• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. keadaan batin yang keras yang timbul dari hati, perasaan jiwa yang kuat seperti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. keadaan batin yang keras yang timbul dari hati, perasaan jiwa yang kuat seperti"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kecerdasan Emosional (EQ)

Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer mendefinisikan emosi sebagai keadaan batin yang keras yang timbul dari hati, perasaan jiwa yang kuat seperti sedih, luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu cepat. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, yaitu suatu keadaan yang biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosional adalah hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Kecerdasan emosional adalah memberi suatu kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain. Kecerdasan emosional memberikan rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat (Zohar dan Marshall, 2007: 3). Becker (2011: 18) juga berkata bahwa kecerdasan emosional adalah seperangkat kemampuan untuk mengelola emosi dan berhubungan dengan orang lain. Toleransi stres, kepemimpinan, komunikasi, kolaborasi, tanggung jawab sosial, pemecahan suatu masalah, kreativitas, dan aktualisasi diri semuanya memerlukan EQ yang tinggi.

Goleman dalam Wibowo (2007: 38) menyatakan bahwa kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri serta perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, serta kemampuan mengelola emosi diri

(2)

13

sendiri dengan baik dan dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda namun saling melengkapi dengan kecerdasan akademik.

Cooper dan Sawaf (2002) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut pemilik perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Cooper dan Sawaf (1998) juga menyatakan, kecerdasan emosi merupakan faktor penentu kesuksesan dalam karier dan organisasi termasuk dalam pembuatan keputusan, kepemimpinan, melakukan terobosan teknis dan strategis, komunikasi yang terbuka dan jujur, kerja sama dan hubungan yang saling mempercayai, serta dalam mengembangkan kreativitas dan daya inovasi. Selain itu, menurut Bar-On (1997) dalam Dries dan Pepermans (2007: 750), kecerdasan emosional (EQ) adalah sebuah perlengkapan kemampuan non-kognitif, kompetensi dan keterampilan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan.

Jiwan (2010: 58) berkata bahwa kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam membangun kesehatan mental seseorang yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas kerjanya. Individu yang sehat secara emosional akan selalu tampil lebih baik. Kecerdasan emosi tidak hanya berarti bersikap ramah. Pada saat tertentu, yang diperlukan mungkin bukan sikap yang ramah melainkan

(3)

14

ketegasan yang bisa jadi tidak menyenangkan tetapi mengungkapkan kebenaran. Kecerdasan emosi juga bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama secara efektif dengan lancar menuju sasaran bersama.

Damasio dalam Goleman (2007: 37) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara nalar dan emosi. Perasaan biasanya sangat dibutuhkan untuk keputusan rasional, perasaan akan menunjukkan arah yang tepat, sehingga logika mentah dapat digunakan sebaik-baiknya. Sementara dunia menghadapkan setiap individu kepada rentetan pilihan yang tidak terhingga, pembelajaran emosi yang telah diberikan oleh kehidupan mengirimkan sinyal-sinyal yang merampingkan keputusan tersebut dan membuang sejumlah pilihan dan memberikan penekanan pada pilihan-pilihan lain sejak awal, dengan demikian otak emosional sama terlibatnya dalam pemikiran seperti halnya keterlibatan otak nalar. Oleh karena itu, semua emosi sangat penting bagi rasionalitas. Perasaan membimbing keputusan seseorang dari saat ke saat, bekerja bahu-membahu dengan pikiran rasional sehingga, intelektualitas tidak dapat bekerja dengan baik tanpa kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang manusia masih hidup. Manusia belajar melalui pengalaman hidup untuk semakin menyadari suasana hati, menangani emosi-emosi yang menyulitkan secara lebih baik, mendengarkan dan berempati yang menunjukkan bahwa seseorang semakin matang. Kematangan dan kedewasaan menunjukkan kecerdasan dalam hal emosi. Mayer dalam

(4)

15

Damayanti (2007) menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa.

2.1.2 Komponen Kecerdasan Emosional

Salovey dalam Goleman (2007: 56) mengelompokkan kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama yang dikenal sebagai komponen kecerdasan emosional yaitu sebagai berikut.

1) Mengenali Emosi Diri

Kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan diri sendiri yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. 2) Mengelola Emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan mampu bangkit kembali dengan cepat. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.

(5)

16 3) Memotivasi Diri Sendiri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui bagaimana caranya mengendalikan dorongan hati, derajat kecemasan yang bepengaruh terhadap kerja seseorang, kekuatan berfikir positif, optimisme dan keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya.

4) Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

5) Membina Hubungan dengan Orang Lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam segala bidang yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan tersebut seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Orang yang tidak memiliki keterampilan ini dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan bagi orang lain.

(6)

17

Goleman (2000) juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari dua bagian yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial seperti dapat dilihat dari Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Bagan kecerdasan emosional

Sumber: Goleman (2000) dalam Bulo (2002)

Steiner (1997) dalam Bulo (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari lima komponen sebagai berikut.

1) Mengetahui perasaan sendiri; mengetahui kekuatan perasaan yang terjadi dan pengaruhnya terhadap diri sendiri, orang lain serta lingkungan.

Kecerdasan Emosional

Kecakapan Diri Kecakapan Sosial

Kesadaran Diri

 Kesadaran emosional  Penilaian diri yang akurat  Kepercayaan diri Keterampilan Sosial  Pengaruh  Komunikasi  Manajemen konflik  Kepemimpinan  Katalisator perubahan  Membangun ikatan  Kolaborasi dan kooperasi  Kemampuan tim Empati

 Memahami orang lain  Mengembangkan orang  Orientasi pelayanan  Kesadaran politik Motivasi  Dorongan berprestasi  Komitmen  Inisiatif  Optimisme Kendali Diri  Kontrol diri  Dapat dipercaya  Berhati-hati  Adaptabilitas  Inovasi

(7)

18

2) Memiliki empati; mengenali perasaan orang lain, apa yang menyebabkan dan seberapa kuat perasaan tersebut, mengidentifikasikannya dalam situasi-situasi yang lain.

3) Belajar mengatur emosi diri sendiri; mengontrol dan tahu kapan waktu untuk mengekspresikannya dan kapan harus menahannya. Mengetahui bagaimana efeknya terhadap orang lain. Bagaimana menyatakan emosi-emosi positif seperti harapan, cinta, dan kegembiraan dan belajar melepaskan emosi-emosi negatif seperti marah, takut, bersalah dalam cara yang produktif dan tidak membahayakan.

4) Memperbaiki kerusakan emosional; belajar memanfaatkan dan membayar kesalahan, serta dapat mengenali kesalahan yang dibuat dan memperbaikinya. 5) Interaktifitas emosional; dapat merasakan perasaan orang lain, merasakan

keadaan emosional mereka dan bisa berinteraksi secara efektif.

Cooper dan Sawaf (1998) merumuskan kecerdasan emosional sebagai sebuah titik awal yaitu sebagai berikut.

1) Kesadaran emosi; bertujuan membangun rasa percaya diri pribadi melalui pengenalan terhadap emosi yang dialami dan kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain sekaligus kemampuan mengelola emosi yang sudah dikenalnya membuat seseorang dapat menyalurkan emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif. 2) Kebugaran emosi; bertujuan mempertegas antusiasme dan ketangguhan dalam

menghadapi tantangan dan perubahan. Hal ini mencakup kemampuan untuk mempercayai orang lain, menampilkan diri apa adanya, menghargai

(8)

19

ketidakpuasan diri sendiri dan orang lain, serta mengelola konflik dan kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif.

3) Kedalaman emosi; mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dengan potensi serta bakat unik yang dimiliki. Komitmen berupa rasa tanggung jawab ini pada gilirannya memiliki potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu menggunakan kewenangan untuk memaksakan otoritas.

4) Alkimia emosi; merupakan kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut didalamnya. Hal ini mencakup keterampilan bersaing dengan lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih terbuka untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa kini dan menciptakan masa depan.

2.1.3 Kecerdasan Spiritual (SQ)

King (2002: 116) berkata bahwa SQ lebih terkait dengan makna, nilai-nilai dan visi kreatif, dan yang paling penting memiliki kekuatan untuk bertransformasi. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan, makna dan nilai, kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain (Zohar dan Marshall, 2007: 4). Surya (2004: 161) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai watak yang muncul dari keseluruhan perilaku yang terwujud atas dasar timbangan-timbangan spiritual yang berakar pada nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang

(9)

20

Maha Esa. Khavari (2006: 28) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan pada jiwa manusia. Kecerdasan spiritual adalah sebuah potensi terpendam yang dimiliki oleh setiap orang. Kecerdasan spiritual memberi kesadaran untuk melihat nilai positif dalam setiap masalah, dan kearifan untuk menangani masalah itu dan memetik keuntungan darinya. Jadi, kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan menyikapi dan memperlakukan orang lain seperti diri sendiri dan motivasi yang mendasari setiap perbuatan yang dilakukan tidak semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, tetapi lebih memperhatikan kepentingan orang banyak dengan dasar kesetaraan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan sehingga, dengan kecerdasan spiritual kita mampu mempunyai tingkah laku yang mulia. Wolman dalam Moryl (2001: 102) berkeyakinan kuat bahwa setiap orang memiliki kecerdasan spiritual dan bahwa sangat penting untuk mengenali serta melatihnya untuk kesejahteraan setiap individu.

