• Tidak ada hasil yang ditemukan

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Rahmat Nurhidayat 11140430000067

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 250 K/PID/SUS/2018 TAHUN 2018)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh Rahmat Nurhidayat NIM. 11140430000067 Dibawah Bimbingan Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum NIP. 195903191979121001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rahmat Nurhidayat Tempat/tanggal lahir : Bogor, 27 April 1996

NIM : 11140430000067

Program Studi : Perbandingan Madzhab Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 27 Juli 2021 Penulis

(4)

iii ABSTRAK

RAHMAT NURHIDAYAT, NIM 1114043000067, “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN NARKOTIKA DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Analis Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018)”. Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proses penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang dari pertimbangan Hakim Agung dalam putusan Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 dan juga untuk mengetahui pertimbangan Hakim Agung pada putusan Mahkamah Agung tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan hukum normatif. Dimana objek penelitian yang menjadi data primer adalah dari hasil eksplorasi teori teori tentang keadilan. Dan jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yaitu uraian uraian yang sifatnya kalimat bukan uraian yang bersifat angka atau jumlah.

Hasil penelitian ini bahwa dalam proses penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang mengumpulkan barang bukti dapat berupa barang bergerak, barang tidak bergerak, penyitaan terhadap hasil kejahatan yang berupa uang yang masih terdapat direkening tersangka. Pertimbangan Hakim Agung pada putusan Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 yaitu memutuskan pidana penjara selama 8 tahun dan denda sebesar 5 Miliar serta aset 142 miliar dikembalikan ke terdakwa Murtala Ilyas.

Kata Kunci : Proses Penyidikan, Tindak Pidana, Pencucian Uang Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.

(5)

iv

KATA PENGANTAR

يح رلا نحم رلا للاه مسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiqnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam kita akan selalu curah dan limpahkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah hingga zaman terang benderang dan juga yang telah membawa risalah kebenaran untuk semua umat khususnya umat Islam.

Skripsi ini berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Narkotika Dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018”. Disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program strata 1 (satu) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat keilmuan khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam dalamnya atas bimbingan, masukan, saran serta dukungan baik secara moril maupun secara materil kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Siti Hanna, M.A. selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Hidayatulloh, M.H. selaku Sekertaris Program Studi Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

v

4. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi yang telah memberi banyak masukan dan arahan serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan ketika penulis meminta bimbingan. 5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan. 6. Tidak lupa juga kepada seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mengucakan terimakasih dan permohonan maaf ketika penulis melakukan tindakan yang merepotkan.

7. Terkhusus kepada orang tua penulis yang paling saya banggakan dan saya cintai Ibu Rosmianti yang selalu memberi dukungan, semangat, motivasi serta doa yang tidak ada hentinya selama penulis menempuh perkuliahan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah SWT selalu senantiasa memberikan umur yang panjang, selalu diberikan kesehatan dan tentunya selalu diberikan rizki yang halalan thoyiban, Aamiin. 8. Terkhusus kepada adik saya Rafi Salman Anwar dan Nabila Amira Sahda yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini dan Penulis juga berterimakasih kepada Neng Wava Sintiya yang selalu tak pernah lupa mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Terkhusus seluruh Sahabat-sahabat Jurusan Perbandingan Madzhab dan sahabat Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya. Terimakasih telah samasama saling memberi dukungan dan motivasi serta saling membantu dan memberikan doa kepada penulis.

10. Kepada Sahabat dan Sahabati seluruh anggota, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (Komfaksyahum) terimaksih telah menjadi wadah berproses penulis selama dibangku perkuliahan dan mengajarkan penulis untuk menjadi insan yang selalu berfikir, tidak lupa berdzikir dan selalu berbuat amal shaleh

(7)

vi

11. Terkhusus Sahabat Arif Fadilah, Dede Ihsanuddin, Ishak, Faqih Zuhdi Rahman, Moh. Dailami, Khumaeroh, Yayah Rodiah, dan jajaran pengurus PMII Komfaksyahum 2017-2018 semoga kita bertemu pada puncak suksesnya masing-masing dan tentunya bukan di sukamiskin.

