• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan demikian membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat dijadikan sebagai kerangka/landasan/dasar pijakan dalam mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan (hukum) dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, tentunya tak satu pun suatu institusi maupun personalnya, apakah itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil lainnya kebal terhadap ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana kejahatan pada umumnya, termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto, sebagai negara hukum, maka harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut:

a. Adanya pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;

b. Peradilan yang bebas, tidak memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya; dan

c. Menjunjung tinggi asas legalitas.1

1 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung:

(2)

Berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HAM di berbagai belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat mudah untuk dilakukan, akan tetapi memerlukan suatu proses panjang yang di dalamnya setidaknya terkait dengan tiga variabel utama yang harus dipertimbangkan. Ketiga variabel tersebut adalah adanya dinamika internasional; instrumen hukum yang ada; dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap warisan masa lalu.2

Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM, bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.3 Dalam sejarah perkembangan hukum, para pelaku pelanggaran HAM khususnya atasan militer dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando. Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban komando (command

responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan

militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.

Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti

2 Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, (Yogyakarta: Majalah

Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, 2001), hlm. 53.

3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya

(3)

contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.4

Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di Dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabi buta terhadap jemaah dan setelah kehabisan peluru, jemaah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.5

4 http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal

20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.

5

(4)

Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Sekarang disebut TNI).6

Atas kejadian tersebut para korban dan keluarga korban berupaya untuk meminta keadilan atas peristiwa tersebut upaya mereka ini dmulai pada tanggal 7 Mei 2001, setelah perjuangan yang panjang didampingi dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), terdapat secercah harapan ketika dikeluarkannya hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, berupa Pembunuhan terhadap 130 orang, Pengusiran Penduduk secara Paksa 77 orang, Perampasan Kemerdekaan 53 orang, Penyiksaan 46 orang, dan Penganiayaan atau Persekusi sekurang-kurangnya berjumlah 229 orang. Namun sampai saat ini setelah hampir lebih dari 25 tahun kenyataan pahitlah yang ditelan oleh para korban dan keluarga korban karena tidak ada penyelesaian yang jelas atas kasus Talang Sari, kasus ini dibuat menggantung dan jalan di tempat, lalu dimanakah posisi negara yang bertugas untuk melindungi rakyatnya.

6http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20

(5)

Berdasarkan uraian di atas, yang melatarbelakangi masalah dalam penelitian ini, maka diadakan penelitian dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Studi Kasus Talang Sari)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat?

b. Apakah faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat. Penelitian dilakukan pada tahun 2014.

(6)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. TujuanPenelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

b. Mengetahui faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

2. KegunaanPenelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pembuat kebijaksanaan atau pembentuk hukum di bidang hukum pidana militer dalam rangka penyempurnaan sistem yang baik dalam hukum nasional Indonesia .

b. Kegunaan praktis

Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai data sekunder, khususnya bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum.

(7)

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.

Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada di bawah komando atau kendali efektifnya. Berdasarkan pandangan Moeljatno, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dikatakan bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan harus memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana seperti berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.7

Hugo Grotius menggunakan analogi ”tanggung jawab orang tua” (parental

responsibility) untuk menggambarkan pertanggungjawaban komando: orang tua

bertanggung jawab terhadap kesalahan anaknya sepanjang anaknya masih ada dalam kekuasaan mereka. Di sisi lain, walaupun orang tua memiliki anak yang berada di bawah kekuasaannya namun orang tua tersebut tidak mampu lagi untuk mengendalikan mereka, maka orang tua tersebut tidak lagi harus bertanggung

(8)

jawab kecuali jika ia memiliki pengetahuan. Jadi dalam hal ini seorang dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain apabila memenuhi dua elemen, yaitu (1) pengetahuan (2) gagal untuk mencegah.8

Akar dari doktrin ini dapat juga ditelusuri melalui sejarah kemiliteran dimana syarat untuk menempatkan tanggung jawab yang paling besar ada di tangan komandan militer. Misalnya, seorang komandan militer yang profesional harus selalu menjalankan fungsi pengendalian terhadap anak buahnya, mengarahkan, memberi petunjuk mengenai pelaksanaan tugas-tugas yang berbahaya, mengawasi pelaksanaan tugas hingga selesai, dan mengambil tindakan disiplin apabila ada anak buahnya tidak atau lalai menyelesaikan tugasnya.

