• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. negatif dan mengarahkannya kepada respon lain yang lebih baik dalam segi self

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. negatif dan mengarahkannya kepada respon lain yang lebih baik dalam segi self"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self-Control

Self-control membuat seseorang menahan suatu respon yang dianggap negatif dan mengarahkannya kepada respon lain yang lebih baik dalam segi self discipline, deliberate/nonimpulsive, healthy habits, work ethic, dan reliability (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).

Self-control adalah kemampuan individu untuk berperilaku yang tenang dan tidak meledak-ledak, dapat memikirkan resiko dari perilakunya, berusaha mencari informasi sebelum megambil keputusan, tidak mengandalkan kekuatan fisik dalam menyelesaiakan masalah dan tidak bersikap egois atau mudah marah (Praptiani, 2013).

2.1.1 Teori Kontrol

Carver dan Scheier (1982) mengatakan bahwa teori kontrol merupakan sebuah pendekatan umum didalam memahami self-control. Teori kontrol digunakan untuk menganalisis perilaku individu, karena berfungsi sebagai pengambaran model dari self-control individu. Dasar dari teori kontrol adalah negative feedback loop. Fungsi dari negative feedback loop ialah menghilangkan, mengurangi dan mengetahui adanya penyimpangan nilai standar. Proses komponen yang ada di dalam sistem ini dapat kita lihat pada gambar 2.1.

(2)

2.1.1.1 Komponen dalam Teori Kontrol

Menurut Carver dan Scheier (1982) teori kontrol terbentuk dari beberapa komponen, yaitu:

a) Input function yaitu sebuah persepsi yang dihasilkan dari pengindraan terhadap situasi atau kondisi pada saat ini

b) Comparator yaitu mekanisme dimana hasil dari persepsi yang terjadi pada proses input function dibandingkan dengan titik acuan c) Reference value yaitu sebuah standar nilai

d) Output function yaitu perilaku yang muncul setelah mengalami proses perbandingan dengan reference value.

Contoh dari bagaimana penerapan mekanisme teori control yaitu ketika seorang remaja memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis (berpacaran). Pada awalnya persepsi remaja tersebut menganggap bahwa berciuman bibir (kissing) merupakan suatu tindakan yang wajar. Namun, hal tersebut merupakan suatu hal yang dilarang agama Islam karena termasuk perilaku zina (standar nilai) menurut kacamata agama Islam. Kemudian, muncul perbandingan persepsi dengan standar nilai yang ada sehingga remaja tersebut memutuskan untuk tidak berciuman bibir lagi dan hanya mengekspresikan kasih sayangnya melalui berpegangan tangan saja. Suatu saat pasangan remaja tersebut menonton film romantis dan di dalam film tersebut ada adegan sepasang kekasih melakukan kissing. Akhirnya muncul keinginan mereka untuk melakukan kissing lagi, namun mereka mengingat bahwa kissing adalah sebuah perilaku yang dilarang agama Islam untuk

(3)

dilakukan oleh pasanngan yang belum diakui secara agama, akhirnya remaja tersebut hanya mencium tangan pasangannya sebagai hasil dari adanya ketidaksesuaian antara persepsi saat ini dan reference value (standar nilai) yang ada.

Gambar 2. 1The Negative feedback loop

Gambar 2.1 merupakan skema dari teori kontrol dan digunakan didalam contoh yang peneliti paparkan di atas.