12. Terahir, terimaksih juga kepada seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 27 Juli 2021

(8)

vii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ... i

LEMBAR PERYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Review Studi Terdahulu ... 8

F. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10

G. Metode Penelitian ... 16

H. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORI ... 19

A. Tindak Pidana Pencucian Uang ... 19

B. Tindak Pidana Asal Pencucian Uang ... 30

BAB III NARKOTIKA SEBAGAI PIDANA ASAL DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 38

A. Narkotika ... 38

B. Pertimbangan Aspek Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis Dalam Putusan Hakim ... 47

C. Judex Facti dan Judex Juris ... 50

D. Tindak Pidana Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Islam ... 52

(9)

viii

E. Penerapan Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang

... 59

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 250 K/PID.SUS/2018 TAHUN 2018 ... 68

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 (posisi kasus) ... 68

B. Analisis Proses Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 72

C. Pertimbangan Hakim Agung Pada Putusan Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 ... 77

BAB V PENUTUP ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 85

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum ”. Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat Negara, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu Negara yang bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum serta untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.1

Dalam hal menentukan suatu perbuatan yang dilarang dalam suatu peraturan perundang-undangan salah satunya digunakan kebijakan hukum pidana.2 Dengan landasan tersebut di atas maka semua warga negara

Indonesia yang melakukan pelanggaran dan kejahatan terhadap ketertiban umum harus tunduk pada aturan yang berlaku, dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang, dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, sebaliknya masyarakat membutuhkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat atau

1 Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana dan ICCE UIN Jakarta, 2012), h.121.

(11)

kegunaan bagi masyarakat. Unsur yang ketiga adalah keadilan, dalam pelaksanaan dan penegakan hukum harus adil, baik secara komutatif maupun secara distributif.3

Tindak Pidana Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).4 Tidak pidana asal di dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2010 mengenai Hasil tindak pidana, adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana ada 26 macam.

Kemudian Pasal 69 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal ini berbeda dengan bunyi Pasal 77 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 yang mengatakan, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Senada dengan pasal tersebut, sebagaimana Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2010 mengatur, dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Kemudian dalam ayat (2) Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan

3 Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris, Merajut Hukum di Indonesia, (Makassar: Mitra wacana media, 2014), h. 69-70.

4 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 182

(12)

3

berasal atau terkait dengan tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Pada tindak pidana pencucian uang yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan dengan beberapa alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan berisiko. Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku maka akan lebih mudah dengan mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri. Bila hasil kejahatan itu dikejar dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan pencucian uang.

Latar belakang perbuatan pelaku peredaran gelap Narkotika yang mengalihkan dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melaui sistem keuangan adalah memindahkan atau menjauhkan pelaku dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelaku, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah. Penanggulangan kejahatan peredaran gelap Narkotika dengan memisahkan proceeds crime dari kejahatan yang dilakukan dan penikmatan hasil kejahatan berupa penempatan tindak pidana Narkotika sebagai core crime.5

Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu bangsa yang beradab. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan lintas negara, karena penyebaran dan perdagangan gelapnya, dilakukan dalam lintas batas negara. Dalam kaitannya dengan negara Indonesia, sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran

5 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Books Terrace & Library, Bandung, 2007, hlm. 219

(13)

dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum

(supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law),

dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum

(due process of law).6

Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without

victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak

menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pelaku sekaligus sebagai korban kejahatan.7

Narkotika merupakan kejahatan tanpa korban, dan saat ini narkotika semakin marak beredar di masyarakat namun seringkali para penegak hukum masih kurang tegas dan terkesan tebang pilih dalam memberikan pertimbangan harusnya lebih arif,adil, dan cermat dalam menjatuhkan putusan kepada para pelaku kejahatan Narkotika mengingat dampak yang ditimbulkan dari peredaran Narkotika tersebut sangat memperihatinkan bagi generasi penerus bangsa. Dengan adanya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan sebagaimana pada Pasal 4 Undang Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu bertujuan :

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalah gunaan Narkotika;

6 Akhmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 12.

7 Tinjauan Kriminologi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009, Rahmi Dwi Astuti, Andi Seri Alam dan Muhadar,Jurnal Hukum , Hal. 4.

(14)

5

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan precursor Narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.8

Dalam kajian kriminologi perdagangan Narkotika dan sejenisnya seperti halnya, perjudian serta prostitusi memang ada yang menggolongkan sebagai “kejahatan tanpa korban” atau “victimless crime “. Dinamakan demikian karena berdasarkan sifat dari kejahatan tersebut, yaitu adanya dua pihak yang melakukan transaksi namun keduanya merasa tidak menderita kerugian atas pihak yang lain. Berbeda dengan jenis kejahatan lainnya seperti halnya pembunuhan dan pemerkosaan yang mana dari adanya kejahatan tersebut yaitu timbulnya korban atau kerugian bagi pihak yang lainnya.9

Putusan yang dihasilkan oleh hakim di pengadilan idealnya tidak menimbulkan masalah-masalah baru di lingkungan masyarakat, artinya kualitas putusan hakim berpengaruh penting pada lingkungan masyarakat dan berpengaruh pada kewibawaan dan kredibilitas lembaga pengadilan itu sendiri. Kenyataan di lapangan masih banyak putusan hakim dalam proses peradilan yang justru menciptakan polemik baru dan tidak menyelesaikan masalah. Padahal idealnya putusan hakim yang dilahirkan tersebut harus mampu menyelesaikan perkara.

Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan mengenai Putusan Mahkamah Agung tentang kasus Narkoba, penulis ingin mengangkat skripsi tentang : Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018). Penulis akan memberikan tinjauan analisis, metode, dan pengkajian secara mendalam.

8 Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika hal.79

9 Moh.Taufik Makarao,S.H,M.H.., Drs. Suharsil, S.H.., H.Moh..Zakky.A.S.,S.H, 2003,Tindak pidana narkotika,Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm 6

(15)

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka, permasalahan yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut :

a. Pengaturan dan Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

b. Penjelasan tentang narkotika

c. Lemahnya pengetahuan masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang

d. Pegaturan tindak pidana pencucian uang di indonesia

e. Lembaga yang berwenang menindak pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang

f. Perspektif hukum islam terkait tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian uang

g. Pertimbangan hakim agung dalam memutuskan perkara pada putusan nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018

h. Bagaimana bentuk tindak pidana pencucian uang pada narkotika

2. Pembatasan masalah

Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan dibahas, dirasa perlu adanya pembatasan masalah yang sesuai judul yang dimaksud. Pembahasan penelitian ini adalah mengenai Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan

(16)

7

Narkotika dan Tindak Pidana Pencucian Uang melalui pendekatan analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 agar mempermudah pembahasan dan penelitian sehingga pembahasanya lebih jelas dan terarah serta sesuai dengan harapan yang diinginkan penulis.

3. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka, permasalahannya dirumuskan, sebagai berikut :

a. Bagaimana Proses Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Nomor Perkara 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018?

b. Bagaimana Pertimbangan Hakim Agung Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018?

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk Mengetahui Proses Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang.

b. Untuk Mengetahui Pertimbangan Hakim Agung Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018. D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan penelitian, dalam penulisan hukum ini penulis juga mengharapkan adanya suatu manfaat yang dapat diperoleh. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini terbagi menjadi :

(17)

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 pada kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari kejahatan narkotika yang dilakukan Murtala Ilyas.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi akademisi mengenai putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema skirpsi ini, di antaranya :

1. Skripsi yang berjudul “ Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Hasil Tindak Pidana Narkotika (Studi Pada Kepolisian Daerah Lampug)” karya Muhammad Andika Ramadhanta, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung 2016.10 Penelitian ini hanya terfokus pada pembahasan mengenai penegakan hukum tindak pidana Narkotika sebagai tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang. Dalam lingkup wilayah, yaitu pada wilayah Kepolisian Daerah Lampung. Sedangkan dalam penelitian saya terfokus kepada Pertimbangan Hakim pada putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 dan menganalisis putusan tersebut menurut Hukum Islam.

10 Muhammad Andika Ramadhanta,, “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Berasal Dari Hasil Tindak Pidana Narkotika (Studi Pada Kepolisian Daerah Lampug)”, skripsi, (Bandar Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, 2016).

(18)

9

2. Skripsi yang berjudul “ Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Kejahatan Narkotika Melalui Undang undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang” karya Fitria Wijayanto, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta 2009.11 Penelitian ini terfokus pada Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Kejahatan Narkotika dan mengkaji peranan lembaga penegak hukum dalam menerapkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada penelitian saya membahas analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018 dan menganalisis putusan tersebut menurut Hukum Islam.

3. Skripsi yang berjudul “ Tindak Pidana Pencucian Uang (money

laundering) (Studi komparatif Antara Hukum Islam dan Hukum

Positif) “ karya Ahsanus zalif, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2008.12 Penelitian ini hanya terfokus mengkaji identifikasi dan kriteria tindak pidana pencucian uang dari perspektif hukum Islam dan hukum positif serta kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana pencucian uang menurut hukum Islam dan hukum positif. Sedangkan dalam penelitian saya menjelaskan tentang proses penyedikan tindak pidana pencucian uang pada kasus narkotika.

11 Fitria Wijayanto, “Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Kejahatan Narkotika Melalui Undang Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang”, skripsi ( Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009)

12Ahsanus zalif,, “Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) (Studi komparatif

Antara Hukum Islam dan Hukum Positif)”, skripsi, ( Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum

(19)

4. Jurnal yang berjudul “ Nilai Keadilan Putusan Hakim Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ” karya H. Muslihin Rais, Pengurus AAI (Assosiasi Advokat Indonesia) tahun 2017.13 Pada penelitian ini menjelaskan mengenai Putusan Hakim melalui pendekatan Hukum Positif di Indonesia. Sedangkan dalam penelitian saya, tidak hanya menjelaskan tentang penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana pencucian uang pada kasus narkotika, akan tetapi penulis menganalisis Bagaimana Peranan Hakim Dalam Mmemutuskan suatu perkara.

