PENDEKATAN GEOGRAFI BAGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN IDENTITAS
Oleh: Saefur Rochmat1
Abstrak:
Pendidikan identitas sedang berada di persimpangan jalan dan pendekatan geografi dapat menunjukkan arah pengembangannya sesuai dengan konteksnya. Kebijakan otonomi daerah baru-baru ini belum diikuti dengan usaha-usaha reformasi pendidikan identitas warisan Orde Baru (Orba) yang bersifat sentralistik. Pendekatan geografi akan digunakan untuk menganalisa krisis pendidikan identitas yang sedang terjadi maupun untuk mencari solusi-solusi yang dapat ditawarkan.
Dilihat dari pendekatan geografi, pendidikan identitas yang sentralistik dan menekankan nasionalisme saja masih terasa sangat abstrak bagi siswa sekolah dasar (SD) maupun menengah (SMA). Terlebih nasionalisme yang diadopsi dari peradaban Barat sekuler tidak pernah dimaksudkan sebagai sumber nilai. Oleh karena itu nasionalisme perlu dikawinkan dengan pendidikan agama agar dapat mengemban misi pendidikan identitas, karena agama memang sebagai sumber nilai. Atau, nasionalisme diperkenalkan melalui budaya lokal, yang juga berperan sebagai sumber nilai.
Otonomi daerah memberi peluang kepada daerah untuk menyusun pendidikan identitas berdasarkan pada budaya lokal yang religious itu, yang akan ditransformasikan agar meliputi juga nasionalisme.
Kata-kata kunci: geografi, pendidikan identitas, nasionalisme, agama, dan budaya lokal
A. Pendahuluan
Semua orang sependapat kalau pendidikan merupakan faktor penentu bagi suksesnya
pembangunan suatu bangsa. Akan tetapi kita sering tidak konsisten dengan keyakinan yang kita miliki. Contohnya, rendahnya perhatian pemerintah terhadap
bidang pendidikan, dimana untuk waktu yang lama pemerintah memberi porsi anggaran pendidikan yang begitu rendah. Padahal pendidikan sudah diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945, dimana pemerintahan berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Ajaran agama juga menekankan pentingnya pendidikan ini.
Kepercayaan pada apa yang diyakini merupakan kunci bagi suksesnya pembangunan suatu bangsa. Keyakinan akan hal inilah yang menjadi kunci sukses Jepang dalam membangun negerinya. Jepang mencanangkan modernisasi pada tahun
1868 dengan mengusung jargon Restorasi Meiji. Dia betul-betul meyakini pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa dan segera mendirikan
sekolah-sekolah model Barat di seluruh pelosok negeri. Hebatnya, kebutuhan sekolah-sekolah itu dapat dipenuhi hanya dalam waktu tiga tahun. Tidak heran bila jumlah sekolah pada tahun 1871 kurang lebih sama dengan jumlah sekolah pada waktu sekarang ini; tentu
kapasitasnya berbeda karena pemerintah mengembangkan sekolah yang ada dan diperluas meliputi SMP, SMA, dan perguruan tinggi (PT) (Rochmat, 2004).
Menyadari pentingnya keyakinan pada diri sendiri, pemerintah Indonesia merasa perlu mengembangkan pendidikan identitas. Pendidikan identitas diberikan lewat mata pelajaran Sejarah dan juga PPKn. Namun setelah 60 tahun merdeka,
modernisasi Indonesia masih jauh panggang dari api. Bahkan posisi Indonesia terselip oleh kemajuan bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara ini. Sebut saja Malaysia
dan Singapura. Sedihnya lagi, pada tahun 2002 Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada nomor 132, satu tingkat di bawah Vietnam, suatu negara yang baru merdeka pada tahun 1975 dan lepas dari cengkeraman rezim komunis yang
otoriter. Hal ini terjadi karena Indonesia sedang mengalami krisis identitas. Pendidikan identitas yang dibawa oleh gerbong pendidikan Sejarah dan PPKn perlu
Pendidikan identitas tidak bisa dibatasi pada pendidikan Sejarah dan PPKn saja. Banyak faktor yang menyusun pendidikan identitas, terutama agama dan budaya.
Semuanya harus dipertimbangkan secara proporsional dan disinergikan agar menghasilkan daya kekuatan yang luar biasa. Namun kita juga harus memiliki kesadaran geografis yang jelas agar unsur-unsur pendidikan identitas itu, terutama
agama, nasionalisme, dan budaya, tidak menjadi kontraproduktif. Hendaknya ketiga unsur utama pendidikan identitas itu bekerja pada level yang berbeda, meskipun
ketiganya harus bekerja secara sistemik.
