• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBANGUN LUMBUNG PADI NASIONAL BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBANGUN LUMBUNG PADI NASIONAL BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN SELATAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

34 STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBANGUN LUMBUNG PADI NASIONAL BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN

SELATAN

THE STRATEGY TO STRENGHTHEN SOCIAL CAPITAL IN BUILDING A NATIONAL SUSTAINABLE RICE BARN IN SOUTH KALIMANTAN

Shinta Anggreany1) dan Eni Siti Rohaeni1)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan

e-mail: shintaanggreany@gmail.com

ABSTRAK. Pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya secara tidak langsung mengancam ketersediaan pangan. Salah satu permasalahan dalam pengembangan pertanian di Indonesia adalah konversi lahan sawah subur yang harus segera diatasi diantaranya melalui optimalisasi lahan suboptimal. Kabupaten Barito Kuala merupakan wilayah yang memiliki agroekosistem lahan rawa pasang surut terluas di Kalimantan Selatan dan saat ini mendapat perhatian Pemerintah terbukti dengan dibukanya ribuan hektar lahan dalam rangka menyambut Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun 2018 dengan pengelolaan lahan intensif dan padat teknologi. Keberhasilan kegiatan ini harus diperkuat dengan pengembangan kapasitas petani melalui penguatan modal sosial masyarakat agar berkelanjutan. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi modal sosial yang ada di masyarakat Jejagkit dan merumuskan strategi penguatan modal sosial untuk membangun pertanian berkelanjutan di Jejangkit. Kegiatan ini dilakukan di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala. Penentuan responden dengan cara snowball. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 10 Juli 2018 sampai tanggal 02 Agustus 2018. Analisis data dilakukan dengan metode Deskriptif Kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial sangat penting dalam mengelola sumber daya alam khususnya pada pertanian sawah rawa pasang surut yang berkelanjutan. Modal sosial yang dimaksud berupa kegiatan gotong royong, penguatan kelembagaan tani (Poktan/Gapoktan dan KWT) dan proses internal berupa penguatan toleransi melalui perkumpulan yasinan, arisan dan selamatan sebelum panen untuk memupuk kebersamaan dan kelekatan dalam kelompok. Penerapan teknologi yang tinggi tidak dapat diserap dengan optimal oleh petani apabila tidak dikuatkan dengan pengetahuan, keterampilan dan modal sosial dalam menjalankan usahatani rawa pasang surut yang berkelanjutan.

Kata kunci : Modal Sosial, Lubung Padi, Rawa Pasang Surut, Padi Sawah.

ABSTRACT. The increasing population every year has indirectly threaten

Indonesia’s food security. One of the main problems in agricultural development in Indonesia is land conversion which should be overcome by optimizing infertile

(2)

35 land such as swampland. Barito Kuala Regency of South Kalimanatan Province is an which has widest swampland and attract attention by opening thousands of hectares land as part of the World Food Day in 2018. These areas will be managed intensively using innovative technologies in soil and plants. In order to be successful and sustainable, this projects must be strengthened by developing the capacity of farmers through strengthening the community social capital. This paper aims to identify social capital in Barito Kuala Regency communities and formulate strategies to strengthen social capital to build sustainable agriculture in this Regency. This reaserch was carried out in Village of Jejangkit Muara, Jejangkit District, Barito Kuala Regency. Respondents were determinated using

snowball method. The study was conducted from July 10th, 2018 to August 2nd,

2018. Data analysis was carried out by descriptive qualitative method. Data analysis was carried out by descriptive qualitative method. The results indicate that social capital is very important in managing natural resources, especially in tidal swamp agriculture so that can be sustainable. Social capital is in the form of

mutual assistance activities, institutional strengthening of farmers

(Poktan/Gapoktan and KWT) and institutional internal processes such as the strengthening of tolerance through yasinan, arisan and selamatan before harvesting to foster unity and viscosity in the group. The application of high technology cannot be optimally absorbed by farmers if it is not strengthened by knowledge, skills and social capital in carrying out sustainable tidal swamp farming.