Kecerdasan spiritual tidak mesti berhubungan dengan agama (Zohar dan Marshall, 2007: 8). Seseorang yang tekun menjalankan perintah agama tertentu belum tentu mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi. Seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan spiritual tinggi akan senantiasa memaksakan ajaran agamanya kepada pemeluk agama lain dan berpikiran sempit tentang kebebasan memeluk suatu agama.

Seseorang dapat menggunakan kecerdasan spiritualnya untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama (Zohar dan Marshall, 2007: 12). Kecerdasan spiritual membawa seseorang ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. Seseorang yang memiliki

(10)

21

kecerdasan spiritual tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, eksklusif, fanatik, atau prasangka. Demikian pula seseorang berkecerdasan spiritual tinggi dapat memiliki kualitas spiritual tanpa beragama sama sekali.

Menurut McMullen (2003: 60) salah satu syarat SQ adalah kebijaksanaan dan yang melengkapinya adalah nilai-nilai seperti keberanian, integritas, intuisi, dan kasih sayang. Kecerdasan spiritual dapat digunakan untuk berhadapan dengan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal-usul sejati dari penderitaan. Seseorang sering berusaha merasionalkan masalah semacam ini, atau terhanyut secara emosional. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual secara utuh, terkadang harus menderita, sakit, kehilangan, dan tetap tabah menghadapinya.

2.1.4 Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual

Tujuh langkah menuju kecerdasan spiritual lebih tinggi (Zohar dan Marshall, 2007: 231) yaitu sebagai berikut.

1) Menyadari di mana saya sekarang.

2) Merasakan dengan kuat bahwa saya ingin berubah.

3) Merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang paling dalam.

4) Menemukan dan mengatasi rintangan.

5) Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju. 6) Menetapkan hati saya pada sebuah tujuan.

(11)

22

7) Tetap menyadari bahwa ada banyak jalan yang baik untuk mencapai suatu tujuan.

Wahyuningsih (2007: 21) mengatakan ada beberapa hal yang membantu proses peningkatan kecerdasan spiritual yang terdapat dalam diri manusia, yaitu sebagai berikut.

1) Memperbanyak pertanyaan mengapa pada diri, karena selain akan memberi jawaban yang luas dan mendalam, juga dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan imajinatif yang dimiliki seseorang yang melahirkan manusia kreatif.

2) Mencari makna yang tersirat (hikmah), karena hikmah dari suatu peristiwa tidak dapat dimengerti dan dipahami secara akal dan rasional.

3) Introspeksi, yaitu kemampuan hati untuk mengoreksi segala perbuatan baik maupun buruk sehingga seseorang dapat mengatur dan merencanakan langkah-langkah perbuatannya untuk selalu memperbaiki perbuatannya. 4) Jujur pada diri sendiri, yaitu mengikuti apa kata hati nurani manusia.

5) Sadar diri, yaitu kemampuan manusia memahami fungsi dan tugasnya serta memahami tujuan dari kehidupan yang dijalaninya.

Tanda-tanda dari kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik sebagai berikut (Zohar dan Marshall, 2007: 14).

1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif). 2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi.

3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan. 4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.

(12)

23

5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai. 6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu. 7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.

8) Kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?”, untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.

9) Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

2.1.5 Kinerja Auditor

Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005: 67) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok.

Teori tentang prestasi kerja lebih banyak mengacu pada teori psikologi yaitu tentang proses tingkah laku kerja seseorang, sehingga seseorang tersebut menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya (Agustia, 2006: 104). Kinerja atau prestasi kerja dapat diukur melalui kriteria seperti kualitas,

(13)

24

kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan.

Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara, 2005: 15). Gibson et. al. (1996) dalam Wibowo (2009: 29), menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu.

Bastian (2001: 337) menyatakan ukuran yang dipakai dalam menentukan kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dengan pertimbangan elemen indikator sebagai berikut.