2.1.2 Faktor Pembentuk Self-Control

Menurut Baumeister dan Exline (2000) ada empat faktor utama dalam pembentukan self-control. Diantaranya adalah :

Reference value Comparator Output Function (Behavior) Input function (perception) Impact on environment Disturbance

(4)

a) Kontrol impuls yang melibatkan penahanan diri terhadap godaan dan dorongan yang tidak diinginkan lingkungan sosial ataupun pribadi. Yang mungkin termasuk ke dalam dorongan tersebut antara lain seperti dorongan atas tindakan seksual, dorongan untuk makan dan adalah Muslim Syiah dan rata-rata berusia 23 tahun, dilaporkan bahwa mayoritas dari mereka yaitu sebanyak 55% memiliki nilai religiusitas yang tinggi, dan 20% dari mereka memiliki hubungan minum, dorongan untuk memakai narkoba, dorongan melakukan kekerasan atau bersikap agresif, dan sejenisnya.

b) Kontrol atas pikiran yaitu berkonsentrasi untuk mengatur pertimbangan seseorang sehingga dapat menghasilkan informasi sesuai dengan fakta dan informasi yang ada sehingga dapat menekan pikiran yang tidak di inginkan.

c) Pengaruh regulasi yang melibatkan upaya untuk mengubah keadaan emosional dan suasana hati seseorang, hal yang paling sering dilakukan adalah dengan keluar dari suasana hati yang buruk.

d) Kontrol diri yang relevan untuk mencapai kinerja yang optimal, dan proses pengendalian kinerja dapat mencakup ketekunan, pengelolaan tenaga yang optimal, tibal balik yang cepat dan tepat, mencegah terhambat di bawah tekanan.

(5)

2.1.3 Self-Control dan Moralitas

Di dalam kehidupan yang semakin kompleks seperti pada saat ini, moralitas dan norma sosial merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan demi menghadapi segala macam persoalan yang ada pada saat ini. Hal ini dibutuhkan agar tatanan kehidupan berjalan dengan selaras dan lebih baik.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Praptiani (2013) ditemukan bahwa ada pengaruh self-control dan agresivitas remaja dalam menghadapi sebuah konflik . Subyek dalam penelitian ini siswa SMK N 11 Malang kelas X dan XI sejumlah 493 siswa, kemudian dilakukan seleksi menggunakan instrumen peer conflict scale (PCS) diperoleh subyek yang mengalami konflik sebesar 149 siswa, terdiri dari 91 siswa laki-laki dan 58 siswa perempuan dengan rentangan usia 15 – 19 tahun. Di dalam penelitiannya Praptiani (2013) menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara self-control terhadap agresivitas remaja dalam menghadapi konflik.Pengaruh self-control dan agresivitas remaja dalam menghadapi konflik memberikan pemahaman teoretik bahwa ada pengaruh self-control terhadap agresivitas remaja dalam menghadapi konflik. Tinggi dan rendahnya agresivitas remaja dipengaruhi oleh self-control. Remaja yang memiliki self-control tinggi maka agresivitasnya rendah sedangkan remaja yang memiliki self-control rendah agresivitasnya tinggi.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Gailiot, Gitter, Baker, dan Baumeister (2012) secara langsung menguji apakah self-control yang rendah akan menyebabkan orang melanggar norma-norma sosial dan aturan lain di dalam sebuah konflik antara keinginan pribadi dan tuntutan eksternal. Kesimpulan secara

(6)

umum yang didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Gailiot, Gitter, Baker, dan Baumeister (2012), dikatakan bahwa self-control yang rendah meningkatkan berbagai pelanggaranaturan sosial. Yang lebih penting, ditemukan bahwa self control yang rendah berkontribusi terhadap pelanggaran aturan termasuk terlibat dalam perilaku berisikoyang termasukpelanggaranserius terhadap aturan etika, menggunakan kata-kata yang tidak senonoh dan mengabaikannormayang palingdasar danumum.

Perbedaan gender ternyata mempengaruhi perbedaan self-control yang dimiliki seseorang. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Nakhaie, Silverman, dan LaGrange (2000) ditemukan bahwa perempuan memiliki tingkat self-control yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Dalam penelitian tersebut, disebutkan bahwa kejahatan yang dilakukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Sebuah hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Cheung dan Cheung (2010) juga menyebutkan bahwa kenakalan remaja pada laki-laki cenderung lebih tinggi dibanding perempuan. Menurut penelitian hal tersebut dikarenakan tingkat self- control pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa laki-laki cenderung bermasalah terhadap orang tua, sekolah, dan teman sebayanya dibanding perempuan. Namun di dalam penelitian lain, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Praptiani (2013) terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan antara self-control pada laki-laki dan perempuan.