Keywords: Social Capital, Tidal swamp Farming, Paddy Fields

PENDAHULUAN

Pengembangan sektor pertanian mendapat dukungan maksimal dari pemerintah, terlebih dengan target peningkatan produksi tanaman pangan. Beberapa permasalahan yang dihadapi di sektor pertanian, diantaranya belum optimalnya kapasitas dan kualitas infrastruktur pertanian, degradasi lingkungan termasuk lahan dan air, konversi lahan sawah subur, global warming, dan lemahnya kapasitas Sumber Daya Manusia. Hal ini menjadi pemikiran dan masalah bersama. Lahan sawah semakin sempit sementara jumlah penduduk semakin bertambah, sehingga permasalahan peningkatan produksi pangan yang komplek ini memerlukan upaya terobosan dalam menyelesaikannya. Salah satu alternatif yang dilakukan adalah pengelolaan lahan rawa pasang surut menjadi

(3)

36 lahan produksi pangan. Potensi lahan rawa menjadi pusat produksi pangan cukup besar yang tergambar dari luas lahan rawa di Indonesia yang diperkirakan mencapai 33.393.570 ha, terdiri dari 20.096.800 ha (60,2%) lahan pasang surut dan 13.296.770 ha (39,8%) lahan rawa non-pasang surut (lebak) (Pusdatarawa, 2016), yang selama ini pemanfaatan dan pengembangannya belum optimal.

Teknologi inovasi pertanian dalam pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk mendukung program peningkatan produksi pangan nasional sudah tersedia. Menurut Suriadikarta (2011), terdapat beberapa inovasi lahan rawa pasang surut seperti teknologi pengelolaan air dan tanah (tata air mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan), penggunaan varietas unggul yang lebih adaptif dan memiliki produksi yang tinggi serta alsintan (Alat dan mesin pertanian) yang sesuai dengan tipologi lahan. Namun, pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut juga menghadapi hambatan non teknis, antara lain permodalan, ketersediaan tenaga kerja, dan penguasaan teknologi oleh petani.

Di Indonesia terdapat beberapa daerah yang memiliki luas lahan rawa pasang surut yang cukup besar seperti Provinsi Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan memiliki luas lahan tanaman padi sawah tergolong besar yaitu 502.020 ha (BPS, 2016), luasan ini diharapkan mampu dipertahankan serta dikembangkan lebih lanjut. Data BPS (2016), menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 154.237 ha lahan pertanian yang belum termanfaatkan dengan baik, diantaranya karena lahan tersebut berupa lahan genangan, rawa pasang surut dan rawa lebak. Hambatan dan masalah dalam pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk budidaya tanaman pangan, khususnya padi seperti kesuburan tanah yang rendah,

(4)

37 reaksi tanah yang masam, adanya pirit, tingginya kadar Al, Fe, Mn, dan asam organic (Arsyad et al. 2014).

Luasan lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman padi di Kabupaten Barito Kuala (Batola) pada tahun 2016 seluas 120.037 ha dengan produksi mencapai 344.345 ton (BPS Batola, 2017). Kabupaten Batola menyumbang 16,23 persen beras di Kalimantan Selatan dan menjadi penyumbang produksi padi tertinggi dengan agroekosistem lahan rawa pasang surut lebih dari 90 persen (Anonim, 2017). Berdasarkan data statistik 2015 di Kabupaten Batola terdapat 300.000 ha lahan pasang surut dan 11.000 ha lahan rawa lebak yang berpotensi dikembangkan menjadi lahan produksi pangan, namun, hanya 120.037 ha yang telah digarap menjadi lahan sawah dengan produksi gabah 3,3 ton/ha (BPS Kalimantan Selatan, 2015)

Seiring dengan perkembangan zaman, pengelolaan pertanian semakin membaik diantaranya melalui optimalisasi pemanfaatan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman di lahan sub optimal. Kabupaten Batola dipilih sebagai lokasi percontohan dari optimalisasi lahan suboptimal yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian (KEMENTAN RI). Kecamatan Jejangkit yang dominan lahan rawa pasang surut dipilih sebagai lokasi program optimalisasi lahan melalui kegiatan Hari Pangan Sedunia (HPS) sebagai salah satu kegiatan besar tahunan KEMENTAN. Melalui HPS, Pemerintah bergerak bersama petani dan stakeholders membangun pertanian tanaman pangan yang berkelanjutan. Pengelolaan lahan rawa pasang surut di Desa Jejangkit Muara dilakukan melalui introduksi dan penerapan inovasi teknologi (padat teknologi), yang diharapkan

(5)

38 menjadi kawasan pertanian padat teknologi yang diadopsi dan direplikasi oleh petani.

Petani di Desa Jejangkit Muara melakukan usahatani padi sawah dengan cara tradisional, menggunakan varietas lokal dan tanam padi dilakukan 1 kali per tahun. Program optimalisasi lahan padat teknologi yang didalamnya termasuk penggunaan varietas unggul dengan produktivitas tinggi dan umur panen lebih cepat diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani. Selain itu diharapkan dapat merubah pola pikir dan perilaku petani dalam melalukan usahatani padi agar menjadi intensif dan berorientasi komersial.