1. Indikator masukan (input), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar mampu menghasilkan produk, baik barang dan jasa yang meliputi sumber daya manusia, informasi dan kebijakan.

2. Indikator keluaran (output), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik dan nonfisik.

(14)

25

3. Indikator hasil (outcome), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah.

4. Indikator manfaat (benefit), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan.

5. Indikator dampak (impact), yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik yang positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator.

Penilaian kinerja juga dapat dilakukan melalui ukuran finansial maupun non finansial. Namun dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai penilaian kinerja melalui ukuran non finansial. Pengukuran kinerja (Hansen dan Mowen, 2000: 483) harus mencakup:

1. efisiensi, yaitu berfokus pada hubungan antara masukan dan keluaran, di mana cara untuk meningkatkan efisiensi adalah membuat keluaran yang sama dengan menggunakan biaya masukan yang lebih rendah.

2. kualitas, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan yang benar pada saat dilakukan bila terdapat cacat pada keluaran maka perlu dilakukan proses pengulangan yang menyebabkan biaya yang tidak perlu akan terjadi dan penurunan efisiensi pun tidak dapat dihindari.

3. waktu, yaitu waktu yang lebih lama berarti lebih banyak konsumsi sumber daya, sehingga akan terjadi pemborosan atau inefisiensi.

Pengertian kinerja auditor menurut Mulyadi dan Kanaka (1998: 116) adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara

(15)

26

wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, dan hasil usaha perusahaan. Kalbers dan Forgarty (1995: 46) mengemukakan bahwa kinerja auditor sebagai evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan langsung. Menurut Larkin (1990) dalam Trisnaningsih (2007: 4), menyatakan bahwa terdapat empat dimensi personalitas dalam mengukur kinerja auditor, antara lain: kemampuan (ability), komitmen profesional, motivasi, dan kepuasan kerja.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Kinerja (prestasi kerja) dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) dimana kualitas adalah yang berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu dan ketepatan waktu adalah kesesuaian waktu yang telah direncanakan. Selain itu, ukuran kinerja auditor (Harell, et. al., 1990) juga dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut.

1) Kemampuan teknis dan analisis

a) Creative, yaitu pemikiran inovatif, penyesuaian untuk mengubah kondisi serta pertimbangan tujuan audit dan pemikiran alternatif untuk pencapaian tujuan.

(16)

27

b) Efficient and organized, yaitu penyelesaian dari penugasan dengan berdasarkan atas waktu dan dengan sedikit supervisi, merencanakan dan mengevaluasi kemajuan dari pekerjaan dan termasuk didalamnya perencanaan waktu yang baik.

c) Knowledge of accounting and analiting standard, yaitu berdasarkan atas teknik, kemampuan memahami akan suatu pekerjaan, kemampuan mengidentifikasi lengkap permasalahan dan mampu membandingkan teori dan praktik.

d) Judgement and common sense, yaitu dapat mencapai kesimpulan berdasarkan logika didasarkan atas informasi yang tersedia, memahami maksud dari prosedur dan kerangka kerja dari keseluruhan kegiatan pemeriksaan serta materiality.

2) Karakter profesional

a) Initiative and ambition, yaitu keinginan untuk bertanggung jawab dan mau memberikan kemampuan yang lebih bila diperlukan, sikap profesional dan positif serta mau menerima tantangan.

b) Maturity and confidence, yaitu sikap profesional yang baik, bertanggung jawab dan menerima secara konstruktif dan belajar dari kritikan serta mempunyai rasa percaya diri tinggi.

c) Interpersonal skill, yaitu dapat membangun dan memperkuat hubungan baik dengan staf maupun klien dalam suatu tim kerja.

(17)

28 3) Kemampuan komunikasi

a) Communication skill, yaitu dapat mengeluarkan dengan jelas seluruh ide, baik secara lisan maupun tulisan.

b) Working paper, yaitu adanya pendokumentasian, klarifikasi, kebersihan, pengorganisasian dan semua kesimpulan didukung dengan baik.

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Indradi (2009) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Spiritual Auditor terhadap Kinerja Auditor (Studi Kasus pada KAP Trisno dan Rekan dan KAP Bayudi Watu dan Rekan di Jakarta)” hasil analisisnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual auditor berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor baik secara bersama-sama ataupun secara terpisah. Akan tetapi, kecerdasan spiritual memberikan kontribusi dan pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja auditor dibandingkan dengan kecerdasan emosional auditor (Beta 0,744 > Beta 0,251). Berdasarkan hasil analisis, juga menunjukkan pengaruh yang sangat besar dalam mendorong kinerja optimal auditor yaitu 75,6% (adjusted R Square = 0,756).

Sufnawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Spritual Auditor terhadap Kinerja Auditor dalam Kantor Akuntan Publik”. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual auditor berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor baik secara bersama-sama ataupun secara terpisah. Akan tetapi, kecerdasan spiritual memberikan kontribusi dan pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja auditor

(18)

29

dibandingkan dengan kecerdasan emosional auditor (Beta 0,744 > Beta 0,251). Hasil analisisnya juga menunjukkan pengaruh yang sangat besar dalam mendorong kinerja optimal auditor yaitu 76,8% (R Square = 0,768).

Tikollah, dkk. (2006) melalui penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi (Studi pada Perguruan Tinggi Negeri di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan)” memperoleh hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan analisis regresi linear berganda menunjukkan nilai Sign Regresi lebih kecil dari 0,05 (0,018 < 0,05); nilai Sign IQ lebih kecil dari 0,05 (0,026 < 0,05), nilai Sign EQ dan nilai Sign SQ lebih besar dari 0,05 (0,421; 0,165 > 0,05), serta nilai standardized coefficien IQ, EQ, dan SQ masing-masing 0,167; 0,066; dan 0,114. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa IQ, EQ, dan SQ secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Akan tetapi, secara parsial hanya IQ yang berpengaruh signifikan, serta berpengaruh dominan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi.

Penelitian Maryani dan Ludigdo (2001) dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan, serta faktor-faktor yang paling dominan pengaruhnya. Hasil analisis terhadap 228 responden menunjukkan religiusitas sebagai faktor yang berpengaruh dominan terhadap perilaku etis akuntan, di samping EQ juga sebagai salah satu faktor yang berpengaruh. Sejalan dengan hal tersebut, Baihaqi (2002) yang meneliti pengaruh EQ terhadap perilaku pelayanan menunjukkan bahwa EQ berpengaruh signifikan terhadap perilaku pelayanan karyawan. Demikian pula, penelitian Clark dan Dawson (1996) yang

(19)

30

dilakukan terhadap 144 sampel mahasiswa bisnis serta Weaver dan Agle (2002) yang menunjukkan religiusitas sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku etis.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah lokasi penelitian yaitu pada KAP-KAP yang terletak di wilayah Bali dan waktu penelitian yaitu pada tahun 2011.

Tabel 2.1 Ringkasan hasil penelitian sebelumnya No. Peneliti Variabel yang

diteliti

Teknik

Analisis Hasil Penelitian 1 Indradi (2009) Kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kinerja auditor - Regresi linier berganda - Uji F-test - Uji t-test Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual auditor berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor baik secara bersama-sama ataupun secara terpisah. 2 Sufnawan (2007) Kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kinerja auditor - Regresi linier berganda - Uji F-test - Uji t-test Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual auditor berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor baik secara bersama-sama ataupun secara terpisah. 3 Tikollah, dkk. (2006) Pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi - Regresi linier berganda - Uji F-test - Uji t-test Hasil penelitian menunjukkan bahwa IQ, EQ, dan SQ secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi. Akan tetapi, secara parsial

hanya IQ yang

berpengaruh signifikan, serta berpengaruh dominan terhadap sikap etis mahasiswa akuntansi.

(20)

31 4 Baihaqi (2002) Kecerdasan emosi dan perilaku pelayanan karyawan - Regresi linier berganda - Uji F-test - Uji t-test Hasil penelitian menunjukkan bahwa EQ berpengaruh signifikan terhadap perilaku pelayanan karyawan. 5 Maryani dan Ludigdo (2001) Kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan perilaku etis akuntan - Regresi linier berganda - Uji F-test - Uji t-test Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas sebagai faktor yang berpengaruh dominan terhadap perilaku etis akuntan, di samping EQ juga sebagai salah satu faktor yang berpengaruh.

Sumber: data diolah (2011)

2.3 Rumusan Hipotesis

Rumusan hipotesis yang dapat disimpulkan bagi penelitian ini antara lain sebagai berikut.