(7)

2.2 Religiusitas

Religiusitas ialah keyakinan dan praktik seseorang terhadap agama yang dianut, yang ditujukan untuk Tuhan yang tergambar dalam cara mengahadapi permasalahan (faith-basic coping) dan berinteraksi untuk mendapatkan dukungan dengan orang yang seagama (religious social support/activities) (Hernandez, Loyola, dan Louisiana, 2011).

2.2.1 Faktor-Faktor Religiusitas

Menurut Hernandez, Loyola, dan Louisiana (2011) religiusitas terbentuk dari dua faktor utama, yaitu :

1. Faith-basic coping yaitu coping berbasis agama, dimana keyakinan dan praktik agama ditujukan untuk keperluan coping. Faith-basic coping juga mengacuh kepada kenyamanan, kedekatan, dan memahami ujian dari Tuhan dan memaknai kehidupan melalui keyakinan maupun tindakan seperti berdoa, sholat, dan sebagainya (interaksi dengan Tuhan).

2. Religious social support/activities merupakan sebuah interaksi individu dengan individu lain yang seagama dengannya, yang dimaksudkan untuk mencari dukungan, baik melalui saran spiritual, doa, maupun sumbangan keagamaan.

2.2.2 Religiusitas dan Kebahagiaan Hidup Seseorang

Kebahagiaan di dalam kehidupan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan oleh setiap individu di dunia ini. Individu yang memiliki perasaan

(8)

bahagia dan puas pada akhirnya akan memunculkan konsep diri yang positif yang pada akhirnya akan membentuk harga diri yang kuat di dalam dirinya (Darokah & Diponegoro, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Darokah dan Diponegoro (2005) menyimpulkan bahwa semakin tinggi akhlak dan pelajaran agama Islam yang dimiliki siswa, semakin tinggi pula kepuasan dan afek positifnya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pelajaran agama Islam dan akhlak memiliki hubungan positif dengan kebahagiaan siswa.

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Aghili dan Kumar (2008) disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara religiusitas dan kebahagiaan. Komitmen beragama seseorang yang tercermin dari ke-religiusitasan yang ia miliki membuatnya terhindar dari rasa kecemasan. Sehingga Aghli dan Kumar (2008) dapat menyimpulkan bahwa semakin rendah tingkat religiusitas seseorang, semakin tinggi pula rasa cemas dan ketegangan di dalam dirinya yang pada akhirnya menyebabkan individu tersebut merasa kurang bahagia atau memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah.

Selain itu, penelitian yang di lakukan oleh Clarke, Bannon, dan Denihan (2003) diperoleh hasil bahwa religiusitas dapat mengurangi kecenderungan individu untuk melakukan tindakan bunuh diri. Di dalam penelitian ini disebutkan bahwa setidaknya terjadi 439 kasus bunuh diri di Irlandia pada tahun 1999, dengan rincian 299 terjadi di pedesaan, dan 144 di perkotaan yang dilakukan oleh 349 laki-laki dan 90 wanita. Di pedesaan

(9)

bunuh diri pada laki-laki 4 kali lebih tinggi dibanding wanita, sedangkan di perkotaan 2 kali.

Berdasarkan survey di dalam penelitian yang dilakukan oleh Clarke, Bannon, dan Denihan (2003) di temukan hasil bahwa tingkat religiusitas seseorang tergantung pada umur, jenis kelamin, dan lokasi tempat tinggalnya. Di sebutkan bahwa orang yang lebih tua memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi dibanding yang lebih muda, selain itu disebutkan juga bahwa tingkat religiusitas wanita lebih tinggi dibanding laki-laki, sedangkan melihat lokasi tempat tinggalnya individu yang tinggal di pedesaan memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi di banding yang tinggal di perkotaan.