Perkembangan teknologi harus diimbangi dengan kemampuan petani dalam mengelolanya, sehingga dibutuhkan penguatan pada sisi sosial agar kegiatan yang berlangsung dapat meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani secara berkelanjutan sehingga petani lebih sejahtera. Hasil penelitian Adriani et al. (2016) menyatakan bahwa cara untuk meningkatkan pendapatan petani, tidak cukup hanya dengan perbaikan kondisi ekonomi dan teknis, tetapi juga dengan perbaikan modal sosial di masyarakat. Dengan demikian dapat dikerucutkan bahwa modal sosial sangat terkait dengan proses pengembangan usahatani yang berkelanjutan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi modal sosial yang ada di masyarakat Desa Jejangkit Muara dan merumuskan strategi penguatan modal sosial untuk membangun pertanian berkelanjutan.

(6)

39 METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Daerah ini dipilih sebagai Wilayah Percontohan optimalisasi lahan suboptimal dengan pertimbangan memiliki lahan lahan rawa pasang surut terluas di Kalimantan Selatan. Pengumpulan data ini dilaksanakan dari tanggal 10 Juli 2018 sampai tanggal 2 Agustus 2018. Responden penelitian ini adalah petani yang memiliki lahan sawah pasang surut, tokoh masyarakat dan Penyuluh Pertanian Lapangan. Responden petani ditentukan dengan cara snowball yang berjumlah 6 orang, terdiri dari 3 orang petani, 2 petani sekaligus tokoh masyarakat dan 1 orang PPL. Data dan informasi yang dikumpulkan sebagian besar bersifat kualitatif. Data dan informasi primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden yang merupakan petani di Desa Jejangkit Muara melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi.

Data yang diperoleh melalui kajian ini merupakan data kualitatif dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis data penelitian ini mengikuti tiga jalur yaitu, reduksi, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi dan Permasalahan Budidaya Padi Lahan Pasang Surut

Luas lahan rawa pasang surut yang dapat dibudidayakan di Desa Jejangkit Muara meningkat dengan adanya pembukaan lahan pada tahun 2018 melalui program optimalisasi lahan suboptimal. Menurut Khusairi (2016) selama ini produksi padi yang dihasilkan di Desa Jejangkit Muara mencapai 3,6 ton/ha

(7)

40 Gabah Kering Panen (GKP). Jika terdapat penambahan luas tanam sebesar 510 ha maka berpotensi menghasilkan produksi padi sebesar 2.700 ton GKP (dengan asumsi produksi rataan 3,6 ton/ha GKP dan tidak ada serangan hama penyakit). Berdasarkan estimasi ini, maka terjadi peningkatan produksi sebesar 145 pesen dari tahun sebelumnya. Peningkatan yang signifikan ini akan terjadi apabila perluasan lahan didukung dengan memperkuat modal sosial yang baik dalam masyarakat.

Dilihat dari profil kelembagaan di Desa Jejangkit Muara, terdapat satu Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan 6 Kelompok Tani (Poktan) dibawah Gapoktan yang membudidayakan padi sawah, dengan total luas lahan mencapai 930 ha yang dibudidayakan oleh 340 orang petani. Luas lahan keseluruhan di Desa Jejangkit Muara adalah 1.200 ha, terdiri dari 560 ha yang digarap setiap tahunnya namun, setelah HPS bertambah menjadi 930 ha terdiri dari 750 ha di lokasi HPS dan 180 ha di luar lokasi HPS. Kegiatan padat teknologi seperti pembuatan kanal air dan perbaikan tata kelola air, penggunaan varietas unggul, pola tanam jarwo super dan penggunaan ALSINTAN yang diintroduksi dari Balai Penelitian Komoditas dan Balai Pengkajian yang ada di bawah KEMENTAN.

Menurut informasi yang diperoleh dari PPL, pada kondisi awal permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan budidaya padi sawah lahan pasang surut antara lain adalah kondisi air yang belum sepenuhnya bisa dikontrol, karena tidak tersedia saluran air yang baik dalam menunjang budidaya. Permasalahan lainnya adalah keterbatasan tenaga kerja, modal dan teknologi yang digunakan selama ini masih sederhana, seperti menggunakan varietas lokal dengan teknik budidaya tradisional. Petani yang ada saat ini umumnya berusia tua

(8)

41 dan generasi muda enggan untuk melakukan usahatani. Sebagian besar permasalahan tersebut dapat diatasi melalui introduksi dan penerapan inovasi terknologi pertanian.