Dari kajian terdahulu yang telah disebutkan, ditemukan kesamaan fokus materi pada judul yang penulis angkat, terlebih yang membahas mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang dan Penipuan pada kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari kejahatan narkoba yang dilakukan Murtala Ilyas dan aspek keadilannya. Tetapi dari beberapa literatur di atas, maka terlihat perbedaan inti permasalahannya yaitu pada objek yang diteliti, sangat jelas bahwa penulis memfokuskan pembahasannya pada Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018

F. Kerangka Teori dan Konseptual

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran- pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya

13 H. Muslihin Rais, “Nilai Keadilan Putusan Hakim Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi”, jurnal, (Pengurus AAI (Assosiasi Advokat Indonesia,2017)

(20)

11

hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.14

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penegakan hukum oleh Joseph Goldstein yang dibedakan 3 bagian yaitu:15

1) Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht

delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut

sebagai area of no enforcement.

2) Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area

of no enforcement dalam penegakan hukum ini para

penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

3) Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full

enforcement ini dianggap not a realistic expectation,

14 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta: Rajawali, 1983, h. 124

(21)

sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.16

Masalah penegakan hukum tidak semudah yang terlihat adanya keterbatasanketerbatasan baik dari sisi hukum materiil yang dapat diterapkan, berbagai kelemahan dalam hukum acara yang berlaku, kuantitas dan kualitas aparat penegak hukum yang belum memadai, serta kurangnya sarana dan prasarana penunjang dalam upaya penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto,17 penegakan hukum

bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat dalam penegakan hukumnya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum) Faktor Undang-Undang mempunyai peran yang utama dalam penegakan hukum berlakunya kaedah hukum dimasyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri,

16 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm. 39 17 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta. 1993, hlm. 8

(22)

13

menurut teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal berlakunya kaedah hukum,yaitu:

2) Faktor penegak hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.

5) Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan

(23)

masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai actual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.

Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UU TPPU. Dari kedua faktor tersebut nampaknya profesionalitas para penegak hukum lebih dominant dibanding dua faktor yang lain. UU TPPU di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya mempunyai muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang dan Masyarakat Internasional pada tahap

law making, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allatt yang juga

mengatakan bahwa pembuatan hukum (law making) yang kilat atau pragmatis akan dapat mengakibatkan hukum itu sendiri menjadi tidak efektif yang pada gilirannya pada tingkat pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum membuat apa yang di inginkan oleh hukum itu tidak dapat tercapai.

Agar tidak terjadi kesalah pahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Penegakan Hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum

(24)

15

secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.18

b. Tindak Pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.19

c. Narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics“ pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug“, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai.20

d. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam

18 Siswanto Sunaryo, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 70

19 PAF Lamintang, Delik-Delik Khusus, Sinar Baru, Bandung, 2004, hlm 185.

20 D. Soedjono, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia. Karya Nusantara, Bandung, 2000, hlm. 14

(25)

sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sitem keuangan itu sebagai uang yang halal.21

G. Metode Penelitian

Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi. Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematik. 22 Tujuan dari Metodelogi Penelitian yakni untuk memperoleh suatu yang baru atau asli dalam usaha memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di masyarakat.23

Penelitian ini bersifat deskriptif yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi hukum terapan yang mempunyai serapan tertentu.24 Jenis penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode normatif, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan tertulis dan berbentuk dokumen yang disebut data skunder, dimana data-data tersebut diperoleh dari buku-buku yang berkaitan.

1. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif. Dimana objek penelitian yang menjadi data primer adalah hasil eksplorasi teori-teori tentang keadilan. 2. Jenis Penelitian

21 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007,. hlm. 5

22 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Perss, 1986). h. 6.

23 Sukandurrumidi. Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004). h., 111.

24 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M., Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005, Cetakan ke 9), h. 172.

(26)

17

Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif, yaitu uraian-uraian yang sifatnya kalimat bukan uraian yang bersifat angka atau jumlah.

3. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan dalam penelitian. Adapun dalam penelitian ini sumber data yang digunakan mencakup;

a. Bahan hukum primer, Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018.

b. Data skunder adalah data yang diterima melalui studi kepustakaan yang berhubungan dengan materi penelitian ini dan yang akan memberikan penjelasan bahan hukum primer, seperti hasil penelitian dan tulisan para ahli dan sebagainya. c. Data tersier yakni berupa bahan hukum yang memberikan

petunjuk ataupun penjelasan terhadap data primer dan skunder yang berupa media cetak, internet dan sebagainya.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode study pustaka (library research). Metode kepustakaan dilakukan guna mengeksplorasi aturan-aturan terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018.