Pada akhirnya melihat kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Clarke, Bannon, dan Denihan (2003) terlihat bahwa tingkat bunuh diri terjadi lebih banyak pada usia muda dibanding yang lebih tua karena tingkat religiusitasnya yang lebih rendah selain itu terpapar juga bahwa ada perbedaan enam kali lipat dalam tingkat bunuh diri di Irlandia antara pria dan wanita. Religiusitas dalam populasi Irlandia secara umum lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki sesuai dengan ukuran berbagai keyakinan, sikap, dan praktek. Perbedaan derajat religiusitas di kalangan pria dan wanita dapat menyebabkan perbedaan dalam tingkat bunuh diri mereka.

Hal ini membuktikan kepada kita bahwa religiusitas berpengaruh terhadap kebahagiaan seseorang dan ketentramannya di dalam menjalankan kehidupan. Seperti kita ketahui perilaku bunuh diri merupakan hasil dari adanya tekanan terhadap diri seseorang yang membuat dirinya merasa tidak

(10)

aman dan nyaman terhadap kehidupan yang ia jalani dikarenanakan individu tersebut menganggap bahwa hidupnya tidak berharga lagi dan tidak membahagiakan.

2.2.3 Religiusitas dan Perilaku Beresiko

Selain itu religiusitas juga berpengaruh terhadap prilaku seserorang. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa seorang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung lebih rendah untuk melakukan perilaku beresiko. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Shirazi dan Morowatisharifabad (2009) ditemukan hasil bahwa siswa yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih memungkinkan unuk memiliki self-efficay yang tinggi didalam menolak perilaku seksual beresiko. Penelitian ini dilakukan di negara Iran dengan sample 200 mahasiswa berjenis kelamin laki-laki, minimal sudah mengemban pendidikan di perguruan tinggi selama 2 tahun dan berstatus belum menikah.

Penelitian yang di lakukan Shirazi dan Morowatisharifabad (2009) menggunakan 2 metode yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dengan 15 mahasiswa yang bertujuan untuk mengetahui pandangan mereka tentang Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), data yang didapat menunjukkan bahwa rata-rata dari mereka cukup baik didalam menerima informasi tentang cara mencegah HIV AIDS . Sebagian besar dari partisipan setuju bahwa keterlibatan agama memiliki peran penting dalam mencegah AIDS. Partisipan memiliki sikap

(11)

yang positif didalam melakukan perilaku seks yang aman. Sekitar 50% dari partisipan meyakini bahwa seorang laki-laki yang belum menikah tidak boleh berhubungan seks. Semua partisipan adalah Muslim Syiah dan rata-rata berusia 23 tahun, dilaporkan bahwa mayoritas dari mereka yaitu sebanyak 55% memiliki nilai religiusitas yang tinggi, dan 20% dari mereka memiliki hubungan seksual. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa mahasiswa yang belum pernah berhubungan sex memiliki sikap yang lebih mendukung terhadap norma-norma untuk tidak melakukan hubungan sex sebelum menikah dibanding mereka yang aktif secara seksual. Selain itu, partisipan yang sudah melakukan seks memiliki self-efficacy yang lebih rendah didalam menolak hubungan seks.

Selanjutnya, Shirazi dan Morowatisharifabad (2009) ditemukan bahwa skor religiusitas yang lebih tinggi berkorelasi dengan kontak seksual yang lebih rendah, self-efficay yang lebih tinggi, serta sikap yang lebih positif untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Mahasiswa yang memiliki religiusitas tinggi 5 kali lebih mungkin untuk tidak berhubungan seksual sebelum menikah. 3,04 kali lebih mungkin memiliki self-efficacy untuk menolak seks sampai mereka menikah, dan 4,55 kali lebih mungkin untuk memiliki sikap positif untuk tidak melakukan seks sebelum menikah.