Saat ini telah dilakukan perbaikan dan pembangunan infrastruktur seperti saluran air primer, sekunder dan tersier serta pembuatan pintu air untuk memudahkan petani dalam pengelolaan air sawah pasang surut. Percontohan/demplot budidaya padi seluas 240 ha menggunakan varietas unggul, pemupukan berimbang dan pengelolaan air yang baik. Perbaikan dan pembangunan serta pelaksaaan budidaya padat teknologi ini diharapkan mampu menjawab permasalahan diatas.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, jumlah petani yang ada di Desa Jejangkit Muara tergolong cukup banyak yaitu 340 orang petani dengan skala luasan lahan yang diusahakan antara 0,5 ha sampai 7 ha/KK dengan rata-rata kepemilikan mencapai 2 ha/KK. Jumlah anggota Poktan lebih dari 50 orang sementara idealnya dalam proses pembelajaran orang dewasa berkisar antara 20-30 orang. Hal ini menjadi kendala pada saat pemberian penyuluhan, sulit untuk berkoordinasi secara optimal sehingga tidak semua anggota dapat menghadiri penyuluhan tersebut karena berbagai alasan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapang dapat diketahui bahwa kegiatan optimalisasi lahan suboptimal yang berlangsung saat ini didampingi oleh pemerintah baik pusat dan daerah, berkerjasama dengan petani dan seluruh stakeholders terkait. Tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh tenaga pendamping adalah petani belum terbiasa melakukan budidaya tanaman padi sawah dengan padat teknologi, seperti penggunaan sistem tanam jajar legowo

(9)

42 yang membutuhkan banyak tenaga kerja dan memakan waktu yang lama. Kemampuan petani dalam menggunakan mesin-mesin pertanian juga tergolong kurang karena selama ini petani melaksanakan budidaya padi sawah hanya secara tradisional.

Pada ajang HPS tahun 2018 yang diselenggarakan oleh KEMENTAN di Desa Jejangkit Muara, Gelar Teknologi budidaya padi padat teknologi yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) mendapatkan hasil yang cukup baik dari berbagai varietas yang dikembangkan. Oleh karena itu, pemerintah daerah memberikan apresiasi kepada KEMENTAN khususnya Balitbangtan (Yasin M, 2018). Adapun hasil yang diperoleh dijabarkan ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan dan hasil tanaman padi Gelar Teknologi di lahan pasang surut, Jejangkit Muara, Barito Kuala, Juli-November 2018. Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan Jumlah Malai Jumlah Gabah per Malai Hasil (ton/ha) Inpara 2 105,45 17,50 14,17 116,55 6,50 Inpara 3 97,08 13,17 9,83 168,80 4,63 Inpara 8 115,19 17,00 16,33 138,45 5,00 Inpara 9 115,08 19,50 14,17 85,00 0,22* Inpari 32 94,08 19,00 16,17 128,80 3,00 Inpari 40 99,50 25,83 21,00 162,25 5,30 Inpari 42 99,08 16,00 15,00 172,10 6,00

Sumber: Laporan Gelar Teknologi Mendukung Hari Pangan Sedunia Ke-38 di Provinsi

Kalimantan Selatan (2018)

Keterangan : *Mengalami serangan hama tikus dan burung

Tabel di atas memperlihatkan bahwa varietas yang ditampilkan pada lahan HPS memiliki pertumbuhan yang baik serta menghasilkan produksi yang sesuai dengan harapan. Produksi tertinggi yaitu dari Inpara 2 menghasilkan 6,50 ton/ha sementara produksi terendah dari Inpara 9 dikarenakan adanya serangan hama

(10)

43 burung dan tikus. Meskipun terdapat beberapa kendala namun, sebagian besar varietas yang ditanam menghasilkan produksi dan pertumbuhan yang baik.

Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa petani di lahan rawa pasang surut, yang melakukan usahatani secara monokultur secara ekonomi masih lemah dibandingkan petani yang melakukan usahatani polikultur seperti menanam padi dan jeruk. Sejalan dengan hasil penelitian Arsyad et al. (2014) yang mengemukakan bahwa penerapan inovasi teknologi yang tepat dapat mengatasi permasalahan usahatani melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) yang sesuai dengan kondisi lokasi/wilayah. Pendekatan PTT akan mempercepat pembangunan pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan indeks pertanaman, produktivitas, dan mutu produk yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani.

