klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut :

Ordo : Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong

sesuai (S) dan tidak sesuai (N).

Kelas : Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara sangat sesuai (S1) cukup sesuai (S2) dan marginal sesuai (S3). Standar penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas Kakao yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian (2003) disajikan pada Tabel 4.

(33)

Tabel 4 . Standar Penilaian Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Kakao

KARAKTERISTIK LAHAN

KELAS KESESUAIAN LAHAN

S1 S2 S3 N Temperatur (0C) 25-28 20-25 28-32 - 32-35 < 20 > 35 Ketersedian air 1. Bulan kering (<60 mm/bln) 2. Curah hujan (mm) 3. Kelembaban (%) 1-2 1500-2500 40-65 2-3 2500-3000 65-75 35-40 3-4 1250-1500 3000–4000 75-85 30-35 > 4 < 1250 > 4000 > 85 < 30 Kondisi Tanah 1. Drainase 2. Tekstur 3. Bahan kasar (%) 4. Kedalaman tanah baik, sedang halus, agak halus, sedang < 15 > 100 agak terhambat - 15-35 75-100 terhambat, agak cepat agak kasar, sangat halus 35-55 50-75 sangat terhambat, cepat kasar > 55 < 50

Sifat Kimia Tanah

1. KTK liat (cmol) 2. Kejenuhan basa (%) 3. pH H2O 4. C – organik > 16 > 35 6,0-7,0 > 1,5 < 16 20-35 5,5-6,0 7,0-7,6 0,8-1,5 - < 20 < 5,5 > 7,5 < 0,8 - - - - - Toksisitas Salinitas (dS/m) < 1,1 1,1-1,8 1,8-2,2 > 2,2 Bahaya erosi 1. Lereng (%) 2. Bahaya erosi < 8 Sangat rendah 8-16 rendah-sedang 16-30 berat > 30 sangat berat

Sumber : Djaenudin et al, 2003

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai, N = tidak sesuai

(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Untuk analisis pewilayahan hujan, penelitian ini mengambil kasus Provinsi Sulawesi Selatan dan untuk analisis tingkat produksi kakao ditambah empat kabupaten yang merupakan sentra produksi kakao, yaitu (1) Bone, (2) Luwu, (3) Pinrang, (4) Soppeng. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi – Bogor. Kegiatan penelitian mulai bulan Juni 2009 sampai Juni 2010.

Bahan dan Alat Data yang digunakan meliputi :

1. Data curah hujan harian periode Januari 1990 – Desember 2007 dari 157 stasiun pengamatan curah hujan yang tersebar di Provinsi Sulawesi Selatan (Sumber: BMKG, Balitklimat).

2. Data administrasi kabupaten dan kecamatan Provinsi Sulawesi Selatan (Sumber: BPS, 2008)

3. Data produksi tahunan komoditas perkebunan kakao di Provinsi Sulawesi Selatan (Sumber : BPS, 2009).

4. Peta pengunaan lahan (Rupa Bumi Indonesia) Skala 1 : 250.000. (Sumber: Bakosurtanal, 2000).

5. Seperangkat peralatan komputer, meliputi PC-Pentium beserta printer, dan alat tulis lainnya. Piranti lunak yang digunakan antara lain pengolah citra dan gambar (ArcGIS versi 9.1), pengolah data (MS Excel, Minitab), dan pengolah kata (MS Word, MS Power Point).

Metode Penelitian

Penelitian diawali dengan pengumpulan data, penyusunan dan pengembangan basis data yang digunakan dalam penelitian. Data dan informasi yang diperlukan mencakup data curah hujan harian, data administrasi kabupaten dan kecamatan, data produksi kakao, peta rupa bumi Indonesia.

(35)

Penyusunan peta Sulawesi Selatan dan sebaran stasiun hujan

Tahap awal adalah pembuatan peta dasar yang akan dijadikan acuan untuk peta lainnya yaitu peta Sulawesi Selatan dan sebaran stasiun hujan (Gambar 5) yang disusun dari peta administrasi (ID kabupaten dan kecamatan, Lampiran 1) dan lokasi stasiun (lintang, bujur dan ketinggian). Untuk menentukan posisi stasiun terpilih (lintang dan bujur) digunakan peta rupa bumi (RBI) tahun 1984 skala 1 : 250.000.