Penelitian lain juga membahas tentang pengaruh religiusitas, peran orang tua, dan teman sebaya terhadap perilaku seksual beresiko pada remaja. Di dalam penelitian yang di lakukan oleh Landor, Simons, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) dipaparkan bahwa perilaku seksual beresiko di kalangan remaja adalah sebuah masalah sosial yang sering mengakibatkan berbagai

(12)

hasil negatif pada kesehatan. Hasil negatif yang mungkin saja ditimbulkan dari perilaku seks beresiko ini antara lain seperti Infeksi Menular Seksual ( IMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak diinginkan.

Menurut Landor, Simons, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) salah satu faktor yang dapat mengurangi perilaku seks beresiko adalah agama. Pada penelitian ini sampel berjumlah 612 orang yang di dalamnya adalah remaja dan orang tua keturunan Afrika Amerika yaitu 277 berjenis kelamin laki-laki dan 335 perempuan. Di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 89% dari orang tua menganggap pentingnya sebuah agama dan keyakinan spiritual dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa komitmen beragama pada orang tua berhubungan positif terhadap meningkatnya pola asuh otoritatif dan religiusitas remaja. Landor, Simons, Simons, Brody, dan Gibbons (2011) juga menemukan bahwa remaja yang relijius cenderung berafiliasi dengan kelompok sebayanya yang menolak perilaku seksual yang beresiko. Pada akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas orang tua berfungsi sebagai faktor pelindung dan kontrol sosial bagi para remaja di dalam mengurangi kemungkinan melakukan perilaku seksual beresiko.

Penyalahgunaan NARKOBA juga merupakan perilaku yang beresiko terlebih jika menggunakan jarum suntik secara bergantian pada saat mengkonsumsi NARKOBA jenis tertentu. Masalah kesehatan yang mungkin akan muncul nantinya bisa seperti penularan HIV AIDS atau gangguan kesehatan lainnya yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2010) di dapatkan hasil bahwa semakin

(13)

tinggi tingkat religiusitas remaja maka semakin rendah tingkat penyalahgunaan narkoba dan sebaliknya.

Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukan hasil bahwa tingkat religiusitas laki-laki lebih rendah dibanding perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Levin, Taylor, dan Chatters (1994) mereka mengatakan bahwa perempuan paruh baya memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki paruh baya. Levin, Taylor, dan Chatters (1994) mengatakan dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa perempuan paruh baya lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan dibandingkan laki- laki paruh baya. Berdasarkan survey di dalam penelitian yang dilakukan oleh Clarke, Bannon, dan Denihan (2003) di temukan hasil bahwa tingkat religiusitas wanita lebih tinggi dibanding laki-laki.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sullins (2006) disebutkan bahwa tingkat religiusitas perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roth dan Kroll (2007) dalam penelitiannya disebutkan bahwa perempuan lebih sering menghadiri acara keagamaan dibandingkan dengan laki-laki. Roth dan Kroll (2007) menyebutkan bahwa secara umum tingkat religiusitas perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

2.3 Self-Control dan Religiusitas

Desmond, Ulmer, dan Bader (2013) mengatakan bahwa agama merupakan suatu hal yang dapat meningkatkan self-control seseorang. Hal ini dikarenakan

(14)

agama dapat menegakkan standar moral tertentu, sehingga membuat individu memiliki motivasi untuk menjadi pribadi yang baik. Selain itu, Desmond, Ulmer, dan Bader (2013) juga berpendapat bahwa agama membuat individu merasa bersalah apabila melanggar tata sosial yang ada, agama juga membuat individu memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan dan umat beragama lainnya. Agama membuat individu mampu menguatkan karakter di dalam dirinya, melatih sistem moral di dalam diri, meningkatkan introspeksi diri, dan merasa bahwa segala perbuatan baik dan buruk dicatatat dan diamati oleh Tuhan. Desmond, Ulmer, dan Bader (2013) menggambarkan bahwa self-control seperti otot seorang yang rajin berolahraga, maka program yang berbasis agama dapat berfungsi sebagai media pelatihan dari “otot” self-control tersebut.