Inovasi teknologi yang direkomendasikan untuk meningkatkan produksi padi meliputi penataan lahan (Suriadikarta dan Setyorini, 2006), penggunaan ALSINTAN seperti traktor tangan, mesin perontok, pengering dan mesin panen, penataan/perbaikan tata air mikro, varietas unggul, ameliorasi dan pemupukan berimbang tepat waktu dan pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak atau tanaman padi dengan tanaman lainnya. Untuk optimalisasi pemanfaatan lahan berkelanjutan sistem usahatani di lahan rawa pasang surut, Balitbangtan telah menyusun model pengembangan lahan rawa pasang surut yang implementasinya dilaksanakan bersama pemerintah daerah (Diwyanto et al. 2012).

Modal Sosial Masyarakat Jejangkit

Modal sosial yang diuraikan dalam makalah ini berupa kegiatan gotong royong, penguatan kelembagaan tani, kelembagaan wanita tani dan proses internal

(11)

44 berupa penguatan toleransi melalui perkumpulan yasinan, arisan dan selamatan untuk memupuk kebersamaan dalam kelompok. Penerapan teknologi yang tinggi tidak dapat diadopsi dengan optimal oleh petani apabila tidak dikuatkan dengan pengetahuan, keterampilan, dan modal sosial dalam menjalankan usahatani rawa pasang surut yang berkelanjutan. Pendampingan pemerintah terus diperlukan dalam mempertahankan usahatani padat teknologi agar produksi padi meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani, termasuk dalam penguatan modal sosial diantaranya handipan.

Menurut Hidayat (2010) Handipan merupakan kegiatan pertukaran tenaga kerja antara anggota yang mengikuti handipan. Setiap anggota handipan berhak menggunakan tenaga kerja secara bergantian. Aturan dan urutan yang ditetapkan dalam pelaksanaannya dilakukan secara musyawarah antar anggota kelompok tersebut. Biasanya diikuti 30-50 orang petani untuk areal seluas 1-2 hektar dalam sehari. Saat ini dengan berkurangnya tenaga kerja keluarga kegiatan ini sering dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota 15-20 orang dan sebagian sudah dilakukan dengan sistem upah. Sistem upah menjadi pilihan jika tenaga kerja dalam keluarga tidak mencukupi untuk mengerjakan kegiatan tanam tersebut. Sistem upah memungkinkan petani untuk menerapkan efisiensi dan kejelasan dalam perhitungan untung ruginya kegiatan pertanian tersebut.

Menurut PPL Desa Jejangkit Muara tradisi gotong royong (Handipan/Baharian) dalam melaksanakan usahatani masih berlangsung hingga saat ini, namun hanya 40% petani yang masih melaksankannya. Sistem Handipan dilakukan oleh petani yang sawahnya berdekatan, berupa aktifitas menanam,

(12)

45 menyiang dan panen padi, namun lebih banyak dilaksanakan pada saat menanam dan mengolah lahan.

Tabel 2. Modal sosial dan eksistensinya di masyarakat Desa Jejangkit Muara

No Modal Sosial saat ini

Eksistensi Peran/manfaat terhadap usahatani 1. Gotong royong

(handipan)

Masih ada (40%) - Sebagai perekat masyarakat

- Mengurangi biaya dan waktu tanam (efisien dan efektif)

- Menggunakan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak perlu mencari tenaga kerja luar keluarga

2. Kelembagaan tani (Poktan/Gapoktan/ KWT)

Masih ada - Sebagai perekat antar petani, wanita tani dan pengurus Poktan, Gapoktan dan KWT

- Memperoleh keuntungan berupa bantuan dari pemerintah

- Membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi petani

- Mendapatkan binaan langsung dari PPL, Dinas dan stakeholders

3. Perkumpulan Masyarakat

Masih ada - Sebagai perekat antar petani dalam masyarakat

- Meningkatkan rasa toleransi dan kekeluargaan antar sesama petani.

- Media perkumpulan antar masyarakat untuk saling bersilaturahmi

4 Yasinan Masih ada - Sebagai perekat antar petani dan

mengandung nilai religius

- Meningkatkan rasa kebersamaan dan persaudaraan

5 Arisan Masih ada - Sebagai perekat masyarakat terutama

ibu-ibu.