5. Metode Analisis Data

Penulis menganalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif normative dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/PID.SUS/2018 Tahun 2018.

(27)

Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2018.

H. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih teratur dan berurutan dengan baik, maka pembahasannya disusun sedemikian rupa sehingga bisa diperoleh penjelasan yang detail dari informasi yang dimuat dalam penulisan skripsi ini yang terdiri dari lima bab, yakni:

Bab Pertama, Pendahuluan. Bab ini memuat judul penelitian, latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan rancangan sistematika penelitian.

Bab Kedua, pada bab ini akan dibahas uraian tentang Teori Tindak Pidana Pencucian Uang dan Narkotika secara keseluruhan

Bab Ketiga, pada bagian ini membahas tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Penipuan

Bab Keempat, Pembahasan inti, pada bagian bab ini berisi tentang jawaban dari rumusan masalah yang telah disusun dengan paparan yang akan dibahas secara ilmiah, dalam bab ini akan dibahas tentang analisis perbandingan dan interpretasi temuan berupa analisis data penelitian

Bab Kelima, Penutup dalam bagian terakhir ini ditutup dengan kesimpulan yang menyeluruh dan kritik saran yang membangun dalam pembahasan dan penelitian ini.

(28)

19 BAB II

LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Menurut Munir Fuady mengatakan kegiatan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) secara Universal dewasa ini telah digolongkan sebagai suatu Tindak Pidana yang tergolong dalam

White Collar Crime. Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ini

untuk dapat melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara illegal. Tindak Pidana Pencucian Uang dapat ditinjau dari kaidah hukumnya dan dapat ditinjau pula dari segi yuridisnya yaitu dengan memakai KUHP dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.25

Menurut Yudha Pandu bahwa dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. mengatakan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,membayarkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.26

Beberapa jenis Tindak Pidana Pencucian Uang dalam suatu tindak pidana menggunakan asas ultimum remedium, karena asas

ultimum remedium adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam

25 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakli, Bandung, 2001, hlm 167 26 Yudha Pandu, Undang-undang RI No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang dan Undang-undang No.30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Abadi,

(29)

proses peradilan Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena Asas

Ultimum remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai

penentu pidana dalam Undang-undang untuk suatu tindakan pidana karena alat penegak hukum atau Undang-undang No.8 Tahun 2010 tidak serasi lagi.

Proses Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan alat pamungkas atau yang disebut asas Ultimum remedium untuk dapat menegakkan hukum Pidana dan penentuan pidana dalam undang-undang untuk tindakan tertentu harus sedemikian rupa, karena alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi, maka diberlakukanlah Asas Ultimum Remedium untuk suatu Tindak Pidana Pencucian Uang. Asas ultimum remedium adalah suatu jalan terakhir yang ditempuh dalam proses pengadilan. Diterapkannya asas ultimum remedium dalam Tindak Pidana Pencucian Uang karena asas tersebut dalam pidana adalah sebagai alat pamungkas untuk menegakkan hukum.

Asas ultimum remedium juga sebagai tindak pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu yang harus sedemikian rupa, karena alat penegak hukum atau sanksi lainnya sudah tidak serasi lagi atau tidak dipakai. Jenis-jenis suatu tindak pidana yang dilihat dari suatu asas Ultimum Remedium dapat merupakan pelanggaran-pelanggaran yaitu :27

a. Norma hukum perdata. b. Hukum tata negara. c. Hukum administrasi. d. Hukum agama.

27 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta 1996, hlm 73.

(30)

21

e. Hukum adat atau hukum kebiasaan.

Asas Ultimum remedium dipakai dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang karena adanya batasan tertentu dalam suatu tindakan yang merupakan pelanggaran norma hukum tersebut tidak perlu diadakan ketentuan pidana, tetapi jika melampaui batas tertentu maka asas ultimum remedium sudah perlu diadakan diberlakukan untuk suatu Tindak Pidana Pencucian Uang.

Selanjutnya ruang berlakunya Undang-Undang Pidana baik tentang pencucian uang ataupun tentang hukum pidana secara umum dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini dapat dilihat dan diatur dalam Pasal 2 KUHP yang membahas tentang ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan dalam suatu Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia yang berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam wilayah Republik Indonesia. Jadi ketentuan Pidana di Indonesia berlaku bagi semua penduduk Indonesia baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Asing yang berdomisili di Indonesia.

