• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDENTIFIKASI DESA. dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II IDENTIFIKASI DESA. dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

IDENTIFIKASI DESA

2.1 Latar Belakang Historis

Berbicara mengenai perkembangan sebuah desa tentu saja tidak dapat terlepas dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa Sukatendel yang masih mempunyai cerita masa lalunya sendiri. Adapun kisah masa lalu semacam ini diperoleh melalui cerita lisan dari para orang tua.

Desa ini pada awalnya merupakan sebuah kawasan hutan yang belum dijamah oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut cerita yang diperoleh, sepasang suami-istri bernama Suka dan Tendel membuka lahan baru di sana untuk dijadikan ladang.11 Mereka membangun barung yaitu sejenis pondok (sapo) sebagai tempat untuk berteduh. Hal ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain yang ikut mendirikan barung mereka sendiri di tempat tersebut. Maka terbentuklah beberapa barung yang disebut dengan barung-barung. Mereka akhirnya mulai bertempat tinggal di barung-barung tersebut. Mereka juga mengikut-sertakan sanak keluarga mereka ke tempat ini. Sedikit demi sedikit orang dari wilayah lain juga mulai berdatangan dan lama-kelamaan terbentuklah sebuah komunitas, di mana pada akhirnya mereka memutuskan untuk membangun sebuah desa. Penduduk di desa yang baru ini memustuskan untuk memberi nama desa mereka dengan nama pendirinya, Suka dan

11 Sebelumnya, petani masih mengandalkan sistem perladangan berpindah (shifting

cultivation), merupakan salah satu corak usaha tani primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian

ditanami tanpa melalui proses pengolahan tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul di wilayah-wilayah yang memiliki kawasan hutan cukup luas di daerah tropik. Sistem perladangan berpindah dilakukan sebelum orang mengenal cara mengolah tanah.

(2)

Tendel. Untuk kesan praktis, kedua nama mereka digabung sehingga menjadi ‘Sukatendel’.12

Sesuai tradisi, pendirian sebuah desa tidak dapat terpisahkan dengan sistem kekerabatan masyarakat karo, yang dikenal dengan Rakut Si Telu. Dalam pendirian sebuah desa (kuta), Rakut Si Telu harus ikut mengambil peran. Terdapat tiga kelompok dalam susunan kemasyarakatan yang berhubungan dengan proses didirikannya sebuah desa:

1. Pendiri desa (simantek kuta) ialah orang yang berasal dari klan Perangin-angin. Marga ini mempunyai banyak sub-marga yang tersebar di wilayah Karo Teruh Deleng. Jika bertemu dengan orang dari desa lain, maka penduduk desa Sukatendel merasa kesulitan untuk menjelaskan tentang asal marganya.13 Maka mereka menyebut marga mereka dengan ‘Perangin-angin Sukatendel’, untuk menegaskan wilayah tempat tinggalnya. Sejak saat itulah penduduk yang bermarga Perangin-angin disini mulai dikenal dengan Perangin-angin Sukatendel. Kelompok ini disebut juga dengan bangsa taneh. Untuk mendirikan desa, Simantek Kuta membawa serta Anak Beru, Senina dan Kalimbubu-nya. Anak beru yang dibawa pada saat mendirikan desa beserta keturunannya terus-menerus disebut dengan Anak Beru Singian Rudang. Kalimbubu dan keturunannya yang dibawa pada saat pendirian desa terus-menerus disebut Kalimbubu Simajek Lulang. Ketiga kelompok inilah yang mempunyai peranan

12 Wawancara dengan nande Pulungen br. Perangin-angin, Desa Sukatendel, 5 Maret 2011. 13 Dalam perkenalan dengan seseorang yang belum pernah dijumpai, biasanya orang Karo

(3)

penting di desa tersebut sebab kelompok ini memegang kendali atas pemerintahan.

2. Kelompok pendatang, yaitu mereka yang datang ke desa ini karena adanya faktor pernikahan dengan sanak saudara simantek kuta. Mereka disebut dengan ginenggem, yang artinya orang yang diayomi. Jika kelompok ini ingin membuka perladangan baru harus juga memperoleh persetujuan dari simantek kuta.