B. Permasalahan Agama dan Nasionalisme
Masalah kebudayaan nasional tidak menjadi kendala bagi Jepang, sehingga dia berhasil memodernisasi negerinya secara cepat, disamping adanya komitmen yang
kuat terhadap kepercayaan yang diyakininya kalau pendidikan merupakan kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Jepang tidak menghadapi ketegangan yang berarti antara agama dengan nasionalisme. Tidak mengherankan bila dalam upaya menanamkan
semangat nasionalisme, guru menyuruh murid-muridnya mengunjungi tempat-tempat ibadah agama Shinto.
Gejala perkawinan agama dan nasionalisme seperti itu tidak dijumpai di Indonesia, dimana guru sejarah mengajak murid-muridnya mengunjungi masjid atau tempat ibadah lainnya dalam rangka menanamkan semangat nasionalisme. Yang
terjadi bahkan sebaliknya, pemerintah berusaha memperlemah posisi kelompok-kelompok umat beragama vis-à-vis pemerintah. Hal ini jelas merugikan bangsa
menjadikan mereka tidak berdaya menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Tidak heran bila praktek KKN mewabah di kalangan birokrasi
pemerintah kita, suatu yang tidak dijumpai di Jepang (Rochmat, 2004).
Praktek KKN di negara kita, negeri Muslim terbesar di dunia, jelas memberi citra negatif Islam pada dunia. Penyakit KKN ini disinyalir terjadi karena kita sedang
mengalami split identity (kepribadian terbelah) karena agama dan nasionalisme belum dapat melangsungkan perkawinan seperti yang terjadi di Jepang. Agama jalan
sendiri dan nasionalisme juga jalan sendiri, bahkan keduanya saling mencurigai dan kadang terjadi konflik yang tidak perlu.
Memang keduanya memiliki sejarah yang berbeda-beda dan keduanya telah
berselingkuh dengan politik, yaitu berusaha menguasai suatu daerah tertentu sebagai lahan untuk mengimplementasikan sistem politik yang diyakininya. Sebagai suatu
konsep, keduanya bisa diimplementasikan secara berbeda dalam sistem politik yang sama maupun berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi khas suatu daerah. Oleh karena itu keduanya tidak layak mengklaim dirinya secara eksklusif. Apalagi bagi
agama yang memiliki kebenaran universal, sangat tidak layak bila mencari kekuatan politik tertentu untuk mendukung kebenarannya. Kepentingan politik justru akan
membiaskan kebenaran agama yang universal itu (Rochmat, 2005a).
Agama hendaknya melepaskan klaim politik yang tidak layak itu agar dia dapat membimbing nasionalisme menuju kebenaran yang universal. Bila agama dapat
memerankan misi mulia ini dampaknya sangat besar: (1) nasionalisme terhindar dari sekulerisme, (2) nasionalisme terhindar dari chauvinism, (3) dan kita terhindar dari
Memang kalau dilihat secara kuantitatif, Indonesia sudah cukup berhasil memodernisasi negaranya. Bukankah kita memiliki jumlah lulusan sarjana, master,
dan doktor yang cukup banyak! Hanya saja mereka belum diberdayakan secara optimal bagi kemajuan bangsa, sehingga mereka dimanfaatkan oleh negara lain yang membutuhkan keahliannya. Namun bila dibandingkan dengan negara lain,
modernisasi Indonesia berjalan lambat karena kita belum berhasil merumuskan kebudayaan nasional. Padahal kebudayaan nasional merupakan fondasi bagi
berlangsungnya modernisasi. Berikut penilaian kritis Tony Barnet (1995: vii) terhadap modernisasi di dunia ketiga:
The main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists –countries such as India and Pakistan have these aplenty; … The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently “technical” decision are taken [garis tebal adalah penekanan penulis].
C. Permasalahan nasionalisme dan budaya lokal
Seperti dijelaskan di atas, nasionalisme dengan nation-state-nya merupakan sesuatu yang baru dan masih belum jelas bentuknya. Nasionalisme dalam pengertian modern
diambil dari peradaban Barat sekuler. J.R. Thackrah, sebagaimana dikutip Faisal Tehrani (2002) mendefinisikan nasionalisme secara meyakinkan:
The concept of nation does not refer to common historical, ethnic, linguistic or religious background alone. It is based on the people’s feelings. Do they feel that they belong to the same group and share the same visions of the future? This feeling is nationalism.