Gambar 5. Peta Sebaran Stasiun Hujan Provinsi Sulawesi Selatan

Pengolahan data curah hujan untuk analisis pola dan tipe hujan wilayah Data curah hujan yang terkumpul di seluruh wilayah Sulawesi Selatan kurang lebih 157 stasiun. Karena kualitas data yang beragam dan penyebaran stasiun yang tidak merata, maka dilakukan seleksi dan pemilihan stasiun yang layak untuk dimanfaatkan dalam analisis pewilayahan. Tahapan seleksi tersebut mencakup pemilihan stasiun yang memiliki data kontinyu dengan panjang catatan data tidak kurang dari 10 tahun. Data curah hujan bulanan dan tahunan dari stasiun yang terpilih (142 stasiun hujan) selanjutnya digunakan untuk analisis tipe hujan (sangat kering, kering, sedang, basah dan sangat basah), pola hujan (equatorial, monsunal dan lokal) dan pewilayahan hujan (IDW, NN dan OK).

(36)

Secara detil analisis pola hujan adalah; data curah hujan bulanan dari periode beberapa tahun dibuat rata-rata bulanannya dari data rata-rata bulanan selanjutnya dilihat periode bulan basah dan bulan kering dengan kriteria bulan kering <60 mm dan bulan basah >100 mm. Suatu wilayah dikatakan memiliki pola monsunal apabila terdapat perbedaan yang mencolok antara bulan basah dan bulan kering dan bulan basahnya terjadi satu kali puncak dalam satu tahun. Wilayah dengan pola equatorial apabila terjadi dua kali puncak bulan basah atau bulan kering dalam setahun (bimodal). Untuk pola lokal jika tidak terlihat dengan jelas periode bulan basah dan bulan keringnya (Gambar 6). Untuk menentukan tipe iklim suatu wilayah digunakan data curah hujan tahunan berdasarkan kriteria yang terdapat pada Tabel 2.

Pola Hujan Monsunal

0 100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan C u ra h hu ja n bu la na n ( m m )

Gambar 6. Pola Hujan Monsunal, Equatorial dan Lokal

Pengolahan dan analisis pewilayahan hujan

Berdasarkan informasi besarnya curah hujan tahunan pada setiap stasiun dan peta sebaran stasiun dilakukan pengelompokan stasiun-stasiun curah hujan dengan pendekatan analisis interpolasi : IDW, NN dan OK menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.1.

Secara detil penjelasan analisis pewilayahan hujan adalah : Data curah hujan tahunan dari 142 stasiun hujan di gunakan sebagai masukan pada tabel sebaran stasiun (Lampiran 2). Selanjutnya dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.1. buka file sebaran stasiun pilih Spatial Analisys-Interpolate to

Raster-Inverse Distance Weighting/Kriging/Natural Neighbor (Gambar 7). Dalam pewilayahan hujan dengan metode OK, model semivariogram yang digunakan adalah exponential. Nilai parameter variogram yang digunakan adalah major range; 1, Partial Sill; 0.4 dan Nugget; 0.2.

Pola Hujan Equatorial

0 100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan C ur a h H uj a n B ul a na n ( m m

Pola Hujan Lokal

0 100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan C ur a h H uja n B ul a na n ( m m

(37)

Gambar 7. Pewilayahan Hujan dengan Perangkat Lunak ArcGIS Versi 9.1

Membandingkan keakuratan tiga metode interpolasi pewilayahan hujan Dengan mempertimbangkan pola hujan, hasil interpolasi dari ketiga metode tersebut selanjutnya di bandingkan dengan data hasil observasi menggunakan validasi silang (Isaaks and Srivastava, 1989, pp. 351–368). Kriteria pembanding yang digunakan adalah mean square error (MSE) prediksi yang mengukur perbedaan kuadrat rata-rata antara curah hujan sebenarnya z(u) dengan hasil estimasi z*(u):

(8)

Dimana n = 142 data stasiun curah hujan di Sulawesi Selatan. Algoritma dikatakan akurat apabila nilai dari kriteria (MSE) mendekati 0.