3. Kelompok yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan simantek kuta, disebut rakyat derip, atau rakyat biasa. Kelompok ini diharuskan membayar sewa tanah serta mengurus ijin untuk membuka perladangan dan melakukan kerahen, yakni wajib kerja kepada simantek kuta.

Kepengurusan desa dipegang oleh marga simantek kuta dan dibantu oleh anak beru-nya sehingga tampak seperti sebuah majelis, sehingga mereka berperan dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan dalam pemerintahan desa. Struktur pemerintahan tradisional ini mulai berubah, ketika Belanda mulai memasuki wilayah Karo pada tahun 1904 yang ditandai dengan ditetapkannya wilayah administratif Onder-afdeling Karolanden.14 Maka Dararan Tinggi Karo dikelompokkan menjadi lima landschaap, yang masing-masing dipimpin oleh seorang zelfbestuur dalam satu

14 Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya, Kabanjahe: TB. Abdi

(4)

Onder-afdeling. Masing-masing landschaap dibagi atas beberapa urung15 yang membawahi beberapa desa.

- Landschaap Suka terbagi atas empat urung: a. Urung Suka berkedudukan di Desa Suka

b. Urung Sukapiring berkedudukan di Desa Seberaya c. Urung Ajinembah berkedudukan di Desa Ajinembah

d. Urung Tengging berkedudukan di Desa Tengging

- Landschaap Lingga terbagi atas lima urung:

a. Urung Sepulu Dua Kuta berkedudukan di Kabanjahe b. Urung Telu Kuru berkedudukan di Desa Lingga c. Urung Naman berkedudukan di Desa Naman

d. Urung Tiga Pancur berkedudukan di Desa Tiga Pancur e. Urung Empat Teran berkedudukan di Desa Batu Karang f. Urung Tiganderket berkedudukan di Desa Tiganderket

- Landschaap Barusjahe terdiri dari dua urung:

a. Urung Si Enem Kuta berkedudukan di Desa Sukanalu b. Urung Si Pitu Kuta berkedudukan di Desa Barusjahe

15 Kata urung berasal dari bahasa Tamil, ur, berarti kampung. Kata urum, berarti sebuah

kampung yang penduduknya terdiri dari kasta sudra (petani) yang berada di India selatan pada zaman dahulu.

(5)

- Landschaap Sarinembah terdiri atas empat urung:

a. Urung Sepulu Pitu Kuta berkedudukan di Kabanjehe b. Urung Perbesi berkedudukan di Desa Simbelang c. Urung Juhar berkedudukan di Desa Juhar

d. Urung Kutabangun berkedudukan di Desa Kutabangun

- Landschaap Kuta Buluh terbagi atas dua urung:

a. Urung Namohaji berkedudukan di Desa Kutabuluh b. Urung Liang Melas berkedudukan di Desa Mardinding

Setiap urung dipimpin oleh seorang bapa urung yang membawahi beberapa desa, di mana desa ini dipimpin juga oleh seorang pengulu (kepala desa). Setiap desa terbagi atas beberapa kesain yang dipimpin oleh seorang pengulu kesain. Desa Sukatendel termasuk ke dalam wilayah urung Tiganderket.

Kedatangan Belanda turut membawa beberapa perubahan, salah satunya adalah dibukanya fasilitas jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabanjahe ke wilayah pedesaan di Karo Teruh Deleng, dan Singalor Lau. Maka penduduk Desa Sukatendel membuat sebuah jalan kecil yang menghubungkan pusat desa mereka dengan jalan raya, sehingga untuk mencapai desa ini, harus menempuh jarak sekitar 100 meter dari simpang masuk desa.

Area hutan yang sudah ditebang di sekitar desa dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan untuk bertani dan bersawah. Rumah-rumah penduduk juga mulai dibangun dengan jumlah yang cukup bayak, seiring dengan meningkatnya populasi

(6)

desa. Rumah dibangun dalam bentuk rumah tradisional Karo, yakni Rumah Si Empat Jabu. Rumah ini didirikan berdasarkan arah hilir (kenjahe) dan hulu (kenjulu) sesuai aliran mata air di desa tersebut.

Pergolakan yang terjadi pada tahun 1947 ikut berpengaruh terhadap situasi Desa Sukatendel.16 Pada masa ini seluruh penduduk turut serta membakar rumah mereka dan mengungsi ke wilayah pedalaman hutan, jauh dari desa mereka.17 Di sanalah mereka bertempat tinggal untuk sementara sembari menunggu situasi aman kembali. Selama masa pengungsian, mereka hanya dapat mengkonsumsi apa yang disediakan oleh alam, seperti ubi.