- Meningkatkan rasa kebersamaan 6 Selamatan Sebelum

Panen (Tepung tawar)

Masih ada (10 %)

- Sebagai perekat antar petani

- Meningkatkan rasa kebersamaan dan persaudaraan

- Meningkatkan rasa syukur dan penerimaan atas hasil panen

- Memberikan semangat untuk musim tanam selanjutnya

Terdapat berbagai nilai-nilai sosial yang terkandung dalam kegiatan handipan yaitu penguatan ikatan sosial dan solidaritas antar petani (Tabel 2). Setiap petani yang melaksanakan wajib ikut bekerja dan mendapatkan satu hari kerja di lahan usahataninya. Konsumsi ditanggung oleh petani yang lahannya memperoleh giliran untuk dikerjakan pada hari itu. Kendala dalam melaksanakan

(13)

46 sistem handipan adalah adanya pertimbangan bahwa padi harus segera ditanam, bibit yang sudah tua, areal lahan terletak di daerah agak tinggi, digunakannya padi berumur relatif pendek (benih ringan), genangan air yang dalam pada saat pasang. (Hidayat, 2010). Saat ini, handipan yang dilakukan petani berupa kegiatan tanam sebanyak sekitar 40%. Selain sistem Handipan terdapat pula tenaga kerja upahan, tenaga kerja laki-laki dan perempuan memiliki tingkat upah yang sama. Mayoritas petani yang memiliki perekonomian sederhana memilih sistem handipan dalam mengelola usahataninya, sedangkan petani yang memiliki modal lebih memilih menggunakan tenaga upahan dengan alasan lebih cepat selesai dalam pengerjaanya.

Marliati et al. (2008) dalam penelitiannya bahwa krakteristik sistem sosial merupakan faktor penghambat atau pendukung dalam perubahan sistem sosial sebagai akibat intervensi pertanian, penelitian ini merupakan studi kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau termasuk kategori cukup. Penelitianya juga menjabarkan tentang krakteristik sistem sosial yang terdiri dari nilai-nilai sosial budaya, tingkat keinovatifan petani, tingkat kegotong royongan, sistem kelembagaan, akses terhadap tenaga ahli dan akses terhadap hasil-hasil penelitian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai kegotong royongan yang solid sangat diperlukan sebagai pendukung perubahan sistem sosial yang berdampak pada pembangunan pertanian.

Modal sosial selanjutnya adalah keberadaan lembaga Poktan/Gapoktan/KWT merupakan salah satu tempat terjadinya interaksi sosial antar individu. Pertemuan Poktan dan Gapoktan di Desa Jejangkit Muara biasa dilakukan satu bulan sekali atau ketika ada permasalahan yang penting untuk

(14)

47 dipecahkan bersama. Dalam pertemuan tersebut dibahas beberapa permasalahan dan solusinya seperti adanya bantuan pupuk dan persoalan hama penyakit yang menyerang tanaman. Namun demikian, tidak semua petani ikut aktif dalam kelembagaan tani yang ada. Faktor sosial yang mendukung sebuah desa untuk berkembang adalah kemampuan masyarakat menerima informasi baru, pola kerjasama yang kuat, serta kelembagaan pedesaan pada masyarakat tani (Adriani et al. 2016).

Satianto (2014) mengemukakan bahwa sikap percaya, toleransi, jejaring sosial dan kelompok merupakan beberapa indikator yang dapat digunakan dalam melihat fenomena modal sosial dalam masyarakat. Kekompakan kelompok dalam mendukung pembangunan dalam hal ini menerima teknologi inovatif untuk meningkatkan penghasilan usahataninya sangatlah penting. Kelompok juga menghasilkan kerekatan antar petani itu sendiri, selain itu dengan berkelompok dapat lebih mudah memperoleh bantuan dari pemerintah baik berupa bantuan Alsintan maupun pembinaan dari dinas terkait.

Hasil indepth interview dengan salah seorang pemuka desa diperoleh informasi bahwa petani masih melaksanakan yasinan mingguan untuk ibu-ibu, yasinan bulanan untuk bapak-bapak. Selain itu juga terdapat arisan, dan tradisi selamatan dari hasil panen pertama (syukuran atas hasil panen yang diperoleh). Dalam penelitian ini modal sosial seperti yasinan, arisan dan selamatan dikategorikan sebagai perkumpulan masyarakat karena memiliki peran dan manfaat yang sama dalam masyarakat maupun usahatani.