2.3.1 Pengaruh kecerdasan emosional dan spiritual secara simultan pada kinerja auditor

Kecerdasan emosional dan spiritual memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan apabila kedua kecerdasan tersebut difungsikan secara bersama-sama maka diharapkan dapat meningkatkan kinerja auditor dengan lebih optimal. Kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seorang auditor akan memeberikannya kemampuan lebih dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda

(21)

32

kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa dalam melaksanakan penugasan auditnya dan ditambah lagi dengan kecerdasan spiritual yang dimilikinya akan memberikannya kesadaran bahwa tugas yang diembannya adalah mulia dan akan menggunakan kemampuannya dalam bidang audit untuk sesuatu yang baik, berguna bagi banyak orang dan tidak merugikan pihak manapun sehingga diharapkan akan menghasilkan kinerja yang lebih baik lagi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

H1: Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh

signifikan pada kinerja auditor di Kantor Akuntan Publik Wilayah Provinsi Bali.

2.3.2 Pengaruh kecerdasan emosional secara parsial pada kinerja auditor Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa (Goleman, 2003 dalam Rachmi, 2010: 45). Bila seorang auditor memiliki kecerdasan emosional yang baik maka diharapkan dapat menjaga keadaan emosionalnya agar selalu baik dalam melaksanakan penugasan auditnya sehingga, dapat memotivasi diri, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa pada saat menjalankan tugasnya yang pada akhirnya akan mampu menghasilkan kinerja yang baik. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

(22)

33

H2: Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan secara parsial pada kinerja

auditor.

2.3.3 Pengaruh kecerdasan spiritual secara parsial pada kinerja auditor Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (Zohar dan Marshall, 2001 dalam Rachmi, 2010: 46). Bila seorang auditor memiliki kecerdasan spiritual yang baik maka diharapkan auditor tersebut akan memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya adalah mulia dan bermakna bagi banyak orang sehingga, akan menggunakan kemampuannya dalam bidang audit secara tulus dan ikhlas untuk sesuatu yang baik, berguna bagi banyak orang dan tidak merugikan pihak manapun yang pada akhirnya akan mampu menghasilkan kinerja yang baik juga. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

H3: Kecerdasan spiritual berpengaruh signifikan secara parsial pada kinerja

auditor.

Berdasarkan landasan teori dan perumusan hipotesis yang telah dijelaskan maka, secara skematis model penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.2.

(23)

34 Gambar 2.2 Model penelitian

Keterangan gambar:

= pengaruh secara simultan = pengaruh secara parsial Kecerdasan Emosi (X1):

1. Pengenalan diri (kesadaran diri) 2. Pengendalian diri

3. Motivasi diri 4. Empati

5. Kemampuan sosial

Kecerdasan spiritual (X2):

1. Memperbanyak pertanyaan mengapa pada diri 2. Mencari makna yang tersirat (hikmah)

3. Introspeksi diri 4. Jujur pada diri sendiri 5. Sadar diri

Kinerja auditor (Y): 1. Kemampuan 2. Komitmen profesi 3. Motivasi

Gambar

Gambar 2.1 Bagan kecerdasan emosional
Tabel 2.1 Ringkasan hasil penelitian sebelumnya  No.  Peneliti  Variabel yang

Referensi

Dokumen terkait

Ketoasidosis Diabetikum merupakan komplikasi akut yang paling serius yang terjadi pada anak-anak pada DM tipe 1, dan merupaka kondisi gawat darurat yang

Agung Wahyu Ikhtiantoro. PERBEDAAN PENGARUH LATIHAN DENGAN METODE DISRTRIBUTED PRACTICE DAN MASSED PRACTICE TERHADAP KEMAMPUAN POWER OTOT TUNGKAI PADA SISWA KELAS IV

kesejahteraan rakyat yang diantaranya meliputi aspek ekonomi dan Pendidikan oleh pemerintah dewasa ini belum menunjukan hasil sesuai yang diharapkan rakyat Indonesia

Dalam gambar Tuak yang digambar oleh Arkan terdapat objek: satu telor besar yang bentuknya tidak bulat, tiga telor yang besarnya sedang berada di tengah, lima telor yang kecil

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah

Penelitian Tugas Akhir yang dilakukan adalah membangun aplikasi yang menerapkan Kalman Filter untuk menelusur multi-blob dari bayangan tangan yang ditangkap

Rekomendasi: gunakan versi Internet Explorer yang paling baru, karena selain lebih cepat juga lebih aman dari versi yang lama..

user memiliki sertifikat dan sertifikat tersebut valid maka user dapat masuk ke dalam halaman sistem e-procurement untuk melihat transaksi dan rmelakukan pendaftaran lelang yang