Pengolahan data produksi perkebunan untuk analisis klasifikasi tingkat produksi kakao

Data produksi perkebunan yang digunakan untuk analisis klasifikasi tingkat produksi perkebunan adalah data setiap kabupaten dan kecamatan dari empat kabupaten yang merupakan sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan yaitu; Bone, Luwu, Pinrang, dan Soppeng. Dari setiap kabupaten diperoleh data produksi berupa luas tanam (hektar) dan hasil produksi (ton) tahunan

(38)

perkecamatan dari tahun 1985-2008. Selanjutnya data tahunan dirata-rata sehingga diperoleh data produksi perkebunan kakao rata-rata tahunan perkecamatan dalam ton/ha. Tabel 5 menyajikan klasifikasi tingkat produksi perkebunan kakao untuk Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan data produksi perkebunan kakao rata-rata tahunan.

Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Produksi Tanaman Kakao di Sulawesi Selatan Produksi (ton/ha) Klasifikasi

< 0,5 Rendah

0,5 - 1,0 Sedang

> 1,0 Tinggi

Sumber: Diolah dari data BPS, 1985-2008

Analisis tingkat produksi kakao berdasarkan pewilayahan hujan

Tahap berikutnya adalah menganalisis tingkat produksi kakao dengan melakukan klasifikasi produksi kakao (rendah, sedang, dan tinggi) pada tingkat kabupaten dan kecamatan untuk empat kabupaten. Secara detil analisis tingkat produksi kakao adalah, pertama untuk klasifikasi tingkat produksi kakao perkabupaten digunakan peta Sulawesi Selatan. Data produksi kakao perkabupaten dimasukkan pada tabel Sulawesi Selatan setelah setiap kabupaten memiliki nilai produksi, tahap selanjutnya adalah mengklasifikasikan menjadi tiga kelas produksi yaitu; rendah, sedang, tinggi. Kedua, untuk klasifikassi tingkat produksi kakao perkecamatan diawali dengan mengestrak Kabupaten Pinrang (12 kecamatan), Soppeng (8 kecamatan), Bone (27 kecamatan) dan Luwu (21 kecamatan) dari peta dasar Propinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya data produksi kakao perkecamatan di masukkan pada tabel masing-masing kabupaten. Setelah masing-masing kabupaten dan kecamatan memiliki nilai produksi, tahap selanjutnya adalah mengklasifikasikan menjadi tiga kelas produksi.

Peta produksi kakao selanjutnya ditelaah dengan peta pewilayahan hujan dan peta pola hujan untuk menghasilkan informasi spasial tingkat produksi kakao berdasarkan pola hujan dan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan komoditas kakao.

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pewilayahan Hujan Provinsi Sulawesi Selatan Karakteristik pola hujan wilayah

Berdasarkan hasil pengolahan data curah hujan bulanan dari 142 stasiun hujan, wilayah Sulawesi Selatan memiliki tiga (3) pola hujan (Tabel 6) yaitu : (a) Pola Equatorial yang berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi utara selatan mengikuti pergerakan matahari, yang dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun (pola bimodal), (b) Pola Monsunal yang dipengaruhi adanya angin darat atau angin laut dalam skala yang sangat luas, dicirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan dalam setahun (pola tunggal), (c) Pola lokal yang dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi setempat, sehingga polanya tidak jelas.

Tabel 6. Jumlah Curah Hujan, Tipe Iklim dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan

Curah hujan (mm/tahun)

Tipe

Iklim Pola Hujan

Wilayah Hujan

Kabupaten Kecamatan

<1000 Sangat Kering

Monsunal Jeneponto Bontoramban Binamu

Lokal - -

Equatorial Sinjai Sinjai Timur

1000-2000 Kering Monsunal Jeneponto

Gowa

Takalar

- Binamu, Batang, Bangkalan Barat, Kelara

- Bontonompo, Somba Opu, Pallangga, Bringbulu, Bontonompo

- Mangara Bombang,

Polobangkeng Selatan, Galesong Selatan Lokal Pinrang Enrekang Sidrap Sopeng Wajo - Mattirosompe, Duampanua - Enrekang, Baraka, Maiwa - Tellulimpoe, Watang Sidenreng,