Nasionalisme masih terlalu abstrak bagi sebagian besar orang. Apalagi konsep nasionalisme dan nation-state yang dipinjam dari Barat itu mengandung benih-benih
nasionalisme semakin besar ketika pemerintah menempuh kebijakan nasionalisme sebagai suatu bentuk sentralisasi. Budaya lokal yang sudah eksis di masyarakat itu
tidak ditumbuh-kembangkan sebagai alat untuk memupuk nasionalisme.
Pemerintah memandang budaya lokal berpotensi melahirkan desintegrasi. Wilayah Indonesia yang begitu luas memiliki budaya lokal yang begitu banyak dan
tentu tidak mudah mengaturnya. Untuk waktu yang lama mereka telah berdiri sendiri sebagai suatu entitas (entity) yang berdiri sendiri (FMIPA, 2003). Beberapa budaya
lokal telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang memiliki tujuan politis untuk memisahkan diri dari pangkuan Republik Indonesia (RI). Lalu pemerintah melancarkan proyek sentralisasi untuk menunjukkan hegemoninya atas
daerah-daerah budaya yang ada. Hegemoni pemerintah bukan dalam hal budaya tapi hegemoni ekonomi, yang nampak begitu kuat pada zaman Orba yang diuntungkan
oleh petrodollar.
Hegemoni pemerintah pusat di daerah-daerah segera terbukti tidak efektif, karena orang-orangnya gagal memerankan diri sebagai agen pembangunan akibat
pembusukan dari dalam dan teori trickle down yang diyakininya tidak berjalan efektif. Mereka adalah orang-orang homo economy lupus yang pragmatis, karena
sudah tercerabut dari akar tradisi dan agamanya. Padahal untuk dapat membangun suatu daerah, orang harus memahami budaya lokal yang menjadi sasaran pembangunan itu. Karena budaya lokal itu merupakan suatu sistem pengetahuan
Memang budaya lokal kadang terkesan lambat, karena ia merupakan suatu sistem yang meliputi berbagai aspek kehidupan seperti sistem sosial dan sistem nilai. Oleh
karena itu pembangunan yang benar tidak hanya membangun sarana fisik saja, tetapi juga meliputi pembangunan budaya. Untuk itu pemerintah harus meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, disamping menyediakan bahan bacaan yang
mampu mengarahkan pada terjadinya transformasi budaya. Bila hal ini dilupakan maka akan terjadi kekacauan budaya, dimana masyarakat mengalami disorientasi
nilai, yang berdampak pada terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam program pembangunan (Rochmat, 2005b).
D. Pendekatan Geografi dalam Pendidikan Identitas
Suatu ilmu tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pendekatan ilmu lainnya.
Pendidikan identitas yang diperankan ilmu sejarah dan PPKn juga tidak dapat dilepaskan dari pendekatan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu geografi. Memang masih jarang dibahas kontribusi ilmu geografi bagi pengembangan pendidikan identitas.
Padahal pendekatan geografi yang menekankan kesadaran akan konsep ruang adalah suatu yang tidak dapat dihindari dalam hidup di dunia ini. Dimensi ruang bisa
bermakna sempit suatu pedukuhan, tetapi dapat juga bermakna global meliputi seluruh jagat raya ini (FMIPA, 2003).
Sejarah Nasional dan PPKn sebagai penyokong utama pendidikan identitas
dilihat dari perspektif pendekatan geografi berada pada tataran nasional, yang ingin mensosialisasikan konsep nation-state beserta ide nasionalismenya. Sebagai suatu
Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Sedangkan nation-state Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu konsep
itu belum diuraikan secara lengkap dan sosialisasinya masih jauh dari sempurna. Sosialisasi kedua konsep tersebut tidak cukup kalau hanya diperjuangkan oleh sejarah dan PPKn saja. Sebagai suatu konsep modern, sosialisasinya pun menuntut
peran berbagai konsep modern lainnya. Dalam hal bahasa, kita cukup sukses mensosialisasikan bahasa Indonesia. Dalam hal dasar negara, kita belum berhasil
membangun pemahaman yang benar tentang Pancasila, karena masih ada kecurigaan antara pihak pemerintah dengan berbagai kelompok umat beragama. Akibatnya kita masih belum bisa merumuskan kebudayaan nasional Indonesia. Padahal kebudayaan
nasional merupakan fondasi bagi eksistensi nation-state NKRI, sebagai suatu standar untuk mengevaluasi modernisasi yang sedang digalakkan dan sekaligus pemberi arah
orientasi modernisasi dalam segala aspeknya, baik ekonomi, politik, dan hukum (Tehrani, 2002).
