• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa. prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa. prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala) dan Provinsi DI Yogyakarta berada sedikit diatas prevalensi nasional, yaitu 7,3%. Riskesdas 2007 juga mengungkapkan bahwa penyakit jantung dapat diderita oleh berbagai kelompok umur, terutama kelompok umur di atas 45 tahun (prevalensi diatas 9,3%) (www.depkes.go.id).

Faktor risiko PJK adalah kadar kolesterol darah yang tidak normal, merokok aktif maupun pasif, kurang olahraga, tekanan darah tinggi, obesitas, diabetes, dan stres. Selain itu, faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti riwayat keluarga, usia, dan jenis kelamin (laki-laki memiliki faktor risiko yang lebih tinggi). Peningkatan faktor risiko ini menyebabkan pembuluh darah menjadi susah dan pembuluh arteri menjadi sempit, kaku, tidak elastis, hingga terjadi penyumbatan (Soeharto, 2000; Calnan, 1991).

Sebagai penyakit kronis, PJK menciptakan beban psikologis karena berlangsung dalam waktu yang lama dan menyebabkan pasien mengalami berbagai perubahan dalam aspek hidupnya secara fisik, psikologis, dan sosial. Secara fisik, PJK menyebabkan sering kehilangan kesadaran (pingsan), merasa mudah lelah, mudah kaget (terutama ketika merasakan ketegangan emosi), denyut jantung tidak beraturan (terkadang sangat cepat, tapi juga bisa sangat lambat), sesak napas, stroke, lumpuh, hingga kematian. Beban psikologis yang dialami oleh pasien penyakit kronis adalah rasa sakit yang terus datang, kekhawatiran akan proses pengobatan dan prognosis, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, keterbatasan dalam hubungan sosial, kehilangan pekerjaan, hingga kesulitan finansial untuk membiayai pengobatan (Waghorn, Chant, & Lloyd, 2006).

(2)

Beban psikologis ini juga berpengaruh dalam kehidupan sosial pasien. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup pasien menimbulkan beban psikologis yang menyebabkan stres. Stres ini yang terwujud dalam emosi-emosi negatif seperti rasa marah, khawatir dan sedih. Emosi-emosi negatif tersebut sebenarnya adalah respon normal namun dapat berkembang menjadi depresi pada pasien dengan risiko depresi. Pasien dengan strategi koping yang tidak memadai serta kurang mendapatkan dukungan sosial merupakan contoh pasien berisiko depresi (Mc Lachlan, 2011; Calnan, 1991).

Keterbatasan fisik yang dialami oleh pasien PJK juga meningkatkan risiko depresi. Penurunan aktivitas fisik menyebabkan menurunnya tingkat oksigen dan glukosa dalam darah. Penurunan oksigen dan glukosa dalam darah ini menyebabkan organ dalam tubuh kekurangan oksigen dan tidak dapat berfungsi secara optimal. Tubuh pun menjadi cepat merasa lemas dan mengantuk (Ainsworth, 2000).

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri pasien PJK ini menyebabkan pasien membutuhkan penanganan yang menyeluruh, baik secara fisik maupun psikologis. Salah satu pendekatan yang dapat menangani pasien PJK secara menyeluruh adalah Behavioral Activation (BA). BA mendorong penjadwalan aktivitas individu untuk meningkatkan kehadiran reinforcement positif di lingkungan dan pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan keterampilan klien untuk meraih dan mempertahankan reinforcement positif (Kanter, Manos, Bowe, Baruch, Busch, & Rusch, 2010; Carvalho & Hopko, 2011). Penjadwalan aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan BA dapat membantu pasien PJK untuk melatih jantung kembali ke aktivitas yang ia lakukan sebelum sakit, sedangkan penguatan-penguatan positif yang pasien dapatkan

(3)

dari lingkungan dapat membantu pasien mengembalikan rasa kepercayaan dirinya.