Berlakunya ketentuan Pidana di Indonesia yang digambarkan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku, telah diperluas dengan adanya asas yaitu perluasan wilayah yaitu :28

a. Aturan Pidana Indonesia akan diberlakukannya untuk Tindak Pidana yang dilakukan di atas kapal atau pesawat udara Indonesia yang sedang berada di Luar Negeri. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia yang diatur dalam

28 H. Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang

(31)

Pasal 4 KUHP melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111 bis ke-1, Pasal 127 dan Pasal 131 KUHP yang menyangkut kejahatan terhadap keamanan Negara.

b. Pasal 7 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan Pidana dalam Undang- Undang Indonesia berlaku bagi pegawai Negeri Indonesia pegawai negeri sipil dan tentara nasional Indonesia atau polisi republik Indonesia (PNS dan TNI atau POLRI) yang berada di luar Indonesia mengenai salah satu kejahatan yang diatur dalam Bab XXVIII, buku II KUHP tentang Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan.

c. Pasal 8 KUHP berlaku bagi Nahkoda kapal Indonesia yang berada di luar Indonesia melakukan suatu kejahatan yang diatur dalam Bab XXIX dalam Buku II KUHP tentang kejahatan pelayaran dan Bab IX dalam Buku III KUHP tentang Pelanggaran Pelayanan.29

Pengecualian dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 KUHP tersebut di atas yaitu pengecualian yang diakui oleh Hukum Internasional.

Pasal 88 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 memperluas cakupannya, dengan jangkauan setiap orang (Orang perseorangan atau korporasi) yang di luar wilayah Indonesia memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang- Undang No.8 Tahun 2010.

2. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

29 H. Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang

(32)

23

Tahun 2000 Konvensi Palermo (The International Convention

Against Transnational Organized Crimes) di Palermo, Italia.

Sehubungan dengan pencucian uang, Konvensi Palermo mewajibkan negara yang sudah meratifikasinya untuk :

a. Mengkriminalisasi pencucian uang yang meliputi seluruh tindak pidana berat (serious crime) yang dilakukan baik di dalam mau pun di luar negeri, dimana tindak pidana berat

(serious crime) diartikan dengan tindak pidana yang diancam

hukuman minimal empat tahun;

b. Membentuk rezim di bidang pengaturan dan pengawasan untuk mencegah dan mendeteksi pencucian uang, antara lain melalui penerapan prinsip mengenal nasabah, kewajiban memelihara arsip transaksi keuangan, dan kewajiban melaporkan transaksi keuangan mencurigakan;

c. Mengatur kerjasama dan pertukaran informasi antar berbagai instansi, baik di dalam mau pun di luar negeri, dan mendirikan financial intelligent unit (FIU) yang menerima laporan, menganalisis dan meneruskannya kepada penegak hukum; dan d. Mendorong kerjasama internasional.30

Tindak pidana pencucian uang baru dikenal di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 17 April 2002. Munculnya regulasi pertama mengenai tindak pidana pencucian uang di Indonesia tidak lepas dari lahirnya rezim hukum internasional anti pencucian uang, yang ditandai dengan dikeluarkannya United Nations Convention Against Illicit Traffic in

Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988 (Konvensi Wina

30 Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Penerbit Pustaka Juanda Tigalima, Jakarta, Cetakan 1, Agustus 2008, hlm. 13-14

(33)

1988) yang dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian masyarakat internasional terhadap pencucian uang.

a. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

Pada konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang31, disebutkan dasar pertimbangan diterbitkannya undang-undang tersebut, yaitu antara lain bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah negara.

Asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut, disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian uang. Disebutkan pula bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional, tetapi juga kejahatan internasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan melakukan kerjasama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral.

Meski pun diterbitkan sebagai Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tidak memberikan pengertian atau batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang dimaksud. Hanya disebutkan dalam konsideran undang- undang dimaksud, seperti telah diuraikan diatas, bahwa upaya menyembunyikan atau menyamarkan dengan berbagai cara

(34)

25

asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan tersebut, dikenal sebagai pencucian uang.

Kemudian dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dijelaskan bahwa asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).

Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 200232 tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja :

1) menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

2) mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

3) membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

4) menghibahkan atau menyumbangkan harta

(35)

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

5) menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; 6) membawa ke luar negeri harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;

7) menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau 8) menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.33

b. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 200334 ini

merupakan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut diatas. Dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini diberikan batasan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan pencucian uang, yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang dimaksud, yang menyatakan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

33Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 3 ayat (1) 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

(36)

27

menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah- olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 200335 dirumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana karena tindak pidana pencucian uang, yang merupakan perubahan atas rumusan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Pasal 3 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja :

1) menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

2) mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

3) membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

4) menghibahkan atau menyumbangkan harta

(37)

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

5) menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; 6) membawa ke luar negeri harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

7) menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya;

c. Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang36 ini diterbitkan untuk menggantikan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut diatas. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini memberi pengertian mengenai tindak pidana pencucian uang, bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Yang dimaksud ketentuan dalam undang-undang

36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(38)

29

ini (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), adalah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 undang-undang dimaksud, yang masing-masingberbunyi :Pasal 3 : Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,oo (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4 : Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,oo (lima miliar rupiah).37

Berdasarkan pengertian tindak pidana pencucian uang atau pun rumusan perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana pencucian uang yang terdapat dalam ketiga undang-undang tersebut diatas, terdapat frasa yang tidak pernah berubah, yaitu frasa yang berbunyi : “…. harta

37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(39)

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ….. “.

B. Tindak Pidana Asal Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang selalu terkait dengan suatu tindak pidana lain yang terjadi sebelumnya. Tindak pidana sebelumnya ini menghasilkan harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana. Hasil tindak pidana inilah yang kemudian disamarkan atau disembunyikan, ditempatkan, ditransfer, dan lain sebagainya itu, sehingga terjadi tindak pidana baru yang dinamakan tindak pidana pencucian uang dimaksud. Tindak pidana yang terjadi sebelumnya itu dinamakan tindak pidana asal atau predicate crime. Sedangkan tindak pidana pencucian uang atas hasil tindak pidana asal

(predicate crime) tersebut merupakan tindak pidana ikutan

(underlying crime).38

Menurut Barda Nawawi Arief, seperti telah disebutkan pada bagian latar belakang makalah ini, bahwa predicate crime atau

predicate offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal proceeds atau hasil kejahatan yang kemudian dicuci. Dengan

demikian, tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana ikutan

(underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate crime).39 Dalam

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dicantumkan adanya 10 (sepuluh) jenis tindak pidana asal (predicate crime), yaitu masing-masing tindak pidana :

1. Korupsi 2. Penyuapan

38 Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, BooksTerrance&Library, Bandung, 2005, hlm. 1

39 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya

(40)

31

3. Penyelundupan Barang,Kerja dan Imigran 4. Perbankan

5. Narkotika, Psikotropika

6. Perdagangan Budak,Wanita dan Anak 7. Perdagangan Senja Gelap, Terorisme 8. Penculikan

9. Penggelapan 10. Penipuan

Setelah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas menjadi 26 (dua puluh enam) jenis,40 yaitu masing-masing tindak pidana :

1. Korupsi 2. Penyuapan

3. penyelundupan barang 4. penyelundupan tenaga kerja 5. penyelundupan imigran 6. bidang perbankan 7. bidang pasar modal 8. bidang asuransi 9. narkotika

40 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya

(41)

10. psikotropika

11. perdagangan manusia 12. perdagangan senjata gelap 13. penculikan 14. terorisme 15. pencurian 16. penggelapan 17. penipuan 18. pemalsuan uang 19. perjudian 20. prostitusi 21. bidang perpajakan 22. bidang kehutanan

23. bidang lingkungan hidup 24. bidang kelautan

25. bidang perikanan

26. Tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.41

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 201042 cakupan tindak pidana asal diperluas lagi menjadi 27 jenis, yang rinciannya

41 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya

Yang Terkait, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 3 Tahun 2003, hlm. 28

(42)

33

hampir sama dengan rincian yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dengan penambahan tindak pidana kepabeanan dan tindak pidana cukai, serta perubahan tindak pidana kelautan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menjadi tindak pidana kelautan dan perikanan, dan penyebutan tindak pidana perdagangan manusia pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 diubah menjadi tindak pidana perdagangan orang, sementara tindak pidana penyelundupan barang yang semula terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tidak terdapat lagi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut.

Menyangkut penetuan tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang terhadap tindak pidana Narkotika dapat dilihat dari karakteristik sebagai berikut:

a. Pola tindak pidana pencucian uang dari harta kekayaan hasil tindak pidana Narkotika.

Modus kejahatan penyalahgunaan Narkotika dengan memanfaatkan lembaga keuangan untuk melakukan tindakan penyembunyian dan penyamaran harta kekayaan hasil tindak pidana Narkotika dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan penyamaran dan penyembunyian harta kekayaan hasil tindak pidana Narkotika ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan yang biasanya dilakukan oleh jaringan sindikat Narkotika, yakni: placement, layering dan integration.

Placement,43 merupakan upaya menempatkan dana yang

dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan penyalahgunaan

43 Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundring), cet. 1, (Jakarta: Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 55.

(43)

Narkotika ke dalam system keuangan.

Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan Narkotika, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan penyalahgunaan Narkotika dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil

kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan penyalahgunaan Narkotika yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana transaksi tindak pidana Narkotika tersebut. Layering dapat pula dilakukan oleh pelaku tindak pidana Narkotika melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan- perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang. 44

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu

landasan sebagai suatu ’legitimate explanation (aliran dana yang sah) bagi hasil kejahatan penyalahgunaan Narkotika.

44 Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundring), cet. 1, (Jakarta: Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 55.

(44)

35

Disini uang yang di „cuci‟ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yakni penyalahgunaan Narkotika yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.45

b. Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika.

Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan yakni harta kekayaan hasil tindak pidana Narkotika.

Penerapan ketentuan anti pencucian uang di dalam undang-undang bertujuan tidak saja menangkap pelaku

organized crime penyalahgunaan Narkotika tetapi juga

menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya. Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan khususnya dengan menempatkan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika sebagai tindak pidana asal, atau begitu banyaknya kasus penyalahgunaan Narkotika yang melibatkan pelaku yang memproduksi Narkotika yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan 45 Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundring), cet. 1, (Jakarta: Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 55.

(45)

pertanyaan, apa yang menjadi faktor penyebabnya. Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes.

Selain itu pada United Nations Congress on The

Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Cairo 1995,

sebagai landasan hukum dalam penanggulangan tindak pidana asal yang salah satunya adalah tindak pidana Narkotika secara jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya. Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan Narkotika yang mempengaruhi perkembangan lembaga penyedia jasa keuangan. Kejahatan Narkotika dengan maksud menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan hasil kejahatan melalui lembaga keuangan bagi pelaku dipandang sebagai suatu aktifitas sangat menguntungkan serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu.

Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang dari harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan Narkotika, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak, tidak ada bukti tertulis, tidak kasat mata selain itu dilakukan dengan cara yang rumit, karena didukung oleh teknologi yang canggih pada transaksi keuangan dengan menggunakan offshore banking yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang

(46)

37

bersifat sophisticated crimes.46 Kesulitan ini tentunya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan yang terdapat di dalam rezim anti pencucian uang.

46 Erman Rajaguguk, Anti Pencucian Uang: Perbandingan Hukum, Yayasan Pengembangan Hukum Binis, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, Volume 16 Nopember 2001, hlm 24-25.

(47)

38 1. Pengertian Narkotika

Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata “narkoties” yang sama artinya dengan kata “narcosis” yang berarti membius yang sifat zatnya berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran dan halusinasi.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis,yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.47Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika

adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.

Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah ”narcotics” pada farmacologie (farmasi) , melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu suatu jenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

(48)

39

1) Penenang;

2) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).48 Zat-zat Narkotika yang semula ditunjukan untuk kepentingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat saat ini, serta dapat pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi kepentingan dibidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa.

Dalam skripsi ini penulis memakai pengertian Narkotika menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu berisi Pasal 1 angka 1 “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun simisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang Undang ini.”49

Sehubungan dengan pengertian narkotika, berikut adalah pandangan dari para ahli hukum mengenai pengertian narkotika sebagai berikut:

Sudarto, mengatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan yunani “narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa – apa.

Smith kline dan French Clinical Staff, mengemukakan definisi tentang narkotika adalah zat–zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat–zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah

48 Moh.Taufik Makarao,dkk,2003,Tindak Pidana Narkotika,hlm.17

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari perancangan ulang ini adalah mengubah desain identitas visual Zangrandi Ice Cream menjadi berciri khas yang menunjukan konsep Zangrandi Ice Cream sebagai kedai es krim

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data mengenai penguasaan pengetahuan hasil penyuluhan pendewasaan usia perkawinan dalam program generasi berencana pada

Dengan penugasan menyebutkan contoh sikap mencerminkan sila ketiga Pancasila, siswa dapat menunjukkan perilaku di sekitar rumah yang sesuai dengan sila ketiga

Isu-isu seperti ketidakcekapan rasuah serta disiplin pegawai awam adalah isu yang sering menjadi tumpuan masyarakat (Siddique, 2007). Walaubagaimanapun, perlulah

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

Setelah mengalami proses pembelajaran dengan metode HOTS peserta didik diharapkan dapat memahami pengetahuan tentang prinsip perancangan, pembuatan, penyajian, dan pengemasan hasil

Lebih lanjut Soekanto (1988 : 106-108) mengklasifikasikan berbagai Lebih lanjut Soekanto (1988 : 106-108) mengklasifikasikan berbagai organisasi sosial dalam hubungan individu

Terkait dengan dihapusnya jabatan Kayim dan selanjutnya ditempatkannya di tempat tugas baru sebagai staf pada urusan dan seksi yang ada serta kekosongan karena purna