Panca Rijang, Watang Pulu, Duapitue, Pitu Riase

- Mario Riawa, Lili Riaja, Lili Rilau, Donri-Donri

- Tana Sitolo

Equatorial Bulukumba

Sinjai Bone

- Gantarang, Kindang, Ujung Bulu - Sinjai Selatan

- Ajangale, Libureng, Amali, Ulaweng, Ponre, Bengo,

(40)

Curah hujan (mm/tahun)

Tipe

Iklim Pola Hujan

Wilayah Hujan

Kabupaten Kecamatan

- Lappariaja, Barebo, Dua Boccoe, Tellu Limpoe, Kajuara,

Salomekko, Kahu, Tellu Siattinge, Cenrana, Tanete Riatang Timur dan Barat - Ponrang, Bua, Malangke

2000-3000 Sedang Monsunal Takalar

Gowa

Maros Barru

- Polobangkeng Utara dan Selatan - Bontonompo, Bajeng, Bajeng

Barat, Parangloe, Pallangga, Tinggimoncong, Bontomarannu - Camba, Maros Utara, Simbang,

Maros Baru

- Mallusetasi, Soppeng Riaja, Barru, Lokal Pinrang Enrekang Sopeng - Batulappa - Maiwa - Lalabata Equatorial Bulukumba Sinjai Bone Luwu - Rilau Ale

- Sinjai Utara, Bullupoddo, Sinjai Barat, Sinjai Tengah

- Pallaka, Awang Pone, Libureng, Mare, Barebbo, Tanete Riatang Barat, Cina, Kahu, Sibulue, Lamuru, Tonra, Bontocani,

Bone-bone

- Baebunta, Bassesang Tempe, Mangkutana, Sukamaju, Walenrang Utara, Larompong, Suli, Bajo

3000-4000 Basah Monsunal Gowa

Maros Barru

- Bungaya, Bontolempangan, Pattallasang

- Bantimurung, Lau, Mandai, Tompo Bulu

- Barru, Tanete Riaja, Mallusetasi

Lokal Pinrang Sidrap - Patampanua - Sidenreng Rappang Equatorial Sinjai Luwu Bulukumba - Sinjai Tengah

- Lamasi, Wotu, Bajo Barat, Suli Barat, Latimojong

- Bulukumba

>4000 Sangat Basah

Monsunal Gowa Parangloe, Parigi

Lokal Sidrap Pitu Riase

(41)

Wilayah dengan curah hujan tahunan kurang dari 1000 mm/tahun masuk kategori tipe iklim sangat kering dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Jeneponto yaitu Kecamatan Bontoramba dan Binamu. Pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Sinjai yaitu kecamatan Sinjai Timur.

Wilayah yang bertipe iklim kering dengan curah hujan 1000–2000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Jeneponto, Gowa dan Takalar. Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Pinrang (Kecamatan Mattirosompe dan Duampana), Enrekang (Kecamatan Enrekang, Baraka dan Maiwa), Sidrap, Soppeng dan Wajo (Kecamatan Tana Sitolo). Wilayah dengan pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Bulukumba (Kecamatan Gantarang, Kindang, Ujung Bulu), Sinjai (Kecamatan Sinjai Selatan), Bone, dan Luwu (Kecamatan Ponrang, Bua, Malangke).

Wilayah yang bertipe iklim sedang dengan curah hujan 2000–3000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Takalar (Kecamatan Polobangkeng Utara dan Selatan), Gowa, Maros, dan Barru (Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja dan Barru). Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Pinrang (Kecamatan Battulappa), Enrekang (Kecamatan Maiwa), dan Soppeng (Kecamatan Lalabata). Wilayah dengan pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Bulukumba (Kecamatan Rilau Ale), Sinjai, Bone, dan Luwu.

Wilayah yang bertipe iklim basah dengan curah hujan 3000–4000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Gowa (Kecamatan Pattallassang, Bungaya, Bontolempangan), Maros, dan Barru (Kecamatan Barru, Tanete Riaja, Mallusetasi). Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Pinrang (Kecamatan Patampanua), dan Sidrap. Wilayah dengan pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Luwu.