Sekitar 5 atau 6 bulan mengungsi, penduduk merasa bahwa situasi telah aman kembali. Maka penduduk yang mengungsi memutuskan untuk pulang ke wilayah Desa Sukatendel. Mengingat kondisi desa yang sudah kacau dan berantakan, maka dilaksanakan sebuah musyawarah. Mereka berdiskusi tentang tata ruang desa yang akan mereka bangun kembali. Melalui musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan sebidang tanah, untuk dibangun rumah di atasnya. Luas dan lebar tanah yang diberikan sama untuk masing-masing kepala keluarga, sehingga tidak terjadi pertengkaran. Masing-masing rumah dibangun kembali, namun tidak lagi bermodelkan Rumah Si Empat Jabu, melainkan rumah sederhana dengan model klasik, mirip dengan rumah panggung; fondasi yang terbuat dari batu dengan disertai tiang kayu penahan lantai (pandak), mempunyai kolong di bawah rumah, dan mempunyai redan ture (tangga naik ke teras rumah). Antara satu

16 Pergolakan ini tidak terlepas dari masuknya Sekutu dibonceng oleh Belanda (NICA) ke

berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang.

(7)

rumah dengan rumah yang lainnya dibuat pemisah berupa jalan setapak yang memudahkan warga untuk berjalan-jalan di sekitar desa.

Untuk status kepemilikan ladang atau sawah yang ditinggalkan sebelumnya, hal tersebut tidak menjadi masalah, karena setiap pemilik ladang atau sawah masih tetap mendapatkan hak atas tanah mereka. Setelah penduduk dapat kembali membangun desa mereka, maka aktivitas harian mereka juga kembali kepada keadaan semula, yaitu bertani atau bersawah.

2.2 Kondisi Alam dan Geografis

Desa Sukatendel merupakan salah satu desa dari 25 desa yang berada di Kecamatan Payung.18 Desa ini berjarak 25 km dari ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe dan berjarak 101 km dari Medan.19

Luas desa ini 6,16 km2

atau sekitar 4,60% dari luas Kecamatan Payung. Luas desa tampaknya tidak mengalami perubahan yang signifikan, terkecuali pada tahun 1997. Adapun penyebab perubahan luas ini akan dibahas pada bab selanjutnya.

18 Dalam kurun waktu penelitian ini (1965-2005) Desa Sukatendel masih termasuk ke dalam

Kecamatan Payung. Pada Tahun 2005 Bupati Karo menerbitkan PERDA nomor 04 tahun 2005 tentang pembentukan kecamatan baru dimana salah satu kecamatan yang mengalami pemekaran ialah Kecamatan Payung menjadi 2 kecamatan. Kecamatan Payung (sebagai kecamatan induk pindah ibukota kecamatan dari Tiganderket ke Payung), sedangkan Kecamatan Tiganderket (kecamatan pemekaran) ibukotanya di Tiganderket. Secara resmi Kecamatan Tiganderket telah disahkan oleh Bupati Karo tanggal 29 Desember 2006.

(8)

Tabel 1

Klasifikasi Tanah dan Fungsinya

FUNGSI TANAH LUAS (HA) % 1965 - 1996 1997 1965 - 1996 1997 Tanah Sawah 110 40 17,86 6,49 Tanah Kering 97,5 168 15,83 27,27 Bangunan Pekarangan 7 7 1,14 1,14 Lainnya 401,5 401,5 65,17 65,17 JUMLAH 616 616 100 100

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka 1996 & 1997

Pemukiman terdapat di tengah-tengah desa dengan susunan rapi, dan teratur. Sawah ataupun ladang yang terdapat di desa ini sebagian besar berada di luar pemukiman warga. Sawah dan ladang mereka terletak di wilayah perbatasan antar desa Sukatendel dengan desa-desa lain. Para petani dapat berjalan kaki jika ingin pergi ke sawah atau ladang mereka, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari desa. Adapun batas wilayah desa dapat dilihat sebagai berikut.20

Utara - Desa Susuk, Desa Kutambaru.

Timur - Desa Tiganderket, Desa Tanjung Merawa. Selatan - Desa Batukarang.