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh McCullough dan Willoughby (2009) ditemukan bahwa agama secara positif berkaitan dengan self-control serta sifat-sifat seperti kesadaran dan keramahan. Ditemukan juga bahwa agama mempengaruhi pemilihan tujuan, mengejar tujuan, dan manajemen tujuan. Bukti yang ada mendukung penelitian ini bahwa beberapa ritual keagamaan (meditasi, doa, pencitraan agama, dan membaca kitab suci) dapat meningkatkan self-control.

Hal ini juga konsisten tehadap penelitian lainnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Welch, Tittle, dan Grasmick (2006) menyebutkan bahwa seorang yang memiliki religiusitas yang tinggi juga memiliki self-control yang bagus dibandingkan dengan seorang yang religiusitasnya rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Carter, McCullough, dan Carver (2012) juga menyebutkan bahwa religiusitas berkorelasi positif dengan self-control. Seorang yang memiliki tingkat relgiusitas yang lebih tinggi percaya bahwa setiap tingkah laku mereka diawasi

(15)

oleh Tuhan, sehingga mereka cenderung memiliki self-monitoring yang lebih tinggi dan pada akhirnya memunculkan self-control pada dirinya.

Di dalam artikel yang ditulis oleh Wood (2012) hal serupa juga ditemukan pada sebuah studi dari Queen’s University. Dalam studi tersebut disebutkan bahwa ketika individu berpikir tentang agama, maka akan lebih memunculkan self-control pada dirinya. Di dalam artikel yang ditulis oleh Wood (2012) disebutkan bahwa hal yang paling menarik yang ditemukan dalam studi ini adalah ketika konsep agama ternyata mampu mengisi “bahan bakar” dari self-control seseorang.

2.4 Kerangka Berpikir

Gambar 2. 2Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir ini menggambarkan tentang fenomena yang terjadi pada saat ini, yaitu dimana mulai memudarnya nilai-nilai ajaran agama di dalam diri seseorang khususnya remaja. Seperti kita ketahui, pada saat ini banyak terjadi kasus kriminal yang melibatkan seorang remaja, contohnya kasus pornografi, pembunuhan, seks bebas, NARKOBA, dan lain sebagainya. Peneliti berasumsi bahwa memudarnya nilai-nilai ajaran agama pada remaja dapat mengakibatkan

Kerusakan moral pada remaja

relijiusitas

(16)

kurang atau tidak adanya self-control pada diri mereka, dan salah satu faktor yang dapat menumbuhkan self-control pada diri mereka adalah kerelijiusitasan yang dimilikinya.

Gambar

Gambar 2. 1The Negative feedback loop
Gambar 2. 2Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pelayanan publik di Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Bulukumba ada yang tergolong efektif dan ada

Dokumen Rencana Kinerja Tahunan Kecamatan Bandung Wetan Kota Bandung Tahun 2015 ini disusun berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan

Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf jika saya

Pamerdi Giri Wiloso, M.Si, Phd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Satya Wacana Salatiga, sekaligus dosen pembimbing utama, yang dengan penuh apresiasi dan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Implikasi penelitian ini adalah: 1) Untuk mempertahankan kualitas ibadah jamaah haji Kota Palu, hendaknya pembimbing dalam hal ini kementerian agama kota palu mempertahankan kinerja

[r]

PROFITABILITAS, LIKUIDITAS, KEBIJAKAN HUTANG DAN FREE CASH FLOW TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN ( Studi Empiris pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang terdaftar