Wilayah yang bertipe iklim sangat basah dengan curah hujan lebih dari 4000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Gowa yaitu Kecamatan Parangloe dan Parigi. Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Sidrap yaitu Kecamatan Pitu Riase.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui Kabupaten Pinrang sebagai salah satu sentra produksi kakao memiliki tiga tipe iklim yaitu kering, sedang dan basah

(42)

dengan curah hujan tahunan antara 1000–4000 mm/tahun dengan pola hujannya adalah lokal. Selain Kabupaten Pinrang, Kabupaten lain yang memiliki pola hujan yang sama adalah Kabupaten Soppeng dengan tipe iklim kering dan sedang, curah hujan tahunan antara 1000–3000 mm/tahun. Kabupaten lain yang merupakan sentra produksi kakao adalah Luwu dan Bone, kedua kabupaten ini memiliki pola hujan yang sama yaitu; equatorial. Tipe iklim dari Kabupaten Bone dan Luwu juga sama yaitu kering dan sedang.

Analisis pewilayahan hujan dengan tiga metode

Gambar 8 menyajikan distribusi curah hujan tahunan dari 142 stasiun iklim di Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah memiliki tipe iklim kering, sedang dan basah dengan jumlah curah hujan 1000–4000 mm/tahun. Berdasarkan informasi data curah hujan tahunan dan koordinat stasiun hujan selanjutnya dibuat pewilayahan hujan dengan Sistem Informasi Geografi.

Gambar 8. Distribusi Curah Hujan Tahunan pada 142 Stasiun Hujan di Sulawesi Selatan (sumber data; Balitklimat dan BMKG)

Distribusi Curah Hujan Tahunan dari 142 Stasiun Hujan Di Sulawesi Selatan 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 1 11 21 31 41 51 61 71 81 91 101 111 121 131 141 Stasiun Hujan Curah Huja n Ta huna n (mm ) Curah Hujan

(43)

Inverse Distance Weighting (IDW)

Hasil pewilayahan hujan dengan metode IDW disajikan pada Gambar 9. Jumlah curah hujan berkisar antara 623–5690 mm/tahun. Jumlah ini hampir sama dengan curah hujan hasil observasi dari stasiun-stasiun hujan yaitu 615–5690 mm/tahun. Wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi tersebar di bagian selatan dan bagian tengah sedangkan wilayah dengan curah hujan rendah terdistribusi di bagian barat laut Sulawesi Selatan.

Meskipun curah hujan dengan metode IDW mendekati nilai curah hujan observasi namun metode ini memiliki keterbatasan yaitu hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama. Artinya metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan tidak data yang lainnya.

Gambar 9. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW

Metode Natural Neighbor (NN)

Hasil pewilayahan hujan dengan metode NN disajikan pada Gambar 10. Jumlah curah hujan berkisar antara 680–5630 mm/tahun. Hampir sama dengan

(44)

metode IDW metode NN juga memiliki kisaran curah hujan hampir sama dengan curah hujan hasil observasi dari stasiun-stasiun hujan. Prinsip menghitung nilai bobot metode IDW merupakan fungsi jarak antar titik sehingga mampu menginterpolasi sampai jarak terjauh berbeda dengan metode NN dimana nilai bobot merupakan fungsi dari luas poligon dari titik yang terdekat saja sehingga ada luasan tertentu yang tidak dapat dihitung nilai curah hujannya seperti sebagian Kabupaten Luwu Utara, Enrekang dan Bulukumba.

Gambar 10. Hasil Pewilayahan Hujan Metode NN

Metode Ordinary Kriging (OK)

Hasil pewilayahan hujan dengan metode OK disajikan pada Gambar 11. Jumlah curah hujan berkisar antara 1160–4375 mm/tahun. Kisarannya berbeda dengan curah hujan hasil observasi dari stasiun-stasiun hujan dimana crah hujan minimumnya lebih tinggi 500 mm dan curah hujan maksimumnya lebih rendah 1300 mm. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh pemilihan model semivariogram dan jumlah titik yang digunakan dalam interpolasi masih kurang dimana idealnya adalah 150 titik, dengan jarak antara titik minimum 1100 meter.