Barat – Desa Jandimeriah.

(9)

Desa ini berada di ketinggian 900 m dari permukaan laut dengan suhu udara sekitar 21°C - 26°C dan curah hujan 1800 mm per tahun.21 Dengan letaknya yang berjarak 7 km dari gunung berapi Sinabung (2451 m), tanah di desa ini tergolong cukup subur, sehingga penduduk desa memanfaatkannya sebagai lahan untuk bertani dan bersawah.

Desa Sukatendel juga mempunyai bagian-bagian khusus yang dapat dimanfaatkan oleh warganya. Bagian-bagian itu meliputi daerah yang luas dan mempunyai fungsinya masing-masing, seperti uraian berikut:

a) Perumahan warga

Sebelum periode kemerdekaan, penduduk tinggal di sebuah rumah tradisional yang disebut Rumah Adat. Khusus di wilayah Karo Teruh Deleng, rumah dihuni oleh empat keluarga, sehingga disebut Rumah Si Empat Jabu. Rumah itu dihuni oleh simantek kuta (jabu benana kayu), anak beru-nya (ujung kayu), sembuyak/biak senina simantek kuta (lepar benana kayu) dan kalimbubu simantek kuta (lepar ujung kayu). Namun setelah desa dibumihanguskan pada tahun 1947, bentuk fisik rumah pun berubah seperti uraian di atas.

b) Kesain

Kesain merupakan tempat semacam alun-alun yang dipergunakan sebagai tempat dilaksanakannya sebuah acara adat. Kesain juga berfungsi sebagai tempat anak-anak untuk bermain-main. Pada zaman dulu, tidak semua warga

21 Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,

tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1800 mm artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar, tertampung air setinggi 1800 mm.

(10)

desa dapat mempergunakan kesain ini untuk acara adat mereka. Hanya mereka yang berasal dari kelompok simantek kuta saja yang dapat menggunakan kesain ini. Kelompok ginenggem juga dapat mempergunakan kesain, tapi harus meminta izin dari simantek kuta terlebih dahulu. Aturan ini mulai dihapuskan setelah Belanda masuk ke Tanah Karo.

c) Jambur

Jambur mempunyai beberapa fungsi:

- Sebagai lumbung, dimana warga desa dapat menyimpan padi. Masing-masing warga dapat menyimpan padi milik mereka, dan tidak tergabung begitu saja dengan padi milik orang lain.

- Bagian atas jambur dipergunakan oleh para anak laki-laki yang sudah remaja (anak perana) untuk tidur.

- Bagian bawah jambur dipergunakan sebagai tempat untuk bercengkerama antar warga.

- Jambur juga dipergunakan sebagai tempat untuk memasak lauk-pauk pada saat sebuah acara adat tengah berlangsung.

d) Geriten

Geriten ialah tempat diletakkannya tengkorak para leluhur pendiri desa, atau seorang keturunannya yang mempunyai prestise dan wibawa yang tinggi. Pembuatan sebuah geriten kepada seorang yang telah meninggal tidak boleh sembarangan, melainkan harus dilihat dari sudut moral, kekuasaan atau kekayaan orang tersebut. Tokoh yang diletakkan di dalam Geriten patut menjadi contoh bagi orang lain, terlebih pada keturunannya.

(11)

e) Pendonen

Pendonen ialah kuburan bagi orang-orang yang sudah meninggal. Pendonen mulai dibuat sejalan dengan pemerintahan Belanda di Tanah Karo, sekitar tahun 1908. Sebelumnya mayat orang yang sudah meninggal dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai.22

f) Perjuman

Area di sekitar desa dijadikan perjuman atau perladangan bagi warga setempat. Ada warga yang menjadikan area tersebut menjadi sawah dengan mengalirkan air dari parit di tepian jalan, sehingga mereka dapat menanam padi. Setiap ladang diberi pagar, selain sebagai pembatas, juga untuk mencegah masuknya hewan peliharaan warga. Di setiap ladang biasanya dibangun sebuah pondok kecil (sapo) sebagai tempat berteduh, atau menyimpan berbagai peralatan tani. Di sawah, selain membangun sapo, petani juga membangun sebuah pantar, yaitu sebuah tempat yang dikhususkan untuk mengamati burung-burung saat padi sudah menguning. Pantar dibuat lebih tinggi dari sapo, terbuat dari kayu, tanpa dinding, hanya atap dan lantai disertai dengan tiang penahan lantai. Dari pinggir sawah dipasang banyak tali yang dihubungkan ke pantar, sehingga jika sekelompok burung mendekati sawah, tali tersebut dapat digoyang-goyangkan oleh si penjaga sawah untuk menakut-nakuti kelompok burung.