Behavioral Activation (BA) membantu individu menemukan kekuatan-kekuatan yang ia miliki untuk menghentikan siklus depresi, yaitu dengan mengubah coping yang buruk dengan mengaktivasi kegiatan-kegiatan positif (Kanter, Manos, Busch, & Rusch, 2008; Kanter, Busch, & Rusch, 2009; Dimidjian, Barrera Jr, Martell, Munoz, & Lewinsohn, 2011). Masalah yang dihadapi oleh seseorang yang rentan depresi dapat mengurangi kemampuannya untuk merasakan reinforcement positif dari lingkungan (Martell, Dimidjian, & Herman-Dunn, 2010; Carvalho & Hopko, 2011; Veale, 2008), karena itu BA dapat digunakan untuk mengatasi depresi.

Teknik BA telah terbukti secara empiris dalam berbagai penelitian pada setting yang berbeda-beda. BA menurunkan tingkat depresi pada warga Latin dengan menggunakan pendekatan group-behavior therapy serta menurunkan tingkat depresi wanita di kawasan menengah ke bawah. Terapi BA yang dilakukan secara individu juga menunjukkan penurunan skor BDI secara signifikan pada pasien rumah sakit (Kanter, Busch, Rusch, 2009; Kanter et al, 2010; Hopko, Lejuez, Ruggiero, & Eifert, 2003). BA juga dapat menurunkan tingkat stres dan depresi yang dialami oleh para veteran tentara yang telah berperang di daerah perang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa BA menunjukkan efektivitas tidak hanya dalam menurunkan depresi, tapi juga menurunkan tingkat PTSD dan meningkatkan perilaku positif serta kualitas hidup seseorang (Jakupcak, Wagner, Paulson, Varra, & McFall, 2010).

Komponen BA yang sederhana memiliki efektivitas yang setara dengan terapi lain yang lebih komprehensif dengan durasi yang lebih lama. Teknik BA

(4)

juga memiliki efektivitas yang setara dengan keseluruhan paket CT (Cognitive therapy) pada post-intervensi (Manos, Kanter, & Busch, 2010; Bottonari, Roberts, Thomas, & Read, 2008) dan dapat mencegah kekambuhan dalam follow-up 2 tahun setelahnya (Manos, Kanter, & Busch, 2010; Hopko, Lejuez, Ruggiero, & Eifert, 2003).

Penelitian lain membuktikan keunggulan terapi BA dibandingkan CT, paroxetine, dan placebo untuk menangani depresi. Hasil yang didapat menunjukkan semua terapi mampu mengatasi depresi ringan, namun BA lebih efektif dibandingkan CT untuk menangani depresi berat, setara dengan efektivitas paroxetine. Seiring waktu, paroxetine menunjukkan tingkat drop out dan kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentkan, namun tidak dengan BA. Brief Behavioral Activation Tritmen for Depression (BATD) pun mampu menurunkan skor BDI secara signifikan dibandingkan dengan terapi suportif (Hopko, Lejuez, Ruggiero, & Eifert, 2003; Bottonari, Roberts, Thomas, & Read, 2008).

Tingginya prevalensi depresi pada pasien kronis, terutama pasien jantung koroner, menunjukkan perlunya pelayanan psikologi untuk mengatasi depresi bagi mereka. Berbagai penelitian telah menunjukkan efektivitas BA dalam menurunkan tingkat depresi pada berbagai kelompok pasien, namun hingga saat ini belum ada penelitian penerapan BA untuk menurunkan tingkat depresi pada pasien jantung koroner. Untuk itu penelitian ini mengembangkan sebuah tata laksana BA untuk menurunkan depresi pada pasien jantung koroner.

Tata laksana perlakuan (tritmen guideline) merupakan panduan pelayanan psikologi bagi praktisi dalam melaksanakan perlakuan atau terapi psikologis dengan rekomendasi yang spesifik untuk ditawarkan pada pasien.

(5)

Tata laksana disusun sebagai standar bagi para praktisi untuk melaksanakan teknik terapi secara tepat. (American Psychological Association, 2002).

Tata laksana disusun untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Tujuan disusunnya tata laksana tritmen adalah (1) menyediakan rekomendasi dan penawaran terapi psikologi yang spesifik bagi pasien sesuai dengan kebutuhan pasien, (2) mengedukasi praktisi profesional dan sistem kesehatan tentang terapi psikologis yang efektif dalam mengatasi masalah pasien, serta (3) membantu praktisi untuk melaksanakan terapi psikologis secara terstandar sehingga dapat memberikan hasil yang optimal (APA, 2002).