Doktrin ini kemudian menjadi dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain yang berada dalam posisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehingga terjadi kejahatan. Kegagalan bertindak (failure to act) ini dikatakan sebagai tindakan pembiaran (ommision) sehingga komandan harus bertanggung jawab.

Konsep pertanggungjawaban komando berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas, termasuk kepala negara, kepala pemerintahan, menteri dan pimpinan perusahaan. Dalam doktrin hukum Internasional mengenai pertanggungjawaban komando adalah doktrin yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana secara individual yang dikembangkan melalui

8 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando Suatu Telaah

(9)

kebiasaan dan praktek-praktek pengadilan kejahatan perang, terutama seusai perang dunia ke-II.

Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada di bawah komando atau kendali efektifnya. Pertanggungjawaban komando dalam doktrinnya dikenal adanya tiga lapis pertanggungjawaban komando yang dapat diterapkan pada para pemegang komando:

a. Lapis pertama, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut memerintahkan pasukannya yang berada di bawah komando dan kendali efektifnya untuk melakukan suatu kejahatan (crimes by commission).

b. Lapis kedua, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut mengetahui bahwa pasukannya tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi yang bersangkutan tidak mencegahnya (crimes by omission).

c. Lapis ketiga, yaitu:

Komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bilamana dia tidak menindak pasukan yang berada di bawah komando dan kendali efektifnya yang telah melakukan kejahatan yang dalam hal ini berupa pelanggaran HAM berat utamanya kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.9

Pasal 42 ayat 1 (a) Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mensyaratkan penuntutan pertanggungjawaban komando bilamana ada unsur yang berupa seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu sendiri meliputi:

9 PLT Sihombing, Pertanggungjawaban Komando, (Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM Vol. 2

(10)

a. kejahatan genosida; dan

b. kejahatan terhadap kemanusian.

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto10, dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti. Agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini. Adapun istilah-istilah yang digunakan adalah:

a. Analisis adalah penyidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya, (memilah milah, asal muasal, duduk perkara).11

10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali,

2007), hlm. 4-5.

11

(11)

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan secara pidana12

c. Atasan Militer ialah kepala/pemimpin pasukan di suatu daerah, kota, atau benteng13

d. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

E. Sistematika Penulisan

Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 32

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: pengertian pertanggung jawaban pidana khususnya atasan militer, latar belakang dan prinsip-prinsip pertanggung jawaban komando.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan nara sumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat dan faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanakah gambaran kesantunan tuturan imperatif bahasa yang digunakan dalam interaksi antarpemuda di Dusun Sidorejo.. Apa saja faktor atau hal yang menyebabkan sebuah

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fitriana yang berjudul Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Seks Selama Kehamilan dengan Melakukan Hubungan

Media yang digunakan dalam perancangan aplikasi ini adalah media Smartphone android berupa apps. Agar aplikasi tersebut bisa diakses oleh pemakai smarphone android,

Kesadahan kalsium dan magnesium akan diperhitungkan dari Kesadahan kalsium dan magnesium akan diperhitungkan dari pemeriksaan kimia yang lengkap, namun demikian informasi

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi kemungkinan Financial distress pada industri tekstil dan garmen menggunakan model prediksi Altman Z-score serta

1) Jenis Penelitian. Adalah penelitian lapangan jadi data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi laporan dengan cara mencatat dan

al-r±wi al-a‘l± untuk menentukan riwayat yang paling akurat yang bisa disandarkan kepada Nabi saw. Adapun metode pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah berikut:

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kohesivitas kelompok dengan produktivitas kerja danterdapat hubungan yang bermakna antara sikap kerja perawat pelaksana