22 Ritual menghanyutkan abu jenazah ke sungai ini merupakan salah satu bukti peninggalan

(12)

g) Kerangen

Kerangen (hutan) desa merupakan milik warga desa sepenuhnya, dimana warga biasa mencari kayu bakar atau balok kayu di sana.

h) Barong

Barong merupakan wilayah di luar perladangan yang dipergunakan oleh warga sebagai tempat untuk mengembalakan ternaknya. Ternak yang dipelihara harus mempunyai gembala (permakan) supaya ternak-ternak tersebut tidak pergi ke luar barong dan merusak tanaman orang lain.

i) Perjalangen

Perjalangen merupakan sebuah wilayah luas yang dikhususkan untuk hewan-hewan yang tidak digembalakan. Perjalangen ialah milik simantek kuta, sebagai bagian dari Tanah Kesain. Di sini perladangan tidak diizinkan. Jikalau ada warga yang ingin membuka perladangan di perjalangen, maka ia harus mendapat izin dari pengulu (kepala desa), memagar ladangnya dan membayar sewa tanah kepada pengulu.

j) Tapin

Tapin merupakan sungai yang mengalir di sebuah desa. Setiap desa biasanya mempunyai sebutan khusus untuk sungai mereka. Tapin di Desa Sukatendel disebut dengan Lau Bentayan.

k) Buah Uta-uta

Buah Uta-uta ialah tempat dimana warga biasanya melangsungkan upacara religius. Misalkan jika terjadi musim kemarau yang panjang, maka warga desa melakukan upacara meminta hujan (Ndilo Wari Udan). Jika permohonan

(13)

mereka berhasil dan hasil panen memuaskan, warga kembali mengadakan upacara pemujaan Buah Uta-uta (Mere Buah Uta-uta)

2.3 Komposisi Penduduk

Berdasarkan data yang diperoleh, Desa Sukatendel mencapai tingkat populasi tertinggi pada tahun 1995, yakni 1379 orang, dengan kepadatan penduduk 224 orang per km2. Untuk tahun-tahun selanjutnya jumlah penduduk desa bekisar di antara angka 1100-an. Berikut rincian jumlah penduduk beserta kepadatan penduduknya:

Tabel 2

Komposisi Jumlah Penduduk

Keterangan

TAHUN

1995 1999 2003

Jumlah Penduduk 1397 1172 1102

Kepadatan Penduduk per km2 224 190 178

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka 1995.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pertambahan penduduk kerap bertambah sebelum tahun 1995 dan setelah itu jumlahnya cenderung tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Adanya penurunan angka ini umumnya disebabkan bertambahnya jumlah penduduk yang pindah ke kota, dan juga karena putra-putri mereka yang hendak bersekolah dan mencari pekerjaan di kota.

(14)

Mayoritas penduduk desa ialah suku Karo, namun terdapat juga beberapa etnis suku lain, seperti Jawa dan Toba. Selain itu tampak adanya rasa solidaritas yang tinggi antar etnis. Meskpiun mayoritas warga desa bermarga Perangin-angin, namun terdapat juga marga-marga Karo yang lainnya di sini. Hal ini umumnya disebabkan karena faktor pernikahan.

Mata pencaharian warga umumnya adalah bertani. Ada juga warga yang tidak mempunyai ladang atau sawah sehingga pekerjaan sehari-hari mereka ialah bekerja di ladang orang lain (ngemo). Orang yang ngemo ini biasanya akan menawarkan diri untuk bekerja di ladang atau sawah seseorang. Ia akan memperoleh upah sesuai lama atau jenis pekerjaan yang diberikan si pemilik lahan.

Tabel 3

Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 1996 Sektor Pekerjaan Jumlah Jiwa

Pertanian 762 PNS/ABRI 18 Lainnya 33

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka 1996

Warga desa mempunyai sifat keterbukaan yang tinggi. Hal ini ditandai dengan mulai diterimanya agama Kristen dan Islam memasuki tahun 1960. Agama Islam dibawa oleh etnis Jawa yang bermukim di desa ini untuk mencari pekerjaan.