American Psychological Association (2002) menjelaskan kriteria pengembangan panduan tritmen. Terdapat 4 kriteria, yaitu (1) disusun berdasarkan literatur yang relevan, (2) mendapatkan penilaian profesional (professional judgement), (3) dapat diterapkan oleh psikolog, dan (4) meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan psikologis yang diberikan.

Pengembangan tata laksana menurut APA (2002) dilakukan melalui empat tahapan. Pada tahap literature review, peneliti melakukan peninjauan terhadap penelitian atau kajian terdahulu yang memiliki relevansi tinggi dengan penelitian. Hal ini ditujukan untuk merumuskan tata laksana BA pada pasien PJK yang berlandaskan pada bukti-bukti ilmiah dan terkini. Bukti-bukti ilmiah ini kemudian dikembangkan untuk mendapatkan gambaran mengenai penanganan psikologis terhadap pasien PJK yang menunjukkan keluhan-keluhan psikologis.

Tahapan selanjutnya adalah penggabungan data yang diperoleh dan kemudian akan dirumuskan menjadi model tata laksana. Sebelum melakukan uji coba klinis, tahapan penting yang perlu dilakukan adalah melakukan experts judgement. Proses penilaian oleh para ahli yang dilakukan dalam bentuk panel.

(6)

Pada tahap ini model yang sudah dibuat akan ditinjau dan dievaluasi oleh pihak yang ahli dalam bidang penanganan psikologis dengan menggunakan teknik BA dan memahami kondisi pelayanan psikologis di Indonesia (APA, 2002).

Tujuan penelitian ini adalah menyusun tata laksana BA bagi pasien jantung koroner. Tata laksana ini ke depannya dapat menjadi instrumen praktik profesi dan sebagai perlindungan hukum dalam menangani pasien dengan risiko tinggi. Penyusunan tata laksana dilaksanakan dengan menciptakan konsensus dari para ahli dalam memberikan penilaian dan pandangan tentang pelaksanaan BA pada pasien jantung koroner di puskesmas. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis berupa Tata Laksana tata laksana BA pada pasien PJK mengingat hingga saat ini belum ada penelitian yang berkaitan dengan tata laksana BA pada pasien PJK. Penelitian ini diharapkan kedepannya dapat menjadi landasan dalam mengembangkan tata laksana BA dalam menurunkan tingkat depresi pada pasien jantung koroner.

METODE PENELITIAN Partisipan

Partisipan penelitian ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok ahli BA, kelompok praktisi, dan kelompok mahasiswa. Kriteria kelompok ahli BA adalah: a) memiliki pengalaman sebagai praktisi minimal 10 tahun, b) mendapatkan pelatihan BA tingkat nasional, c) memahami kondisi pelayanan psikologis di Indonesia, terutama di tingkat primary care (puskesmas), dan d) bersedia berpartisipasi dalam seluruh proses penelitian. Sedangkan kriteria partisipan pada kelompok praktisi yaitu: a) memiliki pengalaman praktisi di primary care (puskesmas) minimal 1 tahun, b) memiliki pengetahuan dasar

Referensi

Dokumen terkait

President Donald Trump will impose 10 percent tariffs on $200 billion worth of Chinese imports, and those duties will rise to 25 percent at the end of the year. The action,

20 Untuk menentukan siapa yang akan melakukan orientasi mengenai rumah sakit, tata tertib ruangan dan fasilitas serta penggunaannya kepada pasien dan keluarga, kepala ruangan

Kemudian dikemukakan oleh Luthans (Simamora, 2004) disebutkan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi. Iklim organisasi

[r]

Berdasarkan lembar validasi yang telah dinilai oleh dosen ahli menunjukan hasil validasi rubrik penilaian untuk pengembangan keterampilan proses sains siswa

[r]

Koefisien prismatik (Cp) adalah perbandingan antara nilai volume displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area penampang melintang tengah kapal

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, bahwa Atha bin Yasar pernah meminta pada