(45)

Gambar 11. Hasil Pewilayahan Hujan Metode OK

Tabel 7 menyajikan deskripsi statistik 142 pasang data curah hujan hasil Observasi, Metode IDW, NN dan OK. Hasil pewilayahan hujan dengan metode IDW memiliki nilai rataan, minimum dan maksimum yang hampir sama dengan curah hujan observasi. Curah hujan minimum yang dihasilkan dari metode OK adalah 1165.4 mm/tahun hasil ini berbeda jauh dari data observasi; 616.0 mm/tahun. Tabel hasil pewilayahan hujan dari 142 pasang data curah hujan Observasi, IDW, NN dan OK dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 7. Deskripsi Statistik 142 Pasang Data Curah Hujan Obs., IDW, NN, OK Variabel Jumlah Rataan Str. Deviasi Minimum Median Maksimum

CH Obs. 142 2250.4 837.1 616 2090 5699

CH IDW 142 2250.7 835.3 623 2090 5687

CH NN 142 2252.4 824.2 707 2092 5633

CH OK 142 2273.4 588.8 1165 2087 4365

Untuk mengetahui metode terbaik maka dihitung mean square error dari ketiga metode dengan menggunakan 142 data curah hujan (Tabel 8). Dari ketiga metode yang dianalisi IDW memberikan hasil MSE yang paling kecil (10,2),

(46)

diikuti NN dengan nilai MSE 1516,43 dan yang tertinggi adalah OK dengan nilai MSE; 107122,71. Metode dengan MSE yang mendekati 0 adalah metode terbaik maka pada studi pewilayah hujan di Sulawesi Selatan ini, metode yang terbaik adalah IDW.

Tabel 8. Nilai Mean Square Error dari Metode IDW, OK dan NN Model Jumlah data (n) SUM(obs-model)^2 Mean Square Error

IDW 142 1448.07 10.20

OK 142 15211425.08 107122.71

NN 142 215333.76 1516.43

Analisis Tingkat Produksi Kakao Berdasarkan Pewilayahan Hujan

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya Sulawesi Selatan memiliki tiga pola hujan yaitu equatorial, lokal dan monsunal. Dari informasi hasil perkebunan kakao di setiap Kabupaten (sumber BPS) dan pola hujan yang ada di Sulawesi Selatan ada kecenderungan untuk wilayah dengan pola monsunal produksi kakao relatif lebih rendah (rata-rata 0.3 ton/ha/tahun) dibandingkan untuk wilayah dengan pola hujan lokal dan equatorial yang rata-rata produksi kakaonya mencapai 0.7 ton/ha/tahun (Gambar 12).

Gambar 12. Produksi Kakao dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan.

(Sumber Data : BPS dan BMG)

Keterangan : (0,7 dan 0,3) : Produkasi kakao rata-rata. Produksi Kakao di Sulawesi Selatan berdasarkan

kabupaten dan pola hujan

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 B ul ukum ba Si n ja i B one Lu w u Ta to r L u wu Ut a ra Lu w u Ti m u r S oppe ng Wa jo Si d ra p Pi n ra n g E nr e ka ng B an taen g Je ne pont o Ta k a la r Go w a Ma ro s P a ngke p Bar ru Stasiun P rod uks i K a ka o ( ton /ha /t a hu n Equatorial (0.7) Lokal (0.7) M ons oon (0.3)

(47)

Gambar 13 menyajikan hasil klasifikasi tinggat produksi kakao per kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Klasifikasi di bagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Gambar 14 menyajikan pewilayahan hujan dengan metode IDW berdasarkan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan tanaman kakao. Wilayah hujan dibagi empat (4) kelas, yaitu (1) sangat sesuai (S1) dengan curah hujan 1500 – 2500 mm/tahun. (2) cukup sesuai (S2) dengan curah hujan 2500 – 3000 mm/tahun. (3) marginal sesuai (S3) dengan curah hujan 1250 – 1500 dan 3000 – 4000 mm/tahun. (4) tidak sesuai (N) dengan curah hujan < 1250 dan > 4000 mm/tahun. Gambar 15 menyajikan pola hujan wilayah di Sulawesi Selatan yang terdiri dari tiga pola yaitu monsunal, equatorial dan lokal.