Tradisi selamatan ini merupakan salah satu wadah berkumpulnya petani untuk saling bersilaturahmi dan menguatkan keakraban serta toleransi. Tradisi ini

(15)

48 merupakan suatu penguat modal sosial dalam masyarakat. Sejalan dengan hasil penelitian Hermawanti dan Rinandri (2003) cit Adriani et al. (2016) menyatakan bahwa modal sosial berperan penting dalam membangun serta memelihara integrasi sosial dan menjadi perekat sosial dalam masyarakat. Apabila modal sosial tidak berjalan dengan baik maka akan menghambat keberlangsungan pembangunan di sebuah daerah. Oleh karena itu modal sosial penting untuk dikuatkan dalam melaksanakan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

Nasrul (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa diperlukan kelembagaan untuk memberikan kekuatan, posisi tawar untuk menambah daya saing, sehingga partisipasi yang tinggi terhadap kelembagaan dapat menambah rasa memiliki yang tinggi pula. Sudaryanto dan Rusastra (2006) dalam penelitiannya tentang kebijakan strategis dalam peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan menyebutkan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah fasilitas infrastruktur dan kelembagaan, perbaikan sistem insentif usahatani dan mendorong pengembangan agroindustri yang padat tenaga kerja di pedesaan.

Strategi Penguatan Modal Sosial

Modal teknologi yang telah diberikan dapat berkembang dan berkelanjutan jika didukung dengan adanya modal sosial yang kuat yang dimiliki oleh masyarakat. Pada akhirnya modal teknologi dan modal sosial ini dapat menghasilkan modal ekonomi yang lebih baik. Santosa (2007) mengemukakan bahwa pengambilan kebijakan harus memperhatikan masalah modal sosial, yang mana merupakan unsur kearifan lokal yang begitu penting. Kegagalan

(16)

49 pembangunan pada berbagai daerah bisa disebabkan karena hanya memperhatikan aspek ekonomi saja, tanpa mempertimbangkan masalah modal sosial.

Adapun strategi yang penting dilaksanakan untuk penguatan modal sosial dalam pembangunan pertanian berkelanjutan di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Batola, Desa Jejangkit Muara adalah;

1. Perlu adanya pembinaan baik teknis dan non teknis serta dorongan dari pemerintah baik pusat, daerah dan swasta secara intensif dan berkala.

2. Meningkatkan partisipasi Kelompok Tani dan Kelompok Wanita Tani beserta anggotanya dalam melaksanakan kegiatan.

3. Meningkatkan peran perkumpulan masyarakat (yasinan, arisan, selamatan) sebelum panen untuk saling berinteraksi dan menguatkan serta meningkatkan keakraban petani sehingga muncul rasa kebersamaan dan saling tolong menolong.

4. Melestarikan sistem Handipan bagi petani dalam mengelola usahatani. Sistem ini memudahkan dan membantu dalam pengadaan tenaga kerja karena terdiri dari para tetangga kumpulan pemilik sawah yang secara bergantian melakukan pekerjaan dilahan masing-masing. Handipan dapat pula meningkatkan rasa kebersamaan antar pertani.

5. Dibentuknya kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), termasuk pengaturan untuk menjaga pintu air yang dilakukan secara sukarela dalam pengelolaan air sawah pasang surut.

(17)

50 KESIMPULAN

Modal sosial berperan sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya pada pertanian di lahan rawa pasang surut yang berkelanjutan dan dapat diterapkan di Desa Jejangkit Muara. Modal sosial yang masih ada dan tidak mengalami degradasi seperti kelembagaan tani (Poktan/Gapoktan dan KWT), perkumupulan masyarakat (yasinan dan arisan) sedangkan modal sosial yang mulai mengalami degradasi adalah handipan (Gotong royong) dan perkumpulan masyarakat berupa selamatan sebelum panen. Penerapan teknologi yang tinggi tidak dapat diadopsi dengan optimal oleh petani apabila tidak dikuatkan dengan pengetahuan, keterampilan, dan modal sosial dalam menjalankan usahatani rawa pasang surut yang berkelanjutan. Strategi yang diperlukan dalam penguatan modal sosial yaitu dengan cara meningkatkan partisipasi Poktan dan KWT beserta anggotanya dalam melaksanakan kegiatan, meningkatkan peran perkumpulan masyarakat seperti yasinan, arisan, selamatan sebelum panen, melestarikan sistem handipan dalam mengelola usahatani, dan dibentuknya kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Peran pemerintah terus diperlukan untuk mendampingi petani dalam mempertahankan usahatani padat teknologi agar produksi padi meningkat, modal sosial yang menunjang usahatani menjadi lestari yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

(18)

51 DAFTAR PUSTAKA

Adriani D, Imron Zahri, Umar Harun, Sabaruddin. 2016. Modal Sosial Rumah Tangga Petani Tanaman Pangan: Mampukah Meningkatkan Pendapatan Petani Di Lahan Pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang.