(15)

Meskipun terdapat perbedaan agama antara mereka, namun hal ini tidak menjadi sesuatu hal yang menghalangi interaksi sosial antara mereka.

Tabel 4

Komposisi Penduduk Menurut Agama Tahun 1996 No. Jenis Agama Jumlah/Jiwa

1 Kristen 796

2 Islam 583

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka 1996

Di sini terdapat sebuah masjid dan dua unit bangunan gereja, tempat penduduk beribadah. Meskipun semua penduduk desa telah menganut agamanya masing-masing, namun masih ada juga warga yang menganut konsep agama tradisional.23 Hal ini ditandai dengan masih adanya warga yang melaksanakan upacara adat seperti Erpangir Ku Lau, atau Ndilo Wari Udan.

Di desa ini terdapat sebuah Sekolah Dasar Negeri dan pada tahun 1997 pemerintah membangun sebuah Sekolah Menengah Pertama dan sebuah Sekolah Menengah Atas.24 Para orang tua sangat menganjurkan anak-anak mereka untuk bersekolah, paling tidak sampai tamat Sekolah Menengah Pertama.

23 Kepercayaan kuno masyarakat Karo disebut perbegu, yang meyakini adanya kuasa gaib.

Menurut kepercayaan ini manusia terdiri atas tubuh, roh dan nafas. Perbegu berasal dari kata begu, yang berarti hantu, roh orang yang sudah meninggal. Jika seorang penganut kepercayaan ini meninggal, tubuhnya kembali ke tanah, darahnya kembali ke air, nafasnya kembali ke udara, dan jiwanya menjadi hantu.

24 Sebelum SMP dan SMA ini dibangun, anak-anak SMP dan SMA sebelumnya bersekolah di

(16)

Tabel 5

Komposisi Penduduk Menurut Usia Tahun 1996 USIA Yang Bersekolah Tidak Bersekolah

7-12 144 2

13-19 168 9

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka 1996

Biasanya sepulang dari sekolah, anak-anak akan membantu orang tua mereka bekerja. Terkadang mereka diminta untuk berjualan sayur dalam jumlah kecil di kesain desa, atau sekedar membantu pekerjaan di ladang atau sawah.

2.4 Struktur Sosial Budaya

Karakteristik orang-orang Karo pada umumnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat tinggalnya. Walaupun mereka terisolir di pedalaman dataran tinggi, sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam menjalin hubungan dengan sesamanya.25 Seluruh pola hubungan tersebut tertuang dalam sebuah aturan tidak tertulis yang bersifat mengatur. Adapun adat istiadat yang berlaku di dataran tinggi Karo berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Wilayah peradatan ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

25 Sarjani Tarigan, op. cit., hal. 23.

(17)

o Karo Kenjulu

Meliputi Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Barusjahe, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Merek dan sekitarnya.

o Karo Timur

Meliputi Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kecamatan Silima Kuta dan sekitarnya.

o Karo Langkat

Meliputi Kecamatan Padang Tualang (Batang Serangan), Kecamatan Bahorok, Kecamatan Selapian, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, Kecamatan Sungai Bingai, Kota Binjai, Kecamatan Stabat dan sekitarnya.

o Karo Baluren

Meliputi Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Tiga Lingga, Kecamatan Gunung Stember, dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.

o Karo Dusun

Meliputi Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Namorambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hilir, Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hulu,

(18)

Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan Biru-biru, Deli Tua dan sekitarnya.

o Karo Teruh Deleng

Meliputi Kecamatan Kutabuluh, Kecamatan Payung, Kecamatan Tiganderket, Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Mardinding dan sekitarnya.

o Karo Singalor Lau

Meliputi Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Juhar, Kecamatan Munthe dan sekitarnya.

Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa Desa Sukatendel termasuk ke dalam wilayah Karo Teruh Deleng.26 Masyarakat Karo pada umumnya harus memahami beberapa hak dan kewajiban tiap-tiap orang dalam adat. Demikian juga halnya di Desa Sukatendel. Salah satu yang utama ialah sangkep nggeluh, yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri atas senina, kalimbubu dan anak beru. Adapun pusat dari sangkep nggeluh ini ialah sukut, yakni pribadi/keluarga/merga tertentu yang diayomi oleh senina, kalimbubu dan anak beru-nya.