(48)

Gambar 14. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW Berdasarkan Kriteria Curah Hujan untuk Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Kakao di Sulawesi Selatan

(49)

Berdasarkan Gambar 13, 14 dan 15, yang dirangkum dalam Table 9. terlihat wilayah yang memiliki tingkat produksi rendah seperti Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep dan Gowa memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (marginal sesuai) dan N (tidak sesuai). Tingkat produksi rendah di empat kabupaten tersebut dapat disebabkan oleh tidak terdistribusinya curah hujan secara merata sepanjang tahun karena pola hujan wilayahnya adalah monsunal yang memiliki bulan kering >3 bulan.

Tabel 9. Klasifikasi Tingkat Produksi, Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan.

Kabupaten Klasifikasi Tingkat Produksi

Kriteria Curah Hujan

untuk Kesesuain Lahan Pola Hujan

Bantaeng Rendah S1 Monsoon

Jeneponto Rendah S3 Monsoon

Gowa Rendah N Monsoon

Maros Rendah S3 Monsoon

Pangkep Rendah S3 Monsoon

Barru Rendah S2 Monsoon

Bulukumba Sedang S1 Equator

Sinjai Sedang S1 Equator

Bone Sedang S1 Equator

Luwu Sedang S1 Equator

Tator Sedang S1 Equator

Luwu timur Sedang S2 Equator

Wajo Sedang S1 Lokal

Sidrap Sedang S1 Lokal

Enrekang Sedang S1 Lokal

Takalar Sedang S1 Monsoon

Luwu Utara Tinggi S1 Lokal

Soppeng Tinggi S1 Lokal

Pinrang Tinggi S1 Lokal

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai, N = tidak sesuai

Tingkat produksi di Kabupaten Bantaeng dan Buru adalah rendah sedangkan kriteria curah hujan kelas kesesuaian lahannya S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai). Artinya selain parameter curah hujan perlu dilihat parameter lain yang mempengaruhi kesesuaian lahan tanaman kakao seperti suhu dan lereng. Kabupaten Bantaeng mempunyai wilayah dengan ketinggian tempat 0-1000 m dari permukaan laut. Wilayah dengan ketinggian antara 100-500 m dari permukaan laut merupakan wilayah yang terluas atau 29,6 % dari luas wilayah

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Data Peta yang Diubah Menjadi Data Digital (angka).
Gambar 5. Peta Sebaran Stasiun Hujan Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 7. Pewilayahan Hujan dengan Perangkat Lunak ArcGIS Versi 9.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

kan Surat Keputusan Penerima Bantuan yang diterbitkan oleh Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota, setelah SK Penerima Bantuan tersebut diterima oleh Tim Manajemen BOS Provinsi. Pihak

penggunaan senyawa oligomer (4-vinilpiridin) dan 2-vinilpiridin (2-VP) sebagai inhibitor korosi baja lunak dalam larutan korosif, yakni larutan NaCl 3 % yang

erkoor'inasi 'enan seluru&amp; panitia terkait 'enan ke%utu&amp;an o%ato%atan yan 'iperlukan sela*a proses persiapan &amp;ina pelaksanaan

Salah satu warga Kampung Babakan Cengkeh menunjukkan satu kreasi dari bahan bambu yang bermanfaat untuk tempat menanam.. Sosog sebuah hasil kreasi dari bahan bambu yang

Model Pembelajaran konstruktivisme dan merupakan implementasi dari kurikulum 2013 adalah Project Based Learning dimana dalam pembelajaran ini, siswa di mendapat fasilitas

Agar pembelajaran Bahasa Indonesia lebih menarik minat siswa, diperlukan inovasi dalam penyajian materi salah satunya dengan menggunakan aplikasi WhatsApp agar

Pada simulasi, dengan menggunakan nilai parameter kontroler PID konstan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh respon translasi dan rotasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11