Pendekatan historis SNI akan berhasil bila didukung oleh pemahaman
pendekatan geografis. Artinya, pemerintah sebagai vanguard konsep negara bangsa tidak memaksakan penafsirannya sendiri tentang sejarah nasional itu. Pemerintah
juga harus mengakui berbagai variasi pendekatan geografi yang dikembangkan oleh berbagai komponen masyarakat, karena keberadaannya bukanlah ancaman bagi NKRI, tetapi sebaliknya memperkuat keberadaan negara kesatuan itu sendiri.
membangun dan mengembangkan jaringan komunikasi dan kerjasama dari tataran paling bawah sampai ke tingkat nasional.
Pendekatan geografis memungkinkan unsur-unsur pendidikan identitas baik itu agama, nasionalisme, maupun budaya lokal tidak bertabrakan satu sama lainnya. Sebaliknya, mereka akan saling memperkuat, walaupun masing-masing bekerja pada
level yang berbeda. Agama diharapkan bisa membimbing unsur nasionalisme dan budaya lokal. Dengan begitu nasionalisme tidak tumbuh menjadi chauvinism, karena
agama memiliki misi kebenaran yang bersifat universal dan kebenarannya tidak dibatasi oleh daerah geografis tertentu. Oleh karena itu, demi strategi yang lebih luas, agama mendorong budaya lokal mentransformasikan semangat nasionalisme, yang
seringkali dikalahkan oleh semangat parokhialisme (Therani, 2002).
E. Reformasi Pendidikan Identitas
Reformasi pendidikan identitas diarahkan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam pendidikan identitas seperti yang telah dijelaskan di atas pada sud-bab
2 dan 3. Reformasi ini dijalankan mengikuti peta yang ditawarkan oleh pendekatan geografi sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab 4.
Sekarang ini pendidikan sejarah sedang dipersimpangan jalan. Situasi politik sudah berubah, tetapi pendidikan identitas belum direfomasi secara berarti. Era otonomi daerah sudah digulirkan beberapa tahun yang lalu, tapi orientasi pendidikan
identitas masih bersifat sentralistis. Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang diajarkan dari SD sampai SMA masih melanjutkan kebijakan masa Orde Lama dan
yang enam jilid itu, yang dipergunakan di PT. Oleh karena itu beban materi pelajaran sangat berat dan pendidikan terasa kering, karena hanya mementingkan segi hafalan
saja.
Pendidikan sejarah hendaknya mampu menanamkan pendidikan nilai, suatu yang menjadi ciri dari pendidikan identitas. Namun misi suci itu gagal diemban
pendidikan sejarah karena memang nasionalisme yang asalnya dari peradaban Barat sekuler tidak pernah memiliki dimaksudkan sebagai sumber nilai. Peran itu hanya
dapat diemban pendidikan sejarah bila ia telah mendapatkan suntikan agama, sebagai sumber nilai. Begitu juga bila ia dikawinkan dengan budaya lokal, karena budaya lokal memang memerankan diri sebagai sumber nilai (Rochmat, 2005a).
Materi pendidikan sejarah dari SD sampai SMA hendaknya disusun ulang supaya sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik. Mengingat materi SNI hanya
ringkasan materi SNI perguruan tinggi, maka isinya terlalu abstrak bagi siswa. Bukankah jaringan komunikasi siswa SD sampai SMA masih di sekitar daerah tempat tinggalnya! Oleh karena itu, pendidikan sejarah perlu memfokuskan diri pada
budaya lokal, bukannya pada budaya nasional. Budaya lokal pun perlu disajikan secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan jaringan komunikasi siswa
didik, dari obyek budaya yang paling dekat jangkauannya hingga yang lebih jauh jangkauannya. Hal ini tidak berarti materi sejarah nasional dihilangkan sama sekali, melainkan diseleksi berdasarkan keterkaitannya dengan budaya lokal tersebut.
Mengikuti pendekatan geografi, materi SNI yang 6 jilid itu dapat diberikan pada tingkat universitas, mengingat pergaulan mahasiswa sudah sedemikian luas. Hal ini
bisa dilakukan bila materi pelajaran yang diberikan di sekolah diseleksi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa. Kalau memang masih banyak materi pelajaran yang harus diberikan maka siswa tidak usah dibebani dengan tes materi-materi
pelajaran tertentu. Pendidikan identitas ini penting diberikan di perguruan tinggi, bahkan bagi mahasiswa yang menggeluti bidang eksakta. Kita bisa belajar dari
kurikulum universitas pada masa kejayaan Islam, dimana mahasiswa kedokteran harus sudah lulus pendidikan humaniora pada tahun pertama.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
1. Pemda propinsi bertugas mengkoordinasi penyusunan kurikulum pendidikan identitas pada jenjang pendidikan menengah. Dia bisa melakukan kerjasama
dengan perguruan tinggi di daerahnya dalam rangka penyusunan kurikulum maupun penyusunan materi pelajaran. Dia bertugas mendata simbol-simbol budaya lokal yang akan diajarakan.