26 Sebutan Karo Teruh Deleng (di bawah gunung) mengacu pada letak pedesaan yang

(19)

 Tutor

Dalam melaksanakan upacara adat tertentu seperti pernikahan, upacara kematian atau memasuki rumah baru, sangkep nggeluh akan diketahui bila sudah jelas siapa yang menjadi sukut dalam acara tersebut. Misalnya, dalam adat pernikahan, sukut adalah orang yang menikah beserta orang tuanya. Dalam adat kematian, sukut adalah istri/suami yang ditinggal beserta anak dari orang yang meninggal tersebut. Dalam adat memasuki rumah baru, sukut adalah si pemilik rumah.

Untuk memahami hal tersebut, sebaiknya harus dipahami terlebih dahulu bagaimana cara orang-orang Karo menarik garis keturunan, baik dari ayah (patrilineal) dan ibu (matrilineal) dari seseorang, yang disebut dengan tutor. Adapun cara menarik garis keturunan atau tutor ini meliputi:

1. Marga atau Beru

Marga adalah hal yang paling utama dalam identitas seorang Karo. Untuk laki-laki, dipakai kata merga yang merupakan nama keluarga, sedangkan untuk perempuan dipakai kata beru. Dalam setiap perkenalan masyarakat Karo, biasanya akan ditanyakan marga terlebih dahulu. Merga berasal dari kata meherga yang berarti mahal.27 Mahal dalam konteks budaya Karo berarti penting. Marga ini akan diwariskan hanya kepada anak laki-laki dari tiap keluarga. Terdapat lima marga/beru pada suku karo yakni Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.

27 Mengenai penjelasan tentang asal mula kemunculan marga ini, lihat di Sarjani Tarigan,

(20)

2. Bere-bere

Bere-bere merupakan nama keluarga yang diwarisi dari beru ibu seseorang. Misalkan jika seseorang bermarga Ginting dan ibunya beru Tarigan, maka anaknya bere-bere Tarigan.

3. Binuang

Binuang merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ayahnya (ibu dari ayah). Misalkan jika seorang anak mempunyai ayah yang bermarga Sembiring dan ayahnya bere-bere Ginting, maka binuang anak tersebut ialah Ginting.

4. Kempu

Kempu merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari bere-bere ibunya (ibu dari ibu). Misalkan jika seorang anak mempunyai ibu beru Ginting dan bere-bere Tarigan, maka anak tersebut kempu Tarigan.

5. Kampah

Kampah merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari beru nenek ayahnya (dari pihak ayah). Misalkan jika seorang anak bermarga Tarigan dan nenek ayahnya (ibu dari ayahnya) beru Sembiring maka anak tersebut kampah Sembiring.

6. Soler

Soler merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari beru nenek ibunya (dari pihak ibu). Misalkan jika seorang anak bermarga Tarigan dan nenek ibunya (ibu dari ibunya) beru Ginting maka anak tersebut soler Ginting.

(21)

Demikianlah terlihat bahwa masyarakat Karo mengambil garis keturunan baik dari ayah atau ibu. Tutor ini dapat menjadi sebuah faktor yang mempererat rasa kekeluargaan. Umumnya, dua orang yang berbeda marga tapi mempunyai kesamaan pada salah satu unsur di atas, sudah dianggap bersaudara.

 Rakut Sitelu

Rakut Sitelu mencakup tiga hal: 1. Senina

Yang dimaksud dengan senina ialah orang-orang yang sependapat di dalam permusyawaratan adat. Se berarti satu, nina artinya kata atau pendapat.

2. Anak Beru

Dalam kehidupan adat, anak beru dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari sebuah keluarga (marga).

3. Kalimbubu

Kalimbubu merupakan kelompok pemberi gadis bagi suatu keluarga (merga). Kalimbubu sering diidentikkan dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang terlihat), karena kedudukannya yang sangat dihormati.

Ketiga hal ini mempunyai cabang masing-masing yang berbeda tugas dan fungsinya dalam setiap acara adat.28

28 Untuk penjelasan selengkapnya tentang sangkep nggeluh masyarakat Karo, lihat di

Referensi

Dokumen terkait