Anonim, 2017. Pertanian merupakan sektor potensial di Kabupaten Barito Kuala.

https://v7.baritokualakab.go.id/?page_id=37. Diakses pada tanggal 10 Juni

2019.

Arsyad DM, Saidi BB, dan Enrizal. 2014. Pengembangan inovasi pertanian di lahan rawa pasang surut mendukung kedaulatan pangan. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 7(4): 169-176.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2016. Kalimantan Selatan Dalam Angka. 2016. Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Padi berdasarkan Jenis Pengairan. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2015. Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairannya Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan.https://kalsel.bps.go.id/subject/53/tanamanpangan.html#subjekVie

wTab3. Diakses pada tanggal 27 Juli 2018.

Barito Kuala dalam Angka, tahun 2017. Luas lahan, luas panen, produksi dan produktivitas padi sawah menurut kecamatan di Kabupaten Barito Kuala

.https://baritokualakab.bps.go.id/pencarian.html?searching=barito+kuala&

yt2=Cari. Diakses pada tanggal 10 Juni 2019.

Diwyanto K. Arsyad D.M., Sadra D.K., Mulyani A., Effendi D.S., Las I., Endrizal, dan Saidi B. B. 2012. Laporan Kunjungan Kerja Tematik dan Penyusunan Model Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Inovasi di Lahan Suboptimal Rawa Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. 39 hal.

Haryono. 2013. Lahan Rawa: Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. IAARD Press, Jakarta. 141 hal.

Hidayat T. 2010. Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Khusairi. 2016. Program Penyuluhan Peratanian Tingkat Desa Wilayah Binaan Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit Tahun 2017. Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan.

(19)

52 Marliati, Sumarjo, Asngari P.S., Tjitropranoto P., Saefuddin A. 2008.

Faktor-Faktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluhan Pertanian dalam Memberdayakan Petani ‘Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau’. Jurnal penyuluh pertanian. 4(2): 92-99.

Nasrul W. 2012. Pengembangan Kelembagaan Pertanian untuk Peningkatan Kapasitas Petani terhadap Pembagunan Pertanian. Jurnal Menara Ilmu. III (29): 166-174.

Pusat Data dan Informasi Daerah Rawa dan Pesisir. 2016.

http://www.pusdatarawa.or.id/index.php/tentang-pusat-data-rawa/. Diakses

pada tanggal 28 Juli 2019.

Santosa, PB. 2007. Politik Beras dan Beras Politik. BP Universitan Diponegoro. Semarang.

Satianto S, 2014. Modal Sosial di Kalangan Petani Rawa Pasang Surut (Studi Kasus Desa Sumber Mulyo, Kabupaten Banyuasin). Jurnal Sosek Pekerjaan Umum. 6(2): 78-139.

Sudaryanto T dan Rusastra I W. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 25 No. 4. Hal. 115-122.

Suriadikarta D.A. dan D. Setyorini. 2006. Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Suriadikarta DA. 2011. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Yasin M. 2018. Laporan Gelar Teknologi Mendukung Hari Pangan Sedunia

Ke-38 di Provinsi Kalimantan Selatan (2018). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru.

(20)

53 Lampiran.

Dokumentasi Kegiatan Handipan Di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala

Referensi

Dokumen terkait

1 1 10 18 Pendidikan dan pelatihan keterampilan Jumlah peserta pencari kerja yang Tamansari 20 orang 79,078,000 APBD II Prioritas 40 orang 160,000,000. bagi pencari

Yaitu gunung api yang terletak di puncak pegunungan yang membusur. Magma d.ari bagian atas selubung bumi yang tcrlctak di bawnh suntu pegunungan akan naik sepanjang

Kesimpulannya, asas percukaian yang lebih meluas serta yang dikenakan pada satu kadar melalui pengenalan GST akan memudahkan kerajaan mengurus dan mentadbir sistem tersebut dan ia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing isolat DNA fungi yang berhasil diisolasi dengan baik berasal dari umur miselia kultur yang bervariasi mulai dari

istri putus seketika itu juga. Dilihat dari segi penyebab batalnya perkawinan, apabila perkawinan itu batal karena melanggar syarat-syarat perkawinan berupa

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan

INAKAWATI (REKONTRUKSI) AFRISAL (VITRORETINA) DINA NOVITA (INFEKSI) KENTAR (ONKOLOGI) PROF WINARTO (INFEKSI) AFRISAL (VITRORETINA) WISNU SADASIH (KATARAK) INAKAWATI (REKONSTRUKSI)