2. Pemda kabupaten bertugas mengkoordinasi penyusunan kurikulum pendidikan identitas pada jenjang pendidikan dasar. Dia juga perlu
melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi dalam rangka penyusunan kurikulum dan materi pelajaran. Dia bertugas mendata simbol-simbol budaya yang akan diajarkan di pendidikan dasar.
3. Baik tim pada tingkat propinsi dan kabupaten perlu melakukan koordinasi agar tidak ada tumpang tindih dalam penyusunan kurikulum maupun materi
4. Sementara buku SNI yang 6 jilid dapat digunakan sebagai buku pegangan pada tingkat perguruan tinggi. Pemerintah pusat bertugas mengkoordinasikan
keperluan revisi kurikulum maupun buku pelajaran agar sesuai dengan semangat yang telah diusung oleh pendidikan identitas.
Langkah-langkah tersebut harus didukung kebijakan pendidikan yang
benar-benar bertumpu pada kebijakan otonomi daerah. Daerah propinsi maupun kabupaten diberi wewenang melakukan pendidikan identitas secara mandiri. Hal ini penting
dilakukan, mengingat dampaknya sangat besar, yaitu:
1. Menghindari peluang korupsi pemerintah pusat karena dana harus didelegasikan kepada daerah-daerah.
2. Mendorong berkembangnya penerbitan dan percetakan di daerah-daerah, disamping dapat mendorong jalannya roda ekonomi di daerah.
3. Para guru dan dosen terdorong mengembangkan pendidikan identitas di daerahnya, disamping mendapatkan tambahan pendapatan yang sewajarnya.
4. Materi pendidikan identitas terasa dekat dengan anak didik, karena digali dari budaya lokal di daerahnya.
F. Simpulan
Pengembangan suatu ilmu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu lainnya.
Begitu pula pendidikan identitas, ia tidak dapat diisolasi dari perkembangan ilmu lainnya, seperti geografi yang menjadi bahasan artikel ini. Nampaknya geografi tidak
mendalam maka pendidikan identitas itu dilangsungkan dalam suatu ruang tertentu, suatu pendekatan yang menjadi ambil dari pendidikan geografi.
Memahami pendekatan geografi sangat mutlak bila kita ingin menyusun pendidikan identitas yang berhasil guna. Kita harus menentukan pendekatan geografi yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak yang menjadi sasaran dalam
pendidikan identitas. Bagi anak SD, materi pendidikan identitas yang memiliki skup nasional tentu saja sangat abstrak, apalagi materi nasionalisme yang disampaikan
dalam buku SNI itu juga sangat asing bagi akan SD. Dan nasionalisme yang diadopsi dari peradaban Barat sekuler itu tidak pernah dimaksudkan sebagai sumber nilai. Untuk itu, nasionalisme perlu suntikan agama, suatu yang memang memerankan diri
sebagai sumber nilai. Atau, nasionalisme disampaikan dalam kerangka budaya lokal yang religious, mengingat budaya lokal memiliki fungsi sebagai sumber nilai.
Daftar Acuan:
Barnet, Tony, 1995, Sociology and Development, London: Routledge.
FMIPA, 2003, “Geografi, Geografi Lingkungan, dan Proses Hidrologis”, Online
http://www.malang.ac.id/e-learning/FMIPA/Budi%20Handoyo/geografi.htm
<Diakses 15-10-2005>.
Rochmat, Saefur, 2004, “Reformasi Dilihat dari Jepang”, Inovasi, v1/XVII/Agustus 2004, Online http://io-ppi-jepang.org/article.php?id=2 <Diakses 15-10-2005>.
______________, 2005a, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi, v3/XVII/Maret 2005, Online http://io-ppi-jepang.org/article.php?id=71
<Diakses 15-10-2005>.
______________, 2005b, “Kebangkitan Agama di Era Modern?”, Inovasi, v4/XVIII/Agustus 2005, Online http://io-ppi-jepang.org/article.php?id=293
Tehrani, Faisal, 2002, “Nasionalisme dan Nepotisme Sama?”, Suara Anum.com, Online http://www.freewebs.com/suaraanum/1202a20.htm <Diakses 15-10-2005>.
BIODATA:
Saefur Rochmat, MIR adalah dosen Jurusan Sejarah FIS UNY. Dia menamatkan Pendidikan Sejarah IKIP Yogyakarta tahun 1993 dan setahun berikutnya menjadi